My 500 Words

Kamis, 25 Agustus 2011

Catatan Ringan dari Bedah Buku Karya Penulis Sumut

E-mail
Oleh: Jannerson Girsang   

Meski buku merupakan pengusung peradaban, produksi buku kita masih cukup rendah. Usaha-usaha mendorong produksi buku selayaknya mendapat apreasiasi. Sebuah catatan ringan mengikuti Bedah Buku dan Peluncuran Hasil Karya Pengarang Sumatera Utara, di Hotel Antares, Medan, 26 Juli 2011, kami sajikan bagi anda, sebagai sebuah bentuk apreasiasi.

Sekitar 75 orang peserta bedah buku yang dibuka Kepala Baperasda,Pemprovsu Nurdin Pane, SE, MAP, selama lebih kurang lima jam mendengar paparan, pembahasan dan diskusi tentang lima buku baru. Kelima buku itu adalah Ekstrak Sambiloto sebagai Anti Malaria (Dr Umar Zen), Mutiara Kota Kerang Tanjung Balai Asahan (Watni Marpaung MA), Langkat Mendai Tuah Berseri (Datuk OK Abdul Hamid), Adat dan Budata Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga (Syawal Pasaribu), Ramadhan di Hatiku (Muhammad Syukri Albani, MA).

Para penulis mempresentasikan bukunya, para pembahas menyampaikan saran dan kritiknya atas buku itu, lantas diskusi yang melibatkan para peserta. Demikian dilakukan secara bergantian oleh lima penulis tersebut.
Menarik, karena para penulis seperti Ali Murthado dan lain-lain yang juga dikenal sebagai penulis yang produktif di daerah ini, dan pesertanya yang terdiri dari para dosen, mahasiswa, para tkoh adat, agama dan masyarakat di daerah ini.

Memasuki ruang peradaban Sumatera Utara. Itulah perasaan saya berada di antara sekitar 70-an peserta, saat menghadiri acara Bedah Buku 5 Buku yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda), Pemprovsu itu.

Selama bedah buku berlangsung, saya kerap mendengar kata-kata “Bongak” dari Tanjungbalai, “Bulek Kato” dari Sibolga dan idiom-idiom daerah yang sungguh-sungguh lucu terdengar dan disambut gelak tawa dan riang para pengunjung. Pantun-pantun Melayu nan bermakna serta enak didengar membuat suasana segar. Rasanya beberapa jam terlepas dari pembahasan hiruk pikuknya berita korupsi di negara ini.

Buku yang ditampilkan cukup menarik. Meski tidak membahas seluruh budaya yang ada di daerah ini (karena hanya lima buku), tetapi rasanya di sana kita serasa berkaitan satu dengan yang lain. Ketika Watni Marpaung mempresentasikan bukunya tentang Tanjungbalai, maka dia tidak terlepas membahas penduduk Simalungun, Tapanuli, Karo, Mandailing dan berbagai suku lain.

Berbagai suku di Sumatera Utara sudah kawin-mawin dengan suku-suku di hampir seluruh wilayah ini. Hal ini mampu membangkitkan perasaan saya sebagai warga Sumatera Utara. “Kami berasal dari Tapanuli, tetapi sudah beberapa turunan tinggal di Tanjungbalai,ujar Watni.

Bedah buku seperti ini memberikan pemahaman asal usul, budaya, agama, adat serta potensi daerahnya. Bahkan peserta juga disuguhi dengan potensi obat-obat herbal yang banyak tumbuh di daerah ini, yakni Sambiloto. Melalui bedah buku seperti ini, peserta sedikitnya akan mendengar dan memahami secara umum budaya suku-suku di luar sukunya sendiri.

Sebuah pembelajaran berinteraksi dengan sesama warga Sumatera Utara—memahami perbedaan dan merasakannya sebagai sebuah kekayaan. Saya berfikir lebih jauh, andaikata bedah buku dan diskusi seperti ini bisa dikembangkan melibatkan lebih banyak masyarakat dan meningkatkan frekuensinya, alangkah indahnya provinsi ini.

Patut menjadi catatan, bahwa bedah lima buku berlangsung kurang dari  5 jam. Waktu memang menjadi pembatas untuk mendiskusikan beberapa hal yang memerlukan pembahasan secara lebih mendalam. Bayangkan, sebuah buku dipresentasi oleh penulisnya dalam waktu 15 menit, kemudian dibahas dua puluh menit dan kemudian dilakukan diskusi.

Terlepas dari soal di atas, hal menggembirakan adalah antusias para undangan yang terdiri dari para penulis, peminat buku, peminat perpustakaan, tokoh agama, sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara itu. Ternyata minat peserta atas pembahasan sejarah dan budayanya cukup tinggi.

Akibatnya, permintaan tambahan waktu dan dalam setiap sesi tak bisa dihindari. Bahkan peserta tidak kebagian waktu bertanya. “Waktunya habis dan kita masih membahas beberapa buku lagi,”demikian pembawa acara senantiasa mengingatkan.

Banyak kritik yang dilontarkan kepada para penulis. Diantaranya soal desain, isi dan judul, editing yang belum dilakukan secara benar.

Ada hal yang cukup lucu. Semua buku didesain sendiri oleh penulisnya. Penulisnya merangkap disainer baik sampul maupun isinya. Mungkin juga karena mahalnya biaya desain.

Padahal, menurut Ali Murthado, sampul sangat menentukan sebuah buku agar diminati pembaca. ”Meski isinya bagus, tetapi kalau desain sampulnya tidak menarik, maka pembaca tidak akan tertarik,”ujarnya saat tampil sebagai pembahas buku Ramadhan di Hatiku.

Para pembahas dan peserta banyak mengritik kaidah-kaidah penulisan buku. Mulai dari judul yang belum mencerminkan isi buku. ”Buku ini bukan buku sejarah, karena sejarahnya hanya satu halaman dari sekian halaman buku,”ujar salah seorang dosen sejarah dari sebuah perguruan tinggi, saat mendiskusikan buku Mutiara Kerang Tanjung Balai Asahan: Mengungkap Sejarah Asal Usul Nama, Kesultanan, Adat Istiadat, Tradisi, Makanan Daerah, Kesenian, Pendidikan dan Sosial Budaya.

Cuma banyak hal-hal yang masih terlupa oleh penulis. Ada buku yang dikritik karena alpa menuliskan sumber tulisan, padahal penggalan kisah yang ditulisnya besumber dari tulisan orang lain. ”Kita bisa bingung nantinya, apakah kisah itu sudah ditulis orang lain atau baru pertama kali ditulis,”ujar seorang ahli sejarah dari sebuah perguruan tinggi di Medan.

Mendengar kritikan itu para penulispun tidak mau kalah. ”Saya memang belum penulis profesional, tetapi kalau tidak sekarang dimulai, kapan lagi tulisan saya bisa dinikmati pembaca,”ujar Datuk OK. Abdul Hamid, penulis buku Langkat Mendai, Tuah berseri.

Tulis, cetak, terbitkan dulu, soal kekurangan bisa diperbaiki. Demikian kira-kira pendapat sebagian besar penulis yang tampil kali ini. ”Kritik itu akan mendorong kami untuk memperbaiki penerbitan selanjutnya,”ujar kelima penulis menghargai semua kritikan para peserta dan pembahas.

Terlepas dari semua kekurangannya, penerbitan buku dan bedah buku yang disponsori oleh Baperasda ini diharapkan memberi dorongan para penulis menerbitkan buku dengan konten lokal yang ditulis penulis daerah ini. . “Kita memberi insentif kepada penulis dan biaya cetaknya,”ujar Chandra Silalahi menjelaskan bentuk dukungan yang dilakukan lembaganya.

Syawal Pasaribu, penulis buku Adat dan Budaya Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah/Sibolga, dalam kesempatan itu, mengaku tidak mungkin menerbitkan bukunya tanpa bantuan Baperasda. Bukunya sudah selesai dua tahun lalu, tetapi dia kesulitan mencai penerbit dan biaya mencetak bukunya.

Menurutnya belum banyak pihak yang mau mendukung penerbitan buku-buku konten lokal, apalagi budaya atau sejarah. Dia mengaku pergi kesana kemari meminta bantuan untuk menerbitkan dan mencetak bukunya. “Padahal, sebagai penulis, saya tidak memiliki cukup uang untuk biaya penerbitan dan cetaknya,” ujar Syawal.

Lima buku yang sudah dibedah itu sudah berada di tangan para peserta. Kisah tentang buku dan diskusi tersebut akan menyita sedikit waktu di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Ribuan buku akan dipajang di rak-rak buku perpustakaan yang terdapat di berbagai kota yang siap disantap para pengunjung perpustakaan atau sebagian dibagikan kepada masyarakat umum.

Bedah buku semacam ini akan memberikan dorongan kepada Pemda-pemda di seluruh provinsi ini untuk memperhatikan karya-karya penduduk yang selama ini terdokumentasi belum dalam bentuk buku. Usaha seperti ini akan mendongkrak jumlah buku yang siap saji bagi masyarakat yang saat ini masih sangat rendah. Memang, harus diakui bedah buku ini menambah jumlah buku yang belum signifikan, mengingat produksi buku secara nasional  yang cukup rendah. Meski jumlah penduduk kita 250 juta, setiap tahun buku yang diterbitkan baru mencapai 10.000 judul. Sekadar untuk perbandingan, Vietnam setiap tahun menerbitkan 15. 000 judul buku, Jepang 60.000 judul, China 140.000 judul buku pertahun.

Semoga usaha-usaha seperti ini bisa terus dilanjutkan di tahun mendatang dan mampu merangsang para penulis daerah ini menulis karya-karya dengan konten lokal yang akan memperkaya warisan budaya yang terdokumentasi dan memperkaya khasanah perbukuan di daerah ini.

Artikel ini dimuat di Edisi Cetak Harian Jurnal Medan, 30 Juli 2010.

Tidak ada komentar: