My 500 Words

Jumat, 27 Juni 2014

Mari Melihat Wajah Kita di Cermin

Oleh: Jannerson Girsang

Di era dimana melek huruf, budaya tulis mulai berkembang, ditambah teknologi internet, maka dokumen peristiwa, tindakan seseorang akan mudah ditemukan.

Dokumentasi tentang apa yang dipikirkan, dilakukan dan dimaknai seseorang tentang sebuah peristiwa tidak bisa ditutupi. Karakter baik dan buruk seseorang bisa dilacak melalui dokumen tertulis itu.

Semua ini mendidik dan melatih kita untuk melakukan hal-hal yang terbaik bagi umat manusia. Percayalah kebaikan selalu menang, meski seolah-olah kalah untuk sementara. Sebaliknya, kejahatan akan selalu kalah, walau untuk sementara terlihat seperti kuat.

Kampanye hitam, kampanye negatif mungkin bisa menang dalam Pilpres, tetapi pemenangnya akan sengsara. Kejahatan itu akan selalu terpatri dalam tulisan yang abadi sepanjang masa. Pelaku-pelakunya akan mengalami penderitaan, karena telah membuat banyak orang menderita.

Koruptor memang untuk sementara, selama kasusnya belum terbongkar, bisa menikmati kenikmatan dunia. Tetapi boleh lihat apa yang dirasakan Akil Mohtar, Angelina Sondakh, Nazaruddin, serta beberapa yang saat ini sedang menghadapi dakwaaan korupsi.

Dia, istri/suami, anak-anak dan keluarga akan tercoreng mukanya di mata dunia, tercatat sebagai pelaku kejahatan di dunia maya yang dokumentasinya akan abadi. Bisa saja memang masih diterima publik, tetapi harus mengalami pertobatan, susah payah untuk merehabilitasi dirinya.

Kejahatan tidak hanya bentuk tindakan korupsi, penipuan atau kekerasan secara fisik. Memfitnah, menjelekkan atau merendahkan sesama, menebar ketakutan, memaksakan kehendak melalui ucapan, tulisan bernada ancaman, adalah kejahatan besar yang sering tidak tercium hukum, tetapi dampak negatifnya luar biasa bagi umat manusia.

Kampanye Pilpres adalah momentum bagi kita semua untuk merenungkan apa yang kita sudah lakukan.

Mungkin melalui FB secara tidak sadar kita pernah menghina, mengejek teman kita yang berbeda pilihan. Tidak ada manusia yang sempurna. Kadang dalam keadaan bersemangat, kita tidak sadar sudah banyak orang yang tersakiti, tersinggung, atau kecewa.

Dalam demokrasi yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama, prosesnya akan melintasi jalan berliku. Menuju yang baik, kita tidak mengalami hal-hal yang mudah.

Itulah "salib". Kita mengalami hinaan karena melaksanakan, memberitakan sesuatu yang baik. Mari semua berlomba-lomba menabur kebaikan, hindari kampanye hitam, kampanye negatif.

Munculkan karya-karya Capres yang bisa memberikan inspirasi baru untuk berbuat lebih baik. Kebaikan yang dibuat keduanya adalah kebaikan Indonesia, sebaliknya kejelekan mereka adalah kejelekan kita semua.

Dari semua yang jelek tentang Jokowi dan Prabowo masak nggak ada yang baik! Tapi, mungkin sudah kadung rasa hati "cinta" dan "benci", jadi susah melihat sebuah "terang" dari keduanya.

Coba, tanya diri kita masing-masing. Bosan nggak terus-menerus menceritakan yang jelek tentang teman kita?. Saya sendiri sudah mulai bosan. Hasilnya menggembirakan atau mengundang kebencian?. Jelas tidak!

Bagaimana kalau sikap itu kita lanjutkan? Bagaimana kalau sikap itu kita rubah dengan sikap yang lebih elegan?

Kita sudah banyak terjerumus pada jurang kebencian yang dalam dan mungkin akan makin terjerumus lagi lebih dalam kalau kita tidak melakukan refleksi.

Untuk apa sebenarnya kita mendukung seseorang. Apakah untuk saling memusuhi atau untuk membedakan kehebatan negeri ini dipimpin oleh seseorang?.

Jangan-jangan kita nggak tau alasannya kita menjatuhkan pilihan pada Capres tertentu, sementara kita menghakimi yang lain salah pilih.

Tidak ada pilihan yang salah, karena keduanya diakui KPU. Pemilih memiliki preferensi memilih seseorang.

Mari melihat wajah kita di cermin!

Selamat akhir Minggu.

Medan, 27 Juni 2014

Tidak ada komentar: