Oleh: Jannerson Girsang
"There is a danger that threatens everyone in the church, all of us.
The danger of worldliness. It leads us to vanity, arrogance and pride".
(Pope Francis).
Terjemahannya kira-kira demikian: "Ada bahaya yang
mengancam semua orang di gereja, kita semua. Bahaya keduniawian (harta,
jabatan/kekuasaan, pengetahuan). Ini membawa kita pada kesombongan,
arogansi dan kebanggaan".
Peringatan Pope Francis ini menggugah saya menuliskan renungan ini untuk kita renungkan bersama.
Memang, seharusnyalah semua hal-hal duniawi yang melekat pada diri
kita, serta kegiatan yang dilakukan diarahkan menghasilkan buah-buah
roh: Kasih, Suka cita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan,
Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Bukan sebaliknya
mencari siapa yang terbesar, seperti sikap Petrus. Siapa yang paling
berjasa, siapa yang sumbangannya terbesar. Sementara kita sudah
diingatkan "kalau tangan kiri memberi, jangan dilihat tangan kanan",
karena apa yang ada pada kita bukanlah hasil karya kita sendiri, dan
bukan untuk diri kita sendiri, dan bukan untuk menjadi kesombongan yang
memisahkan kita istimewa dari yang lainnya...
Semua pujian,
Sanjungan, Kerajaan, Kekuasaan dan Kemuliaan hanya kepada Tuhan di
tempatNya yang Maha tinggi sekarang dan sampai selama lamanya.
Tidak sedikit pencapaian atau kegagalan keduniawian yang dimaknai secara
salah menimbulkan perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah,
kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian,
kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Mari sama-sama merendah,
sama-sama merasa berkekurangan, saling membutuhkan satu dengan yang
lain, saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu yaitu,
supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu,
demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu
jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35).
Jangan abaikan, apalagi meremehkan sekecil apapun status yang dimiliki orang lain, usaha atau kemampuan yang lain.
Kalau mereka tidak ada, kita tidak berarti apa-apa. Kalau jemaat
miskin. bodoh tidak ada, padahal merekalah yang terbesar diantara
jemaat, maka siapakah kita? Kalau jemaat kaya, pintar tidak ada, kita
juga tidak maju-maju.
Kita tidak bermartabat, tidak memiliki
status apa-apa di antara binatang. Binatang tidak bisa membedakan
manusia pintar atau bodoh, kaya atau pintar. Kita bermartabat jika ada
manusia di sekitar kita, kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Sikap yang paling berbahaya terjadi, kalau sampai seseorang merasa :
"Kalau saya tidak ada semua tidak berjalan". Atau karena kegagalan kita
menata kehidupan, dengan frustrasi mengatakan, "Biarlah mereka yang
kaya-kaya itu, yang punya jabatan itu di situ, kalau awak ini apalah,
manalah mungkin awak mampu".
Inilah tantangan berat gereja sepanjang masa. Sikap buruk itu ada pada kita semua.
Semua harus menyadari, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam
ketidaksempurnaan itu, kita semua memiliki kewajiban: melakukan
pelayanan dan mengasihi sesama, memupuk kebersamaan.
Sekecil, semiskin
apapun kita. Sekaya dan sehebat apapun kita, inilah tugas terbesar kita
hadir di dunia ini. Tidak melayani, tidak mengasihi sesama: hidup kita
tak berarti apa-apa.
Mari memupuk persamaan, tidak mencari-cari
perbedaan untuk membuat pengkotak-kotakan karena status keduniaan. Mari
terus menerus meminta kekuatan agar kita mampu dan terus berusaha
menuju ut omnes un um sint, supaya semua menjadi satu, tidak
terkotak-kotak karena perbedaan harta/jabatan, karena perbedaan berkat
yang dianugerahkan Tuhan.
Gunakanlah itu menjadi berkat bagi
kita dan sekitar, bukan mendatangkan bencana bagi diri sendiri dan orang
lain! Kehadiran kita bukan membuat orang merasa lebih kecil, minder,
tetapi membuat mereka apapaun statusnya lebih bersemangat, merasa
hidupnya lebih hidup.
Renungan malam, 6 Nopember 2014