Pengantar
Salah satu buku Biografi yang pernah kami tulis bersama J. Anto adalah "Perjuangan Tiada Akhir", biografi kecil dari Bidan Sauria Sitanggang. pendiri dan pemilik rumah sakit dan lembaga Pendidikan Sari Mutiara Medan dan Ibu dari Parlindungan Purba, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Utusan Sumatera Utara (2009-2014).
Artikel berikut ini adalah penggalan dari sebuah artikel yang pernah dimuat di Harian Analisa, 11 Desember 2008 dan dimuat atas izin lisan dari penulisnya, J.Anto.
Artikel berikut ini adalah penggalan dari sebuah artikel yang pernah dimuat di Harian Analisa, 11 Desember 2008 dan dimuat atas izin lisan dari penulisnya, J.Anto.
Bidan Sauria Sitanggang dilahirkan di Lumban Sibabiat, Samosir, pada 20 Juli 1938. Ia dipanggil Tuhan pada 23 Mei 2007 (69) karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Almarhumah oleh masyarakat Sumut dikenal sebagai bidan langka, atau bidan bertangan dingin.
Di kalangan para calon paramedis, khususnya mereka yang tengah menempuh pendidikan kebidanan, ibu dari tujuh anak dan 20 cucu tersebut bahkan nyaris menjadi legenda! Kiprah dan pengabdiannya untuk memajukan dunia kebidanan serta mendidik tenaga calon bidan yang profesional di Sumut, sulit untuk dicari bandingannya. Dari sebuah klinik kecil pada era 1960-an, hingga di akhir hayatnya, Bidan Sauria Sitanggang meninggalkan dua buah karya peradaban di bidang kesehatan, yaitu RSU Sari Mutiara Medan dan Lubuk Pakam.
Juga 5 buah klinik yang berlokasi di Medan, Tandem, Diski dan Tanjung Morawa serta lembaga pendidikan kesehatan yang lebih dikenal dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes Sari Mutiara).
Selain sukses dalam mengelola dan membesarkan rumah sakit, ia juga sukses mengelola akademi kesehatan, yang siswanya berdatangan tidak saja dari wilayah Sumut, tapi juga dari Aceh, Pekanbaru dan Padang.
Tapi semua kesuksesan itu tidak membuatnya besar kepala. Almarhumah dikenal sebagai pribadi yang low profile. Dalam hidup kesehariannya, ia lebih nyaman menjadi orang biasa.Bahkan terkesan menikmati kesunyian diri dari hiruk pikuk pemberitaan mediaa massa. Sejarah perjalanan hidupnya untuk membantu pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan ke masyarakat, beredar sebatas dari mulut ke mulut.
Banyak kisah menarik di seputar kehidupan Bidan Sauria Sitanggang ketika masih menjadi bidan keliling dari kampung ke kampung, khususnya di seputaran Helvetia tahun 1970-an. Semisal ketika menangani persalinan pasien, yang rata-rata berasal dari golongan masyarakat miskin. Tidak sedikit keluarga pasien yang mengangsur biaya persalinan. Uniknya, sampai ada pasien yang belum melunasi utangnya sampai pasien itu melahirkan anaknya yang kedua!
Tidak jarang, Bidan Sauria Sitanggang juga menerima bayaran bukan dalam bentuk rupiah, tapi hasil bumi. Misalnya beras, sayur atau hasil ladang yang lain. Bahkan pernah ia dibayar dengan seekor ayam! Tidak jarang ada juga keluarga pasien yang cicing, alias tidak membayar. Bagi Bidan Suaria Sitanggang, hal itu dianggap sebagai bagian dari dinamika hidup yang harus diterima dengan penuh kebesaran hati karena melayani warga yang kurang mampu.
Selain pengalaman yang menerbitkan senyum, ada juga tantangan yang lebih serius. Semisal permusuhan yang ditebar sejumlah dukun kampung. Kelompok yang terakhir ini merasa tersingi dengan kehadiran sang bidan keliling.
Namun menghadapi hal tantangan seperti itu, bidan Sitanggang bersikap arif. Ia sadar bahwa para dukun kampung tetap diperlukan perannya dalam membantu proses persalinan warga. Apalagi jarak antara rumahnya dengan perkampungan warga yang dilayani cukup jauh.
Dukun kampung dapat berperan menangani persiapan pasien sampai ia datang dan melakukan proses persalinan. Karena itu ia kemudian berinisiatif melatih para dukun kampung. Para dukun kampung itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah pertemuan. Untuk itu ia menjalin kerjasama dengan kepala desa. Setelah terkumpul, mereka diberi petunjuk dan dilatih cara menangani persalinan yang sehat.
