Pria ini adalah temanku sejak SMP di Saribudolok (1974-1976). Pria yang selalu memberi inspirasi, menyenangkan dan menambah kekuatan. Great lae Japorman Saragih Simarmata.
Foto ini dibuat saat kami sudah berusia 53 tahun di Lapangan Merdeka Saribudolok, Sabtu 15 Nopember 2014, saat Acara Syukuran Dr Junimart Girsang SH, anggota DPR-RI utusan Dapil III Sumatera Utara. .
Kami sudah bersama-sama duduk dalam Pimpinan Majelis GKPS Simalingkar selama 10 tahun belakangan ini. Kini saya menjadi Pimpinan Majelis dan beliau menjadi Wakil saya, yang mengawasi dan membina tugas-tugas Sekretaris (St JE Purba) dan Bendahara (St Sudiaman Sinaga), serta Ketua-ketua Sektor dan seksi-seksi.
Tugas-tugas kami laksanakan bersama, tanpa menunggu satu sama lain. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, saling mengisi, saling mendoakan satu sama lain.
Tidak mudah menjalin pertemanan sedemikian lama, apalagi duduk dalam kepengurusan yang saling mendukung dan satu langkah..
Binalah Long Life Friendship, yang tidak lapuk karena politik, ekonomi, atau kepentingan dunia lainnya. Itulah inti dari sebuah kepemimpinan kolektif. Bukan berteman atau ramah "musiman", kalau lagi suka, kalau lagi butuh!.
Terima kasih untuk jemaat GKPS Simalingkar yang terus mendoakan kami setiap saat, sehingga kami mampu melaksanakan tugas-tugas kami yang cukup berat. Terima kasih kepada semua majelis dan seksi-seksi, khususnya para ketua sektor.
Mari lanjutkan yang baik, hindari hal-hal yang tidak menyenangkan antara satu dengan yang lain. "Jangan biarkan iblis menang dalam setiap gerakmu. Biarlah Dia pemilik bumi ini yang selalu menang, sehingga semua merasa bahagia. Saling mendoakanlah setiap saat",
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Jumat, 21 November 2014
Wanita Pemimpin Desa
Oleh: Jannerson Girsang
Siapa bilang perempuan di desa terus dibawah kungkungan laki-laki?. Wanita ini membuktikan wanita juga bisa memimpin. Mengalahkan lawannya saat Pilkades dengan skor: 700:300!
St Hilderia Damanik (59 tahun), pegiat gender menjadi Kepala Desa Saranpadang, Kec Dolok Silau Kab Simalungun sejak 2008 dan memimpin sekitar 9000 jiwa rakyatnya.
Selain menjadi Kades Dia juga Wakil Pengantar Jemaat GKPS Saranpadang. "Kalau laki laki bisa kenapa perempuan tidak bisa?," katanya. ,
"Saya adalah binaan Pelpem GKPS. Kalau saya tidak bertemu Pelpem, saya tidak seberani sekarang ini." ujarnya.
Sebelumnya mantan guru SMP GKPS Saranpadang ini pernah menjadi Ketua Wanita GKPS Resort Saranpadang selama dua periode dan menjadi dirigen koor wanita dan gemende koor selama bertahun-tahun.
Putrinya kini menjadi seorang pendeta GKPS dan melayani di Medan, putranya lulusan salah satu perguruan tinggi di Medan, kini sudah bekerja dan anak bungsunya kini menjadi petani jeruk di desanya.
Bahagia...bahagia benar!. Senang bertemu dan berbincang dengan orang yang berbahagia. Waktunya kurang......he..he.
Siapa bilang perempuan di desa terus dibawah kungkungan laki-laki?. Wanita ini membuktikan wanita juga bisa memimpin. Mengalahkan lawannya saat Pilkades dengan skor: 700:300!
St Hilderia Damanik (59 tahun), pegiat gender menjadi Kepala Desa Saranpadang, Kec Dolok Silau Kab Simalungun sejak 2008 dan memimpin sekitar 9000 jiwa rakyatnya.
Selain menjadi Kades Dia juga Wakil Pengantar Jemaat GKPS Saranpadang. "Kalau laki laki bisa kenapa perempuan tidak bisa?," katanya. ,
"Saya adalah binaan Pelpem GKPS. Kalau saya tidak bertemu Pelpem, saya tidak seberani sekarang ini." ujarnya.
Sebelumnya mantan guru SMP GKPS Saranpadang ini pernah menjadi Ketua Wanita GKPS Resort Saranpadang selama dua periode dan menjadi dirigen koor wanita dan gemende koor selama bertahun-tahun.
Putrinya kini menjadi seorang pendeta GKPS dan melayani di Medan, putranya lulusan salah satu perguruan tinggi di Medan, kini sudah bekerja dan anak bungsunya kini menjadi petani jeruk di desanya.
Bahagia...bahagia benar!. Senang bertemu dan berbincang dengan orang yang berbahagia. Waktunya kurang......he..he.
Jumat, 14 November 2014
Panggilan Rohaniwan untuk Menggarami (Harian Analisa 14 November 2014)
Oleh: Yusrin.
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Tulisan S. Sahala Tua Saragih yang berjudul: “Rohaniwan Mesti Menulis di Media? di Harian ini (6/11/2014) sangat menggelitik penulis untuk mengapresiasi opini tersebut. Sebagaimana yang sering dikatakan salah seorang penatua GKPS, Jannerson Girsang, seorang penulis biografi tokoh-tokoh gereja dan biografi tokoh-tokoh terkenal di Sumatera Utara bahwa betapa minimnya rohaniwan-rohaniwan yang menulis di media massa. Yang dimaksud dengan media disini, demikian Sahala Tua Saragih, adalah surat kabar Harian atau koran Harian misalnya Harian Analisa, Medan Bisnis, atau SIB dan lain-lan. Sedangkan tulisan yang dimaksud lebih berfokus pada tulisan opini, bukan tulisan berupa renungan atau khotbah pada kolom “Mimbar Agama”.
Apa hendak dibidik oleh Sahala Tua Saragih dalam tulisannya sangat sesuai dengan pergumulan yang selalu digumuli oleh penatua tersebut, Bapak Girsang. Dalam beberapa kesempatan baik bertatap muka, melalui handphone atau melalui jejaring sosial, biografer tersebut sering “mengeluhkan permasalahan tersebut kepada penulis”.
Namun, penulis tidak menafikan atau menyederhanakan sebuah persoalan seakan-akan yang dimaksud dengan menulis adalah menulis “opini” di koran-koran Harian. Banyak pendeta-pendeta, hamba-hamba Tuhan baik yang melayani di gereja atau di Sekolah Tinggi Teologi (STT) termasuk mahasiswa STT yang rajin menulis di majalah-majalah gereja dan jurnal-jurnal Teologi baik jurnal kampus maupun jurnal yang diterbitkan oleh LAI atau lembaga-lembaga lainnya. Diantaranya yang penulis ketahui adalah Bapak Jontor Situmorang, Jan Jahaman Damanik, Jonhriaman Sipayung, Agusjetron Saragih, Jon Renis Saragih untuk sekadar menyebutkan beberapa dosen teologi dari GKPS yang rajin menulis di jurnal. Demikian pula Ephorus GKPS Bapak Jaharianson Saragih yang telah membuahkan sebuah buku di tengah kesibukan melayani sebagai Ephorus dan dosen di berbagai STT di Sumatera Utara.
Mengapa Menulis di Koran Harian?
Sahala Tua Saragih dalam judul tulisan mempertanyakan: Rohaniwan Mesti Menulis di Media? Atau kalau pun tidak mempertanyakan, penulis menafsir judul tersebut seperti kalimat retoris yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut adalah sebuah refleksi, “otokritik” atau “gugatan” terhadap aktivitas atau kegiatan para rohaniwan yang sangat minim menulis di harian-harian di Sumatera Utara.
Menulis adalah sebuah kegiatan yang tidak jauh dari seorang rohaniwan. Sebagai mana kita ketahui bahwa kata “rohaniwan” dibentuk dari kata dasar “rohani” ditambah dengan “wan” yang bermakna orang yang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang mengurus masalah-masalah kerohanian. Keseharian seorang rohaniwan, sekadar menyebutkan beberapa hal, adalah berkhotbah, berceramah, melakukan konseling terhadap jemaatnya yang bermasalah. Di dalam segala aktivitas itu, para rohaniwan merenung, berefleksi dan membaca serta menuangkan konsep-konsep, misalnya khotbah, dalam bentuk tulisan kemudian baru disampaikan dalam bentuk lisan di atas mimbar. Maka kegiatan menulis sesungguhnya adalah sesuatu hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh para rohaniwan. Persoalannya adalah mengapa para rohaniwan tidak menggunakan koran harian untuk menggarami? Apa esensi dasar dan kebutuhan untuk menulis di harian?
Dalam beberapa kesempatan penulis sering berdiskusi dengan beberapa rohaniwan seperti Estomihi Hutagalung, seorang rohaniwan yang produktif menggarami melalui Harian-harian di Sumatera Utara. Sebelumnya, Bapak Hutagalung adalah seorang penulis yang menggunakan media “Majalah gereja” untuk mempublikasi gagasan, ide dan buah pikirannya. Dan boleh dikatakan tidak pernah atau jarang mempublikasikan tulisan di koran-koran Harian. Setelah penulis mengemukkan pandangan dan alasan tentang pentingnya menulis di Harian, beliau mengamini pandangan penulis.
Ada beberapa alasan mengapa seorang rohaniwan perlu menulis atau mempublikasikan tulisannya di media. Pertama, jumlah pembaca di Harian jauh lebih besar dari kalau tulisan itu dipublikasikan di majalah. Misalnya, kalau tulisan kita dipublikasikan di Majalah gereja milik denominasi tertentu, contohnya Suara Methodist Indonesia (SMI) tentu yang membaca hanya kalangan Methodist saja. Seandainya, tulisan kita dipublikasikan di Majalah “Nasional” Oikumene, pembacanya akan lebih luas tetapi terbatas hanya dikalangan agama tertentu saja. Tetapi kalau tulisan kita dipublikasikan di Koran Kompas, berapa banyak jumlah pembaca yang akan membaca tulisan kita. Yang pasti adalah jangkauan pembaca lebih luas, meskipun tidak semua pembaca Kompas akan membaca rubrik “Opini”, umpamanya. Kedua, tulisan-tulisan di koran Harian yang bersifat umum dan bukan milik kalangan agama tertentu, tentu merupakan kegiatan “Oikumene” dalam rangka dialog-dialog dengan agama-agama lain. Ketiga, peluang buah pikiran kita untuk membentuk opini di masyarakat atau menggarami lebih luas dibandingkan melalui buku atau majalah. Keempat, menulis di Harian yang memiliki daya jelajah dan jangkau yang lebih luas serta oplah yang lebih banyak akan membuat penulisnya lebih cepat terkenal. Meskipun alasan keempat ini bukan merupakan tujuan dari seseorang menulis atau mempublikasikan tulisannya. Tetapi mau tidak mau, diakui atau tidak, hal ini akan terjadi apabila seorang rohaniwan sering mempublikasikan buah pikiran melalui Harian maka kesempatan dia untuk dikenal dan tidak dilupakan akan jauh lebih besar.
Beberapa rohaniwan atau tokoh yang acapkali menulis tulisan yang religius-kontemplatif, yang sangat terkenal atau setidaknya kita merasa ‘familiar” dengan nama-nama mereka karena - salah satu faktor yang membuat mereka terkenal – menulis, misalnya Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Franz Magnis-Suseno, F. Budi Hardiman, YB. Mangun Wijaya, K. Bertens, Yongky Karman dan Martin L. Sinaga. Untuk daerah Sumatera Utara, kita dapat menyebutkan beberapa nama misalnya Estomihi Hutagalung, Robert Sihombing, Roy Naldi Simare-simare yang terakhir merupakan calon rohaniwan dan sejarawan gereja yang produktif menulis di Harian, Jurnal dan majalah.
Rohaniwan Dan Sastrawan
Lebih jauh lagi, media bagi seorang rohaniwan untuk menuangkan gagasan, pikiran dan ide dapat diperluas dari sekadar tulisan teologis ilmiah di jurnal-jurnal, setengah ilmiah populer berupa tulisan opini di Harian atau tulisan refleksi/renungan di rubrik “Mimbar Agama” atau majalah keagamaan tertentu. Rohaniwan juga dan boleh menulis genre sastra baik berupa puisi, cerpen dan esai.
Beberapa contoh sastrawan-rohaniwan yang terkenal di Indonesia, misalnya Romo YB. Mangun Wijaya yang terkenal dengan Novelnya “Burung-burung Manyar” yang memenangkan salah satu satu sayembara. Mudji Soetrisno yang telah mempublikasikan beberapa kumpulan puisinya. A. Mustofa Bisri, seorang kiai dan pengasuh pondok pesantren yang cukup getol dan rajin menyarankan agar para kiai bukan hanya berceramah tetapi dapat pula menulis cerpen, puisi dan novel.
Pemilihan media dan jenis media apakah yang akan digunakan untuk mempublikasikan ide dan buah pikiran dari rohaniwan dalam menyampaikan pesan adalah merupakan hak prerogatif dari seorang penulis, dalam hal ini rohaniwan. Tetapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mempublikasi tulisan kita melalui Harian. Karena tugas rohaniwan baik dari agama apa pun adalah untuk menggarami, mengajak umat merenung, berefleksi dan berkontemplasi dan tentu saja untuk mempraktekkan firman Tuhan yang diajarkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dan tentu saja, tulisan melalui Harian pasti bersifat universal dan tidak sektarian, meskipun masing-masing rohaniwan dalam menyampaikan pesan pasti menggunakan simbol, lambang atau bahkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebagaimana yang mereka imani. Namun, pesan universal dari setiap rohaniwan dapat dilaksanakan dalam kehidupan setiap umat beragama. ***
Penulis sedang studi lanjut di Program Pasca Sarjana STT Abdi Sabda Medan
Masalah Pelik, Latihan Mengucapkan , "Terima Kasih Tuhan"
Oleh: Jannerson Girsang
Waktu melahirkan anak, menurut pengalaman beberapa orang ibu yang kudengar usai kebaktian rumah-rumah minggu lalu, merupakan keadaan paling sulit dalam kehidupan mereka.
Saat-saat genting dan menyakitkan itu adalah suasana pasrah, berjuang sendirian dan hanya bisa mengucap: "Aduh......sakit...Tuhan tolonglah saya". Perjuangan antara hidup dan mati.
Seorang ibu akan fokus proses berhasilnya persalinan, dan melupakan masalah hidup yang lain. Karena itulah penderitaan terberat mereka.
Belum ada manusia yang bisa menghilangkan rasa sakit seorang wanita yang sedang menjalani proses persalinan normal.
Sebaliknya, setelah melewati masa-masa sulit itu, sang ibu akan berbahagia menyaksikan bayi yang baru dilahirkannya, dan melupakan semua rasa sakit itu.
"Terima kasih Tuhan..." itulah yang biasa terucap dari mulut seorang wanita yang baru melahirkan.
Sama seperti seorang ibu yang melahirkan. orang yang berani menghadapi masalah, maka setelah melewati kesulitan dengan meminta pertolongan kepada Dia Yang Maha Kuasa, maka dia akan meraih kebahagiaan.
Hidup yang bermakna adalah sikap atau tindakan ketika kita menjalani masalah-masalah pelik. Ada saatnya Anda dihadapkan kepada masalah pelik, otak dan semua sumberdaya yang Anda miliki, rasanya tidak bisa menyelesaikannya.
Ada yang menghadapinya dengan penuh pengharapan, tetapi ada juga yang lari menghindari masalah dengan mengambil jalan pintas, menghindari berkat.
Hadapilah masalah atau tantangan sepelik apapun dengan pengharapan kepada Dia yang Maha Kuasa, karena itu adalah berkat, sumber kekuatan baru. Latihan meminta pertolongan dari yang paling berkuasa, dan meraih kebahagiaan demi kebahagiaan!
Menjalani masalah yang pelik adalah latihan mengucapkan "Terima kasih Tuhan", latihan mememaknai arti kebahagiaan. Jadi, jangan takut menghadapinya. Bersyukurlah Anda pernah dan akan menghadapi masalah pelik dalam kehidupan ini.
Renungan Pagi, 14 Nopember 2014
Senin, 10 November 2014
KEJARLAH KUALITAS, BUKAN JATAH-JATAHAN.
Oleh: Jannerson Girsang
Warga Simalungun di Indonesia pantas berbangga dan bersyukur di alam era demokrasi saat ini. 54 orang tokohnya berhasil memperoleh kursi di DPD-RI,DPR-RI, DPRD Provinis, DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Sekitar tigapuluhan dari mereka berkumpul di Lapangan Adam Malik Pematangsiantar, Sabtu, 8 Nopember lalu, dalam sebuah acara yang disponsori oleh seorang tokoh Simalungun, Yan Santoso Purba, SH.
Dari 132 anggota DPD-RI, tiga diantaranya adalah suku Simalungun, yakni Parlindungan Purba, SH, MM utusan Sumut, Jasarmen Purba, utusan Riau Kepulauan dan Rosti Uli Purba, utusan Riau Daratan.
Khusus buat Rosti Uli Purba, anggota DPR-RI uturan Riau dan Frida Damanik, anggota DPRD Kota Pematangsiantar, terima kasih sudah memberi inspirasi bagi para wanita Simalungun bangkit menjadi petarung yang tangguh!
Prestasi lain dari Suku yang penduduknya tergolong kecil (jumlahnya di seluruh dunia kurang dari 1 juta orang) ini memiliki dua anggota DPR-RI yakni Dr Junimart Girsang, SH (Sumut) dan Marsiaman Saragih, SH (Riau).
Di seluruh Indonesia, sekitar 54 orang putra putri Simalungun berhasil memenangkan kursi legislatif mulai dari DPD-RI, DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kota. Mereka tidak hanya memperjuangan Simalungun, tetapi terutama daerah pemilihan dimana dia terpilih.
Indonesia kini berada di era demokrasi. Jiwa petarung diperlukan menjadi anggota legislatif. "Kita adalah petarung-petarung yang tangguh,"ujar Junimart Girsang, dalam sambutannya pada acara Mambere Hiou Pamonting Hubani Anggota Legislatif DPR-RI, DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di Lapangan Adam Malik, Pematangsiantar, Sabtu 8 Nopember 2014.
Junimart menambahkan agar generasi muda Simalungun meneladani kemampuan dan keberanian mereka bertarung di tengah-tengah persaingan di manapun mereka berkarya.
Jangan lagi percaya jatah-jatahan. "Kita mengejar kualitas, bukan jatah-jatahan" kata Jasarmen Purba, anggota DPR-RI utusan Riau Kepulauan ketika berbicara dalam sambutannya.
Jadilah petarung yang hebat melayani masyarakat pemilihnya dengan kualitas tinggi, serta memiliki filosofi: Habonaron do Bona, memberi warna demokrasi di Indonesia. Berbakti, melayani rakyat bukan hanya di daerah sendiri, bukan hanya untuk orang Simalungun, tetapi juga di daerah lain untuk seluruh bangsa Indonesia.
BAHAYA KEDUNIAWIAN
Oleh: Jannerson Girsang
"There is a danger that threatens everyone in the church, all of us. The danger of worldliness. It leads us to vanity, arrogance and pride". (Pope Francis).
Terjemahannya kira-kira demikian: "Ada bahaya yang mengancam semua orang di gereja, kita semua. Bahaya keduniawian (harta, jabatan/kekuasaan, pengetahuan). Ini membawa kita pada kesombongan, arogansi dan kebanggaan".
Peringatan Pope Francis ini menggugah saya menuliskan renungan ini untuk kita renungkan bersama.
Memang, seharusnyalah semua hal-hal duniawi yang melekat pada diri kita, serta kegiatan yang dilakukan diarahkan menghasilkan buah-buah roh: Kasih, Suka cita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Bukan sebaliknya mencari siapa yang terbesar, seperti sikap Petrus. Siapa yang paling berjasa, siapa yang sumbangannya terbesar. Sementara kita sudah diingatkan "kalau tangan kiri memberi, jangan dilihat tangan kanan", karena apa yang ada pada kita bukanlah hasil karya kita sendiri, dan bukan untuk diri kita sendiri, dan bukan untuk menjadi kesombongan yang memisahkan kita istimewa dari yang lainnya...
Semua pujian, Sanjungan, Kerajaan, Kekuasaan dan Kemuliaan hanya kepada Tuhan di tempatNya yang Maha tinggi sekarang dan sampai selama lamanya.
Tidak sedikit pencapaian atau kegagalan keduniawian yang dimaknai secara salah menimbulkan perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Mari sama-sama merendah, sama-sama merasa berkekurangan, saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu yaitu, supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35).
Jangan abaikan, apalagi meremehkan sekecil apapun status yang dimiliki orang lain, usaha atau kemampuan yang lain.
Kalau mereka tidak ada, kita tidak berarti apa-apa. Kalau jemaat miskin. bodoh tidak ada, padahal merekalah yang terbesar diantara jemaat, maka siapakah kita? Kalau jemaat kaya, pintar tidak ada, kita juga tidak maju-maju.
Kita tidak bermartabat, tidak memiliki status apa-apa di antara binatang. Binatang tidak bisa membedakan manusia pintar atau bodoh, kaya atau pintar. Kita bermartabat jika ada manusia di sekitar kita, kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Sikap yang paling berbahaya terjadi, kalau sampai seseorang merasa : "Kalau saya tidak ada semua tidak berjalan". Atau karena kegagalan kita menata kehidupan, dengan frustrasi mengatakan, "Biarlah mereka yang kaya-kaya itu, yang punya jabatan itu di situ, kalau awak ini apalah, manalah mungkin awak mampu".
Inilah tantangan berat gereja sepanjang masa. Sikap buruk itu ada pada kita semua.
Semua harus menyadari, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam ketidaksempurnaan itu, kita semua memiliki kewajiban: melakukan pelayanan dan mengasihi sesama, memupuk kebersamaan.
Sekecil, semiskin apapun kita. Sekaya dan sehebat apapun kita, inilah tugas terbesar kita hadir di dunia ini. Tidak melayani, tidak mengasihi sesama: hidup kita tak berarti apa-apa.
Mari memupuk persamaan, tidak mencari-cari perbedaan untuk membuat pengkotak-kotakan karena status keduniaan. Mari terus menerus meminta kekuatan agar kita mampu dan terus berusaha menuju ut omnes un um sint, supaya semua menjadi satu, tidak terkotak-kotak karena perbedaan harta/jabatan, karena perbedaan berkat yang dianugerahkan Tuhan.
Gunakanlah itu menjadi berkat bagi kita dan sekitar, bukan mendatangkan bencana bagi diri sendiri dan orang lain! Kehadiran kita bukan membuat orang merasa lebih kecil, minder, tetapi membuat mereka apapaun statusnya lebih bersemangat, merasa hidupnya lebih hidup.
Renungan malam, 6 Nopember 2014
"There is a danger that threatens everyone in the church, all of us. The danger of worldliness. It leads us to vanity, arrogance and pride". (Pope Francis).
Terjemahannya kira-kira demikian: "Ada bahaya yang mengancam semua orang di gereja, kita semua. Bahaya keduniawian (harta, jabatan/kekuasaan, pengetahuan). Ini membawa kita pada kesombongan, arogansi dan kebanggaan".
Peringatan Pope Francis ini menggugah saya menuliskan renungan ini untuk kita renungkan bersama.
Memang, seharusnyalah semua hal-hal duniawi yang melekat pada diri kita, serta kegiatan yang dilakukan diarahkan menghasilkan buah-buah roh: Kasih, Suka cita, Damai Sejahtera, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, Penguasaan diri.
Bukan sebaliknya mencari siapa yang terbesar, seperti sikap Petrus. Siapa yang paling berjasa, siapa yang sumbangannya terbesar. Sementara kita sudah diingatkan "kalau tangan kiri memberi, jangan dilihat tangan kanan", karena apa yang ada pada kita bukanlah hasil karya kita sendiri, dan bukan untuk diri kita sendiri, dan bukan untuk menjadi kesombongan yang memisahkan kita istimewa dari yang lainnya...
Semua pujian, Sanjungan, Kerajaan, Kekuasaan dan Kemuliaan hanya kepada Tuhan di tempatNya yang Maha tinggi sekarang dan sampai selama lamanya.
Tidak sedikit pencapaian atau kegagalan keduniawian yang dimaknai secara salah menimbulkan perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Mari sama-sama merendah, sama-sama merasa berkekurangan, saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling mengasihi. "Aku memberikan perintah baru kepada kamu yaitu, supaya kamu saling mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yohanes 13:34-35).
Jangan abaikan, apalagi meremehkan sekecil apapun status yang dimiliki orang lain, usaha atau kemampuan yang lain.
Kalau mereka tidak ada, kita tidak berarti apa-apa. Kalau jemaat miskin. bodoh tidak ada, padahal merekalah yang terbesar diantara jemaat, maka siapakah kita? Kalau jemaat kaya, pintar tidak ada, kita juga tidak maju-maju.
Kita tidak bermartabat, tidak memiliki status apa-apa di antara binatang. Binatang tidak bisa membedakan manusia pintar atau bodoh, kaya atau pintar. Kita bermartabat jika ada manusia di sekitar kita, kaya atau miskin, pintar atau bodoh.
Sikap yang paling berbahaya terjadi, kalau sampai seseorang merasa : "Kalau saya tidak ada semua tidak berjalan". Atau karena kegagalan kita menata kehidupan, dengan frustrasi mengatakan, "Biarlah mereka yang kaya-kaya itu, yang punya jabatan itu di situ, kalau awak ini apalah, manalah mungkin awak mampu".
Inilah tantangan berat gereja sepanjang masa. Sikap buruk itu ada pada kita semua.
Semua harus menyadari, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi dalam ketidaksempurnaan itu, kita semua memiliki kewajiban: melakukan pelayanan dan mengasihi sesama, memupuk kebersamaan.
Sekecil, semiskin apapun kita. Sekaya dan sehebat apapun kita, inilah tugas terbesar kita hadir di dunia ini. Tidak melayani, tidak mengasihi sesama: hidup kita tak berarti apa-apa.
Mari memupuk persamaan, tidak mencari-cari perbedaan untuk membuat pengkotak-kotakan karena status keduniaan. Mari terus menerus meminta kekuatan agar kita mampu dan terus berusaha menuju ut omnes un um sint, supaya semua menjadi satu, tidak terkotak-kotak karena perbedaan harta/jabatan, karena perbedaan berkat yang dianugerahkan Tuhan.
Gunakanlah itu menjadi berkat bagi kita dan sekitar, bukan mendatangkan bencana bagi diri sendiri dan orang lain! Kehadiran kita bukan membuat orang merasa lebih kecil, minder, tetapi membuat mereka apapaun statusnya lebih bersemangat, merasa hidupnya lebih hidup.
Renungan malam, 6 Nopember 2014
Langganan:
Postingan (Atom)