Di tengah panas terik menjelang tengah hari, ratusan orang sedang berkumpul di sebuah rumah di perumahan murah di sebelah Selatan Medan. Dua hari sebelumnya salah seorang penghuni rumah tipe 36 yang sudah dikembangkan itu meninggal dalam usia 70 tahun.
Orang Batak menyebutnya mate saur matua. Selain meninggal dalam usia lanjut, dua putri dan satu anak laki-lakinya sudah menikah dan masing-masing sudah memberinya cucu.
Orang tua yang meninggal seperti ini akan mendapat penghormatan terakhir baik secara keagamaan dan secara adat sebelum diantar ke pemakaman. Terdengar lagu-lagu gereja serta suara gendang Batak melalui pengeras suara yang dipasang di dua sudut halaman, persis di ujung enam taratak untuk melindungi tamu dari panas dan hujan. Para undangan duduk di kursi yang disediakan.
Sementara jenazah yang sudah berada dalam peti mati diletakkan rumah dan dikelilingi anak-anak dan cucunya. Posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Laki-laki memakai jas dengan ulos Batak di bahunya, wanita memakai kebaya. Semuanya serba hitam. Warna berkabung. Wajah mereka mengguratkan kesedihan.
Pagi harinya sudah berlangsung acara memasukkan jenazah ke dalam peti dan diikuti dengan kebaktian singkat dari pihak gereja. Lantas acara manortor yang diawali dongan tubu, hula-hula, boru, dongan sahuta serta kolega-kolega alamarhum.
Seorang pria bertubuh tegap, rambut putih disisir rapi, dengan jas necis warna biru mendekati mikrofon, setelah beberapa saat sebelumnya, protokol sudah memberi aba-aba giliran ucapan duka dari kolega almarhum. Dia berbicara mewakili kolega almarhum.
Sambil merapikan dasi berwarna merah buatan Prancis itu, dia mulai berkicau. Matanya memandang datar ke depan, sedikit mendongakkan kepalanya ke atas. Dia tidak menunjukkan perasaan sedih, sebagaimana wajah-wajah para keluarga di depannya.
“Keluarga almarhum dan saudara-saudara yang sedang berduka,” ujarnya mengawali pidatonya, sambil melirik seorang pria di sebelahnya, teman satu kelasnya di SMA.
Tak seperti orang yang mengucapkan ungkapan duka, dia layaknya seperti seorang yang sedang berkampanye, seperti Caleg mencitrakan dirinya seorang yang luar biasa.
“Kalian pasti belum tau bagaimana hubunganku selama ini dengan almarhum. Saya satu sekolah dengan beliau mulai dari SD hingga ke SMA”ujarnya. Suaranya ditahan sejenak, seraya berfikir sebentar dan mengancingkan jasnya yang terbuka,
“Di SD, saya juara I kelas dan almarhum juara III”, sambungnya dengan sedikit menoleh ke samping sambil tersenyum kepada seorang perempuan tua. Perempuan itu memandangnya lirih dan kurang simpatik.
Pria ini terus bersemangat dan menceritakan kisah mereka ketika duduk satu bangku di SMP.Padahal orang-orang di sekitarnya sudah gelisah atas kata-katanya yang bertendensi melecehkan almarhum.
“Ketika kami di SMP, tiga tahun saya Juara Umum dan almarhum, paling-paling Juara 1-atau Juara III Kelas,”ujarnya tak peduli sikap seorang pria beruban di depannya yang dari tadi sudah garuk-garuk kepala.
Kisahnya berlanjut dengan kebersamaan mereka di SMA. Dengan bersemangat tak memperdulikan cibiran orang sekelilingnya, pria itu melanjutkan pidato pencitraan dirinya.
“Di SMA, kami sudah berbeda jurusan walau masih satu sekolah. Dia masuk Jurusan Bahasa, saya masuk Jurusan IPA, jurusannya Habibie,”katanya membusungkan dada dan menatap tajam pemain musik yang sejak dari tadi membunyikan gitar elektroniknya.
”Setelah tamat SMA, kami berpisah. Saya masuk ke ITB jurusan Pertambangan, almarhum masuk ke Universitas Swasta, di Jawa Tengah, jurusan Sastra,”ujarnya dan disambut gemuruh celotehan para keluarga yang sedang berduka.
”Bah, naboha do amanta on? (Bagaimana Bapak ini?)”ujar seorang pria setengah baya.
Tanpa peduli sekelilingnya, pria yang datang dengan berpenampilan parlente itu tetap melanjutkan kisahnya.
”Setelah lulus dari Perguruan Tinggi, kami kemudian bekerja.Saya menjadi Konsultan Pertambangan Asing di Jakarta, almarhum menjadi penulis cerpen yang hanya dimuat sekali seminggu,”ujarnya sambil memandang ke sebelah kiri kemudian memutar kepalanya hingga dia bisa memandang seluruh undangan yang hadapan matanya.
Para undangan merasa gelisah dan nyeletuk.Pemain musikpun terus menggangunya dengan petikan gitar supaya pidato jangan berlanjut.
”Orang sudah mati kok masih diremehkan. Gila ini orang,”ujar seorang ibu bekulit sawo matang, berwajah cantik yang berdiri di belakangnya.
Sambil memperhatikan sikap orang di sekitarnya, pria tadi berhenti berbicara. Seolah meraih tenaga baru. Lantas, kembali berbicara lantang. “Kalian tau mengapa ini saya ceritakan?,”ujarnya beretorika kepada para undangan.
“Biar kalian tau siapa saya, siapa yang meninggal ini!. Sekian dan Terima Kasih,” katanya.
Dasar hanya ingin mencitrakan diri, usai berkicau, tanpa menyalami keluarga dia langsung beranjak menuju sedan mewah yang diparkir di pinggir jalan sempit menuju rumah duka.
Apakah Anda geram membacanya?. Jangan tiru perilaku pria ini. Barangkali kita tidak sadar sering melakukannya dalam bentuk yang lain. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Umumnya ketika seseorang berpidato saat seorang pejabat meninggal. Versinya sedikit berbeda dengan di atas. Kejam sekali, orang meninggalpun sering dijadikan sebagai ajang pencitraan diri.
Artikel ini belum dimuat di media manapun. Bagi yang ingin mempublikasi harus seizin penulis.
2 komentar:
hehehe, menggelitik dan menggemaskan deh:)
Tksh atas komentarnya!.
Posting Komentar