My 500 Words

Kamis, 18 Juli 2013

Belajar dari 47 Tahun Majalah Sastra Horison (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Juli 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Majalah Horison telah berusia 47 Tahun. Kurun waktu yang tidak singkat, sebuah perjuangan media yang memerlukan dedikasi yang tulus, idealisme dan kreativitas pengelolanya.

Pantas kita acungkan jempol, Horison bisa mempertahankan usia hingga 47 tahun melalui penampilannya unik, pembaharusan terus menerus terhadap isi agar menarik bagi pembaca, yang menuntut pengelola yang idealis, cerdas, kreatif serta semangat yang tinggi.Horison menjadi gerbang bagi saya, dan jutaan rakyat Indonesia memahami perkembangan penulis-penulis dan karya sastra di negeri ini.

Kini, di usianya ke 47 Horison terus berkibar dan menjadi icon majalah sastra di negeri ini.Sebuah pelajaran berharga bagi para sastrawan di provinsi Sumatera Utara, berpenduduk hampir sama dengan Negara Kamboja ini. 

Majalah Penjaga Karakter Indonesia

Membaca Horison edisi Juli 2013 menyiratkan bulan yang istimewa.Di sampul depan bermotif kain batik Madura, tertulis Horison (warna hitam), majalah sastra (warna putih), angka 47 (merah), di bawah angka empat tertulis sejak Juli 1966 (tahun berdirinya majalah) dan dibawah angka tujuh tertulis tahun (warna hitam).

Bukan hanya bangga karena bahasa yang digunakan banyak membantu saya belajar bahasa yang baik atau membaca artikel-artikel, cerpen dan puisi yang memotivasi, tetapi saya lebih bangga lagi, karena bulan Juli 2013, Horison menampilkan cerpen berjudul Golok, Karya Bokor Hutasuhut, pria kelahiran Medan, 2 Juni 1934. Golok adalah karya Bokor yang Horison mengangkat karya-karya putra-putri terbaik dari penulis-penulis di seluruh Indonesia.

Bokor adalah seorang penulis cerpen dan novel terkenal dari Sumatera Utara dan karyanya dibukukan dalam Datang Malam, Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, Pantai Barat.

Desain majalah ini juga menampilkan karakter daerah yang muncul setiap bulan. Khusus untuk edisi Juli, keistimewaan lainnya adalah kontekstualitas isi majalah.Bulan Juli dimana mayoritas bangsa ini sedang menjalankan ibadah puasa, mengisi sebanyak 14 halaman edisi kali ini.Majalah ini mengakomodasi ciri khas Indonesia yang lain. 

Berbeda dengan majalah berita yang memiliki pasar yang lebih luas, majalah bulanan Horison memiliki sasaran pembaca sastrawan, peminat sastra, dan masyarakat umum.

Pendiri dan Penerus yang Bersemangat

Penerbitan Juli 2013 mampu memberi kisah keteladanan yang menarik dari Majalah ini.

Sebuah ungkapan yang membanggakan, tanpa mengundang keangkuhan.“Sudah 47 tahun. Ah tidak. Dengan rendah hati kami ingin mengatakan: baru 47 tahun…..dan itu hanya mungkin berkat harapan, dcita-cita, semangat dan doa dan dukungan Anda semua”, demikian bunyi ungkapan satu alinea di sampul depan bagian dalam majalah Horison edisi bulan Juli 2013. 

Sebagai peminat sastra dan sekali-sekali membaca majalah ini ketika jadi mahasiswa di erah awal 80 hingga pertengahan 80-an di Jawa, usia 47 tahun majalah ini memunculkan rasa bangga tersendiri. 

Ternyata bangsa ini masih memiliki anak-anak terbaiknya yang berjuang sedemikian lamanya mengelola majalah sastra bergengsi dan memegang teguh idealisme, jauh dari hingar bingar iklan.Saya tidak melihat sebuah iklanpun di majalah ini.Anehnya, mereka mampu melebihi kemampuan terbit majalah-majalah berbau bisnis, yang usianya bisa hanya seumur jagung.

Tidak mudah untuk sebuah majalah sastra eksis di negeri yang korup dan lebih mencintai materi.Banyak majalah sastra sesudah Horison muncul. Tetapi usia majalah-majalah itu hanya seumur jagung sampai beberapa tahun. Beberapa diantaranya yang eksis sekarang ini.Lentera, salah satu diantara majalah sastra yang saya kenal dan beberapa kali mengunjungi edisi onlinenya.

Tentu ucapan salut pantas diberikan kepada pendirinya.Semangat dan cita-cita mereka yang luhur saat mendirikan majalah ini. Empat nama pendiri selalu ditorehkan dalam setiap penerbitannya. Mereka adalah Mochtar Lubis (1922-2004), P.K Ojong (1920-1980), Sapardi Joko Darmono, Arif Budiman dan Taufik Ismail. Mereka adalah tokoh pers, sastra, kritikus yang sangat disegani di negeri ini.Majalah yang besar adalah menghormati para pendirinya.

Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Sanento Yuliman, Arwah Setiawan, Ali Audah Fuad Hassan, M.T. Zen, P.K. Ojong, Umar Kayam, dan D.S. Moeljanto pernah duduk dalam jajaran redaktur. Sampai sekarang salah satu dari mereka, Taufiq Ismail, aktif mengendalikan majalah Horison.

Majalah besar adalah bila memikirkan regenerasi yang berkesinambungan.Kini jajaran redaksinya terus bersemangat dengan regenerasi yang mantap. Pemimpin Redaksinya, Jamal D Rahman, kelahiran Lenteng Timur Sumenep Madura, 14 Desember 1967. Di jajaran Pemimpin Redaksi terdapat nama besar Taufik Ismail, kelahiran Bukit Tinggi, 25 Juni 1935. 

Generasi muda dan tua berkreasi bersama. Dua tokoh berbeda generasi itu bekerja bersama-sama turun di lapangan menjabat redaktur. Rekan-rekan mereka di jajaran redaktur terdapat nama-nama Fadli Zon, Cecep Syamsul Hari, Joni Ariadinata.Generasi muda yang siap membawa majalah ini kearah yang lebih baik.

Kreativitas Membangun Keunikan

Dari berbagai sumber, saya menyimpulkan majalah Horison memiliki keunikan yang tentunya membedakan dirinya dari majalah sejenis.

Rubrikasi terus diperbaharui.Kaki langit yang merupakan bacaan favorit saya, sebuah ruang apresiasi sastra bagi siswa SMU, madrasah, aliah dan pesantren muncul sejak November 1996.Ruang apresiasi itu berbentuk suplemen atau sisipan dengan jumlah halaman lebih banyak daripada jumlah halaman isi majalah.

Hal unik dalam pengembangan rubrikasi adalah menampilkan lembaran Mastera setiap tiga bulan sekali yang memuat karya sastra pilihan dari tiga negara ASEAN.Tampilan ini sudah dimulai sejak 1999.

Majalah Horison mengamati dan memberi apresiasi atas karya-karya agung negeri ini.Horison misalnya memberikan hadiah karangan terbaik guna memajukan kehidupan sastra di Indonesia. Horison memberikan hadiah kepada Film remaja paling popular di Indonesia, “Ada Apa dengan Cinta” (2002) karena mampu mendorong para siswa membaca karya sastra (puisi).

Para redaktur majalah ini aktif memberikan ceramah-ceramah tentang sastra.Taufik Ismail misalnya, dalam berbagai kesempatan memberikan semangat kepada para generasi muda agar mencintai sastra.18 Juli 2013 lalu misalnya.Beliau tampil di Batang, Jawa Tengah.

Sejak tahun 2000, Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Horison aktif keliling Indonesia dalam rangka pelatihan sastra untuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia SD, SMP, dan SMA.Aktif pula keliling Indonesia dalam rangka mendorong minat baca, menulis, dan apresiasi sastra di kalangan siswa. Dia telah mengunjungi sekitar 200 sekolah di 160 kota di seluruh provinsi kecuali Maluku dan Papua, dalam rangka acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).

Tak banyak majalah sastra seaktif Horison mendekatkan sekaligus mencerdaskan para pembacanya, menjaring para penulis-penulis baru, mengapresiasi mereka, mencerdaskan pelanggan yang baru tentunya. Di usia 47, Horison yang tidak hanya diam, menggerutu dan menyalahkan kondisi negeri ini yang memang masih kurang memberikan perhatian pada dunia sastra.

Semoga Horison menjadi inspirasi bagi para sastrawan di daerahku untuk mengembangkan majalah sastra di daerahku Sumatera Utara—yang dikenal menghasilkan sastrawan hebat di masa lalu. Kapan Sumut punya masalah sastra yang bergengsi? Sebuah tantangan buat para sastrawan dan bagi rakyat di provinsi ini.

Selamat Ulang Tahun ke-47 buat Majalah Horison. ***

Penulis adalah kolumnis, penulis biografi, peminat sastra tinggal di Medan

Rabu, 17 Juli 2013

Mainkan Hati Anda

Artikel ini merupakan file lama--1,5 tahun yang lalu dan kutulis saat sedih di tengah malam, sendirian membayangkan putriku sakit di rumah sakit, 2000 kilometer jauhnya dari rumah. 

(Oleh Jannerson Girsang: Friday, September 16, 2011 at 1:24am) ·

16 September 2012, saat aku masih kesulitan keuangan dan tugas-tugas di gereja menumpuk. Clara, Anakku yang terbaring di rumah sakit, di Depok, 2000 kilometer dari rumahku! 

Aku bergulat dalam pikiran antara ingin menjenguknya, tetapi tak punya rencana untuk menjenguknya, karena uang untuk ongkos pesawat tidak tersedia. 

Ada perasaan berontak. Kenapa Tuhan?. Bercampur perasaan bersalah karena tidak mampu menghasilkan uang yang cukup untuk sekedar menjenguk anak yang sakit di Jakarta. Tengah malam, Medan-Jakarta terlalu jauh dalam jangkauanku.  

Sebuah buku:  sudah dari tadi kubaca dan tetap kupegang, sambil mengamati laptopku yang sudah berusia 5 tahun. 
 
Aku berbisik dalam hati kepada anakku yang mungkin sudah pulas tidurnya. “Mungkin tengah malam (12.12) ini kau sudah tidur. Tetapi besok pagi, kau pasti bangun, membuka mata, lantas pegang handphone, serta membuka Facebook. Bapak tidak bisa bertemu muka denganmu sayang. Medan-Jakarta terlalu jauh”.

Sambil berlinang air mata, aku melanjutkan menuliskan apa yang kudapat dari buku itu. ”Tapi Tuhan memberi kita berkat, karena malam ini Bapak diberi kesempatan menikmati kata-kata bijak tentang kehidupan dari Eyang Titik Puspa, yang bapak kutip dari buku biografinya. Titik Puspa, A Legendary of Diva. Kau bisa nikmati sebelum sarapan pagi besok”.

Ini dia kue lezat Eyang yang sangat Bapak kagumi dan nikmatilah!

Tuhan mengatur irama hidup kita. ”Bagi saya, perjalanan hidup ibarat musik, yakni permainan pola irama dengan Tuhan sebagai arrangernya. Kita seperti melodi yang berkejaran lincah dan bisa menghadirkan keindahan saat nadanya sedang dinamis dan riang, atau saat iramanya sendu dan melankolis. Sebagai pencipta jalan hidup, saya yakin Tuhan menghendaki kita memberi apresiasi pada irama hidup apapun yang Dia berikan”.

Siapapun pernah mengalami masa sulit. “Dan believe it or not, sebagai manusia, kita diciptakan kuat sekali. Saya pernah nyaris mati karena sakit dan kelaparan, pernah menikah, bercerai, berjuang membesarkan anak, difitnah, menikah lagi, bercerai lagi, ditinggal wafat suami. Hidup dan karier saya syarat dengan jatuh bangun. Jika dibuat daftar susahnya mungkin pantas untuk alasan gantung diri. Ha.ha.ha!,” kata Titik Puspa. 

Penderitaan fisik itu kemudian berbuah pemahaman hidup dan mampu menghitung berkat. “Tadi pagi saya bangun dengan segar. Tubuh saya enak diajak bergerak. Sekretaris saya masih banyak menerima telepon dari banyak pihak mengajak saya bekerja sama. Perancang busana saya mengabarkan busana impian saya sudah jadi dan indah sekali. Cucu saya ingin bertemu dan mengobrol soal pacarnya. Pak Presiden mengundang saya nyanyi di istana. Dan permintaan naik pentas sampai ke luar negeri tak pernah berhenti”.

Tak guna mengingat kesedihan.  “Ah, ya!. Itu apa coba namanya kalau bukan anugerah. Saya memiliki kehidupan indah. Sia-sia saya mengingat segala kesedihan saya, karena di depan saya terbentang adalah hikmah yang diberikan oleh Tuhan selalu lebih indah. Dan saya baru sadari keindahan itu masih saya rasakan sekarang, saat usia saya 70 tahun. Sebuah angka yang tidak main-main”.

Mainkan hati anda. Tubuh, harta dan segala yang bersifat fisik suatu saat akan hilang keindahannya, tetap hati yang terus berbicara mendorong pikiran untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat. ”Saya bercermin dengan seksama. Menyaksikan keriput yang girang bermain di wajah saya. Alhamdullillah, saya masih hobi berdandan pakai bedak dan blush on sehingga saya masih asyik main petak umpet dengan keriput. Tubuh saya, walau sudah kendur masih lincah diajak sibuk. Masih bisa bergerak cari penghasilan, hingga saya tak menyusahkan anak dan cucu untuk menghidupi diri sendiri”.

Menasehati kita semua bahwa hidup penuh dengan kesadaran dan menghargai hidup itu sendir. “Tuhan mahabesar. Sederetan karya saya yang anda kenal hanya sebagian kecil dari anugerah yang melimpah yang diguyurkan Tuhan pada saya. ...saya ingin berbagi dengan Anda bahwa rentang hidup yang singkat yang diberikan Tuhan bisa menjadi sangat bermakna jika anda menjadi umat yang penuh kesadaran dan apresiatif pada hidup”.

Mainkanlah hati Anda! (Dikutip dari: Titik Puspa: A Legendary of Diva, Albertiene Endah).

Selasa, 09 Juli 2013

Kunci Pelayanan Publik Prima Kemajuan Teknologi, Sistem dan Karakter Baik (Harian Analisa, 9 Juli 2013)


Oleh: Jannerson Girsang

Membayar Pajak Kenderaan Bermotor melalu calo?. Oh, nggak zamannya lagi di abad ke-21 ini!.
Dari mulai mengambil daftar antrian, hingga pencetakan STNK baru, hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Sebuah sukses pelayanan yang memadukan kemajuan teknologi, sistem dan petugas bekarakter baik. 

Membayar Pajak Kenderaan Kurang dari Lima Menit

Pengalaman  saya yang sangat menyenangkan ketika membayar pajak sepeda motor di pelayanan Samsat di Sun Plaza, 3 Juli 2013 lalu adalah bukti bahwa memadukan kemajuan teknologi, dijalankan dengan system yang benar oleh petugas berkarakter  baik akan menghasilkan pelayanan publik yang prima.  

Pagi itu, saya memasuki ruang pelayanan Samsat Sun Plaza, di Jalan Zainul Arifin. Saya memencet mesin yang mengeluarkan kartu antrian di sebelah kiri pintu masuk. Secara otomatis mesin itu mengeluarkan secarik kertas, nomor antrian A-062 dan tertera tanda waktu pukul 10:27.
Hanya beberapa detik sesudah saya mengambil kertas antrian, nomor tersebut sudah tertera di layar di atas meja pelayanan dan petugas memanggil nomor dimaksud.

Pak Sitorus, petugas dari kepolisian  yang melayani saya dengan ramah. Beliau meminta KTP dan  STNK asli dan dengan senang hati saya menyerahkan persyaratan yang diminta.
Sambil mengamati KTP saya, beliau berujar: “Masih tinggal di Kopi ya Pak Girsang,”katanya. Saya kira beliau berseloroh, karena saya tidak mengenal beliau. Begitulah ramahnya seorang polisi di unit pelayanan Samsat.

Saya tidak memperpanjang pembicaraan karena memang buru-buru mau ke kantor dan hanya menjawab seadanya: “Ya masih Pak”.

Dengan senyum Pak Sitorus langsung memasukkan data-data KTP dan STNK lama.Tak sampai satu menit, saya disuruh ke petugas yang lain dan pindah meja. 

Di meja berikutnya, di sebelah pak Sitorus, saya mendapat pelayanan seorang ibu yang sangat ramah. Perempuan itu  memberi saya secarik kertas dimana tertera jumlah uang yang harus saya bayar. Kemudian beliau menunjukkan meja di sebelahnya, dimana seorang perempuan yang cantik dan ramah yang akan merima pembayaran.  

Sambil bertanya apakah hanya membayar sejumlah yang tertera di secarik kertas itu, saya merogoh saku untuk mengambil uang sebanyak yang diperlukan. Saya membayar pajak sepeda motor dua tahun berarti kena denda. Jumlah itu sangat jauh di bawah perkiraan saya sebelumnya, andaikan saya menuruti membayar melalui jasa calo.

Untuk memperoleh STNK saya berpindah ke sebelahnya, seorang perempuan berkerudung yang asyik memprint STNK-STNK. Kurang dari satu menit, beliau memanggil nama saya. Saya angkat tangan dan beliau menyerahkan STNK sepeda motor saya yang baru.

Saya melihat jam: 10:31, saya sudah menyelesaikan urusan pembayaran pajak kenderaan bermotor. Kurang dari lima menit. Mulai dari memperoleh antrian, hingga selesai. Pengalaman luar biasa bagi saya di Negara yang oleh banyak pihak mengeluhkan buruknya pelayanan umum. .  

Memadukan Kemajuan Teknologi dan Karakter Baik  

Pengalaman ini saya tuliskan agar menjadi bahan masukan bagi seluruh pemilik kenderaan bermotor yang belum mengetahuinya. Betapa system pelayanan umum yang telah menerapkan kemajuan teknologi, system yang baik dan petugas berkarakter baik akan menghasilkan pelayanan prima.    

Terima kasih untuk system pelayanan yang dibangun dengan teknologi di  Samsat  unit Sun Plaza. Terima kasih juga untuk karakter yang baik dari para petugas Samsat di sana, serta Samsat yang telah menciptakan system yang baik.

Masyarakat sungguh-sungguh memerlukan informasi pelayanan umum yang benar di abad teknologi ini. Masyarakat harus terdidik memperoleh informasi langsung, bukan percaya rumor. Teknologi dan karakter petugas yang benar mendidik kita bepikir dan bertindak benar.  

Perpaduan keduanya, selain memberi citra yang baik bagi pelayanan Samsat, informasi seperti ini juga memberi keuntungan bagi kita, yakni tidak menggunakan jasa tambahan. Pelayan dihargai masyarakat, karena mereka merasa diuntungkan.   

Sebelumnya, saya sangat terkecoh dengan informasi-informasi yang sering menyesatkan. Tahun lalu, untuk membayar STNK sepeda motor saya (normal saja, tanpa ada keterlambatan), calo menawarkan pembayaran pajaknya sebanyak Rp 300 ribu.

Banyak alasan yang dia sebutkan untuk sampai kepada jumlah itu. Padahal kalau diurus sendiri paling-paling Rp 160.000. Singgah sebentar, sambil menikmati ruang ber-AC,  saya bisa menghemat Rp 140.000.

Kita pantas bersykur atas penerapan teknologi dan para petugas yang ramah dan baik dalam pelayanan pembayaran pajak kenderaan bermotor. Dulu, pembayaran pajak kenderaan bermotor begitu rumit. Antri berjam-jam.

Para pelaku pelayanan prima seperti ini butuh kisah-kisah dari para pengguna. Kita sangat bersyukur kepada kemajuan karakter para pelayan di unit pembayaran pajak kenderaan bermotor seperti di loket Sun Plaza. Teladan ini penting untuk disebar di seluruh unit pelayanan yang ada di seluruh Indonesia.

Pemilik Kenderaan yang Kurang Peduli

Sayangnya, masih banyak orang seperti saya yang mewakili banyak pemilik kenderaan. Kurang memperhatikan informasi pelayanan Samsat secara benar.  Sebelumnya saya berpendapat membayar pajak kenderaan bermotor itu butuh waktu dan berbelit-belit.

Saya kurang memperhatikan penjelasan-penjelasan pihak Samsat yang selama ini sudah cukup gencar. Mungkin karena hanya membayar sekali setahun, jadi kurang peduli, akhirnya tidak tau. Masih menggunakan calo, padahal ini sudah abad ke-21.

Tahun lalu, ketika saya menghubungi calo dan  meminta uang Rp 300 ribu (satu tahun, tanpa denda), jauh di atas pembayaran yang seharusnya, pajak sepeda motor saya hanya sekitar Rp 160.000. Selisih yang besar tentunya bagi saya.

Karena kesal, saya biarkan saja tidak dibayar dan akhirnya harus membayar denda. Padahal, kalau saya bayar rutin per tahun, jumlah yang saya bayar tidak akan sebesar jumlah tahun ini.       

Partisipasi Pemilik Kenderaan

Pengalaman saya yang sangat memuaskan di unit pelayanan Samsat hanyalah sebuah kisah sukses pelayanan umum di negeri ini. Andaikata pelayanan umum lainnya melakukan standar-standar yang diterapkan Samsat Sun Plaza, alangkah indahnya hidup di negeri ini.

Apa yang saya lakukan ini, tentunya hanya hal kecil, tetapi sesuatu yang real terjadi di lapangan. Sebagai bangsa yang mencintai negeri ini, mari kita kisahkan kisah sukses pelayanan publik yang lain. Sehingga masyarakat kita sendiri mengetahui tidak hanya korupsi yang terjadi di negeri ini. Masih banyak para pelayan masyarakat yang baik.

Kisahkanlah pengalaman baik, sehingga kita akan menjadi bangsa yang besar. Membuka dan memberitahukan pengalaman baik kepada masyarakat luas adalah salah satu tugas kita sebagai masyarakat pengguna jasa itu.

Sementara itu, pemerintah perlu memfasilitasi masyarakat untuk memberitahukan pengalaman-pengalaman baik mereka atas pelayanan pemerintah selama ini, sehingga mempersempit ruang bagi para calo.

Individu-individu dan lembaga-lembaga kemasyarakat yang ada perlu dipacu memberitahu pelayanan prima seperti ini. Informasi yang diungkapkan masyarakat akan lebih dipercaya, dari sekedar iklan layanan masyarakat yang banyak dipublikasikan oleh pemerintah. Dampak yang lebih luas, masyarakat internasionalpun akan percaya bagi pelayanan kita yang baik.

Pengalaman saya di atas salah satu contoh pelayanan umum yang prima, bagaimana dengan imigrasi, pelayanan pajak, pertanahan, izin-izin perusahaan?. Kemajuan teknologi dan karakter petugasnya menjadi kunci pelayanan prima. Andaikata pelayanan umum meniru Samsat Sun Plaza, citra negeri ini akan sangat baik di mata warga dan mereka yang datang ke negeri ini.

Terima kasih Samsat Sun Plaza, pertahankan prestasimu!. Sebuah tantangan buat pelayanan umum lainnya yang masih berbelit-belit.  

Rabu, 03 Juli 2013

Haruki Yamamoto: I Miss You!

Oleh: Jannerson Girsang

Akhir 1980an saya kedatangan tamu seorang laki-laki Jepang dari Tenri, University, salah satu universitas di negeri matahari terbit itu. Bertubuh pendek, berkulit kuning, sangat sopan  dan cerdas. 

Selama beberapa hari dia tinggal di Mess Universitas Simalungun. Ketika itu saya menjabat sebagai Pelaksana Rektor Universitas itu, dan bisa mengusahakannya tinggal di mess dosen dengan enam kamar itu.  

Yang mengherankan dia tidak betah, karena katanya para dosen di sana bising. Berbincang keras-keras, dan yang lain memutas kaset dengan suara menembus dinding-dinding kamar, tanpa peduli teman sekitar sedang belajar. Dia  sudah konsentrasi belajar, dan akhirnya dia memilih tinggal di Siantar Hotel. Dia tidak mau gratis kalau suasana belajar tidak nyaman. 

Saya sangat mengagumi kesungguhan dan kegigihannya belajar. Setiap hari dia belajar bahasa Simalungun dari seorang dosen di sana. Dia belajar peninggalan nenek moyang Simalungun dari almarhum Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun. Semua pelajaran digarap dengan tekun dan menurut kedua orang tadi, Haruki Yamamoto sangat cerdas dan tekun. Hingga di akhir jadwal yang ditentukan dia dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. 

Dia sangat menghargai bantuan orang lain. Setelah masa studinya selesai dan hendak pulang ke Jepang, dia menghadiahi saya sebuah kotak kaca unik. Untuk teman-teman yang lain saya kira dia juga memberikan kenang-kenangan yang berkesan. 

Malam terakhir, kami ditraktirnya di Pongkalan Na Bolon—kedai nasi yang menyediakan makanan khas Simalungun, di dekat pajak Parluasan.  Pagi-pagi dia datang ke kantor dan memohon  agar saya menyediakan makanan khas Simalungun.  Saya menawarkan makanan “si pitu dai” (tujuh rasa). Dia setuju saja. Saya kemudian meminta pemilik Pongkalan Na Bolon menyediakan makanan yang saya pesan. Dia mengganti semua biaya untuk itu. Sebagai penghormatan dari kami, sebuah ulos Simalungun diberikan kepadanya. Dia senang sekali, sayang foto dokumentasinya sudah hilang. Yang jelas, dia memiliki kamera dan mengabadikan momen penting itu.

Itulah pertemuan kami yang terakhir dan hingga kini saya tidak pernah bertemu lagi. Saya mencoba searching di internet, dan saya menemukan namanya. Kini, Prof. Yamamoto Haruki, dari Tenri University menjadi  dosen tamu di Universitas Indonesia dengan mata kuliah   Animism and Japanese Culture. http://kwj-ui.com/en/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=30. Tapi, saya belum bisa menghubunginya, karena tidak ada alamat email ataupun telepon.

Semoga tulisan singkat ini dapat mempertemukan saya dengan Haruki Yamamoto. Bagi rekan-rekan, saya ingin sekali bantuannya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun kami tidak pernah bertemu. Ketika kami berpisah, saya baru memiliki satu putri berusia empat tahun, kini sudah berkeluarga. Bahkan putri saya yang keduapun sudah merencanakan pernikahannya tahun ini.

Saya  bisa dihubungi melalui email: girsangjannerson@gmail.com.