My 500 Words

Rabu, 29 Oktober 2014

Penyuara Listrik Setajam “Ayam Kinantan” (Harian Analisa, 29 Oktober 2014)

Oleh: Jannerson Girsang.

Pagi hari, 18 Oktober 2014, saya sedang menulis dan artikelnya ingin dikirim, tiba-tiba listrik mati. Wah…..batal deh. Teman yang menunggu di seberang pulau terpaksa ngedumel. “Kenapa sih listrik di Sumut mati, seperti jadwal makan obat?”. Saya keluar rumah, riuh suara genset khususnya rumah usaha terdengar dimana-mana.

Saya maklum dan tidak akan pernah protes dengan kekerasan, tapi hati saya sungguh tersiksa. Berbeda dengan masyarakat lainnya dan sangat berbahaya kedepan adalah masyarakat yang sudah bereaksi sampai merusak kantor PLN di berbagai tempat. Krisis listrik di provinsi Sumatera Utara sudah berlangsung sejak 2005.

Dalam hati saya berfikir, untuk apa kami memiliki 100 orang anggota DPRD tingkat I dan ratusan lainnya di Kabupaten/Kota?. Bukankan mereka wakil rakyat, wakil kami, penyuara jeritan kami, sahabat kami?. Mereka harus memiliki lidah setajam taji “ayam kinantan”. Mereka yang baru saja dilantik seharusnya merasakan dan mampu menjembatani jeritan rakyat soal listrik.

Dua Pemilu Hidup Padam, Masih Ku Maafkan!

Kelangkaan listrik yang dialami masyarakat Sumatera Utara di era teknologi informasi ini sudah dan akan menimbulkan dampak negatif besar, karena dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan ekonomi yang terus meningkat akan meningkatkan kebutuhan listrik.

Pemadaman listrik bergilir di wilayah ini sudah sangat meresahkan masyarakat, pengusaha, dengan perlakuan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang memadamkan listrik bukan sekali sehari, bahkan sudah seperti memakan obat 3x1 hari.

Listrik bukan lagi sekedar alat penerangan, tetapi telah menjadi darah bagi berbagai kegiatan vital masyarakat dan dunia bisnis. Mulai dari memasak, setrika, mengoperasikan komputer dan peralatan elektronik lainnya, semua butuh listrik.

Pemadaman listrik menimbulkan aktivitas warga terganggu, ibu rumah tangga mengeluh kegiatan di rumah sering terbengkalai karena listrik padam sembarangan. Begitu juga dunia usaha industri rumah tangga menjadi terhenti. Kota menjadi gelap gulita dan lalu lintas menjadi semrawut.

Konsumen adalah raja, tidak berlaku di daerah ini. Dengan sistem penyediaan listrik sekarang, rakyat sebagai konsumen, seharusnya diperlakukan sebagai raja. Ini sudah terbalik. Jadi, perlu wakil-wakil rakyat yang mampu mengembalikan hak mereka sebagai pelanggan.

Sejak 2005, masyarakat Sumatera Utara sudah mengalami krisis listrik, tetapi hingga saat ini pemenuhan kebutuhannya tetap tersendat-sendat.

Saya masih ingat saat itu sedang bekerja di Tsunami dan Gempa Nias dan berkantor di daerah Medan Baru. Di tengah-tengah pekerja asing kita sedikit malu karena negeri ini tidak mampu menyediakan listrik yang cukup bagi warganya. Kantor kami terpaksa membeli genset, karena pemadaman listrik bergilir.

Hampir sepuluh tahun kemudian, ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Dirut PLN, saya dan jutaan penduduk provinsi ini berharap listrik akan beres. Harapan itu ternyata masih mimpi. Hingga beliau diangkat menjadi Menteri BUMN, krisis tak kunjung berhenti. Malah semakin sering mati.

Beliau rajin memang datang ke Sumut, tetapi kunjungan-kunjungan beliau belum memberikan hasil yang signifikan.

Rumah saya masih mengalami pemadaman listrik, hampir setiap hari. Kita selalu berkata, hayo-hayo cepat ngetiknya, nanti listrik mati. Kalau ada kebaktian malam, hayo siapkan lilin, bentar lagi listrik mati!

Kita juga terbelalak, ketika suatu kali beliau berkunjung, membaca berita di media di harian-harian lokal bahwa PLN harus membayar Rp 700 miliar per bulan menyewa genset untuk menghindari pemadaman. Logika saya berfikir, dalam satu tahun PLN di provinsi ini sebenarnya mampu membangun 2 proyek listrik berkapasitas 2 x 200 MW.

Pertanyaan saya, mengapa tidak membangun pembangkit listrik yang baru saja. Kebijakan penyewaan genset senilai Rp 700 miliar per bulan untuk memenuhi defisit listrik di Sumatera Utara (Sumut) dikritik oleh Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, karena dinilai bukan merupakan solusi yang tepat.

Saya membaca komentar Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Chaidir Harahap SH, kepada para wartawan Hari Senin, (3 Pebruari 2014) mengatakan, kebijakan tersebut malah makin menambah beban anggaran negara dan LBH Medan beranggapan penggunaan dana negara untuk penyewaan genset itu adalah sia-sia.

“Menurut kita, penyewaan genset dengan biaya yang cukup signifikan dan sangat besar tentu dapat berdampak kepada pemborosan biaya anggaran belanja negara yang memakai dana negara sebesar Rp700 miliar perbulan hanya untuk penyewaan genset saja. Seharusnya Pemprov Sumatera Utara dalam mengambil kebijakan dilandasi dengan pertimbangan ekonomis dan efisiensi, jangan terlalu dipaksakan,” ucap Chaidir, seperti dikutip sebuah harian lokal terbitan Medan.

Baiklah kalau itu memang memecahkan masalah. Namun, kenyataannya, meski sudah menerapkan kebijakan yang terkesan pemborosan itu, kenyataan di lapangan, hingga Jumat dan Sabtu 17 dan 18 Oktober 2014, listrik masih mengalami pemadaman tanpa pemberitahuan di rumah saya dan tentunya ribuan pelanggan PLN di Perumnas Simalingkar. Mungkin juga di berbagai wilayah kota Medan dan daerah lain di Sumut.

Rakyat sudah terlalu lama bersabar dan harus mengambil langkah sendiri mengatasi kesulitannya berupa penyediaan genset yang cukup mahal, khususnya rumah-rumah atau pertokoan untuk menjaga kelangsungan usahanya atau rasa nyaman di rumah-rumah karena pemadaman listrik terjadi tanpa pemberitahuan.

Tak heran kalau beberapa tahun ini pelanggan unjuk gigi. Protes masyarakat yang merusak kantor PLN muncul di berbagai tempat, seperti yang dilakukan Pancurbatu, Binjai, atau Nias Utara, dan tempat tempat lain di provinsi ini adalah bentuk keresahan yang sudah terjadi, dan bukan diharapkan oleh siapapun, termasuk PLN.

Selain kebijakan yang terkesan boros, saya dan jutaan rakyat di daerah ini juga membaca di media soal isu korupsi di kalangan pejabat PLN di provinsi ini, hingga beberapa pejabatnya ditahan. Sungguh sebuah ironi. Oknum-oknum pegawai PLN yang melakukan korupsi jelas tidak memiliki sense of crisis.

Selain itu pelayanan di tingkat pelanggan seperti rekening listrik yang sering naik mendadak, seperti dianggap anjing menggonggong kafilah berlalu.
Pelayanan distribusi listrik, sistem pendataan pemakaian listrik, pencatatan jumlah pembayaran listrik yang sering tidak sesuai dengan pemakaian sudah banyak dikeluhkan masyarakat, harus secara bertahap di atasi.

Alangkah eloknya, kalau kerusakan tidak terjadi lebih parah. Rakyat merindukan wakil-wakilnya yang mampu menyuarakan jeritan mereka. Taji wakil-wakil rakyat di DPR RI, DPRD Tingkat I , DPRD Tingkat II selama ini belum setajam taji ayam kinantan.

Untuk mengawasi dan menyadarkan PLN, rakyat di daerah ini butuh wakil-wakil yang berani dan bertaji tajam, mampu memahami, memonitor, mengevaluasi dan menyuarakan listrik ke publik dan mendesak pengambil keputusan mengatasi krisis listrik.

Mereka harus memahami jumlah kebutuhan, persediaan listrik dan kebutuhan pengembangan untuk memenuhi pelayanan listrik ke masyarakat dengan standar kualitas yang dijanjikan PLN..

Okelah. Pemadaman, korupsi di PLN dan pelayanan yang belum memadai dalam dua pemilu terakhir kita maafkan deh!.

Jangan Sampai Tiga Kali

Barangkali analogi lagu Ciptaan Tagor Pangaribuan berjudul “Jangan Sampai Tiga Kali” perlu disimak dan dinyanyikan untuk PLN. “Satu kali pemilu kau sakiti, masih kumaafkan, dua pemilu kau sakiti hati ini juga kumaafkan, tapi jangan kau Coba sampai tiga pemilu…..jangan oh jangan…………….”

Kondisi perlistrikan di provinsi ini dalam dua periode Pemilu terakhir rasanya masih kurang disuarakan dengan keras. Kita butuh anggota legislatif yang menjadi pahlawan kelistrikan dan memiliki taji setajam taji ayam kinantan. Provinsi ini membutuhkan tokoh yang menjadi icon pengaduan listrik rakyat. Parlemen listrik!.

Mereka adalah penyuara-penyuara yang dengan sigap memaparkan data yang benar dan mampu memberi masukan, mempengaruhi bahkan menekan para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan penyedia listrik, dan para regulator kelistrikan yang pro rakyat. Program-program yang sudah dicanangkan dikawal dan harus berjalan dengan baik.

Seorang pahlawan kelistrikan harus mampu menyuarakan bagaimana kelangkaan kebutuhan listrik bisa dipenuhi. Dia rajin dan mampu mengikuti dan mengawal tahapan-tahapan pelaksanaannya, serta hingga sampai diujung, yakni pemenuhan kebutuhan listrik, tidak lagi byar pet.

Mereka harus paham proyek yang sedang berjalan seperti PLTU di Pangkalan Susu misalnya. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2008, tetapi hingga sekarang belum dapat berjalan karena berbagai masalah. Anggota legislatif hendaknya menyuarakan persoalan untuk menyelesaikan persoalan, bukan justru menimbulkan masalah baru. Kalau kedua pembangkit ini bisa beroperasi, sedikit banyak dapat mengatasi kelangkaan listrik di Sumatera Utara.
Dalam lima tahun ke depan, Pembangkit Listrik Tenaga Air Lau Renun yang tidak mampu beroperasi dengan kapasitas maksimumnya 2 x 42 MW tentu masih bisa diatasi dengan penghijauan di hulunya.

Anggota DPRD juga perlu mengawal pelaksanaan proyek-proyek PLT Panas Bumi di Sarulla, PLTA Asahan III dan lain-lain. Kalau ini bisa berjalan baik, tentu masyarakat akan menilai DPRD periode ini sebagai pahlawan.

Proyek-proyek itu sudah berjalan bertahun-tahun. Harus ada orang yang terus menerus mendesak proyek-proyek ini bisa selesai lima tahun ke depan.

Rakyat sangat berharap anggota-anggota DPRD yang baru dilantik ini memiliki sense of crisis dan terus menerus menyuarakannya. Rakyat sudah bosan dengan anggota parlemen yang meributkan listrik hanya untuk popularitas, kemudian hilang tanpa ujung yang jelas.

Janganlah kiranya suara anggota parlemen layaknya iklan mobil Panther, “Hampir tak terdengar”, dilakukan pula secara sporadik dan tidak substansial.

Selamat buat anggota parlemen yang baru dilantik. Hayo… muncullah jadi pahlawan, berani bersuara untuk memenuhi kebutuhan vital rakyat: LISTRIK! Jadilah penyuara listrik dengan lidah setajam ayam kinantan. ***

Tidak ada komentar: