My 500 Words

Jumat, 24 Januari 2014

Orang-orang Terkaya di Tengah Bencana (Harian Analisa, 23 Januari 2014)


Oleh: Jannerson Girsang

Membaca laporan Forbes (Nopember 2013) bahwa lima puluh orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan mulai dari US$ 15 miliar hingga US 390 juta, terbayang dalam pikiran, “andaikan mereka tergerak hatinya menyisihkan sedikit kekayaannya membantu derita anak bangsa yang tertimpa bencana di tanah air”. 

Belum lagi kalau dari mereka mau menggalang dana dari para rekan-rekan mereka. Bangsa ini membutuhkan “orang-orang terkaya” yang peduli bencana!. Negeri kita adalah negeri bencana. Indonesia adalah korban erupsi gunung terbesar di dunia dan sangat rentan gempa, banjir dan longsor. Tapi kita bersyukur karena negeri bencana memiliki banyak orang-orang terkaya dunia.

Bencana yang terjadi di tanah air belakangan ini mengakibatkan kerugian cukup besar dan memerlukan biaya yang cukup besar untuk menanggulanginya. Sementara, anggaran pemerintah terbatas. Malu dong, sebagai bangsa yang berdaulat,  kalau sampai turun bantuan asing di tengah negeri yang bertabur “orang-orang terkaya dunia”.
 
Kerugian Besar

Perkiraan sementara menunjukkan bahwa kerusakan dan kerugian akibat bencana yang terjadi beberapa bulan belakangan ini cukup besar.  Rp 1.8 triliun  atau hampir setara dengan nilai proyek Hambalang, lenyap begitu saja, akibat banjir di Manado. Belum lagi bencana akibat letusan Gunung Sinabung yang diperkirakan mendekati  Rp 1 triliun, serta ratusan miliar kerugian dialami akibat banjir di ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Kalau kemudian dibuat pehitungan yang detil kerugian materi bisa mencapai angka Rp 3 triliun.

Kerusakan yang terjadi membuat rakyat yang terkena bencana sangat menderita. Selain rusak atau kehilangan harta benda, mereka kehilangan mata pencaharian untuk sementara waktu, dan bisa berdampak panjang kalau tidak segera diatasi. Pedagang kehilangan omzet harian, pembengkakan ongkos transportasi, dan kenaikan biaya logistik. Petani mengalami kerugian karena panenan gagal.

Selain itu bencana juga mengakibatkan munculnya penyakit fisik maupun psikis. Mereka tidak saja membutuhkan bantuan fisik (makanan, pakaian, uang, perumahan) tetapi juga trauma healing (pemulihan dari trauma).

Kemampuan Terbatas

Di depan para wartawan, Senin (20 Januari 2014), Menteri Keuangan Chatib Basri melaporkan bahwa Pemerintah  telah mengalokasikan anggaran dalam APBN 2014 sebesar Rp 3  triliun untuk penanggulangan bencana alam. Separuhnya dapat dicairkan langsung tanpa persetujuan DPR.

Mengandalkan kemampuan anggaran  sebesar itu jelas tidak mampu menanggulangi seluruh persoalan bencana di negeri ini.  Masalahnya, bencana-bencana yang terjadi bukan hanya di Manado, erupsi Sinabung atau Jakarta.

Disamping menanggulangi bencana, Indonesia memerlukan biaya yang besar dalam riset penanggulangan bencana meliputi fase pra, saat dan pascabencana.  Anggaran riset di BNPB lebih banyak digunakan untuk membangun kebijakan. Kedikbud dan Kemristek yang juga mempunyai anggaran riset diharapkan dapat mendukung kebutuhan tersebut dengan menambah anggaran riset kebencanaan yang dilakukan perguruan tinggi dan lembaga riset. Bappenas diharapkan mendukung kebijakan penganggaran riset kebencanaan. (Workshop Nasional Riset dalam Penanggulangan Bencana. http://www.bnpb.go.id)

Hasil-hasil riset tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas informasi bencana di negeri ini. Kualitas informasi lokasi bencana (tepat waktu, akurat, dan diterima orang yang tepat), dari bencana (erupsi gunung, tsunami, bahkan banjir) masih perlu ditingkatkan, karena system informasi bencana serta teknologi yang mendukungnya belum secanggih yang dimiliki Negara-negara maju.

Jepang misalnya, sudah bisa meramalkan terjadinya tsunami. Bahkan dalam siaran langsung di televisi, kita bisa menyaksikan beberapa ratus meter sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Bandingkan misalnya dengan tsunami Aceh dan Nias beberapa tahun lalu. Kita baru berteriak, setelah tsunami terjadi.

Karena bencana tidak dapat diprediksi dengan tepat, antisipasinya sering terlupakan. Penjelasan-penjelasan masih sering tidak bisa dipahami para pengungsi, pengambil keputusan. Contohnya, di kasus Sinabung. Kita kesulitan mencari data praktis di website yang bisa dijadikan acuan. Updating datanya kurang teratur.

Lihat misalnya updating data sewaktu Tsunami Aceh dan Nias terjadi. Kita dengan mudah mengetahui siapa yang terlibat dimana, kapan dan jumlah pengungsi yang mereka tangani. 

Banyak pertanyaan-pertanyaan penting berlalu begitu saja. Para pengungsi Sinabung misalnya. Mereka memerlukan informasi kapan Gunung Sinabung meletus, letusannya sampai kemana, sampai kapan mereka mengungsi, apa langkah-langkah yang mereka lakukan kalau gunung meletus, kepada siapa bantuan harus disalurkan, bagaimana penanganan berlanjut dilaksanakan. Serta banyak pertanyaan-pertanyaan dasar yang tidak masih sulit dijelaskan kepada masyarakat luas.


Selain itu, Suratman, tenaga ahli Komisi VIII DPR-RI mengidentifikasi perlunya revitalisasi pengelolaan bencana di Indonesia, diantaranya koordinasi pengelolaan bencana, seperti implementasi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, tumpang tindih peraturan dan pengelolaan dana yang bersumber dari masyarakat. 

Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Kita memiliki potensi untuk melakukannya, yakni  terus belajar tentang gejala alam, sehingga bisa meramalkannya untuk mengurangi jumlah korban, serta meningkatkan kualitas system dan orang-orang yang mampu menjalankan system itu. Kita seharusnya lebih ahli dari Jepang, atau Negara lain, karena negeri kita lebih rawan bencana.

“Bencana alam yang terus menerus melanda Indonesia harusnya menjadikan Indonesia pakar dalam penanganan bencana. Bencana dapat diminimalisir akibatnya, jika Indonesia mau belajar dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dari penanganan bencana alam sebelumnya,”seperti diungkapkan Suratman, Tenaga Ahli Komisi VIII DPR RI, beberapa waktu lalu (Tribune News Com, 28 Nopember 2013).

Semuanya itu membutuhkan butuh biaya dan tenaga-tenaga ahli dan berdedikasi.

Mengetuk Hati Konglomerat di Tengah Bencana

Saatnya pemerintah membuka mata para orang-orang terkaya di negeri ini harus memiliki sense of disaster. Kita semua, bersama-sama pemerintah  perlu menggerakkan peran "orang-orang kaya" Indonesia dalam membantu bencana yang terjadi di negeri ini.

Kemampuan mereka luar biasa. Credit Suisse, Swiss melaporkan dalam Global Wealth Databook 2013, terdapat 22 orang superkaya Indonesia yang memiliki harta di atas 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12 triliun (kurs Rp 12.000 per dollar AS). Bahkan laporan Forbes Nopember 2013 yang lalu mengatakan ada 29 orang kaya di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas 1 miliar dollar AS, bahkan orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan  sampai 15 miliar dollar AS.

Kalaulah mereka bisa berhemat sedikit biaya makan, hiburan, pengeluaran sogok menyogok, sangat berarti bagi ribuan anak bangsa yang sedang menderita. Mereka seharusnya tidak nyenyak tidur sehabis menyaksikan di televisi, menyaksikan sesama bangsanya yang tidur di tenda-tenda, kedinginan karena kurang selimut, terancam kelaparan karena persediaan bantuan yang makin menipis.

Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa tahun lalu orang terkaya Indonesia pernah mendanai kampanye Obama (Ralat: Clinton). Mustahillah mereka tidak mampu menyisihkan sedikit bantuan untuk sesama bangsanya yang mengalami kesulitan, mereka diajak membantu mendanai kekurangan biaya riset-riset untuk antisipasi dan peningkatan system pengelolaan bencana.

Teringat kata-kata W.C. Field, A rich man is nothing but a poor man with money. Sangat tidak berarti, kalau orang-orang terkaya hidup dalam sebuah Negara, menikmati hidup, sementara tidak peduli bahwa di tengah-tengah mereka ada orang yang terkena bencana, tidak punya mata pencaharian dan terancam kelangsungan hidupnya.

Pemerintah yang peduli bencana seharusnya mampu mengetuk hati mereka Orang-orang terkaya yang memiliki rasa solidaritas seharusnya terketuk hatinya. Wacana ini mungkin perlu dikembangkan. Dicoba saja, mana tau ada hasilnya!.

[1] Penulis pernah menjadi Program Manajer sebuah NGO yang menangani Bantuan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. 

Tidak ada komentar: