Oleh: Yusrin.
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar