My 500 Words

Senin, 30 Januari 2012

2012: Sajikan Cerita yang Menginspirasi (Analisa 20 Januari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang
  Around the Corporate Campfire
 Sumber foto:http://www.belbuk.com/around-the-corporate-campfire-p-7584.html 
 
Membaca Buku Around the Coorporate Camfire tulisan Evelyn Clark memberi peringatan pada kita semua atas pentingnya perhatian untuk meningkatkan kemampuan bercerita hal-hal yang menginspirasi, berkomunikasi ”sepanjang cerita”. Tidak hanya kata-kata yang yang berhenti pada jawaban ya atau tidak. Pentingnya bercerita hal-hal yang menginspirasi diantara sesama anggota keluarga, sesama anggota masyarakat. 

Dari pengamatan saya menulis beberapa biografi dan otobiografi, umumnya anggota keluarga pertama kali belajar filosofi hidup yang diajarkan ibu atau ayah mereka. Setelah itu para anggota keluarga juga menyerap cerita yang berasal dari luar yang memiliki nilai-nilai universal, turut memaknai pengayaan cerita rumah tangga itu.

Makin sering berkomunikasi ”sepanjang cerita” dilakukan di dalam keluarga, anggota keluarga memiliki pemahaman konsep kemanusiaan yang makin meningkat, demikian juga kemampuan berkomunikasi ”sepanjang cerita”.

Sampai di masa tuapun, rasa keterikatan dan kebersamaan mereka tetap terjaga karena memiliki kisah pengalaman bersama masa lalu (bekerja bersama dan bercerita bersama). Masing-masing memiliki kontribusi kepada kisah keluarga.

Menangkal Kisah Kekerasan

Menceritakan tentang kisah-kisah yang menginspirasi menjadi ingatan kolektif keluarga, masyarakat dan bangsa ini, diajar menangkal kekerasan, tipu muslihat, korupsi.  Cerita yang justru makin meningkat di media kita, serta memasuki kisah-kisah ke dalam keluarga-keluarga.

Di era modern ini banyak kepala keluarga yang hanya mampu berkomunikasi seputar  kewajiban dan haknya kepada anak-anak atau anggota keluarga. Selain itu, karena kesibukan, kurang memberi waktu bercerita tentang nilai, prinsip hidup diantara sesama anggota keluarga.  

Di luar sana, para pemimpin cenderung tidak lagi pandai menceritakan kebijakannya untuk dimengerti oleh sesama pemimpin termasuk oleh rakyatnya. Bahkan tidak jarang komunikasi sesama pemimpin saling menjatuhkan. Lihat misalnya bagaimana Saurip Kadi dan Gubernur Lampung saling melecehkan (TribuneNew, 12 Januari 2012). Dan beberapa kejadian sebelumnya banyak komunikasi diantara para pemimpin kita yang tidak etis (bahkan ada yang hampir meninju satu dengan yang lainnya, menceritakan aib seseorang di layar televisi).

Meminjam istilah Sephen R. Covey (Penulis 8th Habit) :kita kurang mampu ”Mengilhami Orang Lain Menemukan Suara Mereka”, sebaliknya cenderung saling melemahkan satu sama lain.

Budaya Bercerita dalam Keluarga

Keluarga dibentuk untuk mewujudkan kebahagiaan yang sempurna, serta memberi kontribusi kepada masyarakat sekitarnya.

Cerita proses perjalanan keluarga merupakan perekat di dalam keluarga dan harus terus-menerus ditanamkan. Setiap anggota keluarga ingin didengar ceritanya dan mereka sangat ingin mendengar cerita anggota keluarga yang lain. ”Setiap orang suka bercerita dan setiap orang suka membaca (mendengar) cerita,” kata Evelyn Clark.  


Cerita dimaksud adalah apa yang dilihat, dipikirkan, dilakukan dan dimaknai masing-masing anggota keluarga, sesuatu yang inherent dengan materi atau benda-benda yang sudah diberikan orang tua kepada anak-anak. 

Setiap keluarga memiliki cerita yang khas--berbeda dengan keluarga lainnya. Di sana ada tokohnya, peristiwanya serta konflik-konflik yang terjadi dan cara mereka menghadapinya. Seharusnya, dalam proses perjalanan keluarga, seluruh anggota keluarga terlibat. Cerita yang tercipta di dalam keluarga, adalah ungkapan proses bersama keluarga itu.

Ketika berkomunikasi sepanjang cerita terlupakan, keluarga sebenarnya telah melupakan salah satu cara membentuk watak anak dan anggota keluarga lainnya terbuka, jujur dan menghormati nilai universal.

Sayangnya, dengan berbagai alasan, komunikasi sepanjang cerita semakin miskin. Padahal, Evelyn Clark berpendapat bahwa cerita anda tidak kurang penting dari harta benda yang kita hasilkan, nilai pekerjaan kita terletak pada cerita tentang proses pekerjaan itu sendiri.

Perkembangan teknologi, tuntutan pekerjaan telah merubah persepsi kita atas pentingnya waktu bercerita menginspirasi dalam keluarga. Komunikasi yang lama belum dikuasai, muncul pola komunikasi yang baru, hingga kebingungan melanda banyak keluarga. Kisah perkotaan dimana masyarakatnya cenderung diperkuda jabatan, materi dan ambisi menjadi pengamatan utama kami akhir-akhir ini.  

Sang ayah seorang konsultan, asyik di meja desain dengan lampu terang, dan disampingnya sebuah komputer mutakhir dan internetnya sedang online mengirimkan data ke tempat lain.  Si ibu seorang dosen yang sedang asyik menyusun desertasi doktornya di ruangan lain di lantai dasar rumah mereka. Anak-anak dengan ditemani pembantu belajar di lantai atas.

Begitulah, pada suatu saat kami berbincang. Ada kesan suami istri bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling jago. ”Oh lihat siapa yang paling banyak temannya di Facebook”, kata si ibu, menunjukkan kehebatannya. Berjam-jam waktunya dicurahkan di FB bercerita dan menemukan teman-teman lamanya. Komunikasi baru ini, ternyata selain memberinya kepuasan sendiri, salah-salah memang menyita waktu yang luar biasa. Mereka tidak hanya berhubungan di jejaring FB, tetapi juga Myspace. Frienster, Bebo, Twitter dan lain sebagainya. Duduk menghadap komputer, diam membisu, sesekali tertawa sendiri, seperti orang gila, membayangkan temannya (mungkin juga melakukan hal yang sama) di seberang sana.

Di luar rumah mereka disibukkan dengan pekerjaan, kegiatan organisasi dan segala macam kegiatan lainnya. Tak cukup lagi waktu waktu berkomunikasi ”sepanjang cerita” dengan anak-anak, bahkan dengan teman-teman.

Hubungan dengan suami istri, juga tidak jauh berbeda. Malah, hubungan seks diantara dua pasangan tidak jarang mengabaikan komunikasi ”sepanjang cerita” yang menggairahkan. Banyaknya gambar-gambar porno di berbagai situs, disinyalir juga menyita perhatian suami dan istri dan lambat laun lebih menyukai gambar manusia bugil tanpa nyawa daripada isterinya sendiri.

Tak heran, kalau belakangan banyak kasus mencari PIL (Pria atau Perempuan intim lain), Teman Tapi Mesra (TTM). Perceraian meingkat, karena lebih membuka hubungan ”sepanjang cerita” bukan dengan anggota keluarganya.

Hubungan di rumah hanya sebatas ”perintah”, bukan hubungan yang saling berbagi dan saling mencerdaskan dan menginspirasi. ”Kami tidak pernah bercerita. Kalau ceritapun, ujung-ujungnya menyalahkan saya dan ketika cerita selesai saya keluar dengan geram hati,” cerita seorang anak di sebuah cafe di Medan.

Akibatnya, semakin banyak aspirasi tersendat . Reaksi di dalam keluarga bila ungkapan hati yang tidak terpenuhi diwujudkan melalui bahasa tubuh seperti melemparkan gelas hingga pecah, atau muka cemberut. Dalam skala lebih besar di tengah-tengah masyarakat, demonstrasi berbuntut kekerasan, memaksakan kehendak, bahkan berkelahi di rapat parlemen.

Perayaaan 17 Agustus

Alpanya perhatian kita atas komunikasi dengan cerita pengalaman bersama, mungkin menjadi penyebab komunikasi dengan masyarakat di luar mengalami penurunan. Perayaan-perayaan nasional, religi dan hari-hari istimewa lainnya kehilangan makna.

Memutar kembali memori puluhan tahun ke belakang, saat kami masih anak-anak, 17 Agustus sungguh sebuah pesta dan kemeriahan besar dengan penyampaian nilai-nilai kejuangan para pendahulu.

Kisah Jenderal Sudirman, para tokoh yang berjasa berjasa bagi negara, serta tokoh-tokoh yang tak dikenal--tanpa memandang agama, suku dan ras menjadi cerita yang menarik dan menginspirasi. 

Kini, 17 Agustus hanya dimaknai dengan simbol-simbol bendera merah putih, pigura, lampu-lampu berwarna warni, serta hiburan dangdut, pidato-pidato kosong, bahkan dikotori pula dengan gambar-gambar kampanye para Caleg—yang kadang tidak pada tempatnya.

Kita sudah hampir melupakan cerita tentang idola atau panutan. Bahkan penyanyi dangdut atau caleg sering ditonjolkan sebagai pahlawan di puncak acara!. Tokoh-tokoh dan pemimpin yang inspiratif tidak muncul. Yang muncul hanya mereka yang punya kuasa dan banyak duit. Pesta-pesta besar tidak lagi bermakna. Yang tampil adalah penyelenggaranya, bukan perayaannya.

Masyarakat kurang tertarik membicarakan perenungan perjalanan kita dalam adat, agama, keluh kesah kehidupan, bahkan politik dalam bentuk cerita. Semua berjalan apa adanya—asal lalu. Tanpa makna dan perenungan bersama. Tetapi jika membicarakan mobil terbaru, naju terbaru, sepeda motor terbaru, tempat belanja yang modenr, kita rajanya.

Tahun demi tahun tidak ada tokoh yang muncul sebagai panutan—bahkan tak jarang cenderung menghujat satu sama lain.

Dalam kegiatan kolektif di tengah-tengah masyarakat, saya merasakan suasana berbeda belakangan ini dibanding beberapa tahun sebelumnya. Khususnya saat saya menghadiri rapat-rapat. Bahasa semakin tidak sopan, amarah yang tidak pada tempatnya. Mungkinkah karena kita mengabaikan komunikasi ”sepanjang cerita”?. Mari kita sama-sama merenungkannya!

”Teringat di saat kita tertawa bersama. Ceritakan semua tentang kita. Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala. Ada cerita tentang masa yang indah saat kita berduka, saat kita tertawa” adalah penggalan lagu Grup Band Peterpan yang sangat populer di era 2000-an. Mari belajar bercerita yang menginspirasi, hindari bercerita saling merendahkan, melecehkan, membuat sakit hati di tengah keluarga dan masyarakat!.




[1] Harian Analisa, 20 Januari 2012

Tidak ada komentar: