My 500 Words

Jumat, 13 Januari 2012

Belajar dari Petani Kentang (Batak Pos, 13 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.bisnis-jabar.com
 
Memutar memoriku di era 1970an, sangat tidak nyaman memandang sebuah areal pertanian kalau tanaman kentang di dalamnya tumbuh tidak merata. Di tengah-tengahnya terdapat tanaman yang krempeng, kuning, sementara yang lainnya tumbuh subur dan menyejukkan mata.

Sama dengan pembangunan ekonomi di suatu negeri. Sangat tidak nyaman, kalau di suatu daerah maju pesat, sementara di tempat lain—orang dengan mudah melintasi jalan raya yang mulus, sarana pendidikan modern, bisnis maju, sementara di daerah lain orang masih memikul hasil bumi karena tidak tersedia sarana jalan, gedunmg sekolah seperti kandang sapi, tengkulak menguasai pasar.   

Bedanya, kalau kondisi ketidakmerataan ini terjadi pada manusia, bukan hanya tidak enak dipandang, tetapi mereka bisa bereaksi, menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua. Mereka akan merespon ketidakadilan dengan berbagai cara. Pasalnya, mereka memiliki pikiran, mampu menilai yang terbaik bagi dirinya, mampu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Rakyat butuh pengaturan melalui sebuah sistem pemerintahan yang berniat baik bagi mereka, sehingga mampu maju secara bersama-sama, berkeadilan.

Belajar dari Petani Kentang

Memori anak-anak di kampung di daerah Simalungun di era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kadang muncul di benak kami kala melihat ketimpangan pembangunan di berbagai daerah di provinsi ini, saat melakukan berbagai perjalanan—Nias, Batubara, Labuhan Batu, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli dan lain-lain.

Petani kentang di kampng kami mengusahakan tanaman kentang agar semua tanaman mendapatkan perlakuan yang sama: mulai dari pemupukan, pembrantasan hama, penyiangan, penyiraman dan lain-lain.

Pada kenyataannya, meski perlakuan sama, saya memperhatikan pertumbuhan tanaman kentang tidak selalu sama. Beberapa minggu setelah ditanam, dari hamparan seluas satu hektar tanaman kentang sebanyak 10 ribu batang, sebagian pertumbuhannya lambat.

Setiap pagi petani memperhatikan pertumbuhan tanaman. Mereka seolah berbicara kepada tanaman-tanaman itu. “Apa yang kurang, mengapa pertumbuhanmu tidak seperti tanaman-tanaman lainnya?”.  

Bahkan ada kalanya mereka melakukan perlakuan khusus atas kentang yang tidak tumbuh sama dengan tanaman lainnya.  Ada yang karena dimakan ulat, kekurangan unsur hara seperti warna daunnya kuning karena memang kondisi tanahnya yang tidak subur.

Para petani di sana dengan pengalaman puluhan tahun menanam kentang memahami cara bertanam untuk membuat pertumbuhan bisa merata. Lalu, mereka memberi pupuk dengan takaran yang lebih bagi kentang yang kurang subur, memberikan perlakuan yang khusus bagi tanaman yang terserang hama dan membuat pertumbuhannya lebih lambat dari yang lain.

Walau tanaman itu tidak berbicara satu sama lain, seperti manusia, tetapi para petani bangga kalau dia berhasil membuat setiap tanamannya tumbuh merata. Tidak ada yang kerempeng.

Ada niat di hatinya, memperlakukan 10 ribu tanaman kentangnya sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa tumbuh bersama. Walau pada kenyataannya selalu saja ada hambatan, sehingga tidak pernah 100% bisa merata. 

Memimpin Rakyat: Pengalaman Petani Kentang

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin seyogianya memiliki niat seperti para petani memperlakukan tanamannya. Ada keinginan memperlakukan rakyatnya agar maju bersama, memahami dengan benar mengapa rakyat di sebuah daerah tidak bisa maju sama dengan rakyat lainnya, atau daerah yang satu tidak maju bersama dengan daerah lainnnya.   

Dalam kenyataan, setiap daerah tidak sama potensinya. Beberapa daerah bertumbuh dengan pesat karena potensi alam dan sumber daya manusianya tersedia. Anehnya, kadang daerah dengan potensi besar mendapat perlakuan khusus pula.  Berangsung secara alami”Dimana ada gula, di situ ada semut”. Pembangunan akhirnya bertumpu di sana.

Issu kesenjangan Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi ini adalah bukti bahwa masih banyak daerah yang perlu penanganan khusus untuk bertumbuh bersama. Sebagai contoh, di pedalaman di Pulau Nias masih banyak daerah yang tidak bisa dijangkau dengan kenderaan bermotor, 40% belum mendapat aliran listrik dari PLN, serta berbagai keterbatasan yang dihadapinya.

Tentu, daerah seperti ini tidak akan mampu bertumbuh bersama dengan daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang maju. Daerah dengan potensi yang kurang, sama dengan tanaman tadi,  mereka akan tumbuh kerempeng kalau dibiarkan bertumbuh dengan kemampuannya sendiri. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus.

Seorang pemimpin harus mampu dalam levelnya masing-masing—mulai dari gubernur, bupati, walikota, camat dan kepala desa/lurah memahami kondisi dan memperlakukan kebijakan-kebijakan khusus untuk masing-masing daerahnya. Pemimpin harus memahami, menyadari sepenuhnya daerah-daerah yang tidak mampu, dan yang perlu mendapat perlakuan khusus. Tanaman yang jauh dari gubukpun harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipinggir ladang.

Para pemimpin hendaknya menghindarkan diri megambil kebijakan hanya pertimbangan kedekatan masyarakat atau daerahnya, apalagi pada kepentingan pribadi dan golongan. Sama seperti petani memperlakukan tanaman kentangnya, demikian juga pemimpin memperlakukan rakyatnya.

12 juta lebih penduduk di Sumatera Utara terdiri dari beragam suku, agama, dengan potensi yang berbeda-beda hendaknya dipahami dengan filosofi petani kentang ini.

Mereka kini mengalami kemajuan yang berbeda-beda, bisa karena memiliki potensi alam yang melimpah sudah diolah, kemampuan sumberdaya manusianya yang sudah baik, atau hal-hal unggul lainnya.

Berbagai daerah masih tertinggal, bisa karena sumberdaya alam yang belum diolah, sumber daya manusianya yang rendah. Berbagai daerah memiliki potensi tambang emas, timah hitam, lahan kosong yang masih terhampar luas. Rakyat menunggu perlakuan-perlakuan khusus yang kreatif, sehingga mereka mampu bangkit, maju bersama dengan daerah lain.  

Gunawan Sumodinngrat dan Riat Nugroho T (2005), dalam bukunya ” Membangun Indonesia Emas” mengingatkan kita semua, ”Keadilan sosial adalah amanat bangsa. Keadilan sosial bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Keadilan sosial adalah sebuah ’rasa’ yang diciptakan dari keadaan kondusif bagi pengembangan hidup bersama yang diwarnai dengan  saling percaya dan saling gotong royong.”

Semoga di 2012 dan masa mendatang niat, sekali lagi niat  para pemimpin bersama masyarakat daerah ini terinspirasi dengan filosofi ini. Mewujudkan “Rakyat tidak miskin, tidak sakit dan tidak lapar”, dengan niat yang dilandasi semangat maju bersama. .   


[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan

Tidak ada komentar: