"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Jumat, 13 Maret 2009
S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi “Kurator Museum”
S. Andreas Lingga : 26 Tahun Jadi Kurator Museum
Oleh Jannerson Girsang
Meski rambutnya mulai memutih, dan sudah pensiun sejak enam tahun lalu, namun pria bertubuh tegap ini, masih setia menunaikan tugasnya sebagai kurator museum. Dengan sikap ramah dia menyapa kami saat mengunjungi museum yang dipimpinnya baru-baru ini. Layaknya seperti seorang ilmuwan, dengan suara bariton dan tutur bahasa sederhana, pria ini piawai menjelaskan secara detil barang pusaka serta situs-situs yang terdapat di kompleks museum itu. Dialah S.Andreas Lingga yang selama 26 tahun melakoni “kurator museum”, demikian pria itu menyebut pekerjaannya. Dengan bangga pria kelahiran desa Saribujandi, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, 13 Juni 1942 ini, mengisahkan pekerjaannya yang langka itu.
Sebelum menjadi “kurator museum”, kiprahnya berawal dari pegawai rendah di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud), Kecamatan Purba pada 1976. Sambil bekerja sebagai pegawai, Andreas bekerja sampingan sebagai pemusik dan menciptakan pakaian-pakaian adat. “Dulu, saya adalah pemain musik tradisional dari kampung ke kampung,”ujarnya. Tak heran, kalau Andreas menguasai musik tradisional seperti sarune, husapi, sordam, tulida dan satu alat musik yang unik yakni saligung. Saligung adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan ditiup dengan hidung.
Sebagai pencipta pakaian adat, salah satu diantara ciptaannya adalah gotong yang diberi nama “Gotong Habonaron do Bona”, yang kemudian digunakan bagi 1000 orang kontingen Simalungun pada Pesta Danau Toba di era -70an. Menurut Andreas, karyanya ini, ternyata memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh yang peduli kepada pelestarian adat dan budaya di Kabupaten Simalungun.
Beberapa tahun kemudian, dia diminta Lettu (Purn) Musa Sinaga, yang saat itu memimpin Yayasan Museum Simalungun untuk mengelola museum Simalungun menggantikan Gajim Purba yang ketika itu sudah memasuki usia tua. “Saya diminta untuk mengelola musem ini,”ujar Andreas mengenang awal kariernya sebagai “kurator museum”. Dia hijrah dari desanya ke Pematangsiantar, persisnya 1 Maret 1982.
Selama menggeluti kariernya mengelola museum, Andreas Lingga mengaku memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi kelangsungan pelestarian budaya dan sejarah masa lalu.
Selama kiprahnya sebagai “kurator museum”, pria yang hobby membaca buku sejarah itu sudah mengunjungi berbagai museum di dalam maupun luar negeri. Pada 1993, dia ikut rombongan dari Indonesia melakukan rangkaian kunjungan ke berbagai museum di luar negeri yakni ke Art of Culture di Singapura, Tropen di Amsterdam, Flan Kunde di Swiss, Arts of Sclupture di Berlin, Jerman. Demikian juga, dalam waktu terpisah, dia mengunjungi beberapa museum di dalam negeri seperti Museum Bahari, Museum Negeri Sumatera Utara dan lain-lain.
Baginya mengelola museum bukan hanya sekedar pekerjaan rutin, tetapi merupakan sumber inspirasi, sehingga dia tidak pernah merasa pensiun. “Kalau pengunjung lagi sepi, saya membaca dan menulis buku,”ujar pria yang pensiun dari Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Simalungun pada 2002.
Tak heran, kalau lulusan SMA Taman Siswa ini telah menulis beberapa buku tentang budaya Simalungun diantaranya Ornamen Simalungun (1979), Mengenal Peralatan dan Musik Tradisional dan Olah Raga Sumatera (1985), Peralatan Musik Tradisional Simalungun (1987), Kumpulan Cerita Rakyat Simalungun (2002), Transliterasi Pustaha Laklak dalam bahasa Indonesia, Inggeris (2003). Selain itu, Karya-karya “Ornamen Simalungun” yang dikerjakannya juga menghiasi beberapa bangunan di kota Pematangsiantar seperti Pajak Horas, Bank Rakyat Indonesia, Rumah Dinas Bupati, Kantor Perusahaan Listrik negara, Kantor Kejaksaan Negeri Simalungun, Anjungan Fakultas Hukum Universitas Simalungun dan lain-lain. “Dari hasil penjualan buku-buku dan pekerjaan sampingan inilah sedikit menunjang ekonomi keluarga,” katanya.
Pengalaman yang berkesan bagi Andreas adalah ketika sebuah konsulat asing di Medan pada 1985 mensponsori pameran budaya Simalungun di kantor LIA atau sekarang Pusat Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA) di Medan selama beberapa hari. Ketika itu, menurutnya, semua situs dan barang-barang kuno diangkut ke Medan dan dipamerkan kepada pengunjung. “Saya merasa sangat terhormat, ketika barang-barang di museum kami bisa dipamerkan sehingga dapat dilihat dan dipelajari masyarakat luas,”ujarnya. Menurutnya, usaha-usaha seperti ini seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat lainnya.
Andreas merasa bangga bahwa Museum Simalungun telah menjadi laboratorium bagi beberapa peneliti asing. Diantaranya adalah peneliti Jepang Haruki Yamamoto, seorang guru besar Univeritas Nara, Jepang pada 1985, mulai melakukan penelitian tentang aksara Simalungun. “Yamamoto bahkan sudah mampu menulis dan membaca aksara Simalungun,”ujar Andreas. Yamamoto masih melakukan kunjungan terakhir pada 1990. Kemudian dia menyebut beberapa peneliti asing lainnya yang menggunakan museum itu sebagai sumber referensi penelitiannya.
Namun di sisi lain, Andreas cukup prihatin pada masa depan museum yang kini dikelolanya, khususnya setelah krisis ekonomi dan kondisi keamanan yang berdampak pada menurunnya jumlah pengunjung museum yang dikelolanya. Jumlah wisatawan asing menurun drastis sejak krisis berlangsung. “Padahal merekalah dulunya mayoritas pengunjung museum ini”ujarnya. Implikasinya tentu pendapatan jelas menurun secara drastis.
Jangankan untuk mewujudkan pengelolaan museum yang ideal, untuk memelihara kondisi sekarang saja, menurut Andreas dirinya sudah “megap-megap”. Gedung Tari yang di era 80-an merupakan sebuah kelengkapan museum ini, terlihat seolah terlantar dan ditumbuhi rumput dan semak. Situs-situs yang berada di pekarangan museum, terancam rusak oleh terpaan hujan dan terik matahari. “Kalau mau mengelola museum ideal, kita masih jauh,”ujarnya.
Dari pengalamannya berkunjung ke berbagai museum di luar negeri, Andreas mengakui bahwa pengelolaan museum yang dikelolanya sekarang sangat jauh ketinggalan. “Museum di Tropen Belanda memiliki gedung teater, fakultas permuseuman, bahkan hotel penginapan yang dikelola museum,” ujarnya. Pengelolaan museum menurut Andreas harus mampu memberi kenyamanan dan kebutuhan para pengunjung, khususnya mereka yang melakukan riset.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Andreas, pemerintah seharusnya memberikan fasilitasi dan dukungan usaha-usaha menarik minat masyarakat di dalam maupun di luar negeri untuk membantu pengelolaan dan pengembangan museum. Pasalnya, di dalam museum tersimpan bukti-bukti sejarah dan kejayaan bangsa ini di masa lalu. Beberapa diantaranya masih perlu pembuktian dan perlunya pembahasan yang lebih mendalam secara ilmiah. “Kalau barang-barang seperti ini hancur atau hilang, maka di masa depan hanya orang-orang luar yang lebih tau soal kejayaan budaya masa lalu kita,”ujarnya. Pernyataan ini cukup beralasan karena justru penelitian tentang museum dari pengalaman Andreas, dilakukan peneliti asing.
Kepada generasi muda Andreas berharap agar lebih serius menghargai sekaligus mempelajari barang-barang peninggalan nenek moyang yang tersimpan di museum. Bagi Andreas Lingga, mengelola museum adalah pekerjaan langka yang tidak begitu banyak diminati para generasi muda sekarang ini. “Masa depan museum ini terletak pada sumberdaya yang mengelolanya,” ujar Andreas
Sampai sekarang, Andreas mengaku masih mencari pengganti dari kalangan generasi muda, tetapi belum ketemu. Bahkan saat ini dia merangkap sebagai penerima tamu, guide untuk para tamu dan hanya dibantu tiga orang tenaga, yakni tukang kebun, tukang sapu dan jaga malam. Beberapa tahun yang lalu dia sudah mendidik penggantinya yang membantu mengelola museum itu selama beberapa tahun, tetapi setelah diterima bekerja sebagai pegawai negeri, dia bekerja di tempat lain. “Sulit mencari generasi muda yang mau mengelola museum secara serius,”ujar suami Sentina br Purba ini.
Setelah merenungkan pekerjaannya sebagai kurator museum selama 26 tahun, Andreas merasa bersyukur. Meski pekerjaan yang diminatinya hanya memberi upah seadanya saja, namun tiga diantara tujuh anaknya, berhasil menyelesaikan sekolahnya sampai S1, dua D3 dan kini sudah bekerja dengan beragam bidang pekerjaan yang mereka tekuni. Enam diantaranya sudah berkeluarga dan memberinya 11 cucu. “Sayangnya belum ada yang berminat jadi kurator museum,”ujarnya berkelakar.
Penulis beberapa biografi dan profil, tinggal di Medan. Direktur WEB. Dimuat dengan dua gambar di Harian Analisa, 14 Mei 2008. Rubrik Aneka Halaman 32
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bang kalau ada waktu coba buka juga blogspotku PANURGASI (versi beta unpublished yet) di Alamat
sitindangi@blogspot.com, please made comments for improvement, Best regards
Posting Komentar