Begitulah gambaran sekilas kiprah bidan Sauria Sitanggang. Kartini kesehatan dari Pulau Samosir itu tak hanya berhasil mengembangkan sebuah klinik menjadi rumah sakit ternama, tapi juga berhasil mendirikan institusi pendidikan yang masih eksis hingga sekarang ini.
Di kalangan para calon paramedis, khususnya mereka yang tengah menempuh pendidikan kebidanan, ibu dari tujuh anak dan 20 cucu tersebut bahkan nyaris menjadi legenda! Kiprah dan pengabdiannya untuk memajukan dunia kebidanan serta mendidik tenaga calon bidan yang profesional di Sumut, sulit untuk dicari bandingannya. Dari sebuah klinik kecil pada era 1960-an, hingga di akhir hayatnya, Bidan Sauria Sitanggang meninggalkan dua buah karya peradaban di bidang kesehatan, yaitu RSU Sari Mutiara Medan dan Lubuk Pakam.
Juga 5 buah klinik yang berlokasi di Medan, Tandem, Diski dan Tanjung Morawa serta lembaga pendidikan kesehatan yang lebih dikenal dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes Sari Mutiara).
Selain sukses dalam mengelola dan membesarkan rumah sakit, ia juga sukses mengelola akademi kesehatan, yang siswanya berdatangan tidak saja dari wilayah Sumut, tapi juga dari Aceh, Pekanbaru dan Padang.
Tapi semua kesuksesan itu tidak membuatnya besar kepala. Almarhumah dikenal sebagai pribadi yang low profile. Dalam hidup kesehariannya, ia lebih nyaman menjadi orang biasa.Bahkan terkesan menikmati kesunyian diri dari hiruk pikuk pemberitaan mediaa massa. Sejarah perjalanan hidupnya untuk membantu pemerintah dalam memberikan layanan kesehatan ke masyarakat, beredar sebatas dari mulut ke mulut.
Banyak kisah menarik di seputar kehidupan Bidan Sauria Sitanggang ketika masih menjadi bidan keliling dari kampung ke kampung, khususnya di seputaran Helvetia tahun 1970-an. Semisal ketika menangani persalinan pasien, yang rata-rata berasal dari golongan masyarakat miskin. Tidak sedikit keluarga pasien yang mengangsur biaya persalinan. Uniknya, sampai ada pasien yang belum melunasi utangnya sampai pasien itu melahirkan anaknya yang kedua!
Tidak jarang, Bidan Sauria Sitanggang juga menerima bayaran bukan dalam bentuk rupiah, tapi hasil bumi. Misalnya beras, sayur atau hasil ladang yang lain. Bahkan pernah ia dibayar dengan seekor ayam! Tidak jarang ada juga keluarga pasien yang cicing, alias tidak membayar. Bagi Bidan Suaria Sitanggang, hal itu dianggap sebagai bagian dari dinamika hidup yang harus diterima dengan penuh kebesaran hati karena melayani warga yang kurang mampu.
Selain pengalaman yang menerbitkan senyum, ada juga tantangan yang lebih serius. Semisal permusuhan yang ditebar sejumlah dukun kampung. Kelompok yang terakhir ini merasa tersingi dengan kehadiran sang bidan keliling.
Namun menghadapi hal tantangan seperti itu, bidan Sitanggang bersikap arif. Ia sadar bahwa para dukun kampung tetap diperlukan perannya dalam membantu proses persalinan warga. Apalagi jarak antara rumahnya dengan perkampungan warga yang dilayani cukup jauh.
Dukun kampung dapat berperan menangani persiapan pasien sampai ia datang dan melakukan proses persalinan. Karena itu ia kemudian berinisiatif melatih para dukun kampung. Para dukun kampung itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah pertemuan. Untuk itu ia menjalin kerjasama dengan kepala desa. Setelah terkumpul, mereka diberi petunjuk dan dilatih cara menangani persalinan yang sehat.
Begitulah gambaran sekilas kiprah bidan Sauria Sitanggang. Kartini kesehatan dari Pulau Samosir itu tak hanya berhasil mengembangkan sebuah klinik menjadi rumah sakit ternama, tapi juga berhasil mendirikan institusi pendidikan yang masih eksis hingga sekarang ini.
*) J.Anto adalah Direktur KIPPAS (Kajian Informasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera), Medan. Dimuat atas izin lisan dari penulisnya, J. Anto.
Artikel ini pernah dimuat di Analisa 11 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar