My 500 Words

Kamis, 18 Juli 2013

Belajar dari 47 Tahun Majalah Sastra Horison (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Juli 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Majalah Horison telah berusia 47 Tahun. Kurun waktu yang tidak singkat, sebuah perjuangan media yang memerlukan dedikasi yang tulus, idealisme dan kreativitas pengelolanya.

Pantas kita acungkan jempol, Horison bisa mempertahankan usia hingga 47 tahun melalui penampilannya unik, pembaharusan terus menerus terhadap isi agar menarik bagi pembaca, yang menuntut pengelola yang idealis, cerdas, kreatif serta semangat yang tinggi.Horison menjadi gerbang bagi saya, dan jutaan rakyat Indonesia memahami perkembangan penulis-penulis dan karya sastra di negeri ini.

Kini, di usianya ke 47 Horison terus berkibar dan menjadi icon majalah sastra di negeri ini.Sebuah pelajaran berharga bagi para sastrawan di provinsi Sumatera Utara, berpenduduk hampir sama dengan Negara Kamboja ini. 

Majalah Penjaga Karakter Indonesia

Membaca Horison edisi Juli 2013 menyiratkan bulan yang istimewa.Di sampul depan bermotif kain batik Madura, tertulis Horison (warna hitam), majalah sastra (warna putih), angka 47 (merah), di bawah angka empat tertulis sejak Juli 1966 (tahun berdirinya majalah) dan dibawah angka tujuh tertulis tahun (warna hitam).

Bukan hanya bangga karena bahasa yang digunakan banyak membantu saya belajar bahasa yang baik atau membaca artikel-artikel, cerpen dan puisi yang memotivasi, tetapi saya lebih bangga lagi, karena bulan Juli 2013, Horison menampilkan cerpen berjudul Golok, Karya Bokor Hutasuhut, pria kelahiran Medan, 2 Juni 1934. Golok adalah karya Bokor yang Horison mengangkat karya-karya putra-putri terbaik dari penulis-penulis di seluruh Indonesia.

Bokor adalah seorang penulis cerpen dan novel terkenal dari Sumatera Utara dan karyanya dibukukan dalam Datang Malam, Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, Pantai Barat.

Desain majalah ini juga menampilkan karakter daerah yang muncul setiap bulan. Khusus untuk edisi Juli, keistimewaan lainnya adalah kontekstualitas isi majalah.Bulan Juli dimana mayoritas bangsa ini sedang menjalankan ibadah puasa, mengisi sebanyak 14 halaman edisi kali ini.Majalah ini mengakomodasi ciri khas Indonesia yang lain. 

Berbeda dengan majalah berita yang memiliki pasar yang lebih luas, majalah bulanan Horison memiliki sasaran pembaca sastrawan, peminat sastra, dan masyarakat umum.

Pendiri dan Penerus yang Bersemangat

Penerbitan Juli 2013 mampu memberi kisah keteladanan yang menarik dari Majalah ini.

Sebuah ungkapan yang membanggakan, tanpa mengundang keangkuhan.“Sudah 47 tahun. Ah tidak. Dengan rendah hati kami ingin mengatakan: baru 47 tahun…..dan itu hanya mungkin berkat harapan, dcita-cita, semangat dan doa dan dukungan Anda semua”, demikian bunyi ungkapan satu alinea di sampul depan bagian dalam majalah Horison edisi bulan Juli 2013. 

Sebagai peminat sastra dan sekali-sekali membaca majalah ini ketika jadi mahasiswa di erah awal 80 hingga pertengahan 80-an di Jawa, usia 47 tahun majalah ini memunculkan rasa bangga tersendiri. 

Ternyata bangsa ini masih memiliki anak-anak terbaiknya yang berjuang sedemikian lamanya mengelola majalah sastra bergengsi dan memegang teguh idealisme, jauh dari hingar bingar iklan.Saya tidak melihat sebuah iklanpun di majalah ini.Anehnya, mereka mampu melebihi kemampuan terbit majalah-majalah berbau bisnis, yang usianya bisa hanya seumur jagung.

Tidak mudah untuk sebuah majalah sastra eksis di negeri yang korup dan lebih mencintai materi.Banyak majalah sastra sesudah Horison muncul. Tetapi usia majalah-majalah itu hanya seumur jagung sampai beberapa tahun. Beberapa diantaranya yang eksis sekarang ini.Lentera, salah satu diantara majalah sastra yang saya kenal dan beberapa kali mengunjungi edisi onlinenya.

Tentu ucapan salut pantas diberikan kepada pendirinya.Semangat dan cita-cita mereka yang luhur saat mendirikan majalah ini. Empat nama pendiri selalu ditorehkan dalam setiap penerbitannya. Mereka adalah Mochtar Lubis (1922-2004), P.K Ojong (1920-1980), Sapardi Joko Darmono, Arif Budiman dan Taufik Ismail. Mereka adalah tokoh pers, sastra, kritikus yang sangat disegani di negeri ini.Majalah yang besar adalah menghormati para pendirinya.

Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Sanento Yuliman, Arwah Setiawan, Ali Audah Fuad Hassan, M.T. Zen, P.K. Ojong, Umar Kayam, dan D.S. Moeljanto pernah duduk dalam jajaran redaktur. Sampai sekarang salah satu dari mereka, Taufiq Ismail, aktif mengendalikan majalah Horison.

Majalah besar adalah bila memikirkan regenerasi yang berkesinambungan.Kini jajaran redaksinya terus bersemangat dengan regenerasi yang mantap. Pemimpin Redaksinya, Jamal D Rahman, kelahiran Lenteng Timur Sumenep Madura, 14 Desember 1967. Di jajaran Pemimpin Redaksi terdapat nama besar Taufik Ismail, kelahiran Bukit Tinggi, 25 Juni 1935. 

Generasi muda dan tua berkreasi bersama. Dua tokoh berbeda generasi itu bekerja bersama-sama turun di lapangan menjabat redaktur. Rekan-rekan mereka di jajaran redaktur terdapat nama-nama Fadli Zon, Cecep Syamsul Hari, Joni Ariadinata.Generasi muda yang siap membawa majalah ini kearah yang lebih baik.

Kreativitas Membangun Keunikan

Dari berbagai sumber, saya menyimpulkan majalah Horison memiliki keunikan yang tentunya membedakan dirinya dari majalah sejenis.

Rubrikasi terus diperbaharui.Kaki langit yang merupakan bacaan favorit saya, sebuah ruang apresiasi sastra bagi siswa SMU, madrasah, aliah dan pesantren muncul sejak November 1996.Ruang apresiasi itu berbentuk suplemen atau sisipan dengan jumlah halaman lebih banyak daripada jumlah halaman isi majalah.

Hal unik dalam pengembangan rubrikasi adalah menampilkan lembaran Mastera setiap tiga bulan sekali yang memuat karya sastra pilihan dari tiga negara ASEAN.Tampilan ini sudah dimulai sejak 1999.

Majalah Horison mengamati dan memberi apresiasi atas karya-karya agung negeri ini.Horison misalnya memberikan hadiah karangan terbaik guna memajukan kehidupan sastra di Indonesia. Horison memberikan hadiah kepada Film remaja paling popular di Indonesia, “Ada Apa dengan Cinta” (2002) karena mampu mendorong para siswa membaca karya sastra (puisi).

Para redaktur majalah ini aktif memberikan ceramah-ceramah tentang sastra.Taufik Ismail misalnya, dalam berbagai kesempatan memberikan semangat kepada para generasi muda agar mencintai sastra.18 Juli 2013 lalu misalnya.Beliau tampil di Batang, Jawa Tengah.

Sejak tahun 2000, Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Horison aktif keliling Indonesia dalam rangka pelatihan sastra untuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia SD, SMP, dan SMA.Aktif pula keliling Indonesia dalam rangka mendorong minat baca, menulis, dan apresiasi sastra di kalangan siswa. Dia telah mengunjungi sekitar 200 sekolah di 160 kota di seluruh provinsi kecuali Maluku dan Papua, dalam rangka acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

Tak banyak majalah sastra seaktif Horison mendekatkan sekaligus mencerdaskan para pembacanya, menjaring para penulis-penulis baru, mengapresiasi mereka, mencerdaskan pelanggan yang baru tentunya. Di usia 47, Horison yang tidak hanya diam, menggerutu dan menyalahkan kondisi negeri ini yang memang masih kurang memberikan perhatian pada dunia sastra.

Semoga Horison menjadi inspirasi bagi para sastrawan di daerahku untuk mengembangkan majalah sastra di daerahku Sumatera Utara—yang dikenal menghasilkan sastrawan hebat di masa lalu. Kapan Sumut punya masalah sastra yang bergengsi? Sebuah tantangan buat para sastrawan dan bagi rakyat di provinsi ini.

Selamat Ulang Tahun ke-47 buat Majalah Horison. ***

Penulis adalah kolumnis, penulis biografi, peminat sastra tinggal di Medan

Tidak ada komentar: