Oleh: Jannerson Girsang
Di era dimana melek huruf, budaya tulis mulai berkembang, ditambah
teknologi internet, maka dokumen peristiwa, tindakan seseorang akan
mudah ditemukan.
Dokumentasi tentang apa yang dipikirkan,
dilakukan dan dimaknai seseorang tentang sebuah peristiwa tidak bisa
ditutupi. Karakter baik dan buruk seseorang bisa dilacak melalui dokumen
tertulis itu.
Semua ini mendidik
dan melatih kita untuk melakukan hal-hal yang terbaik bagi umat
manusia. Percayalah kebaikan selalu menang, meski seolah-olah kalah
untuk sementara. Sebaliknya, kejahatan akan selalu kalah, walau untuk
sementara terlihat seperti kuat.
Kampanye hitam, kampanye
negatif mungkin bisa menang dalam Pilpres, tetapi pemenangnya akan
sengsara. Kejahatan itu akan selalu terpatri dalam tulisan yang abadi
sepanjang masa. Pelaku-pelakunya akan mengalami penderitaan, karena
telah membuat banyak orang menderita.
Koruptor memang untuk
sementara, selama kasusnya belum terbongkar, bisa menikmati kenikmatan
dunia. Tetapi boleh lihat apa yang dirasakan Akil Mohtar, Angelina
Sondakh, Nazaruddin, serta beberapa yang saat ini sedang menghadapi
dakwaaan korupsi.
Dia, istri/suami, anak-anak dan keluarga
akan tercoreng mukanya di mata dunia, tercatat sebagai pelaku kejahatan
di dunia maya yang dokumentasinya akan abadi. Bisa saja memang masih
diterima publik, tetapi harus mengalami pertobatan, susah payah untuk
merehabilitasi dirinya.
Kejahatan tidak hanya bentuk tindakan
korupsi, penipuan atau kekerasan secara fisik. Memfitnah, menjelekkan
atau merendahkan sesama, menebar ketakutan, memaksakan kehendak melalui
ucapan, tulisan bernada ancaman, adalah kejahatan besar yang sering
tidak tercium hukum, tetapi dampak negatifnya luar biasa bagi umat
manusia.
Kampanye Pilpres adalah momentum bagi kita semua untuk merenungkan apa yang kita sudah lakukan.
Mungkin melalui FB secara tidak sadar kita pernah menghina, mengejek
teman kita yang berbeda pilihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Kadang
dalam keadaan bersemangat, kita tidak sadar sudah banyak orang yang
tersakiti, tersinggung, atau kecewa.
Dalam demokrasi yang
bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama, prosesnya akan melintasi
jalan berliku. Menuju yang baik, kita tidak mengalami hal-hal yang
mudah.
Itulah "salib". Kita mengalami hinaan karena
melaksanakan, memberitakan sesuatu yang baik. Mari semua berlomba-lomba
menabur kebaikan, hindari kampanye hitam, kampanye negatif.
Munculkan karya-karya Capres yang bisa memberikan inspirasi baru untuk
berbuat lebih baik. Kebaikan yang dibuat keduanya adalah kebaikan
Indonesia, sebaliknya kejelekan mereka adalah kejelekan kita semua.
Dari semua yang jelek tentang Jokowi dan Prabowo masak nggak ada yang
baik! Tapi, mungkin sudah kadung rasa hati "cinta" dan "benci", jadi
susah melihat sebuah "terang" dari keduanya.
Coba, tanya diri
kita masing-masing. Bosan nggak terus-menerus menceritakan yang jelek
tentang teman kita?. Saya sendiri sudah mulai bosan. Hasilnya
menggembirakan atau mengundang kebencian?. Jelas tidak!
Bagaimana kalau sikap itu kita lanjutkan? Bagaimana kalau sikap itu kita rubah dengan sikap yang lebih elegan?
Kita sudah banyak terjerumus pada jurang kebencian yang dalam dan
mungkin akan makin terjerumus lagi lebih dalam kalau kita tidak
melakukan refleksi.
Untuk apa sebenarnya kita mendukung
seseorang. Apakah untuk saling memusuhi atau untuk membedakan kehebatan
negeri ini dipimpin oleh seseorang?.
Jangan-jangan kita nggak
tau alasannya kita menjatuhkan pilihan pada Capres tertentu, sementara
kita menghakimi yang lain salah pilih.
Tidak ada pilihan yang salah, karena keduanya diakui KPU. Pemilih memiliki preferensi memilih seseorang.
Mari melihat wajah kita di cermin!
Selamat akhir Minggu.
Medan, 27 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar