Oleh: Manosor Panjaitan.
Pengantar. Artikel ini adalah sebuah tanggapan terhadap artikel saya berjudul: Mencari "Laskar Pelangi untuk Danau Toba". Terima kasih atas tanggapannya. Pesan artikel saya adalah bagaimana agar penuturan tentang Danau Toba bermanfaat untuk semua. Tidak mematikan yang satu menghidupkan yang lain. Kiranya memperkaya pemahaman tentang promosi Danau Toba.
Ada nasehat bijak berbunyi, “kita tak akan mungkin mengabdi pada dua
tuan dalam waktu yang bersamaan”. Nasehat bijak ini disodorkan lewat
artikel ini dengan harapan dapat menuntun setiap pihak yang selama ini
bekerja keras untuk mencari dan menemukan solusi jitu untuk
membangkitkan hasrat banyak orang untuk datang mengunjungi Danau Toba
yang sesungguhnya memiliki banyak sisi menarik.
Sisi menarik tersebut sesungguhnya dapat membangkitkan hasrat orang
berkunjung ke Danau Toba untuk mengenalnya lebih dekat lagi atau
berhadapan face to face. Misalkan saja, legenda terjadinya Danau Toba,
yang mengisahkan pernikahan bersyarat seorang pemuda dengan seorang
puteri cantik jelita penjelmaan seekor ikan. Legenda ini seharusnya
membangkitkan niat banyak orang untuk mengetahui apa dan dimana itu
Danau Toba. Sebab, legenda menyajikan sesuatu yang sakral yang dapat
memancing rasa ingin tahu banyak orang tentang objek yang diceritakan.
Ada lagi sisi ilmiah tentang letusan dahsyat gunung Toba berjuta
tahun. Ada teori yang menyebut bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan
gunung berapi yang sangat dahsyat (supereruption) yang melalui
setidaknya empat fase letusan besar, tiga kali diantaranya terjadi dalam
1 juta tahun terakhir. Letusan terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang
dikenal sebagai Youngest Toba Tuff (YTT), adalah yang terdahsyat dan
membentuk danau seperti sekarang.
Adalah geolog Belanda, Reinout Willem van Bemmelem, ilmuwan pertama
yang memperkenalkan ke dunia bahwa Danau Toba terbentuk dari letusan
gunung api. Daya tarik yang lain adalah keberadaan Pulau Samosir di
tengah-tengah Danau Toba. Pulau Samosir terkenal dengan julukannya
“pulau di dalam pulau”.
Masalahnya kemudian ketika muncul aktifitas manusia yang mengurangi
kesakralan seputar Danau Toba. Menjamur kerambah ikan di danau milik
investor (asing) atau juga milik warga setempat dengan restu pemerintah
setempat, serta dugaan terjadinya pencemaran lingkungan dan kerusakan
ekosistem seputar Danau Toba. Sementara di sisi lain pemerintah terus
berinovasi melakukan berbagai upaya meningkatkan angka kunjungan turis
lokal atau mancanegara ke Danau Toba. Yang terbaru adalah
dilaksanakannya Festival Danau Toba (FDT) 2013 yang dibuka secara resmi
oleh Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa, Minggu (8/9).
Dengan mencermati dua kejadian di atas yakni, rekomendasi pemerintah
menjadikan danau sebagai ajang bisnis lewat kerambah ikan, sementara di
sisi lain pemerintah terus memutar otak mencari cara meningkatkan angka
statistik kunjungan wisatawan ke Danau Toba maka pertanyaannya adalah:
“Peruntukan Danau Toba diarahkan ke mana?” Untuk dilestarikan sebagai
monumen agung ciptaan Tuhan Pencipta Alam Semesta, untuk memberi
kepuasan bagi semua lewat fasilitas pariwisata. Atau, pemerintah akan
menyulapnya menjadi area kerambah ikan untuk memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi investor asing dan para kaum the have?
Kolam Renang Buatan
Sekarang ini banyak bermunculan tempat rekreasi di Tanah Air yang
menjanjikan kepuasan bagi setiap pengunjungnya. Kolam renang selalu
menjadi menu utama dari setiap tempat rekreasi. Tempat rekreasi itu ada
yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, swasta nasional atau asing. Di
Sumatera Utara misalnya, maka tempat rekreasi tersebut ada di Pantai
Cermin, Padang Bulan, Berastagi atau tempat lainnya. Tiket masuk
bervariasi mulai Rp 10.000 hingga Rp 80.000 per orang sekali masuk.
Kenapa setiap pengunjung selalu tertarik dengan kolam renang?
Jawabannya adalah, air bening dan tampilan-tampilan sedemikian rupa yang
disodorkan pengelola tempat rekreasi yang mengingatkan semua orang
tentang lingkungan natural yang boleh jadi saat ini banyak yang hilang
ditelan modernisasi. Air bening mengobati kerinduan kita tentang
banyaknya sungai dan kali yang berobah menjadi aliran limbah industri.
Sungai Deli dan ada banyak sungai lainnya yang berobah menjadi tempat
tumpukan sampah dan limbah lainnya.
Selanjutnya pancuran air menggiring hayalan semua orang tentang
bukit-bukit yang ditumbuhi aneka tanaman hijau dan disana ada bambu yang
mengalirkan air dari bukit ke tempat pemandian penduduk desa. Kondisi
natural inilah yang menjadi magnet, memacu gairah setiap orang untuk
betah berlama-lama di kolam renang, dan di sana ada ditemukan banyak
kepuasan.
Ada benang merah yang bisa ditarik dari setiap keceriaan yang
terpancar dari setiap pribadi-pribadi yang mengunjungi kolam renang
yakni: setiap manusia punya kerinduan untuk bersentuhan dengan
lingkungan natural, karena disana setiap orang masih bisa merasakan
kelembutan sentuhan karya agung Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Sekitar tahun 1980-an, ketika penulis masih bermukim di Balige yang
terletatak sekitar 100 meter dari Danau Toba, masih merasakan kelembutan
sosok natural danau.
Sekitar pukul 05.00 WIB, beberapa pelajar memulai rutinitas, menuju
danau untuk mandi. Terasa dingin, dan terlihat kabut tipis
melayang-layang di atas permukaan air.
Airnya bening bagaikan kaca sehingga pasir di dasar danau masih
terlihat hingga 3 meter dari bibir pantai. Kelihatan dengan jelas ada
banyak mulut ikan mujahir yang muncul ke permukaan air seperti
menyanyikan lagu. Keindahan ini membuat setiap orang lupa bahwa pagi itu
masih terasa dingin.
Satu per satu menceburkan diri ke danau, mandi, lalu pulang untuk
berangkat ke sekolah. Beberapa gadis mengisi ember dengan air danau yang
bening untuk keperluan masak di rumah. Itulah rutinitas warga yang
bermukim di pinggiran danau, dan penulis masih melakoninya hingga
penghujung tahun 1986.
Jarum jam terus berputar, dan sosok natural danau pelan tapi pasti
berobah. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa : “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Namun sayang, nun jauh di sana beberapa titik Danau Toba malah
dikuasai oleh beberapa investor dan beberapa warga masyarakat dengan
kerambah ikannya.
Tudingan pencemaran lingkungan dan beberapa pihak yang “memohon” agar
danau steril dari kerambah ikan tidak diperdulikan. Ibarat pepatah,
anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Beberapa titik danau menjadi
area terlarang, dan hanya bisa masuk ke sana dengan seijin investor.
Inilah sebuah ironi yang memilukan.
Danau Toba yang hingga tahun 1986-an masih perawan, kini ibarat
wanita dengan dandanan menor. Di sana ada kerambah ikan, ada pencemaran,
dan ada banyak daerah terlarang. Akhirnya orang lari ke danau buatan
yang ada di tempat-tempat rekreasi.
Yang ada di tempat rekreasi itu adalah asli orang-orang Indonesia.
Lalu, buat apa kita garuk-garuk kepala hingga botak memikirkan cara agar
turis mancanegara berkenan merendam tubuhnya di air Danau Toba
sementara kita sendiri sudah sungkan mengunjungi danau yang tidak lagi
alami.
Laskar Pelangi
Artikel ini juga mengomentari pernyataan miring Jannerson Girsang
terhadap kritik bisnis perairan danau lewat artikelnya “Mencari “Laskar
Pelangi” Untuk Danau Toba” (Analisa, 10/9/2013). Ada pernyataan
Jannerson yang ditanggapi yakni
“Banyak artikel yang lebih suka mengisahkan Danau Toba dari sisi
negatifnya, kisah kerambah ikan yang hampir setiap hari menghiasi media
dan menjadi salah satu top story, tanpa memperdulikan dampak cerita bagi
wisatawan” Lalu Jannerson menantang para penulis daerah untuk
menonjolkan keunggulan yang masih tersisa, ketimbang terus mewartakan
hal-hal buruk”.
Atas statement subjekjektif Jannerson maka disini penting untuk
diingatkan bahwa setiap tulisan tentang pencemaran Danau Toba harus
disikapi dengan jiwa besar agar kita mampu menerimanya sebagai sebuah
kritik membangun yang tujuannya semata-mata agar Danau Toba dilestarikan
untuk kepentingan orang yang lebih banyak. Jangan diterjemahkan sebagai
tindakan mewartakan hal-hal buruk.
Kritik itu menyodorkan fakta, bahwa ada kerambah ikan, ada dugaan
kuat telah terjadi pencemaran, dan ini harus dibenahi bersama! Ini
adalah aspirasi, keinginan yang dilindungi konstitusi. Tidak seorang pun
boleh mencemoohnya. Danau Toba bukanlah Belitung. Lain ladang lain
belalangnya.
Solusi yang disodorkan Jannerson untuk Danau Toba cenderung
menyepelekan kerinduan banyak orang tentang Danau Toba yang steril dari
pencemaran lingkungan, tapi lebih tertarik memikirkan kepuasan turis
mancanegara. Disebutkan bahwa “urusan kerambah serahkan kepada yang
berwenang menanganinya, munculkan kreatifitas anak muda bangsa,
khususnya penulis.
Menurut hemat saya, kalau kita ingin memancing banyak orang
berkunjung ke Danau Toba maka harus ada daya tarik khas yang dimiliki
yang membuat banyak orang lebih tertarik berkunjung ke sana daripada
mengunjungi lokasi wisata lainnya. Ciptakan ciri khusus, jadi bukan
dengan cara menulis di artikel. Apa hubungannya?
Agar Danau Toba bisa menjadi memiliki daya tarik bagi semua orang
maka sikapilah dengan bijaksana saat ketika semua orang menjadikan kolam
renang sebagai tempat favorit untuk rekreasi.
Benang merahnya adalah semua rindu akan lingkungan natural, maka
disain Danau Toba harus mencerminkan itu! Danau Toba harus kembali
seperti era 1980-an,ada air bening, para nelayan bebas mencari ikan di
setiap sudut danau. Sosok natural Danau Toba harus ditonjolkan untuk
membangkitkan hasrat setiap orang berkunjung dan merasakan kebahagiaan
di sana, sesudah itu baru kita bicara tentang turis mancanegara.
Daya tarik Danau Toba ada dalam dirinya sendiri, bukan pada fasilitas
penunjang semisal jalan tol atau prasarana lainnya. Kalau lekuk-lekuk
Danau Toba sudah menggairahkan orang dan berita ini menyebar dari mulut
ke mulut maka seandainya Danau Toba dikelilingi hutan belukar sekalipun
maka tetap akan diterobos orang asal bisa sampai ke sana. Demi sebuah
kepuasan diri.
Sebaliknya kalau yang didengar banyak orang adalah kerambah ikan di
tengah danau, adanya pencemaran maka ditawari untuk digendong ke Danau
Toba pun orang masih mikir-mikir. Apa mungkin turis mancanegara
jauh-jauh berkunjung ke Danau Toba untuk menyaksikan kerambah ikan?
Sejak sekarang harus ditentukan, Danau Toba akan didisain menjadi
objek alamiah yang steril dari pencemaran dan perusakan lingkungan
sebagai daya tarik pengunjung.
Atau, menjadi area pengembangbiakan ikan oleh beberapa orang warga atau investor yang ingin menambah tumpukan uangnya? ***
Penulis, besar di pinggiran Danau Toba, pemerhati lingkungan hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar