My 500 Words

Kamis, 28 Oktober 2010

Selamat Jalan Asmara Nababan.

Oleh Jannerson Girsang

 

Kabar memilukan itu kuterima siang ini pukul 12.14, 28 Oktober 2010, persis Peringatan Sumpah Pemuda 2010.

Rekan saya Pendeta Sumurung Samosir—salah seorang rekan dekat Asmara mengirimkan pesan pendek . ”Saya baru dpt kepastian dr Indera N, sdr ktAsmara sdh meninggalkn kita, di RS China. Kpulangan mayatnya blun bs dipastikn kpn. Kt brdoa u klgnya”.

Terbayang wajahnya, cara bicaranya, satu lagi, rokoknya yang tak putus-putus. Asmara Nababan, salah seorang idolaku pergi untuk selamanya.

Saya teringat pertemuan saya di kantor KIPPAS Medan empat tahun lalu. Saat itu dia meminta saya mengantarnya  ke salah satu kantor LSM di Medan. Mobil Feroza butut tahun 1996 bagi seorang Sekjen Komnas HAM, Direktur Demos. Waktu yang pendek di mobil kami manfaatkan bicara soal biografi dan soal demokrasi. Hanya itu yang kuingat dalam pertemuan kami yang terakhir. 

Karena kesibukan masing-masing, selanjutnya, saya dan Asmara  tidak banyak berinteraksi, tetapi saya mengetahui kiprahnya melalui media dan kisahnya dari teman-teman. seperti J.Anto dan lain-lain.

Keteladanan untuk senantiasa memberi pencerahan, semangat dan kesempatan bagi generasi muda untuk berkiprah adalah sebuah contoh yang patut ditiru dari Asrmara.

Saya mengenalnya pada 1987, saat bergabung di KSPPM (Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat), yang ketika itu masih berkantor di Siborongborong. Di mataku, Asmara adalah seorang guru dan teman yang memperhatikan pentingnya kebebasan dan penghargaan kepada Hak Azasi Manusia. Setiap pertemuan beliau senantiasa berbicara soal dua hal itu. Terakhir saya menambahkan soal pentingnya biografi dan otobiografi ditulis. Dia memberi apresiasi. "Itu menarik dan penting kau lanjutkan," katanya dalam pertemuan kami yang terakhir di mobil saya. (Mobil itu sudah saya jual April lalu, karena saya kesulitan keuangan) .  .

Ketika berhenti menjadi wartawan pada 1992, saya sempat bertemu Asmara di kantornya di INGI (International NGO Group on Indonesia), Jakarta. Saat itu saya mengutarakan kekhawatiran saya, karena tidak memiliki pekerjaan, padahal saya memiliki dua orang putri dan satu putra ang masih kecil-kecil. (Kini dua diantara mereka sudah bekerja dan satu sedang kuliah di Jakarta).

Asmara peduli temannya yang sedang dalam kesusahan. Tak berapa lama sesudah itu, Asamara mengutus Setiawaty (salah seorang staf KSPPM) ke rumah saya di Simalingkar. Saat itu Setiawaty Otama membawa pesan dari Asmara bahwa sebuah lowongan tersedia di (INGI). Pasalanya, seorang staf INGI melanjutkan studi di Negeri Belanda. Asmara menominasikan saya untuk mengisi lowongan itu.

Sayangnya, usaha Asmara membantu teman memang tidak saya penuhi saat itu, karena saya keburu mendapat pekerjaan di kantor lain. Saya memberi alasan bahwa pekerjaan yang saya dapat sudah melalui  ”Doa khusuk dan tak mungkin kutinggalkan begitu saja”.

Saya tidak mengetahui perasaan Setiawaty saat itu, tapi sampai hari ini saya masih terus menjalin persahabatan dengannya, Hingga akhir akhir khayatnya, Asmara tetap mengenal saya dan menghargai persahabatan kami.

Saya kehilangan seorang tokoh yang mampu memberi motivasi, semangat juang. Seorang sahabat yang peduli kepada teman. Selamat jalan abang anda semoga karya-karyamu untuk bangsa ini tetap dikenang. Kami generasi penerusmu mampu meningkatkan kiprah yang selama ini sudah abanganda rintis.

Medan, 28 Oktober 2010

Artikel ini dikutip oleh Harian Pos Metro Medan tanggal 29 Oktober 2010.   

2 komentar:

Hans Midas Simanjuntak adalah mengatakan...

Yah. Tanggal 28 Okt 2010 itu hari sukacita saya, tapi sekaligus juga jadi dukacita. Karena negeri ini hemat saya kehilangan seorang yang berjasa di bidang penegakkan HAM, demokrasi dan keadilan. Asmara Nababan. Lebih dikenal dengan panggilan Bang As.

Mengaitkan sejarah penegakkan HAM, demokrasi dan keadilan di negeri ini, akan terasa sangat tidak lengkap tanpa menyebut peran dan perjuangan Asmara Nababan. Bukan saja untuk mereka yang ada di indonesia bagian barat, tapi juga bagi rekan2 di Papua. Sudah selayaknya saya kira, rekan2 di Papua berterima kasih kepada jasa peran dan perjuangan bang As terutama di bidang penegakkan HAM.

Tulisan yang digoreskan oleh bapak Jannerson Girsang ini, bagi saya sangat menarik, faktual seperti tagline yang diberikan untuk blog ini; sekaligus telah menginsipirasi saya yang membacanya. Sebagian, sekelumit tentang pribadi seorang Bang As, terungkap dengan apik. Pribadi yang sederhana. Solidaritas kesetiakawanannya sangat kuat terutama kepada mereka yang mengalami kesulitan, menderita opresi dan ketidak-adilan nampak jelas.
Memang tidak adalah gading yang tak retak. Setiap sisi hidup manusia, selalu ada sisi kelemahannya, di samping begitu banyak sisi kelebihan yang dipunyai.

Saya yang sempat pernah tumbuh dan besar di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, cukup tahu mengenai keluarga besar Asmara Nababan dari orang tua dan keluarga saya. Keluarga besar ini mempunyai kalau tidak salah 6 orang laki-laki kakak beradik. Yang sulung tinggal di Bandung. Yang kedua, Bpk SAE Nababan yang pernah menjadi Ephorus HKBP dan kini menjadi salah satu Presiden WCC tingkat dunia. Kemudian, bpk Johny Nababan, Panda Nababan (pengurus senior DPP PDIP), alm Asmara Nababan dan Indra Nababan.
Saya tertarik ingin mengetahui pula dengan cara bagaimana orangtua mereka dulu mendidik ke-6 kakak beradik ini, termasuk almarhum.

Selamat jalan Bang As. Terima kasih atas tulisan yang inspiring ini.

Salam saya.
HMS :)

JANNERSON GIRSANG: Menulis Fakta Memberi Makna mengatakan...

Rekanku Midas, terima kasih atas komentarnya yang memperkaya artikel ini. Keteladanan beliau hendaknya tidak dilupakan bangsa ini.