My 500 Words

Jumat, 03 Januari 2014

Medan, Kota Minim Taman (Harian Medan Bisnis, Rubrik Wacana, 2 Januari 2014)

Oleh: Jannerson Girsang

Kemana istirahat atau rekreasi paling murah dan bersahaja di kota? Mengunjungi taman-taman kota. Semua orang bisa masuk ke sana tanpa membayar, namun bisa menikmati suasana segar, membawa anak bermain bebas - keluar dari suasana sumpek di rumah kecil di perumnas atau kumuh.

Singgahlah sejenak, meluangkan waktu beristirahat di Taman A Yani, dekat Rumah Sakit Elizabeth. Rasakan sejenak udara segar di sana, lepaskan pandangan mata Anda ke taman di bawah pepohonan besar, rumput-rumput hijau yang terpelihara di bawahnya.

Berjalanlah ke pinggir Jalan Sudirman dan tataplah air mancur besar di persimpangan Jalan Sudirman-Jalan Imam Bonjol. Hiruk pikuk kendaraan terhalang batang pohon besar dan dedaunannya yang rindang. Taman itu seolah mampu menyerap asap kendaraan yang lewat - sebagian dari 2.708.511 unit kendaraan yang masih akan bertambah dengan kenaikan rata-rata 23,832% per tahun.

Luasnya taman hijau di lokasi itu membuat perasaan lega, apalagi dalam suasana suhu udara meningkat belakangan ini. Taman seperti ini menjadi alternatif tempat rekreasi gratis bagi penduduk Kota Medan. Sayangnya, selain taman di sekitar Jalan Sudirman itu kita hampir tidak menemukan taman yang sama di lokasi lain di kota ini.

Normalnya, seiring meningkatnya jumlah penduduk, seharusnya taman rekreasi bertambah, karena berkurangnya lahan terbuka akibat kebutuhan bangunan.

Kalau di zaman Belanda, pemerintah kolonial bisa membangun taman seperti Taman A Yani, menjalani abad 21, di kota yang menjalani usia 423 tahun ini, pemko mestinya memiliki political will membangun fasilitas taman yang memadai.

Sayangnya, taman sebagai sarana hiburan dan tempat rekreasi segar bagi masyarakat luas justru hampir dilupakan.

Taman di Perumnas

Pengalaman tinggal di perumnas (penulis tinggal di Perumnas Simalingkar), penduduk memerlukan tempat rekreasi. Namun, kebutuhan itu selalu kalah jika berhadapan dengan desakan kepentingan ekonomi atau kepentingan lain.

Mari kita telusuri beberapa lokasi seperti Perumnas Simalingkar, serta perumnas-perumnas lain seperti Helvetia dan Mandala. Penulis sedikit menyinggung Lapangan Merdeka, karena bagi penduduk seperti penulis lapangan itu punya sejarah tersendiri.

Perumnas Simalingkar, yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga, adalah contoh minimnya perhatian Pemko Medan memenuhi kebutuhan penduduk akan taman rekerasi. Kompleks ini, kini sama sekali tidak memiliki taman. Jangankan taman, lapangan terbuka pun hampir tidak ada lagi. Perubahan ini terjadi hanya dalam waktu 20 tahun.
Dulu di awal 90-an, sebelum pembangunan perumahan selesai, penduduk sempat menikmati tanah kosong seluas lapangan bola di tengah wilayah perumahan itu, persisnya di atas lahan ruko Simalingkar sekarang.

Saat itu penulis baru pindah ke wilayah tersebut. Sore sehabis pulang kerja, penulis bisa bergabung dengan anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua bermain bola. Keakraban di antara penduduk kampung demikian baik. Dua kesebelasan bisa dibentuk seketika di lapangan. Warga menikmati hiburan murah untuk melepas lelah sekaligus bercengkerama antara satu dengan yang lain.

Sebelum permainan olahraga dimulai, anak-anak kecil menggunakan lokasi itu untuk belajar naik sepeda, main alip cendong dengan memanfaatkan got yang terdapat di sekeliling lapangan. Selain sebagai tempat rekreasi, lapangan itu bisa menjadi tempat olahraga, mengasah bakat anak-anak, serta pertemuan informal bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Masa itu, menjelang acara 17 Agustusan dilaksanakan pertandingan-pertandingan antarwarga. Penduduk beramai-ramai di sekeliling lapangan menonton mereka bertanding. Penontonnya penduduk yang datang dari berbagai penjuru kompleks perumnas yang dihuni sekitar 8.000 kepala keluarga itu.

Sayangnya, beberapa tahun kemudian lapangan itu diubah menjadi kompleks pertokoan. Lokasi hiburan murah bagi penduduk lenyap begitu bunyi buldozer meratakan tanah dan diikuti pembangunan ruko di atasnya.

Kini, di lokasi tempat bermain bagi penduduk kompleks perumahan itu rumah toko (ruko) berdiri megah, ditambah lagi kegiatan pajak sore hingga malam. Tidak ada pengganti tempat bermain anak-anak dan pertemuan informal penduduk perumnas.

Kompleks perumahan yang dihuni puluhan ribu penduduk itu hanya ditutup oleh jalan, bangunan rumah, toko atau rumah ibadah. Hampir tidak ada taman untuk bermain atau rekreasi bagi warganya. Penduduk tinggal di rumah atau hanya bercengkerama dengan tetangga sebelah. Sangat minim ruangan publik di mana ratusan orang bisa saling tegur sapa, berolahraga, atau sekadar bermain bagi anak-anak.

Penduduk tentu tidak berwenang mempersoalkan lapangan seluas lapangan sepak bola yang dulunya dipakai sebagai taman rekreasi, apakah menurut master plan kota memang dulunya direncanakan untuk ruko. Tapi, pernah ada lapangan bola.

Hal yang sama bisa ditemukan di Perumnas Helvetia dan Mandala. Miskin taman. Anehnya, hal ini tidak hanya dijumpai pada lokasi di perumahan-perumahan baru, bahkan di pusat kota. Bersamaan masa kami masih bisa menikmati lapangan terbuka, Lapangan Merdeka jadi sebuah alternatif tempat rekreasi. Tempat ini mengingatkan penulis nyamannya sebuah taman rekreasi seperti di Alun-alun Kota Bandung atau Taman Monas Jakarta.

Pada Minggu pagi, karena lalu lintas masih lancar, dari rumah penulis lapangan ini bisa ditempuh hanya dalam waktu belasan menit. Sebelum mengikuti kebaktian di gereja, penulis biasa membawa anak-anak bercengkerama dan lari pagi, bertemu dan bercengkerama dengan ratusan orang di sana.

Persis seperti pengalaman di Pematangsiantar, menggunakan taman bunga sebagai tempat rekreasi dan olahraga pagi. Tapi, keindahan Lapangan Merdeka pun sudah terusik. Pinggiran lapangan yang dulunya bebas dari bangunan, kini dipagari tempat jualan.

Nuansa taman rekreasi di Lapangan Merdeka menjadi hilang, tertutup dengan restoran dan tempat jualan.

Taman di kota atau pinggiran kota setali tiga uang. Sama dengan lokasi tempat tinggal penulis, beberapa tahun kemudian suasana taman di tengah kota itu pun berubah. Lapangan Merdeka kini sudah disulap jadi Merdeka Walk, sebuah lokasi yang dijejali restoran kecil dan tempat jualan.

Tidak hanya itu, taman margasatwa (kebun binatang) kebanggaan penduduk Medan - taman dengan aneka binatang yang menarik bagi anak-anak sebagai hiburan - turut tergusur ke pinggiran kota yang sulit dijangkau. Tak sedikit mereka yang tinggal di Medan tidak tau lagi lokasi kebun binatang, selain karena minimnya promosi, lokasinya juga sulit dijangkau. Beda ketika masih di Kampung Baru.

Kota Medan, telah kehilangan tempat istirahat di area terbuka bagi orang-orang yang ingin hidup bersahaja. Jangan salahkan kalau tempat-tempat hiburan tertutup (panti pijat dan kamar-kamar yang sewanya dihitung perjam) yang tersedia di segala penjuru kota makin marak dikunjungi penduduk kota.

Andaikata para penguasa penentu kebijakan pengembangan taman kota tidak segera mengubah kebijakannya, bukan tak mungkin dua puluh tahun ke depan Kota Medan memiliki penduduk yang lebih senang mencari hiburan di tempat tertutup. Munculnya hiburan-hiburan di tempat tertutup akan menjerumuskan penduduk kota ini mencari hiburan yang tidak sehat.

Bisa dibayangkan bagaimana nasib penduduk kota ini kelak. Saatnya Pemko Medan memperhatikan pembangunan taman-taman terbuka, sebagai pemersatu rakyat kota ini, hiburan yang sehat bagi penduduk yang bersahaja.

Tidak ada komentar: