My 500 Words

Senin, 23 Maret 2009

Pengalaman Seorang Writer dan Biographer



Menulis Riwayat Hidup Anda Menceritakan Cerita Keluarga Anda Menyelamatkan Jiwa, Sebuah Cerita pada Suatu Masa


”Proses dari reiview kehidupan merupakan pengobatan alternatif, khususnya pada usia lanjut, dan membuat kisah hidupnya terekam (bagaimanapun sederhananya atau mewahnya paket itu) adalah sebuah hadiah sangat bagus kepada generasi yang berikutnya, dan kepada generasi sesudahnya” (Pat McNees)

MEMULAI

Setiap orang memiliki kisah untuk diceritakan, masalahnya banyak orang tidak mampu menuliskannya dan memerlukan bantuan—atau membutuhkan waktu mengumpulkan dan merekam cerita anggota keluarga yang lain. Saat kita mengatasi perasaan malu atau kesederhanaan, tapi jujur saja, kita semua menikmati sebuah proses mengenang kembali peristiwa masa lalu di dalam sebuah rentang waktu dan ruang. Sekali kita mencapai usia tertentu "review kehidupan", terasa sebuah penghargaan, namun, pada setiap tahap usia bisa menjadi sebuah kesenangan yang luar biasa dan menjadi sebuah sumber pemahaman hidup yang mengagumkan. Jika anda seorang anggota keluarga yang lebih muda, percayalah padaku: Anda mungkin tidak ingin mendengar cerita tersebut sekarang, tetapi akhirnya anda akan mau.

Dapatkan cerita itu sekarang— sebelum memori memudar, dan selagi orang-orang bersangkutan masih hidup. Jika tidak ada cara lain, rekamlah cerita itu— anda dapat memutuskan kemudian apakah anda akan melakukan sesuatu lebih mendalam (padu) dan formal. Dengan memiliki suara dalam rekaman tape,bersama cerita foto yang disimpan di belakangnya, merupakan sebuah warisan yang lebih berarti dalam jangka panjang dibanding semua warisan fisik yang anda miliki. Dan dalam jangka pendek bahan-bahan tersebut dapat memeriahkan peristiwa-peristiwa khusus, seperti hari ulang tahun, hari lahir, kebaktian peringatan peristiwa tertentu. Tentu saja, satu cara untuk meningkatkan kepedulian kepada pasien orang tua berusia lanjut di rumah sakit atau rumah perawatan adalah menuliskan sebuah kisah singkat hidup mereka dan ditempel di pintu, membuat mereka menjadi seseorang dengan sebuah kisah, dan tidak hanya sebagai pasien tua.

Seorang pewawancara yang berpengalaman dengan sebuah tape rekorder yang baik dapat menangkap kenangan keluarga yang akan diteruskan dari generasi ke generasi. (Banyak orang menemukan masa depan penulisan tentang kehidupan nyata mereka. Merekam cerita anda, bisa merupakan sebuah langkah pertama membantu anda menulis cerita sendiri). Jika seseorang di dalam keluarga anda mempunyai kisah untuk diceritakan, dan tidak bisa menceritakannya sendiri, doronglah mereka bekerja dengan dibantu pewawancara. Jika mereka tidak tau mulai dari mana, keluarkan kotak foto keluarga tempo dulu, dan ajak mereka menceritakan cerita tentang tanggal atau hari foto tersebut dibuat. Mulailah dengan sebuah kisah foto keluarga, dengan teks! Buatkan CDnya bagi semua anggota keluarga.

Sebagai wartawan profesional dengan rasa ingin tau yang tinggi tentang kehidupan orang lain, saya telah membantu riset dan menulis beberapa pribadi, keluarga, dan sejarah lembaga. Apa yang bisa anda harapkan ketika mempekerjakan seseorang membantu anda secara keseluruhan atau sebagian dari kisah hidup anda? Secara umum, kita melakukan wawancara, menyusun wawancara ke dalam tulisan, mengorganisir dan mengedit bahan-bahan, yang membantu anda menemukan "suara anda sendiri" (jika anda ingin menceritakan cerita menurut suara anda sendiri), dan biasanya membantu anda menangkap inti sari dari kisah kehidupan anda. Setiap orang memiliki sebuah kisah untuk dijelaskan, tetapi tidak semua orang menyadari bagaimana hidup mereka bisa menarik perhatian orang lain, terutama di dalam keluarga-atau bidangnya sendiri. Saya sering dibayar untuk mengungkap cerita hidup orang yang mereka cintai. Dan tidak perlu orang yang bersangkutan menceritakan kisahnya. Kadang-kadang ketika bintang bintang dalam kisah keluarga bersinar dalam tradisi "jangan pernah sembunyikan terompetmu”, saya mendapatkan orang lain dalam keluarga atau perusahaan, atau bidang lain menceritakan salah satu bagian dari cerita mereka. Lebih membosankan bila semata-mata hanya membual: kamu ingin mengetahui persisnya MENGAPA mereka menjadi yang terbesar, dan anda juga ingin memahami tentang kelemahan mereka, seringkali memberikan hasil terbaik (paling menghibur) kalau diceritakan orang lain. (Sebuah hal yang menarik untuk mendengarkan kisah seorang Kakek, pelaku bisnis yang sukses, yang kebiasaannya mengantongi gula dari restoran, seolah dia berbicara pada perjamuan, dan detil seperti itu membuat potretnya lebih manusiawi).

Proses dari tinjauan (reiview) kehidupan merupakan pengobatan alternatif, khususnya pada usia lanjut, dan membuat kisah hidupnya terekam (bagaimanapun sederhananya atau mewahnya paket itu) adalah sebuah hadiah sangat bagus kepada generasi yang berikutnya, dan kepada generasi sesudahnya. Sebuah kisah kehidupan tidak harus sebuah proyek yang ambisius. Dapat dilakukan secara bertahap. Mulailah dengan wawancara: Buat kenangan (memories) di dalam tape selagi memori masih dapat ditangkap. Biarkan orang yang lebih tua mengidentifikasi dan menceritakan tentang orang-orang dalam foto tua itu. Anda dapat memutuskan kemudian jika anda menginginkan wawancara itu terorganisir, diterbitkan, dan membuatnya ke dalam sebuah naskah tulisan yang lebih dipoles dan kemudian dicetak menjadi sebuah buku.

Tip: Dengan sebuah batas waktu (timeline), sebuah kronologi. Daftarkan semua hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi berkesan (not-so-important-but-memorable) dan terjadi dalam hidup seseorang yang anda sedang tulis. Gunakanlah waktu yang tepat (timelines) seperti itu, saya sudah buat link untuk membantu memicu memori. Memperhatikan foto tua juga membantu memicu memori.

Orang-Orang biasa, Kehidupan yang luar biasa

Sebagai penulis profesional, aku sudah membantu banyak orang-orang biasa mengingat peristiwa hidup yang penting, dan menemukan bentuk cerita kehidupan mereka, yang pada umumnya dipesan orang lain di dalam keluarga itu. Pria pertama yang saya bantu membuat kisah hidupnya adalah seorang pelaku bisnis di Ohio pada usianya menjelang 80-an, Warren Webster.
Webster telah kehilangan kedua kakinya karena kencing manis (diabetes), kehilangan isterinya setelah 70 tahun perkawinan. Dapat dimengerti dia sangat tertekan. Ia telah pensiun dari apa yang ia sebut sebagai sebuah ”karier sederhana” dalam sebuah manufaktur dan bingung mengapa seseorang menginginkan kisah hidupnya, tetapi dengan menceritakannya, cerita itu merubahnya—sinar kembali terbawa ke matanya, membuatnya merasa sepenting itu untuk diketahui keluarga. Ketika saya menulis sebuah cerita atas wawancara dengannya, aku membacakannya keras-keras di hadapannya, saat merasa dirinya gagal. Webster adalah seorang pekerja pabrik yang kemudian menapaki kariernya masuk ke deretan eksekutif. Ketika aku membaca dengan suara keras, “Webster memutuskan bahwa sebuah kehidupan dengan kuku jari tangan yang kotor (dirty fingernails) bukanlah dia,” ia berkata, “Anda dapat berhenti tepat disana. Inilah inti seluruh cerita.” Tetapi ada yang jauh lebih bermakna: Cerita kariernya mencerminkan perubahan di dalam kultur Amerika dan industri transportasi abad ke duapuluh, bab tentang isterinya Mary perjuangan keras puluhan tahun mengatasi kekacauan yang bipolar menawarkan sebuah pandangan sekilas tentang sikap Amerika terhadap penyakit mental di pertengahan abad ke dua puluh, dan cerita itu akhirnya diterbitkan sebagai sebuah buku, An American Biography,dijual di Amazon.Com. Buku itu menjadi sebuah memorial yang mengesankan dalam hidupnya.


Kisah hidup tak perlu begitu ambisius. Saya sedang mengerjakan kisah foto sebuah keluarga yang melarikan diri ke California dari Kansas pada masa depressi di era 30-an. Kebanyakan kisah hidup diciptakan untuk keluarga—untuk generasi mendatang untuk keluarga tertentu — tetapi bisa bermanfaat ke masa depan bagi sejarawan, seperti apa yang kuharapkan nantinya.

Hal yang sama berguna bagi sejarah, saya kira adalah biografi Dr. Thomas Mcnair Scott. Aku meluangkan banyak waktu mewawancarai Tom, dengan maksud membantunya menulis riwayat hidupnya, untuk penerbitan pribadi untuk para teman dan keluarganya. Pria yang menyenangkan dengan rasa ingin tau yang luar biasa itu dan (Saya memelajarinya dari para rekan kerja terdahulunya) sebuah hadiah untuk hasil diagnosa, Tom menjadi ahli penyakit anak-anak awal abad ke duapuluh, ketika ilmu kesehatan anak anak baru saja menjadi sebuah bidang ilmu di Amerika; namun belum menjadi sebuah bidang ilmu di Inggeris. Tom memiliki perjalanan panjang, sebuah karier termasyhur yang mengajar dan mempraktekkannya di Rumah sakit anak-anak di Philadelphia Anak-Anak dan di tempat lain, dan sebuah perkawinan panjang dan bahagia bagi Dwight McNair Scott, yang melakukan riset biomedis (biomedical). Dengan permintaan (dan pertolngan) anak-anaknya Tom menyelesaikan riwayat hidupnya tidak lama sebelum hari ulang tahunnya ke seratus, tidak lama sebelum dia meninggal.

Mengapa anda tunggu, mulailah menulis memoir anda atau minta bantuan kepada teman anda yang sudah berpengalaman!

Medan 23 Maret 2009. Bertepatan dengan Ulang Tahun anakku ke dua Patricia Girsang ke 23. Sumber : Translated from www.patmcnees.com/telling_your_story_29161.htm. Writing Your Memoir Telling Your Family Story Saving Lives, on story at a Time, Pat Mc Nees.

Rabu, 18 Maret 2009

MUSEUM SIMALUNGUN


Menghargai Karya Agung

Oleh Jannerson Girsang

Bertahun-tahun, kami tinggal di Pematangsiantar di akhir 1980-an, dan kemudian pindah ke Medan sekitar 1990-an, tak pernah terpikir untuk sekedar mendalami makna bangunan berbentuk rumah adat yang terletak di pusat kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh penting di Negara ini. Hingga Jasamen Saragih MA, mahasiswa program doktoral di Australia National University bulan Mei 2008 mengajak kami mengunjungi museum itu. Selain itu, ada rasa rindu bertemu S. Lingga, seorang yang sudah mengabdikan dirinya memelihara karya agung para nenek moyang kita selama 26 tahun

Mungkin anda sama seperti saya, kurang peduli karya-karya agung di sekitarnya. (Kami berjanji, akan melengkapi artikel ini dengan foto-foto suatu ketika!).  Kalau anda berkunjung ke Pematangsiantar, silakan meluangkan waktu sejenak ke arah ujung jalan Sutomo, kemudian masuk Jalan Sudirman dan belok ke kiri, kira-kira 10 meter dari perempatan depan Kantor Polres Simalungun. Anda akan melihat sebuah kompleks yang diapit dua bangunan besar yakni Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Simalungun. Letaknya tidak jauh dari kantor Walikota Pematangsiantar maupun Kebun Binatang Pematangsiantar. Itulah Museum Simalungun.

Berhenti di pinggir Jalan Sudirman, persis di gerbang museum, pandangan mata terpaut pada sebuah bangunan rumah adat Simalungun. Wah, begitu mengagumkan. Memasuki gerbang kita seolah memasuki alam masa lalu, berabad-abad ke belakang. Di kiri kanan beberapa situs peninggalan sejarah masa lalu berbentuk manusia berdiri kokoh dengan pandangan bisu. Namun lukisan kelopak mata patung itu banyak yang terlihat suram karena mulai lapuk telah diterpa panas dan hujan.

Situs Satur ni Raja Nagur (buah catur raja Nagur) misalnya. Berukuran cukup besar, berbentuk catur yang berwujud perempuan. Konon, karena besarnya buah catur ini, sang raja yang memerintah pada masa itu memerlukan bantuan beberapa orang untuk memindahkannya.

Masih di lokasi pekarangan, masih dapat disaksikan situs lainnya yakni Pangulu Balang. Berwujud wajah perempuan yang memangku dua arca, yang menggambarkan bahwa Sang Pencipta selalu melindungi mahkota ciptaanNya. Di sebelah kanan Situs Catur Raja Nagur, berdiri Batu Pangulu Balang, seorang raja yang menunggang gajah yang melambangkan keperkasaan seorang raja. Kedua situs ini dulunya ditemukan di Kerajaan Batang Iou, Tanah Jawa, Simalungun.

Di pekarangan museum juga terlihat situs berwujud bangunan yakni Situs Pales Rumah atau tiang penyangga rumah di zaman dahulu. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke 8. Situs ini disumbangkan ke museum itu pada 1939. Menurut Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun, asal-usul Situs Pales Rumah ini masih dalam proses penelitian. Ada puluhan situs-situs kecil lainnya, yang menarik.

Kemudian kami menelusuri rumah adat, tempat berbagai barang peninggalan nenek moyang lainnya tersimpan. Memandang rumah adat ini kami ingin tau apa arti dari semua bagian bangunan yang unik. Ternyata, masyarakat Simalungun di zaman dahulu kala memberi makna setiap bagian bangunan. Di puncak bangunan terdapat tanduk kerbau yang melambangkan “keberanian dan kebenaran”. Dari puncak rumah, tergantung dua utas tali sepanjang dua sampai tiga meter, yang disebut pinar tanjung bara. Masyarakat Simalungun saat itu meyakini tali ini sebagai penangkal petir.

Masih pada posisi dinding, pada bagian bawah rumah terdapat suleppat, yang melambangkan persatuan. Memasuki rumah, maka tepampang di kiri dan kanan patung bohi-bohi (profil manusia) yang melambangkan keramahan, sekaligus menolak bala. Di bagian lain terdapat pinarbunga bongbong, artinya rezeki tertampung dan tidak bocor. Rumah dibuat bertiang untuk menghindari serangan binatang buas.

Memasuki rumah adat harus melewati beberapa anak tangga, dengan berpegangan pada seutas rotan sejajar tangga. Aku teringat akan rumah bolon di kampung kami, Nagasaribu. Menaiki rumah bolon di masa kecil. Sayangnya, empat rumah bolon di kampung kami sudah hancur dan tidak berbekas lagi.

Di dalam rumah adat seperti ini umumnya terdapat delapan dapur atau delapan rumah tangga atau lebih. Tetapi di dalam rumah adat Museum Simalungun, kami tidak menemukan ruangan-ruangan seperti biasanya. ”Ruangan ini memang hanya diperuntukkan bagi penyimpanan barang-barang peninggalan nenek moyang,”ujar Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun.

Perasaan takjub dan miris muncul saat kita berada di dalam rumah. Berbagai macam bukti kehidupan masa lalu masyarakat Simalungun terdapat di ruangan ini. Kami menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan masa lalu berupa lak-lak atau naskah kuno Simalungun. Laklak adalah buku yang ditulis dalam aksara Simalungun, yang berisikan tentang kehidupan masyarakat Simalungun di masa lalu seperti perbintangan, ramuan obat dan lain-lain. Lak-lak terbuat dari bambu dan ditulis dengan alat tulis khusus di atasnya. Masih di dalam rumah, kami menemukan peralatan rumah tangga (gusi, pinggan, tumbuan dll), permainan kuno (sappak hotang, catur, congklak, papan margajah, onja-onja). Onja-onja adalah sejenis perlombaan cerdas tangkas di zaman sekarang ini. Permainan nenek moyang kita dahulu sangat kreatif dan berasal dari alamnya sendiri, mengapa permainan itu tidak dikembangkan, sehingga alam sekitar kita bisa berguna dan kita tidak hanya menjadi buangan sampah mainan plastik produk luar nergeri? Terdapat juga alat-alat musik/kesenian seperti gondrang, husapi, sulim, sarune serta perlatan tari diantaranya toping huda-huda, hasil kerajinan dan lain-lain. Mata uang yang dipergunakan dari masa lalu dapat juga disaksikan di ruangan ini.

Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas kehidupan, yang berbeda dari suku lainnya di Tanah Air tercinta ini. Barang-barang peninggalan di museum ini adalah bukti nyata.

Keluar dari ruangan muncul renungan di benak kami, kalau nenek moyang kita bisa menulis buku dengan alat yang sederhana, mengapa kini dengan peralatan serba canggih, kita tidak mampu menghasilkan karya-karya yang unggul dan dikagumi orang?

***

Museum ini merupakan salah satu yang tertua diantara 13 museum yang kini beroperasi dan terdaftar pada Direktori Pemerintah Indonesia. Mulai dibangun pada 10 April 1939 oleh Raja-raja Simalungun bekerja sama dengan tenaga-tenaga ahli dari negeri Belanda diantaranya Dr Voorhoeve, dan A.H. Doormik. Setahun kemudian, persisnya 30 April 1940, museum ini resmi beroperasi (Yayasan Museum Simalungun, 1983).
Selain Museum Simalungun, di Sumatera Utara terdapat Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Rumah Bolon Pematang Purba, Zoologi Pematangsiantar, Dairi Sidikalang, Hutabolon Simanindo, Balai Budaya Batak Arjuna, Karo Lingga, Niat Lima Laras di Tanjung Tiram, Pusaka Nias di Gunung Sitoli, Museum Juang 45 Sumatera Utara di Medan, Museum Perjuangan ABRI.

Di kala krisis belum melanda negara ini, dan kondisi kepariwisataan masih baik, Museum Simalungun adalah salah satu objek wisata yang tinggi peminatnya. Pada 1993 misalnya, museum ini menarik tidak kurang dari 43.000 lebih pengunjung asing, belum termasuk pengunjung domestik. Jauh lebih besar dari pengunjung Perpustakaan terbesar di Propinsi ini, yang hanya mampu menggaet kurang dari 1000 orang per bulannya.

Walau kemudian dari data statistik yang terpampang di papan Museum Simalungun menunjukkan jumlah pengunjung yang terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995, jumlah pengunjung asing tercatat sebesar 37.166 orang dan pengunjung dalam negeri 3.724 orang, tahun-tahun berikutnya terus menurun, hanya sekitar 5000-an (1997) dan menurun terus hingga hanya ratusan per tahun. “Dulu, bus-bus pariwisata berjejer parkir sepanjang jalan itu,”ujar Andreas.

Museum ini juga dipergunakan sebagai laboratorium penelitian. Puluhan peneliti dalam dan luar negeri menjadikannya sebagai objek penelitian dan referensi yang menghasilkan buku-buku budaya yang bernilai tinggi.

***
Kala kami mengitari bagian belakang museum, muncul rasa prihatin. Di sana terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari. Gedung Tari ini, dulunya ramai dengan para penari dan bahkan pengelolanyapun tinggal di sana. Sayang sekali. Bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang pembangunannya terbengkalai.

Puing-puing juga terdapat di sebelah Gedung Tari. Mengitari bagian belakang museum, terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari dan di sebelah kiri terdapat ruang kantor. Gedung Tari ini, dulunya ramai dan bahkan dijadikan sebagai tempat tinggal pengelola museum. Sayangnya, bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang terbengkalai.

Di sebelah Gedung Tari terdapat puing-puing di bekas bangunan tempat jaga malam. Bangunan itu terbakar beberapa waktu yang lalu. Ajaib!. Jarak api yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran tidak sempat “menjilat” atap museum yang terbuat dari ijuk. Andaikata api sempat menjilat museum dan menghanguskannya, bisa dibayangkan apa nasib barang-barang pusaka yang ada didalamnya. Meski sudah luput dari bahaya, tokh puing-puing kebakaran itu hanya dibiarkan begitu saja, sudah beberapa bulan tak mendapat perbaikan sama sekali. Sebuah bukti penghargaan kita yang rendah pada sebuah nilai masa lalu kita yang justru dihargai tinggi oleh orang asing. Ingat, puluhan ribu wisatawan asing mampir beberapa tahun lalu.

Begitu banyak bangunan bersejarah yang bernilai tinggi, yang gagal diberi makna, tergusur dan bahkan lenyap dikalahkan oleh pertimbangan bisnis semata. Mudah-mudahan Museum Simalungun tidak mengalami nasib yang sama dengan bangunan-bangunan bernilai sejarah yang tergusur di tempat lain. “Inilah salah satu keprihatinan para pengelola museum seperti kami,”ujar Andreas. Dia masih berharap kelak Museum Simalungun, demikian juga museum-museum yang lain masih berpotensi dikelola dengan baik.

Tulisan ini mengingatkan seluruh lapisan masyarakat agar mengingat petuah-petuah pendiri bangsa ini. ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah masa lalu”.. Masa lalu bermanfaat untuk memaknai kondisi masa kini. Pemaknaan kisah masa lalu yang sebagian tersimpan di museum, terletak sejauh mana masyarakat kita—khususnya generasi muda memahaminya dan merasa hal itu penting dan relevan sebagai sebuah tolok ukur kondisi masa kini.

Mengamati bangunan dan membaca sejarah museum ini, kami memiliki rasa kagum. Ide mulia puluhan tahun yang lalu--disponsori Pemerintah Belanda dan tokoh-tokoh lokal di tahun 1930-an, masih dapat disaksikan dan bermanfaat sampai sekarang. Para pendahulu kita menyadari pentingnya sebuah nilai yang baik diwariskan kepada generasi berikutnya, melalui museum. Bisakah kita mempertahankan dan melanjutkan cita-cita pendirinya? Sebuah tantangan bersama generasi penerus bangsa ini!.

Tulisan ini sedikit mengalami edit dari artikel yang dimuat di Rubrik Nusantara Hal 31 dengan 12 Gambar, Harian Analisa tanggal 14 Mei 2008.


Selasa, 17 Maret 2009

SELAMAT ULANG TAHUN KE-75 Pendeta Dr Armencius Munthe


“Aku Bersyukur Karena Masih Bisa Melayani” 

Oleh Jannerson Girsang

75 pohon untuk usia 75 tahun!.  Pdt Armencius Munthe, Mantan Ephorus GKPS  kali ini merayakan Ulang Tahunnya sedikit unik. 15 Februari lalu, dalam acara khusus di kampung halamannya Pangambatan, Kabupaten Karo—daerah tangkapan air terjun Sipiso-sipiso, bersama-sama dengan penduduk kampung, dia menanam 75 pohon, pertanda usianya.  "Saya ingin agar penduduk sadar pentingnya hutan untuk menjaga persediaan air,”ujarnya, 17 Maret lalu rumahnya, di bilangan Tanjung Sari Medan. Penulis Buku ”Firman Hidup 45” ini kemudian menjamu  sekitar 900 warga dan mengadakan pengobatan gratis kepada masyarakat yang memerlukan.

Sebagai ungkapan rasa syukur, masyarakat  Pangambatan menganugerahkannya sebuah Salib Emas atas kesehatan dan kontribusi Dr Armencius Munthe memberi pencerahan iman bagi warga kampung kelahirannya dan bagi dunia ini. ”Saya begitu terharu. Begitu besar penghargaan mereka. Bukan dari besar nilai materinya, tetapi ketulusan mereka,”ujarnya.

Memaknai Peringatan Ulang Tahunnya ke-75 tahun ini, suami Floriana Tobing ini mengatakan : ”Aku bersyukur, karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melayani hingga usia ujur ini,” katanya. Bahkan  beberapa bulan sebelum perayaan itu, ayah tiga putra dan satu puti ini menjalani perawatan jantung di salah satu rumah sakit di Singapura.

Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga memang dirasakan sang pendeta sampai usia tuanya. Sebuah pemaknaan hidup yang kemudian menjadi judul buku biografinya ”Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga”, yang ditulis oleh saya sendiri dan J.Anto (2004), sebagai hadiah Ulangtahunnya ke 70 ketika itu. Buku ini menjelaskan hal-hal yang pernah dilihat, dialami dan dimaknainya selama kurun waktu tersebut.

Menapaki usianya di atas 70,  karya-karyanya masih terus meluncur. Bukunya "Tema-tema Perjanjian Baru" yang diterbitkan 2005, laris manis. Kini sudah memasuki cetakan ke tiga. Bukunya yang lain "Jalan Ke Tahta" diterbitkan 2006. Buku ini adalah terjemahan dari bahasa Inggeris. Di usianya melewati 75 tahun ini, ayah tiga putra dan satu putri ini masih aktif dan sedang mempersiapkan sebuah buku : ”Back to the Bible”. ”Sekarang sedang di percetakan,”ujarnya.  Belasan buku bertema teologia dan kemasyarakatan sudah pula diterbitkan dan beberapa diantaranya mengalami cetak ulang beberapa kali.

Pendeta Dr Armencius Munthe MTh dilahirkan pada 12 Februari 1934 di desa Pangambatan, kurang lebih 100 kilometer sebelah Selatan kota Medan, ibu kota Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Masa kecilnya ditandai dengan kegiatan missionaris Lutheran dari Jerman dan masa-masa perang revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Jalan hidupnya, memang diakuinya penuh dengan Anugerah. Di usia 13 tahun, pria berkacamata minus ini kehilangan ayah tercinta Jalias Munthe, yang tewas ditembak Belanda. Bersama ibundanya Honim br Girsang (meninggal sekitar tiga tahun lalu) dan lima orang adik-adiknya mereka berjuang menapaki hidup. Bahkan kemudian dia berhasil menyelesaikan Master Theologi dari Universitas Hamburg Jerman pada 1965 dan bahkan kemudian selama puluhan tahun memimpin GKPS--gereja yang beranggotakan sekitar 200 ribu jiwa lebih itu. 

Memaknai semuanya itu, lima kata penting: Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga, merupakan refleksi hidupnya.  "Memaknai segala peristiwa kehidupan sebagai Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga merupakan kunci semua sukses yang saya raih," ujar pria yang menikah dengan Florentina Lumbantobing 15 Juni 1966 ini.

Menoleh kebelakang, kehidupannya memang penuh liku. Sebuah titik balik kehidupannya terjadi saat memasuki usia 16 tahun. Saat itu dia menjadi siswa Sekolah Rakyat di Saribudolok—13 kilometer dari desa kelahirannya, dan menumpang di sebuah rumah Pendeta Petrus Purba. Saat itu dia dibabtis tanpa sepengetahuan orang tuanya. Belum ada dari antara keluarganya yang menganut agama Kristen saat itu. ”Mereka menganut animisme,”ujarnya.

Dalam buku biografinya, diungkapkan bahwa anak-anaknya sering berhubungan dengan para pendeta-pendeta Barat.  Ketika itu, para pendeta itu sering berkunjung ke kampungnya dan terlihat gagah memakai topi putih dan memakai tongkat. Itulah yang mengilhaminya bercita-cita menjadi pendeta.Sebuah pertimbangan rasional oleh pria seusianya.

Pada 1954, selepas Sekolah Lanjutan Pertamanya di Pematangsiantar--70 kilometer dari desanya,  A Munthe mendaftar ke sekolah seminari di Sipoholon. Sekolah itu adalah sekolah calon pendeta yang dikelola oleh Huria Kristen Batak Protestan--gereja dengan jemaat terbesar di Asia Tenggara. Pilihan itu sebenarnya tidak disukai orang tuanya. Kebanggaan keluarga pada masa itu adalah bekerja sebagai pegawai pemerintah atau militer. Namun niatnya bulat memasuki sekolah itu dan berhasil lulus Sarjana Muda Theologia pada 1958, dengan prestasi yang ”sangat memuaskan”.
Memulai kariernya sebagai pendeta, Huria Kristen Batak Protestan Simalungun (HKBPS)—1964 berubah menjadi Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), mengangkatnya menjadi pendeta di Hang Tuah Medan—ibu kota provinsi Sumatera Utara, salah satu dari 33 provinsi di Indonesia.

Setelah melayani beberapa tahun di wilayah kota Medan, A Munthe memperoleh kesempatan tugas belajar ke  Fakultas Theologia, Universitas Hamburg, Jerman dengan bea siswa dari Reinische Mission Gesellschaft (RMG). Pada 1965 dia lulus dan kembali ke Indonesia.

Sekembalinya dari Jerman, GKPS menugaskannya melayani beberapa tahun di Pulau Nias--pulau yang  diterjang oleh Gempa Bumi terbesar dunia dengan 8.5 skala Richter pada Maret 2005, dan dua bulan sebelumnya diterjang tsunami. Selama 3 tahun Dr A Munthe mengajar di sebuah Seminari di pulau paling miskin di propinsi Sumatera Utara itu, sekaligus  melakukan pelayanan ke pedalaman.
Kesempatan menapak ke tampuk pimpinan gereja terbuka saat GKPS kembali menugaskannya ke Sondiraya, Kabupaten Simalungun untuk memimpin lembaga pendidikan milik gereja tersebut. Dari desa--yang saat itu merupakan pusat pendidikan  "terbaik" di Simalungun ketika itu, cahaya kepemimpinannya mulai bersinar. Dalam Synode Bolon GKPS 1970, dia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Kristen Protestan Simalungun--kini jumlah jemaatnya lebih dari 200 ribu jemaat tersebar di 615 jemaat di seluruh Indoinesia. Saat itu usianya baru menginjak  34 tahun. Sejak itu, Dr A Munthe memegang jabatan Pimpinan Pusat GKPS selama 25 tahun ; 13 tahun sebagai Sekjen  dan 10 tahun menjadi  Ephorus (Bishop).

Setelah meninggalkan tampuk pimpinan puncak GKPS pada 1995, Dr A Munthe  aktif sebagai dosen Sekolah Tinggi Theologia Abdi Sabda--sebuah sekolah Theologia yang dikelola beberapa gereja Lutheran di Sumatera Utara. Selain itu dia juga aktif dalam menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari, sehingga mudah dibaca umat.

Meski sudah menjalani pensiun, Dr A Munthe masih memiliki jadwal khotbah yang padat, tidak saja di GKPS, tetapi juga gereja-gereja lainnya seperti HKBP, GKPI, Methodis dan lain-lain. Undangan khotbah oleh instansi dan kantor-kantor perusahaan masih terus berdatangan.  

"Aku bersyukur kalau masih bisa melayani," demikian motto Dr A Munthe yang pintar berkhotbah dan telah menulis puluhan buku tentang teologia dan kemasyarakatan ini.

Atas karya-karya dan pengabdiannya,  Universitas Chennai, India menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada A Munthe 1997. Sayangnya, lelaki yang belajar komputer setelah pensiun pada 1995 ini, tidak bisa menghadiri penganugerahan gelar doktor tersebut. Sesaat sebelum berangkat dari Bandara Polonia  Medan, tiba-tiba petugas mengumumkan semua penerbangan ditutup karena asap tebal melanda lapangan terbang tersebut selama beberapa hari akibat kebakaran hutan.

Pidatonya sendiri hanya dibacakan saat penanugerahan itu. Judul pidato pengukuhan gelar doktor tersebut adalah "Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga", sebuah refleksi kehidupan pribadinya. "Itulah refleksi kehidupan saya," katanya.

Selamat Ulang Tahun ke-75 untuk pak Munthe sukses dan terus berkarya di tengah-tengah jemaat. .

Tulisan ini adalah Hadiah Ulang Tahunku bagi seorang yang aku agumi!.

Selamat Jalan SK Trimurti


Oleh : Jannerson Girsang

Dunia jurnalis Indonesia berkabung!. SK Trimurti yang nama lengkapnya Surastri Karma Trimurti, seorang tokoh pers nasional meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta dalam usia 96 tahun. Wanita kelahiran Boyolali 11 Mei 1912 menghadap khalikNya, sembilan hari setelah Ulang Tahunnya ke 96, tepatnya 20 Mei 2008 sekitar pukul 18.30 WIB. Saat itu bertepatan dengan saat berlangsungnya puncak perayaan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang dirayakan di Senayan, Jakarta.

Seluruh stasion televisi dikerahkan untuk menayangkan berita perayaan itu secara langsung (live), sehingga peristiwa meninggalnya istri Sayuti Melik—juru ketik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia itu tertelan hirukpikuknya perayaan akbar itu.

Dua buku yakni “SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa”, yang ditulis Soebagio IN (1982) dan "Jagat Wartawan Indonesia" yang juga ditulis Soebagio IN (1980) menjadi sumber utama penulisan artikel ini, disamping beberapa sumber lain.

Meninggalkan Guru Memasuk Dunia Pergerakan dan Wartawan

Perjalanan hidup SK Trimurti,  pantas dijadikan sebagai salah seorang teladan pers Indonesia, khususnya pemahamannya akan kondisi bangsanya, semangat dan keberanian menyatakan sikapnya sebagai seorang wartawati dan sekaligus pejuang.

Setelah berjuang melalui media dan aktif di masa pergerakan memperjuangkan Indonesia Merdeka, ia bergerak bersama suaminya, Sayuti Melik di malam-malam terakhir persiapan pembacaan Proklamasi. Sayuti Melik adalah juru ketik naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Trimurti ikut hadir saat pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. Dialah seorang perempuan saksi pembacaan Proklamasi.

Setelah Indonesia merdeka SK Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia dan atas nama partainya menjadi Menteri Buruh Indonesia yang pertama. Selain itu, ia menjadi anggota Dewan Nasional Angkatan 45, Anggota MPRS, anggota Perintis Kemerdekaan Indonesia serta memperoleh beberapa bintang tanda jasa. Ia diminta berperan, bukan merengek-rengek minta peran, apalagi menyogok untuk diberi jabatan!. SK Trimurti pernah menjadi utusan negara ke berbagai pertemuan di luar negeri seperti Yugoslavia (1962) sebagai anggota dewan Perancang Nasional, ke Kongres Wanita Internasional di Moskow (1963), serta Jerman Timur (1964). Semasa Orde Baru SK Trimurti aktif menghadiri seminar, upaca-upaca peringatan hari-hari bersejarah, berdialog dengan para pemimpin bangsa

Awalnya, SK Trimurti adalah seorang guru. Dia hanyalah lulusan Sekolah Guru Putri (Meisjes Normal School) di Jebres, Solo. Semasa menjadi guru hatinya mulai tergugah untuk belajar berorganisasi. Masuk menjadi anggota perkumpulan Rukun Warga, dan kadang-kadang ikut rapat Budi Utomo yang kala itu sudah mempunyai cabangnya di Banyumas, tempatnya mengajar. Lantas, aktif mengikuti pertemuan-pertemuan organisasi yang lebih besar bahkan hadir ke  berbagai kota di Jawa. Setelah masuk menjadi anggota Partindo, Surastri kemudian pindah ke Bandung. Di sana, selain aktif di pergerakan, pada pagi hari mengajar di Sekolah Dasar Perguruan Rakyat. Pada akhirnya, pekerjaan itupun terpaksa dihentikannya, karena ada larangan mengajar karena alasan “untuk kepentingan umum", yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat melalui Asisten Residen.

Alkisah, di masa 1930-an, dalam sebuah kesempatan, Bung Karno pernah mengajak SK Trimurti menulis di media yang dipimpinnya. “Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Rakyat,” ujar Bung Karno kepada SK Trimurti, seperti ditulis Soebagio I.N dalam buku “Jagat Wartawan Indonesia” (1980). Kala itu Bung Karno adalah pemimpin Fikiran Rakyat di Bandung.

Dalam buku itu, disebutkan SK Trimurti merasa tertantang sekaligus bingung, karena saat itu dia belum pernah menulis dalam majalah ataupun koran. Singkat cerita, Trimurti akhirnya mengirimkan tulisannya ke Fikiran Rakyat. Tulisannya benar-benar dimuat!. Trimurti bersemangat. Ia menjadi jurnalis yang ditempa masanya, dengan semangat membebaskan bangsanya dari cengkeraman bangsa asing. “Sayangnya, baru sekali mengirim tulisan, kemudian Soekarno ditahan Belanda,” kisah Soebagio dalam bukunya. Tantangan ini tidak serta merta menurunkan semangat juangnya.

Kehilangan pekerjaan sebagai guru dan ditutupnya Pikiran Rakyat, SK Trimurti meninggalkan Bandung dan pulang ke kampungnya di Klaten. Di kampungnya, ia tidak tinggal diam. Kebiasaannya di Bandung berlanjut di sana. Mengisi kekosongan waktu selama di kampung ia mengirimkan tulisannya ke harian Berdjoeang pimpinan Doel Arnowo di Surabaya.

Atas ajakan rekan-rekannya, Trimurti kemudian memimpin majalah Bedoeg yang berbahasa Jawa. Siar majalah Bedoeg dianggab kurang luas, karena soal bahasa yang digunakan. Kemudian nama majalah tersebut diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.

Di kemudian hari ia bergabung dengan temannya seorang wanita bernama Sri Panggihan, menerbitkan majalah Marhaeni. Isinya berupa pendidikan-pendidikan yang ditujukan kepada kaum wanita agar ikut serta dalam perjuangan rakyat untuk pembebasan tanah air. Semboyan Persatuan Marhaeni sendiri jelas. “Masyarakat adil dan makmur, dengan melalui Indonesia Merdeka”.

SK Trimurti, tidak puas hanya sebagai seorang wartawati atau redaktris. Dari uang hadiah tulisannya, ia mendirikan sebuah majalah, yakni Suluh Kita, yang pengelolaannya diserahkan kepada orang lain. Trimurti kemudian mendapat tawaran bekerja sebagai redaktris pada majalah Sinar Selatan, sebuah harian yang diterbitkan seorang keturunan Jepang.

Menghadapi Risiko Sebagai Wartawan

SK Trimurti menjalani kehidupan jurnalis dan pejuang kemerdekaan dengan segala risiko dan kondisi kehidupan yang dialaminya. “Dia lebih dikenal sebagai seorang wartawati, yang keluar masuk bui karena tulisannya yang terkenal tajam. Banyak karangannya waktu itu dimuat dalam harian Sinar Selatan, kemudian di mingguan Pesat yang terbit di Semarang”, demikian diungkapkan Soabagio IN dalam biografinya berjudul SK Trimurti : Wanita Pengabdi Bangsa (1982).

Salah satu contoh kejelian dan keberaniannya adalah ketika ia menjadi redaktris di Sinar Selatan. Suatu saat SK Trimurti menerima sebuah tulisan berjudul “Pertikaian Jepang-Tiongkok, Sikap yang Patut Diambil Bangsa Indonesia terhadap Pertikaian Tiongkok-Jepang”. Isinya, “Rakyat Indonesia tidak usah membela Belanda. Sebab Belanda Imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang sebab Jepang kemungkinan juga imperialis. Yang baik, sikap bangsa Indonesia ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaan sendiri”. Ia meloloskan tulisan yang menyatakan sikap yang seharusnya ditempuh oleh pemimpin bangsa. Tulisan ini menyebabkan penguasa ketika itu naik pitam. Trimurti diganjar 6 bulan penjara.

SK Trimurti mengambil peran penting melalui dunia wartawan, sekaligus berperan dalam perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari kedua buku tentang SK Trimurti kami melihat bahwa ia memahami kondisi bangsanya, merumuskan visi dengan jelas dan dapat dimengerti orang lain, serta memiliki sikap yang konsisten dengan perjuangan bangsanya.

Selain sebagai seorang penulis, SK Trimurti aktif dalam pergerakan. Seperti telah disebut di atas, ia  menjadi anggota Partindo dan pernah menjadi Ketua PB Marhaeni Indonesia. Karena ketahuan menyebarkan pamflet yang berbau anti penjajah, Trimurti dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Penjara, ternyata tidak bisa menghentikan suara dan karya seorang wartawan. Selepas dari penjara, Trimurti justru memperoleh hadiah sejumlah uang dari surat kabar “Penebar Semangat” karena memenangkan penulisan cerita sandiwara.


Media dan Apresiasi Pejuang Perempuan!

Kalau anda jeli menonton televisi atau membaca media cetak, sebuah rasa keprihatinan muncul atas sikap mereka dalam pemberitaan kedua tokoh nasional itu. Salah satu harian terbesar di Indonesia, menempatkan peristiwa meninggalnya SK Trimurti dibelakang berita Ali Sadikin. Kalau Ali Sadikin mendapat porsi 3 kolom penuh di halaman muka dan bersambung dua kolom di halaman 15 dan dengan penjelasan yang lebih lengkap, maka pemberitaan tentang meninggalnya SK Trimurti hanya diapresiasi dengan sub-judul : “Berpulang dalam sepi” dan hanya dua kolom yang tidak penuh. Kesan pembaca, Ali Sadikin jauh lebih populer dan lebih berjasa dari SK Trimurti. 

Detik.com menampilkan peristiwa itu dengan judul : “Ali Sadikin dan SK Trimurti Wafat”. Walau hanya berita singkat, keduanya diberi porsi berita dan penjelasan yang seimbang. Memang, seharusnya keduanya mendapat porsi pemberitaan yang proporsional.

Ada sebuah keprihatinan dalam benak kami : kalau media saja tidak memberi apresiasi yang besar atas seorang tokoh media, lalu siapa?. Wanita besar seperti apa yang menarik media untuk diapresiasi?. Sikap media atas tokoh pejuang perempuan perlu terus digaungkan. Himbauan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta baru-baru ini untuk lebih mengapresiasi prestasi para pejuang perempuan perlu direnungkan.

Bagi insan pers perlu meningkatkan kepekaannya menampilkan tentang karya-karya perempuan dan tokoh perempuan. Sungguh sebuah ironi, kalau meninggalnya seorang rokoh perempuan sekaliber SK Trimurti tidak diberi porsi istimewa di dalam pemberitaan media, mengingat dia adalah tokoh pers nasional.

Berikan Akses Media

Bercermin ke belakang, memang cerita tokoh pers perempuan masih sangat minim diungkap di media maupun buku-buku. Buku “Jagad Wartawan Indonesia” (1980), mengungkapkan bahwa dari 111 biografi singkat tokoh wartawan Indonesia, hanya tercantum dua wartawati yakni Rasuna Said (halaman 502-506) dan Surastri Karma Trimurti (hal 397-402). Tidak jelas mengapa demikian. Barangkali, tidak tampilnya karya-karya dan tokoh pers perempuan bisa jadi merupakan gambaran minimnya peran perempuan dalam dunia jurnalistik kita di masa itu. Tetapi bisa jadi, sama seperti kejadian yang menimpa SK Trimurti, media kita masih lebih berpihak pada tokoh laki-laki.

Dampak dari situasi ini jelas. Cerita perjuangan dan sukses perempuan secara individual boleh dikata masih sangat minim. Popularitas perempuan jauh dibawah laki-laki!. Di alam demokrasi sekarang ini, hal ini berakibat pada akses perempuan di pentas politik dan berbagai jabatan strategis lainnya di masa mendatang. Jangan heran, kalau apresiasi media atas peran perempuan seperti kondisi ini, maka untuk mengejar target 30% perempuan mengambil peran dalam kepengurusan Partai maupun anggota Parlemen dan juga jabatan-jabatan strategis lainnya, akan berjalan tertatih-tatih.

Sejarah menunjukkan, media adalah salah satu cara efektif masuknya orang ke dalam kancah politik Posisi yang tidak hanya membutuhkan kemampuan (skill), tetapi juga popularitas dan dukungan masyarakat. Tanpa memfasilitasi akses media kepada perempuan, maka kesetaraan gender akan terus menjadi wacana, tanpa sesuatu perubahan yang signifikan.

Kepergiaan SK Trimurti merupakan momen penting untuk menghimbau media agar memberikan porsi yang lebih besar untuk suara perempuan dan karya-karya mereka serta juga berikan kesempatan bagi mereka menciptakan dan menilai berita yang layak bagi bangsa ini. Keputusan menetapkan berita pada sebagian besar harian umum, majalah umum mingguan yang besar, stasion televisi, radio masih perlu ditata agar memberikan porsi yang benar bagi apresiasi karya perempuan.

SK Trimurti-SK Trimurti Baru

Momen ini juga sekaligus menghimbau agar kaum perempuan Indonesia lebih banyak menyuarakan ide atau keluhannya melalui media. SK Trimurti menyadarkan kita bahwa gagasan-gagasan perempuan bisa diketahui publik kalau disampaikan kepada masyarakat melalui media. Jangan biarkan karya-karya, buah pikiran tersimpan di benak hati, di dalam laptop atau hard disk komputer. Belajar dari pengalaman SK Trimurti, menuangkan opini atau berita di media adalah alat penting bagi kaum perempuan untuk memperjuangkan nasib kaumnya dan sekaligus nasib bangsanya sendiri. Sentuhan hati dan nurani perempuan yang lembut namun “berpengaruh”.

Polesan kalimat mereka dibutuhkan untuk menjelaskan dan menyadarkan kita semua atas kondisi faktual saat ini seperti : “korupsi berjamaah” yang kian hari semakin merasuk masyarakat kita, harga-harga kebutuhan yang terus meroket akibat rencana kenaikan BBM, lapangan kerja sulit, praktek percaloan pegawai, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Lihatlah Kabinet dibawah SBY sekarang!. Beberapa hari terakhir menampilkan Sri Mulyani dan Mari Pangestu sebagai “alat pendingin” pemerintah soal kenaikan BBM. Mungkin mereka sadar bahwa Hawa berhasil membujuk Adam untuk memakan “buah terlarang”. Tentunya perempuan juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi “masyarakat” memahami “tindakan pemerintah”-terlepas apakah tindakan itu benar atau salah.
Tentu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” bisa melakukan hal yang sebaliknya, memberikan penjelasan kepada pemerintah untuk lebih memahami masyarakatnya. Kalau SK Trimurti berani meloloskan berita-berita keras dan berpengaruh di zaman Belanda, mengapa di zaman sekarang ini para perempuian tidak melakukan hal yang sama untuk memperjuangkan rakyatnya!.

Bangsa ini sedang menunggu “SK Trimurti-SK Trimurti baru” menyuarakan karya-karya perempuan dan bangsanya sendiri. Assosiasi Jurnalis Perempuan yang muncul belakangan ini memiliki beban besar yakni memberi warna yang berbeda dari assosiasi jurnalis lainnya. Selamat jalan SK Trimurti, keteladananmu sebagai wartawati akan menjadi pendorong semangat para wartawan Indonesia, khususnya wartawati Indonesia lebih mengapresiasi karya-karya dan tokoh-tokoh perempuan!. Dimuat di Harian Analisa Mei 2008.

Keterangan Foto : (JAKARTA, 27/8 - TUTUP USIA. SK Trimurti seorang wartawati, penulis, pengajar, dan istri dari Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, tutup usia pada saat bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Foto diambil pada acara temu generasi dalam rangka Proklamasi RI, di Gedung Joang 45, Jakarta, Jumat (27/8), SK.Trimurti bersalaman dengan Benny Wenas, disaksikan Ketua Dewan Harian Daerah 45 DKI Jakarta, HR Soeprapto. FOTO ANTARA/Audy Alwi/hm/hp/08diselenggarakan di Senayan, Jakarta dan dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia). 

Senin, 16 Maret 2009

Marengge-Rengge Masa Krisis


Pengantar : Seorang wartawan senior, Bersihar Lubis, menulis tiga artikel selama tiga hari berturut-turut  (3, 4, 5 Nopember 2008) di harian Medan Bisnis menggunakan buku ”Haholongan” sebagai referensi menghadapi masa krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, serta masyarakat Internasional pada umumnya. Haholongon adalah buku Biografi yang ke 9 yang kami tulis enam tahun terakhir ini. (Jannerson Girsang, 2008. Haholongon, Kasih Perempuan Sejati. Biografi Yohanna br Mabun Banjarnahor)

Marengge-Rengge Masa Krisis
Medan Bisnis Senin, 03-11-2008
*Bersihar Lubis

SIBORONG-borong di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut masih berselimut kabut. Ketika orang-orang tertidur lena, perempuan itu sudah bergegas membawa barang dagangannya ke onan (pasar mingguan) di kota-kota kecil di Tapanuli Utara. Orang Batak menyebutnya parengge-rengge, atau pedagang pasar.
Kala itu, sekitar 1960-an. Perempuan itu sedang menghadapi pergulatan ekonomi keluarga. Mungkin, seperti yang kini banyak mendera keluarga Amerika Serikat yang dilibas oleh krisis keuangan. Namun perempuan itu tak mau menyerah.
Maklum, ia dan suaminya menanggung delapan orang anak, serta tiga orang lagi, lahir kemudian. Peliknya, biaya hidup, uang sekolah anak-anaknya dan kontrakan rumah tidak bisa ditunda. Mengandalkan gaji suaminya saja sebagai seorang pegawai Kantor Camat, jelas tidak mencukupi.
Statusnya sebagai putri bangsawan, menantu mantan saudagar kaya, bahkan ia pun berpendidikan lumayan, tak membuat ia malu.
Perempuan itu, tentu saja tidak tahu teori Rostow dan Mc Cleland tentang Need for Achievement. Tapi motivasinya untuk tetap eksis, luar biasa. Saban hari, ia bergiliran menyusuri onan di Tapanuli Utara. Setiap hari, berpuluh-puluh kilometer ia tempuh di atas truk bersama parengge-rengge lainnya.
Ketika bulan sudah terbenam di angkasa, dan langit gelap, ia baru tiba di rumah. Namun ia lega menatap putra-putrinya yang sudah tidur nyenyak bak dipeluk mimpi-mimpi indah.
Perempuan itu nyaris bekerja antara 12-18 jam sehari. Jika ia pulang lebih dini, waktu tersisa dimanfaatkannya dengan menjahit. Maklum, kain sarung yang dibeli para pedagang di Pematangsiantar dan Medan masih berupa lembaran biasa. Ia lalu menjahitnya agar menjadi kain sarung dan dijual di onan.
Kadang ia juga menyulam di malam hari. Di saat sepasang kakinya “menari” di pedal mesin jahit, ia pun menyenandungkan lagu Batak mengusir rasa sepi. Tanpa sadar kadang bola matanya basah.
Empat hari dalam semingu, ia ”berayun-ayun” di atas mobil truk. Banyak jalanan yang berlobang, dan jika hujan mengguyur berubah menjadi kubangan lumpur, dan waktu tempuh semakin lama.
Dari Siborong-borong ke Sipahutar sejauh 22 kilometer ditempuh 3 - 4 jam. Padahal jika jalanan mulus, cukup 30 menit. Itu sebabnya ia mesti bangun sebelum fajar menyingsing.
Perempuan itu pulang ke rumah, rata-rata pukul 7 atau 8 malam. Ia hanya tidur 2-3 jam, dan dinihari kembali bergegas ke pasar Pangaribuan sejauh 44 kilometer dalam perjalanan 5-6 jam. Agaknya, etos Calvinis yang merasuk ke sukmanya, membuat ia tetap tegar.
Setiap kali truk melewati Bukit Rau, di antara Sipahutar dan Siborongborong, mereka waswas. Truk tak bisa lewat karena rodanya terbenam dalam lumpur tebal. Terpaksa bermalam di lokasi. Terpaksa pula tidur di atas bak truk beralaskan barang-barang jualan, seraya menahan dinginnya hawa malam dan serangan nyamuk-nyamuk yang berdengung-dengung.
Pernah pula truk mereka terbalik. Kala itu, ia sedang menggendong si bungsunya yang masih kecil. Perempuan itu kaget ketika tahu-tahu sudah berada di dalam jurang. Ajaib, si kecil ia lihat sudah di pangku sopir truk.
Suatu hari di suatu kampung ada tanjakan terjal. Di sebelah kiri tebing, dan jurang di kanan. Tiba-tiba mesin truk mati, dan truk merosot ke belakang. Para penumpang menjerit panik, karena roda belakang sudah tergantung di mulut jurang. Puji Tuhan, sebuah pohon besar menghempang truk terjun ke jurang.
Duduk berjam-jam di atas bak mobil truk sembari diguncang-guncang roda mobil, tidaklah nyaman. Bau muntahan makanan teman mereka yang perutnya serasa diaduk-aduk, adalah rutinitas mereka. Belum lagi sengatan matahari yang terik.
Untunglah, barang dagangan mereka diminati pembeli. Rejeki lagi ramah. Tapi terkadang rugi karena tak semua pelanggan membayar tunai. Ada juga pembeli yang mencicil. Dan sering macet ketika ditagih.
Jika sial seperti itu, pada saat pulang di atas truk, mereka akan menghibur diri dengan lagu bernada kocak.
Parrengge-rengge inangda simatuakku
Rengge-renggena inangda anak ni asu
Dihallung-hallung inangda tu Doloksanggul
Mulak balging da inang da ala so lakku

Namun kala usianya makin senja, perempuan itu “kalah” juga. Ketika satu persatu putra-putrinya sukses di tanah rantauan, mereka meminta sang ibu tak lagi berjualan. Tapi, siapa gerangan perempuan yang “perkasa” itu? (Bersambung).

Non Finansial & Bunga Tulip

Selasa, 04-11-2008

*Bersihar Lubis
SOSOK perempuan yang dikisahkan MedanBisnis edisi kemarin di kolom ini dicuplik dari sebuah memoar berjudul “Haholongan” (2008) sebuah kisah hidup Johanna boru Marbun Banjarnahor, 87 tahun. Ditulis oleh Jannerson Girsang dan J Anto, dan saya sendiri sebagai editornya.

Mengutip penelitian Puslitbank FE USU Medan berjudul “Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) dari Aspek Non-Finansial di Sumut” yang digelar 29 Oktober 2008 lalu di gedung BI Medan, saya kira Johanna terkategori memiliki aspek non-finansial meskipun dalam gaya tahun 1960-an.
Johanna disiplin soal waktu, peka permintaan pasar dan memiliki elan vital yang luar biasa. Ia tekuni diversifikasi usaha, sehingga hari-harinya menjadi produktif.
Dukungan finansial, karena ia berasal dari keluarga terpandang, tak membuatnya sukses. Johanna kelahiran 1921 di Onan Ganjang, Tapanuli Utara ini bersuamikan Gerhard Nainggolan, ayah RE Nainggolan, kini Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Utara.
Ayahnya, Raja Herman Marbun adalah pengatur irigasi yang pada 1931 diangkat pemerintahan Hindia Belanda menjadi Kepala Negeri. Ia sering rapat di Tarutung, Siborongborong, Sidikalang dan Medan, atas undangan pemerintah.
Johanna pun seorang terpelajar. Lulus Sekolah Dasar Zending pada 1932, dan Meisje School sehingga ia paham bahasa Belanda, serta lulus pada 1935. Ia masih studi ke Huishoud School (SMKA, sekarang) di Laguboti.
Johanna menikah dengan Gerhard pada 1938. Gerhard berpendidikan MULO di Medan, meski tidak tamat. Gerhard Nainggolan adalah putra Julius Nainggolan, saudagar kemenyan yang sukses hingga 1950-an. Sekali sebulan ia mengirimkan 8 ton kemenyan ke Sibolga, Pematangsiantar, Pulau Jawa dan luar negeri.
Jika semula Johanna guru di sekolah Zending, dan Gerhard mengajar Bahasa Belanda, sang mertua meminta menantunya cukup di rumah saja, dan anaknya ikut berbisnis kemenyan.
Belakangan pasangan ini “berdikari” membuka usaha toko kelontong. Namun zaman Jepang datang, dan segenap penduduk menangis karena seluruh hasil bumi harus disetorkan ke Jepang. Penduduk menjalani kerja paksa romusha dan tanpa upah. Usaha kelontong Johanna pun bangkrut.
Derita lebih getir muncul ketika Belanda kembali masuk ke Indonesia. Status ayahnya semasa menjadi Kepala Negeri di masa lalu ternyata menjadi bumerang. Raja Herman menjadi sasaran laskar rakyat yang anti Belanda.
Sejarawan menulis kisah ini sebagai “revolusi sosial.” Kita teringat terbunuhnya penyair Amir Hamzah, putra Raja Langkat, yang ketika studi di Solo dikenal sebagai Ketua Indonesia Muda, sebuah organisasi yang sangat nasionalis.
Pasangan Johanna-Gerhard, setelah cease fire pada 1948, eksodus ke Pematangsiantar. Namun meski menyewa rumah kecil, kios dan modal berjualan, tapi setelah dua tahun, bisnis Gerhard gulung tikar.
Tak pelak, mereka kembali ke Dolok Sanggul pada 1950. Namun lagi-lagi bisnis bukanlah pentas Gerhard meski disangga kapital yang cukup dari sang ayah. Singkat cerita, Gerhard menjadi pegawai negeri pada 1952 dan ditempatkan di Barus, dan kemudian ke Sibolga.
Tak disangka-sangka, meletuslah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sehingga kelurga Gerhard pindah ke Tarutung. Cobaan datang silih ganti. Raja Herman dan Julius Nainggolan, meninggal pada 1960.
Namun Johanna tegar. Ia terjuni dunia marengge-rengge yang penuh pergumulan, sehingga putra-putrinya sukses merenggut masa depan. Cucu-cucunya pun rata-rata meraih sarjana dari kampus dalam negeri maupun luar negeri seperti Perancis, Swiss dan Amerika Serikat.
Habis gelap terbitlah terang. Johanna diberangkatkan putra-putrinya ke Jerusalem pada 1996 silam. Ia bernapaktilas ke Tel Aviv, Golgota, menyeberangi Danau Tiberias, Laut Mati, Bukit Musa, menjenguk Tembok Ratapan dan Masjid Al Aqsa. Juga mampir di Roma dan Belanda, seraya menikmati bunga tulip yang indah berwarna warni.
Ternyata, kunci sukses tak selalu karena faktor finansial. Faktor non finansial, seperti diungkapkan oleh Puslitbank FE USU Medan, jauh lebih penting. (Bersambung)

Non Finansial & Ekonomi Politik

Rabu, 05-11-2008
*Bersihar Lubis

DUIT tidak segala-galanya, Saudara! Meskipun kredit UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), termasuk kredit BPR (bank perkreditan rakyat) pada 2007 sebesar Rp 523,3 triliun, namun sumbangannya dalam pembentukan PDB (produk domestik bruto) hanya sebanyak 37,8% dari total PDB nasional.
Padahal, UMK merupakan sumber utama kehidupan rakyat dengan daya serap tenaga kerja mencapai 92,3%. Jumlah terbesar dari pelaku usaha di negeri ini pun adalah UMK yang mencapai 99,7%. Banyak secara kuantitas, tak berdaya secara kualitas.
Fakta yang diungkapkan oleh Jhon Tafbu Ritonga dkk dari Lembaga Penelitian dan Perbankan FE USU Medan sekaligus melukiskan hanya sekelumit kecil pelaku usaha di pucuk piramida bangunan sosial ekonomi yang menentukan PDB secara nasional. Nurani kita tergugah, ternyata kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih menjadi masalah yang tak kunjung usai.
Namun berkeluh kesah melulu bukanlah solusi. Puslitbang FE USU kemudian mewawancarai 300 pelaku UMK secara acak di Sumatera Utara. Ternyata dukungan aspek non finansial sangat berperan penting dalam mendongkrak martabat UMK di daerah ini.
Adapun aspek non finansial itu adalah manajerial, legalitas, produksi, pemasaran dan ketenaga-kerjaan. Prihatinnya, umumnya responden kurang menyadarinya, dan menganggap faktor finansial lah yang membuat mereka kurang atau tidak sukses.
Padahal, agar uang bisa memanen uang, money to money, kata orang, mestilah digerakkan oleh faktor non finansial. Uang hanya sekadar alat. Bahkan dalam skala besar pun, sebuah pabrik yang mempunyai modal besar tidak akan sukses jika tak didukung oleh buruh, manajemen marketing dan produksi yang berkualitas.
Kita mengurut dada karena hanya 12,2% pelaku UMK yang mengaku telah mendapat pelatihan non finansial. Itu pun baru menyangkut keterampilan produksi. Sementara bidang pemasaran, tata kelola perusahaan dan keterampilan tenaga kerja masih sangat terbatas.
Tapi misalkan pada suatu hari pelaku UMK kita telah “naik kelas” dari usaha yang tidak berlokasi permanen menjadi permanen, dari usaha informal menjadi legal-formal serta usaha mikro menjadi industri kecil, masih ada faktor non finansial lainnya yang menghadang.
Contohnya, industri makanan dan minuman, baik kecil, menengah dan besar sekalipun akan kalah bersaing jika produk sejenis menyerbu dari luar negeri. Industri otomotif kita bahkan hanya menjadi “pelayan” industri mobil luar negeri untuk sekadar membuat spare part. Tak seperti Proton Saga, mobil Malaysia yang kompetitif dengan mobil asing.
Tidak heran jika pelaku UMK yang berkutat di pasar tradisional selalu kalah bersaing dengan pasar modern dan formal yang membanjir di negeri ini. Bukankah, restoran Mc Donald dan KFC lebih digemari dibanding ayam goreng Suharti dan kedai nasi Padang?
Faktor non finansial dalam tataran kebijakan pemerintah dalam mengembangkan UMK dengan demikian telah memasuki paradoks wilayah ekonomi politik atau ideologi ekonomi. Jika liberalisasi perdagangan yang tanpa kendali membuat industri kita kalah bersaing, apalagi pelaku UMK yang rapuh akan semakin tidak berkutik.
Apa daya, dalam “dual society” dan “dual economies” selalu saja sektor modern yang berkibar-kibar. Sektor tradisional tetap saja terkapar.
Ketika kita memrioritaskan yang satu, sekaligus kita sedang mengorbankan yang lain. Alangkah tragisnya, jika pelaku UMK yang jumlahnya lebih banyak diminta berkorban demi yang sedikit (Habis).Wartawan MedanBisnis.

Dapat juga diakses ke : http://www.medanbisnisonline.com

MELONGOK PENGUSAHA KEMENYAN ERA 30-AN

Oleh : Jannerson Girsang

Julius Nainggolan, pengusaha kemenyan di era 1930-an sampai 1950-an, tidaklah banyak diketahui masyarakat luas di Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, desa kecil Huta Julu, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, barangkali tak pernah tersebut, bahkan di peta umum propinsi yang dipublikasi luas, desanya tidak tercantum. Sama seperti wilayah Humbang yang selama ini dikenal dengan “Si Jama Polang” (Petani Kemenyan), kurang begitu dikenal kalangan generasi muda maupun masyarakat Sumatera Utara sebagai wilayah wisata agro.

Sama seperti kami sebelum mengunjungi wilayah ini, kebanyakan masyarakat Sumatera Utara di luar Humbang, tidak begitu mengenal akan tanaman khas daerah ini, Haminjon Toba (Styrax paralleloneurum) dan Haminjon Durame (Styrax benzoin)!.Apa lagi kisah sukses mereka yang pernah mengelola komoditi ini, seperti Julius Nainggolan dan puluhan pengusaha lainnya. Padahal, aktor-aktor pengelola kemenyan sebenarnya adalah pengusaha kelas-kelas dunia, karena wilayah itu merupakan penghasil kemenyan terbesar di dunia!. Tidak ada daerah lain yang menawarkan wisata seperti ini di Indonesia. Bagi pencinta wisata agro ada baiknya melongok wilayah ini sebagai satu alternatif tempat berlibur sekaligus tempat belajar bagi para remaja dan anak-anak muda. (Pelajar dan Mahasiswa).

Selain kemenyan, kota penghasil komoditi dunia lainnya sebenarnya tidak begitu jauh dari sini, yakni Barus. Jaraknya dari Onan Ganjang ibu kota kecamatan Onan Ganjang hanya 52 kilometer. Tidak jauh dari sana, Bakkara, terdapat istana Sang Raja Sisingamangaraja XII. Sebenarnya potensial untuk sebuah paket wisata.

***

Wisata agro dan kisah sukses pengusaha kemenyan terdapat di banyak tempat di Humbang. Salah satu diantaranya adalah Huta Batuara. Siang itu, Jumat 15 Februari 2008, suasana kampung begitu senyap. Rumah-rumah kosong. Di pekarangan terlihat beberapa wanita tua sedang berbincang-bincang. Di sudut lain dua atau tiga orang siswa Sekolah Dasar sedang bermain. Sekolah Dasar adalah satu-satunya fasilitas pendidikan satu-satunya di desa itu. Dua kompleks makam berdiri megah, diam membisu di antara 13 rumah di kampung itu. “Ibu-ibu bekerja di sawah dan para bapak-bapak ke tombak,”ujar seorang pria berusia 60-an. Begitulah desa itu dari masa ke masa, tanpa perkembangan yang berarti.

Di tengah-tengah suasana hening seperti itu, pandangan mata tertuju pada sebuah rumah. Dari luar, tampak ukurannya relatif besar dan tinggi menjulang dengan arsitektur campuran Batak, Melayu dan Barat, dibangun sekitar pertengahan 1930-an. Sungguh berbeda dari rumah-rumah lainnya. Proses pelapukan ternyata tak terhindarkan, sehingga bentuk asli bangunan tersebut sudah mengalami sedikit perubahan akibat renovasi. Untungnya, bangunan asli seperti bagian atap, desain ruangan masih dapat terlihat dengan jelas. Pemilik rumah pasti adalah seorang yang istimewa dari umumnya penduduk kampung itu. Muncul rasa kagum, mengingat arsitektur dan ukuran rumah seperti itu dibangun pertengahan dekade 30-an!.

Melongok ke dalam rumah, pertama kekaguman muncul saat melihat ruang tamu. Ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang “kongko-kongko” atau tempat pertemuan, yang bisa menampung sekitar 100 orang. Selain itu, terdapat 7 buah kamar tidur dan kamar mandi berjajar di seputar ruang tamu dan bagian belakang rumah. Sebuah pertanda bahwa pemiliknya menerima tamu-tamu dari luar, tidak hanya petani-petani atau pedagang kemenyan di sekitar Huta Julu. Konon semasa pendudukan Belanda sampai 1942 di wilayah ini, para petinggi pemerintahan kerap mengunjungi rumah itu. Ini menggambarkan, pemiliknya adalah orang yang memiliki wibawa, tidak hanya dengan sesama pengusaha tetapi juga diantara para penguasa ketika itu. ”Orang-orang Belanda dulu sering bertamu dan menginap di rumah itu,”ujar Jakin Nainggolan (77), yang dulu pernah menjadi ”sijama bajut” (bendahara) si pemilik rumah.

Menurut Jakin Nainggolan, di sisi kanan rumah dulu terdapat garasi. Sang pemilik rumah rupanya sudah memiliki mobil di era 1930-an. Mobil KOPE, demikian penduduk kampung menyebut merk mobil milik Julius di era 30-an. Memiliki sebuah mobil pada masa itu adalah sebuah sukses besar ditengah-tengah masyarakat yang ketika itu masih terbiasa berjalan kaki dari desa itu sampai ke Dolok Sanggul yang berjarak sekitar 25 kilometer. Di sebelah kiri, terpisah dari rumah itu terdapat sebuah rumah kayu yang berkolong. Dulunya bangunan itu gudang kemenyan. Disinilah kemenyan dikeringkan, disortir menurut kualitasnya, dan dikemas dalam kotak sebelum dikirim ke luar Huta Julu.

Pemilik rumah itu adalah Julius Nainggolan, seorang pengusaha kemenyan besar di era 1930-an. Dia adalah seorang petani kemenyan yang ulet dan menikah dengan Binaron Br Silaban, seorang “partiga-tiga” (pedagang). Julius ditinggal ayahnya semasa masih anak-anak. Meski tidak mampu membaca dan menulis, keuletannya dan kelihaiannya bertani dan berdagang, membuat dirinya menjadi seorang pengusaha kemenyan ternama di Humbang sampai dengan akhir 1950-an. Bahkan sekitar 1954, dia mendirikan NV Dolok Pinapan, berbasis di Dolok Sanggul. Di masa Jayanya, NV Dolok Pinapan adalah sebuah perusahaan perdagangan kemenyan yang menjual kemenyan ke Jawa dan bahkan ke luar negeri. Perusahaan itu bangkrut, hanya beberapa tahun setelah dia meninggal dunia pada 26 Januari 1960 (terlihat di nisan makamnya di Batuara).

Konon, di masa jayanya, dua minggu sekali, Julius mampu mengirim 1 truk kemenyan ke Pematangsiantar atau ke Sibolga. ”Kakek sudah berdagang sampai ke Singapura, walau desanya kecil,”ujar John Pieter Nainggolan salah seorang cucunya. Dia mengumpulkan kemenyan dari para petani di sekitar Huta Julu.

Selain sebagai pengumpul kemenyan, Julius juga memiliki lebih dari 10 hektar tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Bahkan ladang dan sawah. Julius sebenarnya bukan penduduk asli kampung Huta Julu, dia berasal dari Bonan Dolok tidak jauh dari desa Huta Julu. Konon setelah Julius menapaki sukses, dia bisa memiliki sebidang tanah di Batuara dan kemudian memiliki tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Julius kemudian mengajak saudara-saudaranya pindah dari desa lain ke huta Julu bahkan membentuk huta Batuara. ”Ketika itu amanguda, amangboru, adikku, anak amangtua, amangtua membantu dia untuk mengerjakan tombaknya” ujar Jakin Nainggolan, salah seorang bekas sijama bajut (bendahara Julius) menggambarkan kiat Julius untuk membesarkan usahanya, sekaligus membantu keluarganya. Semua keluarga Julius bekerja di tombak atau sawahnya. Julius memperoleh kemenyan (si jama polang) dari lahan miliknya sendiri. Dia juga pemilik sawah yang dikerjakan penduduk desa. Setiap tahun Julius mengumpulkan hasil kemenyan dan hasil-hasil ladang lainnya yang hasilnya dibagi dua dengan para pekerjanya.

Kalau dihitung-hitung, dari tombaknya saja Julius menghasilkan setidaknya 2.5 ton per tahun getah kemenyan. Kalikan saja kalau harga satu kilogram kemenyan di Dolok Sanggul bulan Pebruari 2008 lalu, katakan Rp 75,000 per kilogram (Kami menghitungnya, ketika melihat harga kemenyan di Dolok Sanggul saat mengunjungi pekan di kota itu Jumat 16 Pebruari 2008). Dari tombaknya saja, bisa dikalikan berapa penghasilan Julius. ”Paramak na so habalunon, tikar yang tak pernah digulung”, ”partataring na so ra mintop, tungku yang tak pernah padam” Demikian ungkapan orang desa itu atas kebesaran Julius.

Kebesaran Julius Naingolan, juga masih bisa disaksikan dari makam yang ada di sekitar kampung Batuara. Ada tugu Ompu Solam Nainggolan dengan keturunannya. Dia mampu mengumpulkan saudara-saudaranya di desa itu dari desa lain. Makam yang ada di sana menunjukkan bahwa Julius keturunan Ompu Solam Nainggolan, yang tulang belulangnya diangkut dari Bonan Dolok, desa yang berjarak beberapa kilometer dari kampung itu pada 1981. Puluhan jasad keluarga besar mereka dimakamkan di sana. Ini juga sebuah pemandangan akan sebuah kesatuan keluarga mereka di masa lalu, dan bertahan hingga sekarang ini, walau sebagian besar mereka ada di rantau.
 
***
Huta Batuara jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari Medan ibu kota propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Muara kemudian ke Dolok Sanggul, atau kalau mau melihat lapangan Terbang Silangit dan Pacuan Kuda bisa melalui Siborongborong. Kami memilih alternatif terakhir karena ingin melihat lapangan terbang Silangit dan Pacuan Kuda terbesar di Sumatera Utara itu. Setelah mengendarai mobil selama 75 menit dari Siborongborong, kita akan tiba di sebuah kota kecil Onan Ganjang. Sebuah pertigaan sesudah pasar Onan Ganjang, membeloka ke kiri dari jalan Raya Dolok Sanggul-Pakkat, belok ke kiri menjadi titik putar menuju desa Huta Julu. Dari sana dibutuhkan 20-30 menit untuk sampai di Huta Batuara.

Sepanjang perjalanan dari Dolok Sanggul beberapa pohon kemenyan berdiri tegak di pinggir jalan. Lobang-lobang bekas panenan terlihat jelas dengan kasat mata. Melihat orang memanen kemenyan merupakan pemandangan tersendiri. Karena pohonnya tinggi, maka panen dilakukan dengan memanjat dengan menggunakan alat khusus. Para pemanjat pohon kemenyan menggunakan tali yang terbuat dari ijuk dan “riman”—seperti ijuk tetapi lebih kuat daya tahannya. Tali itulah digunakan sebagai pengganti “tangga”. Mereka menyebutnya Polang. Itulah sebabnya mereka disebut Sijama Polang. Para pemanjat bergerak dan memindahkan tali ke arah puncak, kemudian bergerak lagi dan demikian seterusnya. Mereka bisa mencapai ketinggian 30 meter, kadang terlihat bergoyang-goyang. Ngeri juga!

Melalui jalan aspal yang sempit, dengan pemandangan sawah dan tanaman kemenyan di kiri kanan jalan, kampung itu dapat dicapai dalam waktu hanya 20-30 menit. Pada penggalan jalan tertentu, di kiri atau kanan jalan mata akan menyaksikan lembah-lembah dalam dan suara gemericik air jernih yang mengalir mengikuti alur lembah tersebut. Suara gemercik air dari sungai-sungai jernih yang mengalir deras, suara-suara burung dari tengah hutan bercampur baur menerpa telinga, alam hijau nan indah memberi pemendangan segar bagi mata. Kadang disebelah kanan kita bukit yang terjal seolah mengancam muntahan onggokan tanah di atasnya yang dapat menerpa siapa saja yang lewat, seolah menawarkan sebuah petulangan

Hutan-hutan alam di lembah dan kaki bukit, memberikan berkah bagi penduduk berupa pohon-pohon kemenyan dan kayu api. Dari sebuah bukit saat istirahat, tampak pemandangan menonjol. Pepohonan yang memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20-30 cm, tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Batangnya lurus dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Terlihat daunnya tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung daun meruncing. Inilah pohon kemenyan, sebuah komoditi yang mengangkat nama Huta Julu ke permukaan pada era 30-an. Kalau kita mendekat ke pohon, terlihat lobang-lobang disepanjang batang dari bawah ke atas. Ini menunjukkan aktivitas penduduk menyadap kemenyan masih aktif. Buahnya berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan keras.

Di beberapa tempat dipinggir jalan, terlihat kayu api yang sudah mulai kering, tersusun rapi. Sebuah pertanda bahwa kebiasaan di masa lampau sampai sekarang masih dilakukan sebagian penduduk. Hutan masih merupakan sumber kayu untuk kebutuhan bahan bakar.

Di penggalan jalan lainnya sawah menghijau terhampar di kiri kanan jalan. Sebuah kehidupan kampung yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu dan tidak banyak mengalami perubahan. Sawah dibajak dengan kerbau, pematang dibentuk dengan cangkul dan tangan.

Di kiri kanan jalan juga terlihat tanaman baru yang terlihat adalah kopi sigarar utang. Menurut Sekretaris Camat (Sekcam) Kecamatan Onan Ganjang, Leiker Nainggolan, tanaman baru ini sudah mulai merubah kebiasaan masyarakat di sana. Sebelumnya, mereka hanya tergantung pada tanaman hutan kemenyan atau hasil sawah. “Kehadiran kopi sigarar utang banyak membantu ekonomi kami,”ujar P.Sihombing, seorang pensiunan guru SMP di Onan Ganjang.

Setelah meliuk-liuk mengikuti tikungan, kemudian mendaki dan menuruni bukit-bukit, sebuah pertigaan muncul di depan. Bagi orang baru, kondisi persimpangan seperti ini bisa memilih jalan yang keliru karena tidak ada tanda-tanda penunjuk arah. Tapi jangan takut, penduduk di sana ramah dan perhatian kepada tamu. ”Ke kiri adalah Bonan Dolok, ke kanan adalah Huta Julu”, demikian penduduk kampung memberi petunjuk. Sebuah pengalaman perjalanan yang menarik! Ramah dan polosnya penduduk desa. Kemudian kita mencapai Batuara, Huta Julu.

***
Setelah mengunjungi rumah dan tombaknya Julius, kami kembali ke Siborong-borong. Tour berikutnya adalah memutar balik melalui Onan Ganjang ke pekan Dolok Sanggul, yang jaraknya 25 kilometer. Hari Jumat adalah pekan mingguan di kota itu. Dolok Sanggul adalah transaksi kemenyan terbesar di dunia!. Menurut JN Nainggolan, tidak kurang dari 15 pengusaha kemenyan mengumpulkan kemenyan dari petani-petani kemenyan, baik dari wilayah Humbang maupun Pangaribuan dan Sipahutar.

Usai transaksi, beberapa petani kemenyan masuk ke rumah makan yang menyediakan daging kuda!. Sebuah ciri khas Dolok Sanggul. Daging kuda cukup enak. Di Dolok Sanggul setiap hari tersedia daging kuda. Kalau di kampung saya di Saribu Dolok, daging kuda hanya tersedia saat Perayaan Ulang Tahun Republik Indonesia atau Tahun Baru.

Mengunjungi gudang-gudang proses pengolahan kemenyan sampai siap untuk dikirim, memberikan kesan baru. Dari bahan yang disadap petani, kemudian dikeringkan, dipisahkan sesuai dengan kualitasnya, semua dilakukan di puluhan gudang yang terdapat di Dolok Sanggul. Menurut seorang penjaga gudang di Dolok Sanggul, tingkat kualitas kemenyan bisa sampai 8 jenis. Mulai dari jenis lak-lak yang terendah sampai kasar I yang paling mahal. Diantara jenis tertinggi dan terendah itu ada ukuran yang diberi nama menurut jenis tanaman. Misalnya kacangan, ukurannnya sebesar kacang, jagungan, berasan dan jenis lainnya.

Suasana di gudang kemenyan menyemburkan semerbak aroma yang sangat khas dan mengesankan. Wewangian yang berbeda dari yang pernah kami cium. Sebuah weangian kemenyan yang khas. “Kalau anda berada di gudang kemenyan anda akan merasa dunia luar itu bau,”ujar seorang petugas gudang milik TN Nainggolan di Dolok Sanggul.

Beberapa keluarga saudara satu ompung Julius, yang pernah dibinanya di masa kejayaannya, seperti Jakin Nainggolan dan TN Nainggolan kini melanjutkan usaha pedagang pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul. Keduanya kini menjadi pengumpul kemenyaan terbesar di Dolok Sanggul dan menjualnya ke Magelang, Purwokerto dan Semarang di Jawa Tengah.

***

Di perjalanan kami merenung sejenak. Batuara, kini hanya sebuah kenangan kejayaan masa lalu seorang pengusaha kemenyan ternama. Bangunan rumah hampir tidak bertambah, penduduknya sebagian besar adalah orang-orang tua. Bahkan tidak ada satu orangpun anak cucu Julius Nainggolan yang melanjutkan usaha kemenyannya. Rumah besar itu tidak dihuni. Anak-anak dan cucu Julius kini sudah berdiam di kota. Tombaknya di Adian Bolak, dulunya menghasilkan ratusan juta rupiah per tahun, kini dibiarkan menjadi hutan “abadi”, hanya mengawetkan lahan dari kerusakan erosi.

Padahal, kemenyan daerah ini sangat digemari nun jauh di seberang di luar Batuara, Huta Julu. Kemenyan tidak hanya digunakan untuk ritual seperti di Bali dan para penganut kepercayaan di Jawa. Lebih dari itu, kemenyan juga sering digunakan sebagai pengharum rokok kretek, bahan baku kosmetika dan bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang serta bahan pengawet dan bahan baku farmasi/obat-obatan, bahan campuran dalam pembuatan keramik agar lebih kuat dan tidak mudah pecah. Bahkan di negara-negara Eropa kemenyan digunakan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan.

Penduduk Huta Batuara sendiri hanyalah petani-petani kemenyan kecil-kecilan. Belum ada terlihat tanda-tanda pengembangan bibit dan teknologi penanaman dan pemenenan masih belum banyak berubah dari masa ke masa. Tampaknya, merekapun sudah mulai tertarik menanam kopi sigarar utang. Kalau itu lebih menguntungkan, barangkali mereka akan meninggalkan kemenyan. Tidakkah bangsa ini perlu memikirkan sistem pertanian yang bisa membangkitkan lagi kejayaan masa lalu hingga bisa berlanjut sampai selama mungkin?. Tidak mustahil suatu saat kemenyan akan lenyap dari Huta Batuara, bahkan dari Humbang. Butuh rasa cinta, pemahaman dan kreativitas anak-anak muda. Jangan biarkan Haminjon Toba dan Haminjon Durame punah!

Dimuat di Harian Analisa, 14 Maret 2008

Jumat, 13 Maret 2009

S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi “Kurator Museum”


S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi Kurator Museum

Oleh Jannerson Girsang

Meski rambutnya mulai memutih, dan sudah pensiun sejak enam tahun lalu, namun pria bertubuh tegap ini, masih setia menunaikan tugasnya sebagai kurator museum. Dengan sikap ramah dia menyapa kami saat mengunjungi museum yang dipimpinnya baru-baru ini. Layaknya seperti seorang ilmuwan, dengan suara bariton dan tutur bahasa sederhana, pria ini piawai menjelaskan secara detil barang pusaka serta situs-situs yang terdapat di kompleks museum itu. Dialah S.Andreas Lingga yang selama 26 tahun melakoni “kurator museum”, demikian pria itu menyebut pekerjaannya. Dengan bangga pria kelahiran desa Saribujandi, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, 13 Juni 1942 ini, mengisahkan pekerjaannya yang langka itu.

Sebelum menjadi “kurator museum”, kiprahnya berawal dari pegawai rendah di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud), Kecamatan Purba pada 1976. Sambil bekerja sebagai pegawai, Andreas bekerja sampingan sebagai pemusik dan menciptakan pakaian-pakaian adat. “Dulu, saya adalah pemain musik tradisional dari kampung ke kampung,”ujarnya. Tak heran, kalau Andreas menguasai musik tradisional seperti sarune, husapi, sordam, tulida dan satu alat musik yang unik yakni saligung. Saligung adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan ditiup dengan hidung.
  Sebagai pencipta pakaian adat, salah satu diantara ciptaannya adalah gotong yang diberi nama “Gotong Habonaron do Bona”, yang kemudian digunakan bagi 1000 orang kontingen Simalungun pada Pesta Danau Toba di era -70an. Menurut Andreas, karyanya ini, ternyata memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh yang peduli kepada pelestarian adat dan budaya di Kabupaten Simalungun.
  Beberapa tahun kemudian, dia diminta Lettu (Purn) Musa Sinaga, yang saat itu memimpin Yayasan Museum Simalungun untuk mengelola museum Simalungun menggantikan Gajim Purba yang ketika itu sudah memasuki usia tua. “Saya diminta untuk mengelola musem ini,”ujar Andreas mengenang awal kariernya sebagai “kurator museum”. Dia hijrah dari desanya ke Pematangsiantar, persisnya 1 Maret 1982.
  Selama menggeluti kariernya mengelola museum, Andreas Lingga mengaku memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi kelangsungan pelestarian budaya dan sejarah masa lalu.
  Selama kiprahnya sebagai “kurator museum”, pria yang hobby membaca buku sejarah itu sudah mengunjungi berbagai museum di dalam maupun luar negeri. Pada 1993, dia ikut rombongan dari Indonesia melakukan rangkaian kunjungan ke berbagai museum di luar negeri yakni ke Art of Culture di Singapura, Tropen di Amsterdam, Flan Kunde di Swiss, Arts of Sclupture di Berlin, Jerman. Demikian juga, dalam waktu terpisah, dia mengunjungi beberapa museum di dalam negeri seperti Museum Bahari, Museum Negeri Sumatera Utara dan lain-lain.
  Baginya mengelola museum bukan hanya sekedar pekerjaan rutin, tetapi merupakan sumber inspirasi, sehingga dia tidak pernah merasa pensiun. “Kalau pengunjung lagi sepi, saya membaca dan menulis buku,”ujar pria yang pensiun dari Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Simalungun pada 2002.
  Tak heran, kalau lulusan SMA Taman Siswa ini telah menulis beberapa buku tentang budaya Simalungun diantaranya Ornamen Simalungun (1979), Mengenal Peralatan dan Musik Tradisional dan Olah Raga Sumatera (1985), Peralatan Musik Tradisional Simalungun (1987), Kumpulan Cerita Rakyat Simalungun (2002), Transliterasi Pustaha Laklak dalam bahasa Indonesia, Inggeris (2003). Selain itu, Karya-karya “Ornamen Simalungun” yang dikerjakannya juga menghiasi beberapa bangunan di kota Pematangsiantar seperti Pajak Horas, Bank Rakyat Indonesia, Rumah Dinas Bupati, Kantor Perusahaan Listrik negara, Kantor Kejaksaan Negeri Simalungun, Anjungan Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan lain-lain. “Dari hasil penjualan buku-buku dan pekerjaan sampingan inilah sedikit menunjang ekonomi keluarga,” katanya.
  Pengalaman yang berkesan bagi Andreas adalah ketika sebuah konsulat asing di Medan pada 1985 mensponsori pameran budaya Simalungun di kantor LIA atau sekarang Pusat Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA) di Medan selama beberapa hari. Ketika itu, menurutnya, semua situs dan barang-barang kuno diangkut ke Medan dan dipamerkan kepada pengunjung. “Saya merasa sangat terhormat, ketika barang-barang di museum kami bisa dipamerkan sehingga dapat dilihat dan dipelajari masyarakat luas,”ujarnya. Menurutnya, usaha-usaha seperti ini seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat lainnya.
  Andreas merasa bangga bahwa Museum Simalungun telah menjadi laboratorium bagi beberapa peneliti asing. Diantaranya adalah peneliti Jepang Haruki Yamamoto, seorang guru besar Univeritas Nara, Jepang pada 1985, mulai melakukan penelitian tentang aksara Simalungun. “Yamamoto bahkan sudah mampu menulis dan membaca aksara Simalungun,”ujar Andreas. Yamamoto masih melakukan kunjungan terakhir pada 1990. Kemudian dia menyebut beberapa peneliti asing lainnya yang menggunakan museum itu sebagai sumber referensi penelitiannya.
  Namun di sisi lain, Andreas cukup prihatin pada masa depan museum yang kini dikelolanya, khususnya setelah krisis ekonomi dan kondisi keamanan yang berdampak pada menurunnya jumlah pengunjung museum yang dikelolanya. Jumlah wisatawan asing menurun drastis sejak krisis berlangsung. “Padahal merekalah dulunya mayoritas pengunjung museum ini”ujarnya. Implikasinya tentu pendapatan jelas menurun secara drastis.
  Jangankan untuk mewujudkan pengelolaan museum yang ideal, untuk memelihara kondisi sekarang saja, menurut Andreas dirinya sudah “megap-megap”. Gedung Tari yang di era 80-an merupakan sebuah kelengkapan museum ini, terlihat seolah terlantar dan ditumbuhi rumput dan semak. Situs-situs yang berada di pekarangan museum, terancam rusak oleh terpaan hujan dan terik matahari. “Kalau mau mengelola museum ideal, kita masih jauh,”ujarnya.
  Dari pengalamannya berkunjung ke berbagai museum di luar negeri, Andreas mengakui bahwa pengelolaan museum yang dikelolanya sekarang sangat jauh ketinggalan. “Museum di Tropen Belanda memiliki gedung teater, fakultas permuseuman, bahkan hotel penginapan yang dikelola museum,” ujarnya. Pengelolaan museum menurut Andreas harus mampu memberi kenyamanan dan kebutuhan para pengunjung, khususnya mereka yang melakukan riset.
  Dalam kondisi seperti ini, menurut Andreas, pemerintah seharusnya memberikan fasilitasi dan dukungan usaha-usaha menarik minat masyarakat di dalam maupun di luar negeri untuk membantu pengelolaan dan pengembangan museum. Pasalnya, di dalam museum tersimpan bukti-bukti sejarah dan kejayaan bangsa ini di masa lalu. Beberapa diantaranya masih perlu pembuktian dan perlunya pembahasan yang lebih mendalam secara ilmiah. “Kalau barang-barang seperti ini hancur atau hilang, maka di masa depan hanya orang-orang luar yang lebih tau soal kejayaan budaya masa lalu kita,”ujarnya. Pernyataan ini cukup beralasan karena justru penelitian tentang museum dari pengalaman Andreas, dilakukan peneliti asing.
  Kepada generasi muda Andreas berharap agar lebih serius menghargai sekaligus mempelajari barang-barang peninggalan nenek moyang yang tersimpan di museum. Bagi Andreas Lingga, mengelola museum adalah pekerjaan langka yang tidak begitu banyak diminati para generasi muda sekarang ini. “Masa depan museum ini terletak pada sumberdaya yang mengelolanya,” ujar Andreas
  Sampai sekarang, Andreas mengaku masih mencari pengganti dari kalangan generasi muda, tetapi belum ketemu. Bahkan saat ini dia merangkap sebagai penerima tamu, guide untuk para tamu dan hanya dibantu tiga orang tenaga, yakni tukang kebun, tukang sapu dan jaga malam. Beberapa tahun yang lalu dia sudah mendidik penggantinya yang membantu mengelola museum itu selama beberapa tahun, tetapi setelah diterima bekerja sebagai pegawai negeri, dia bekerja di tempat lain. “Sulit mencari generasi muda yang mau mengelola museum secara serius,”ujar suami Sentina br Purba ini.
  Setelah merenungkan pekerjaannya sebagai kurator museum selama 26 tahun, Andreas merasa bersyukur. Meski pekerjaan yang diminatinya hanya memberi upah seadanya saja, namun tiga diantara tujuh anaknya, berhasil menyelesaikan sekolahnya sampai S1, dua D3 dan kini sudah bekerja dengan beragam bidang pekerjaan yang mereka tekuni. Enam diantaranya sudah berkeluarga dan memberinya 11 cucu. “Sayangnya belum ada yang berminat jadi kurator museum,”ujarnya berkelakar.
Penulis beberapa biografi dan profil, tinggal di Medan. Direktur WEB. Dimuat dengan dua gambar di Harian Analisa, 14 Mei 2008. Rubrik Aneka Halaman 32



SELAMAT JALAN JP SILITONGA



 ”Mengabdi Sampai Akhir Hayat

Oleh : Jannerson Girsang

“Bapak JP Silitonga meninggal dunia di Rumah Sakit Permata Bunda sekitar pukul 21.00”, demikian pesan singkat (sms) yang kami terima dari Pendeta Dr Armencius Munthe—sahabat dekat JP Silitonga dan mantan Ephorus GKPS itu, pada pukul 21.30 Kamis 20 September 2007. Setelah konfirmasi dengan Magdalena Silitonga, anak tertua beliau, kami juga mengirimkan beberapa pesan singkat ke teman-teman menginformasikan berita duka itu. Sumatera Utara kehilangan seorang tokoh yang gigih dan berani, peduli sesama dan berkarya hingga akhir hayatnya. Sampai akhir khayatnya beliau masih meluangkan waktu mengajar Kewiraan di USU Medan.

Kematian, tak seorangpun tau kapan datangnya. Sama halnya dengan yang berlaku pada pak JP Silitonga. Sembilan bulan berselang, Januari 2007 lalu, kami bertemu dalam sebuah pesta perkawinan saudara Huger Saragih—dirigen Paduan suara Sola Gratia di Kaban Jahe. Saat itu, beliau masih segar dan senantiasa mengeluarkan lelucon-lelucon yang membuat gelak tawa.
Kami teringat peristiwa dua tahun lalu. Entah sudah mengetahui ”harinya” sudah dekat, saat itu beliau meminta kami membantu menulis otobiografinya. Buku otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan Hambamu Mendengarkan”, diluncurkan 2 Januari 2006, di Medan Club dalam merayakan Ulang Tahunnya ke 80. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga dan teman-teman beliau. Dari tamu-tamu yang hadir ketika itu, menunjukkan bahwa JP Silitonga memiliki pergaulan yang sangat luas dari segala lapisan. Kehangatan dan kepedulian. Itulah yang mungkin akan selalu dikenang oleh siapa saja yang dekat dengannya. Sebagai seorang anak guru zending, mengenyam pendidikan di pertanian dan militer, kemudian berkarier di militer, pemerintahan, dosen dan aktif di organisasi kemasyarakatan, JP Silitonga memiliki sejumlah prestasi yang pantas kita kenang.

Anak Seorang Guru Zending

Johan Pandapotan Silitonga dilahirkan di Desa Tigabolon, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada 2 Januari 1926, dari pasangan GM Kalvin Silitonga dan Doriana boru Simanjuntak. GM Kalvin Silitonga adalah seorang guru zending di sebuah sekolah di Sidamanik. Di saat usianya masih balita, ayahnya pindah tugas ke Sipahutar, Tapanuli Utara, sekitar 40 kilometer dari kota Tarutung atau kira-kira 100 kilometer lebih dari Tigabolon.. Oleh ayahnya, beliau disekolahkan ke HIS Sigompulan—sebuah sekolah untuk para orang tua kelas atas saat itu.

Usai menyelesaikan sekolahnya di HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, beliau berangkat ke Jawa, dan sekolah di Cultuur School (Sekolah Perkebunan) di Malang, Jawa Timur. Hanya beberapa bulan setelah beliau memasuki sekolah itu, Jepang masuk dan menguasai sekolah itu bahkan menangkapi guru-guru mereka, orang-orang Belanda. Kemudian Jepang mengganti nama sekolah itu menjadi Noogokai dan JP bersama teman-temannya bisa melanjutkan sekolahnya sampai selesai. Beliau bahkan sempat menikmati kehidupan sebagai pegawai perkebunan seperti apa yang dibayangkannya ketika beliau memilih sekolah itu.

Memasuki Militer

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian mengubah jalan hidupnya. Perkebunan ditinggalkan dan masuk menjadi lasykar di Surabaya. Beliau menjadi tentara. Pengetahuan yang masih minim tentang kemiliteran, membuat beliau tertarik untuk mengikuti pendidikan militer di Gombong selama empat bulan. Kemudian memasuki Cadet Malang (1945-1948). Di sela-sela waktu belajar, mereka ikut bertempur dalam penugasan-penugasan khusus. Kemudian beliau ditugaskan Kepala Staf Angkatan Perang Kol TB Simatupang, untuk melakukan tugas khusus di Sumatera, sampai penyerahan kedaulatan. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia, merupakan akhir masa tugas khusus tersebut. “Itulah sebabnya, di kalangan angkatan 45 di Sumatera Utara saya tidak begitu banyak dikenal,”. katanya.

Kariernya di militer tergolong sukses. Beliau pernah menjadi perwira seksi I (intelijen) di Tentara Teritorial I Sumatera Utara (T & T 1 S.U), terlibat tugas-tugas operasi seperti Penumpasan Gerombolan di sekitar Tanah Karo pada periode 1951-1953 (beliau menikah dengan Ida Pola br Pasaribu pada 1951).

Tugas lainnya adalah penumpasan Gerombolan DI Daud Beureuh di Aceh (1953-1954), Komandan Kodim di Sampit (saat almarhum Raja Inal Siregar, mantan Gubsu menjadi perwira pertama), wakil komandan Rindam II, di Pematangsiantar, ASS-2 KAS KODAM II Bukit Barisan (1970-1973), lalu terakhir menjadi DAN RINIF DAM II Bukit Barisan (1973-1980). Saat menjadi Dan Rindam II, JP Silitonga berkesempatan melakukan perjalanan ke desa-desa di Simalungun dan beliau mengenal wilayah ini lebih mendalam. Beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel.

Ayah tujuh putri dan satu putri ini memperoleh beberapa penghargaan diantaranya : Bintang Gerilya : Penugasan dalam Aksi Belanda I dan Kedua (1945-1950), Medali Sewindu : Kesetiaan kepada Republik Indonesia (1945-1954), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer I : Melawan Belanda waktu Aksi I (1945-1947), Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer II : Melawan Belanda waktu Aksi II (1948-1950), Satya Lencana GOM VII : Operasi Melawan DI di Aceh Tengah : (1953-1954), Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun : Kesetiaan 16 tahun kepada Republik Indonesia (1945-1961), Satya Lencana Guru : Melaksanakan tugas guru di Koplat (1964-1968), Satya Lencana Sapta Marga : Melawan PRRI (1958-1959), Satya Lencana Penegak : Membersihkan G-30-S/PKI (1965-1968), Bintang Oranye van Massau : Menjaga keselamatan Pangeran Bernard (Belanda) ketika kunjungan di Sumatera Utara.

Menjadi Bupati Simalungun (1980-1990)

Selama menjadi bupati Simalungun, usai menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai militer, beliau ingin mewujudkan Simalungun sebagai daerah penghasil (lumbung) beras. Untuk itu, salah satu yang harus dibenahi adalah pembangunan saluran irigasi. ”Tanpa irigasi yang baik, pembangunan pertanian di Simalungun tidak mungkin bisa digenjot produktivitasnya,” ujar JP. Proyek pembangunan irigasi tersebut dikenal dengan PIS (Proyek Irigasi Simalungun), mendapat sokongan dana dari Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 173 milyar. Perjuangan mewujudkan bantuan yang ditandatangani pada 1984 itu, tidak berjalan mulus begitu saja. Beberapa saat kemudian, penebangan hutan Sibatuloting berlanjut oleh sebuah perusahaan swasta. ”Padahal Sibatuloting merupakan kawasan hutan lindung yang menjadi sumber penyimpanan air. ADB juga mensyaratkan bahwa proyek tersebut hanya bisa berjalan jika ada jaminan bahwa hutan di hulu sungai tidak boleh ditebang karena sumber air untuk irigasi akan terganggu. ADB sempat mengancam menghentikan bantuannya kalau hutan di sana tidak dipertahankan,”ujar JP.

Selain itu, beliau mengembangkan Simalungun sebagai wilayah Pariwisata. Dengan menata Prapat sebagai kota tujuan wisata. Saat itu, kawasan pingiran pantai dibebaskan dari perumahan penduduk yang sering membuang limbah rumah tangganya ke pantai agar air Danau Toba bersih dari buangan samah dan limbah. Proses pemindahan penduduk berhasil dilakukan secara damai dengan menyadarkan masyarakat Sosor Pasir agar mau berpindah ke Sosor Saba.

Prioritas pembangunan yang lain adalah pengembangan kota kecamatan dengan membangun kantor Camat dan rumah untuk para camat. ”Ketika itu sebagian besar camat tinggal di Pematangsiantar dan tidak mau tinggal di ibu kota kecamatan karena sarana perumahannya memang belum ada. Akibatnya pelayanan birokrasi kepada masyarakat menjadi agak tersendat,” ujar JP. Selain itu, dengan kondisi seperti di atas, ”Camat juga menjadi kurang mengenal daerah yang menjadi tanggungjawabnya. Karena itu agar camat dekat rakyat, saya bangunkan mereka rumah camat”.

Pembangunan pendidikan dan kesehatan di tiap kecamatan adalah prioritas lain yang beliau kembangkan. Beliau meminta kepada para camat agar menyediakan tanah untuk pendirian sekolah tingkat lanjutan atas (SMA), minimal sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP) dan SD. Dengan begitu setiap ada jatah anggaran dari pusat untuk pembangunan sekolah, Simalungun selalu mengusulkan untuk diberi jatah. Pernah ada sebuah kabupaten yang berhak memperoleh jatah pembangunan sekolah, namun karena pemda tidak siap dengan lahan sekolahnya, akhirnya jatah tersebut dioper ke Simalungun. Selain itu untuk menunjang kesehatan masyarakat, di setiap kecamatan beliau juga memprioritaskan untuk membangun Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).

Kepedulian beliau terhadap korpsnya sangat besar. Semasa menjabat Bupati Simalungun, para penghuni perumahan Rindam di Kelapa Dua Pematangsiantar, tentu tidak akan melupakan inisiatif JP Silitonga dalam menyediakan perumahan itu untuk mereka. Beliau prihatin melihat nasib para prajurit dan perwira yang pensiun dari Rindam. “Kalau sudah pensiun sebagian besar mereka tidak memiliki rumah, padahal mereka harus keluar dari asrama,”, ujarnya . Karena prajurit atau perwira-perwira yang baru akan menggantikan mereka. Sekitar 100 prajurit dan perwira bisa memiliki perumahan sendiri di Jalan Sisingamangaraja, di kota itu ke arah jalan ke Prapat.

Mengembangkan Universitas Simalungun

Untuk mendukung prioritas pembangunan pendidikan, salah satu obsesinya adalah menjadikan Universitas Simalungun menjadi perguruan tinggi swasta yang besar dan terbuka. Obsesi itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak semua lulusan SMA dari wilayah ini yang mampu melanjutkan kuliahnya di Medan.

Dalam pandangannya saat itu, yang perlu dilakukan USI adalah meningkatkan kualitasnya baik dari segi fisik, kurikulum maupun tenaga pengajarnya. Konsepnya ketika itu adalah agar USI mampu seperti Universitas Satyawacana Salatiga dalam sepuluh tahun ke depan. Tenaga-tenaga pengajar dikirimkan belajar di sana dan studi banding juga dilaksanakan. Dalam masa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum Yayasan Universitas Simalungun (1982-1990, pembangunan fisik adalah prestasinya yang luar biasa. Belum pernah pembangunan fisik sebesar itu dilakukan sepanjang sejarah USI, hingga sekarang ini. Dengan berbagai usaha, beliau mewujudkan pembangunan sarana fisik seperti Biro Rektor, Fakultas Hukum, Aula Rajamin Purba SH (beberapa tahun lalu terbakar, dan kini belum selesai pembangunannya), FKIP, Fakultas Pertanian, Perpustakaan, Mess untuk para dosen yang berasal dari luar kota dan beberapa rehabilitasi sarana pendukung lainnya, seperti jalan di lokasi kampus, dibangun secara bertahap dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal, pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Menurut kami, kalau Brigjen Rajamin Purba adalah pendiri Universitas Simalungun, JP Silitonga adalah membangun sarana fisik untuk mewujudkan cita-cita beliau.

Disamping mengembangkan Universitas Simalungun, beliau juga melihat potensi pariwisata di Kabupaten Simalungun dan Pematangsiantar cukup besar. Sehingga dibutuhkan tenaga-tenaga trampil di bidang itu, sementara sekolah pariwisata belum ada. Untuk itu, sekitar 1989, Yayasan USI bersama-sama dengan Rektor USI (ketika itu kami jabat) dan Direktur SMA Y-USI menghadap Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatera Utara agar diberi izin untuk membangun Sekolah Industri Pariwisata (SMIP) di kompleks Universitas Simalungun. Hingga saat ini sekolah tersebut masih berjalan dan jumlah muridnya sudah cukup lumayan dan menjadi salah satu tulang punggung keuangan Yayasan Universitas Simalungun.

Memasuki Usia Tua

Usai menyelesaikan tugasnya sebagai bupati, beliau memutuskan pindah ke Medan. Alasannya, ”istri saya masih menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara dan saya sendiri masih ingin menyumbangkan tenaga yang saya miliki,” ujarnya pada Buku Otobiografinya berjudul ”Bicaralah Tuhan, Hambamu Mendengarkan”. Setelah istrinya Ida Pola Pasaribu meninggal pada 1985, JP Silitonga menikah dengan Dr Datten Bangun—seorang staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang mendampingi beliau sampai akhir khayatnya .

Di samping aktif sebagai dosen Kewiraan di USU, JP Silitongan juga aktif di SOKSI. Beliau terpilih menjadi Ketua Depidar Soksi selama satu periode. Beliau juga aktif sebagai Pengurus Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (PGIW SU).

JP Silitonga telah mendengar Tuhannya untuk menghadap. Meninggalkan istri tercinta Dr Datten Bangun yang dinikahinya pada 1988 dan tujuh putrinya, satu putra, 23 cucu dan 3 cicit, serta karya-karyanya selama ini. Perjalanan Johan Pandapotan Silitonga mengajarkan kita akan kebijakan dan campur tangan Tuhan dalam kemelut hidup yang dialaminya. Peduli kepada teman-teman seperjuangan dan berbakti terus tidak mengenal usia untuk memajukan bangsa.

Selamat Jalan Pak JP Silitonga. Semoga karya-karya anda menjadi bukti nilai bakti anda bagi kami generasi muda!.

Dimuat di Harian Analisa, Halaman 29 Rubrik Opini, 27 September 2007.

http//www.analisadaily.com