My 500 Words

Sabtu, 06 November 2010

Catatan Ringan Pertemuan Penulis Pembaca Sumut: Menulis Sampai Uzur

Oleh: Jannerson Girsang

Sampai kapan dan apa yang mendorong para penulis usia lanjut menulis? Di sela-sela acara pertemuan penulis dan pembaca Sumatera Utara yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Sumatera Utara di Hotel Antares, 26 Oktober 2010 lalu, kami tertarik mengamati dan berbincang dengan tiga penulis Sumatera Utara yang berusia antara 60-78 tahun.

Tiga penulis itu adalah Muhammad TWH dari Medan memasuki usia 78 tahun, St Japiten Saragih dari Desa Pematangraya, Simalungun, berusia 74 tahun dan Haji Arifin 69 tahun dari Kota Tanjung Balai.

Ketiganya menulis dengan hati, berjuang tanpa mengenal lelah, apalagi memikirkan materi dari hasil tulisannya. Mereka menulis dengan tangan di atas kertas, memindahkannya ke mesin tik manual serta dari referensi-referensi yang terbatas.

Visi besar senantiasa membakar semangat mereka: "Jika tidak menulis, maka peradaban kami lama kelamaan akan hilang". Pengalaman dan keteladanan mereka seharusnya menjadi inspirasi bagi dunia tulis menulis, lebih-lebih di era teknologi informasi yang berkembang pesat. Penulisan sudah menggunakan komputer, referensi yang melimpah luar biasa untuk bahan tulisan.

***

Menjelang acara dimulai usai makan siang, 26 Oktober 2010, kami menemui Muhammad TWH. Duduk di sebuah kursi di ruang tunggu tempat pertemuan, dan sedang asyik membaca buku panduan acara dan sesekali membetulkan letak berkacamata minusnya. Beliau dikejutkan sapaan kami dan pria yang berwibawa dengan safari coklatnya dengan ramah melayani bincang-bincang selama lima belas menit.

Pria yang dikenal sebagai sejarawan veteran Sumut ini, senantiasa bersikap terbuka dan antusias dengan siapa saja, termasuk dengan kami siang itu. Kami merasakan sikap sosok seorang penulis idealis dan sikap kehangatannya seorang teladan yang bulan Nopember mendatang akan memasuki usia 78.

Puluhan tahun, tanpa kenal menyerah beliau konsisten menekuni dunia tulis menulis. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, pria kelahiran Aceh, 15 Nopember 1932 ini telah menghasilkan 23 buku yang membahas sejarah Sumatera Utara, olah raga, sejarah pers. Dalam sebuah kunjungan kami beberapa tahun lalu ke rumahnya di Jl. Sei Alas No. 06, pria ini tak henti-hentinya berkarya dan memelihara buku-buku dan dokumen penting yang dimiliknya.

"Saya baru menerbitkan buku tahun ini," ujar pria yang beberapa tahun lalu berkunjung ke Amerika Serikat itu bersemangat. Buku barunya berjudul Parada Harahap Berjuang dengan Pena, 2010 ini berkisah tentang kehidupan seorang tokoh Pers Nasional yang berasal dari Sumatera Utara.

Dalam pengamatannya, TWH melihat generasi sekarang ini bahkan wartawan-wartawan muda kurang mengenal kisah perjuangan Parada Harahap. Padahal, beliau berpendapat, pemahaman yang baik tentang sejarah perjuangan seseorang, akan membuat masyarakat menghargai perjuangan itu sendiri.

Di lain kesempatan dalam pertemuan itu, saya bertemu Haji Arifin. Saat itu, beliau baru tiba dari kota Tanjung Balai. Meski telah menempuh jarak selama 3-4 jam di atas bus yang ditumpanginya, beliau yang tampil dengan kopiah dan mengenakan baju batik menampilkan wajah yang cerah. Dengan santun dan ramah memperkenalkan dirinya kepada undangan yang sudah lebih dulu hadir dan sedang menikmati makan siang, sebelum acara berkangsung. "Saya senang sekali bertemu dan berdiskusi dengan para penulis," ujarnya.

"Saya sudah memasuki 69 tahun, tapi menulis adalah darah dan jiwa saya," lanjut pria penulis beberapa buku-buku tentang peradaban di daerahnya, antara lain Si Mardan Anak Durhaka, Asal Mula Tari Gebang, Legenda Pulau Pandan, Batu Bertengkar, Memuji Diri Jadi Mala Petaka, Kudopun Tau Lampu Merah dan lain-lain.

Bahkan pria bekas guru dan pernah menjuarai lomba penulisan tingkat nasional ini, juga merasa penting menuliskan pengalaman hidupnya. "Pengalaman hidup saya unik dan berguna bagi anak-anak saya dan para pembaca lainnya," ujarnya. Tahun 2005 lalu, mantan anggota DPRD Kota Tanjung Balai selama tiga periode ini merampungkan Otobiografinya berjudul : Napak Tilas Kehidupan Merintis Jalan Menembus Kegelapan.

Buku sederhana setebal 85 halaman yang dicetak di percetakan lokal itu berkisah tentang perjalanan hidupnya sebagai guru, anggota DPRD tiga periode di Kota Tanjung Balai, serta kiprahnya sebagai penulis.

Dari sudut ruangan lain, mata saya tertuju kepada St Japiten Saragih. Dalam pertemuan itu dia berkali-kali mengacungkan tangannya untuk berbicara. "Jangan sampai, peristiwa di sekitar kita banyak ditulis orang asing dan kita memperoleh informasi tentang daerah kita dari orang lain. Budaya kita lebih dicintai negara lain".

Beliau dengan lantang melancarkan kritik atas sikap bangsa kita yang hanya pintar mengklaim hasil budayanya, tetapi di lapangan tidak memelihara dan menghargainya. Itulah salah satu langkah yang dilakukannya, menuliskan dan mendokumentasikan Adat Simalungun.

St Japiten Saragih adalah penulis buku-buku adat dan budaya Simalungun. Pria kelahiran Pematangraya 74 tahun silam ini selain menulis juga aktif mengembangkan dan memelihara adat Simalungun. Beliau adalah Ketua Bidang Adat Partuha Maujana Simalungun (PMS).

***

Tiga penulis usia lanjut di atas telah menunjukkan keteladanan mengabadikan peradaban melalui tulisan. Mereka menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dokumentasi peradaban daerah ini.

Dengan keterbatasannya dan semangat tidak mengenal lelah, tanpa banyak berharap imbalan atau penghargaan "Buku-buku sejarah dan dokumentasi yang saya tulis memang masih kurang mendapat apresiasi dari pembaca maupun penerbit di tanah air", ujar Muhammad TWH. Beliau sangat menyayangkan, sementara banyak orang asing yang meminta buku-buku yang ditulisnya sebagai referensi.

Bagi TWH, Haji Arifin, St Japiten, menulis adalah sebuah panggilan jiwa. Sebuah kewajiban untuk memberi pencerahan bagi masyarakat luas soal peristiwa yang disaksikannya.

"Kita tidak berharap apakah tulisan kita laku atau tidak. Yang penting, saya menulis apa yang saya saksikan dan saya anggap bermanfaat bagi masyarakat," ujar Muhammad TWH.

Masalah sulitnya mendapatkan penerbit, salah satu masalah bagi penulis, bukan halangan baginya untuk terus berkarya. Pengalaman Muhammad TWH adalah contoh yang pantas ditiru. Kini, di bawah Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan yang dipimpinnya sendiri, Muhammad TWH menerbitkan sendiri buku-buku yang ditulisnya.

Mereka menghimbau agar pemerintah memperhatikan pengembangan perpustakaan sebagai tempat menyimpan hasil-hasil karya mereka untuk bisa dinikmati masyarakat luas.

Haji Arifin, meski tinggal jauh di kota Tanjung Balai di sela-sela waktunya menulis, juga prihatin atas perhatian pemerintah pada pengembangan perpustakaan. Dengan lantang beliau mengritik ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan.

Menurutnya, sudah dua puluh tahun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam belum juga memiliki Peraturan Pemerintah. "Ini adalah bentuk ketidak seriusan pemerintah mengurus perpustakaan", ujar kakek 8 orang cucu ini.

Himbauan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah untuk menyerahkan hasil Karya ke Perpustakaan diperlihatkan St Japiten Saragih dalam acara itu. St Japiten secara spontan menyerahkan sebuah buku karyanya tentang adat Simalungun ke pihak Baperasda, usai mendengarkan ceramah Majda El Muhtaj menyampaikan makalahnya "Nol Kilometer Peradaban Sumut".

Kerelaan menyerahkan hasil karya seperti ini penting, mengingat catatan Drs Nurjani Msi, Kepala Bidang Pembinaan SDM dan Perpustakaan Baperasda Sumut, masih rendahnya hasil tulisan buku yang diserahkan kepada instansinya, dibanding dengan jumlah penulis di daerah ini.

***

Kiranya tiga sosok pria di atas menjadi inspirasi bagi para penulis-penulis muda dalam memajukan dunia tulis menulis di daerah ini. Semoga pertemuan seperti ini mampu menghasilkan semangat baru bagi penulis dan pembaca. Budaya tulis semakin berkembang dan mendorong meningkatkan minat baca masyarakat.

Penulis adalah penulis beberapa Buku Biografi, tinggal di Medan dan menjadi peserta dalam Pertemuan Penulis dan Pembaca Sumatera Utara, di Hotel Antares Medan, 26 Oktober 2010

Catatan: Artikel ini dimuat di Harian Analisa tanggal 6 Nopember 2010 Halaman 29. Dilengkapi dengan foto  ketiga tokoh.  

Tidak ada komentar: