My 500 Words

Senin, 12 September 2011

Belajar dari Kesalahan

Oleh: Jannerson Girsang

Albert Einstein berkata: “Seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak pernah mencoba sesuatu yang baru. A person who never made a mistake never tried anything new”.

Sejak duduk di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa kesalahan adalah sifat yang melekat pada diri manusia. Tidak seorangpun yang sempurna. Itulah yang membedakan kita dari Tuhan yang maha sempurna. Makanya setiap hari hari besar keagamaan ada acara maaf-maafan.

Dalam hidup berbangsa dan bernegara, seseorang yang melakukan kesalahan mendapat ganjaran menurut aturan yang sudah disepakati bersama sebagai bangsa: undang-undang yang berlaku. Hukuman sebenarnya bukan tujuan akhir dari sebuah kesalahan, tetapi apa yang mereka lakukan menjadi pelajaran berharga bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Mengapa?. Karena manusia adalah mahluk yang istimewa. Mereka dianugerahi Tuhan kemampuan memperbaiki kesalahan yang dibuatnya—baik kesalahan dirinya sendiri maupun kesalahan yang pernah dibuat sesama umat manusia lainnya. Itulah yang membedakan mereka dari binatang, mahluk ciptaan Tuhan yang lain.

Semua bangsa ini yakin bahwa manusia belajar hidup lebih baik dan lebih mudah, karena belajar  dari kesalahan yang pernah dibuatnya, atau kesalahan orang lain. Makanya manusia memiliki pepatah,:”Jangan terperosok ke lobang yang sama”.

Di tengah-tengah kegemaran sebagian warga bangsa memperlakukan sebuah kesalahan menjadi adegan sinetron yang never ending, pikiran saya menerawang kepada peristiwa tragis 25 tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar mampu menjadi pelajaran, bukan bahan olok-olokan, apalagi digunakan sebagai alat untuk saling menjatuhkan antara sesama warga bangsa.

Kesalahan dengan Kerugian Besar

Dua puluh lima tahun lalu, suatu sore awal 1986, saya bersama beberapa rekan kerja di salah satu ruangan di kantor USESE (Unit Studi Evaluasi Sosial Ekonomi), salah satu unit di Proyek Citanduy II di Ciamis Jawa Barat, terhenyak atas sebuah berita televisi.

Melalui siaran TVRI—satu-satunya stasion televisi ketika itu, sebuah berita meluncur: ”Pesawat Ulang-alik Challenger meledak hanya 73 detik setelah tinggal landas, 28 Januari 1986,”.

Di layar pesawat televisi kami menyaksikan bagaimana suasana keriangan di pusat pengendali  NASA, Cape Canaveral berubah menjadi kesedihan yang luar biasa. Kepingan-kepingan pesawat meluncur seperti meteor dan jatuh di atas Samudera Atlantik.  Wajah panik terlihat di wajah para petugas.

Keluarga korban terlihat histeris menyaksikan anggota keluarga kebanggaannya tewas seketika dan tubuhnya hancur berkeping-keping .Tujuh awak pesawat dan seorang guru yang ikut dalam misi penerbangan luar angkasa itu tewas. Mereka adalah Michael J. Smith , Dick Scobee , Ronald McNair; Ellison Onizuka ,Christa McAuliffe , Gregory Jarvis , Judith Resni. Mereka adalah putra putri terbaik Amerika. Christa McAuliffe misalnya adalah pemenang dari 11 ribu calon NASA asa Teacher in Space Project.

Kecelakaan ini menimbulkan kerugian dengan total 5.5 Milyar US Dollar, yaitu 2 milyar Dollar untuk penggantian pesawat dan sisanya untuk biaya penelitian, investigasi, dan lain-lain. Angka yang tidak sedikit, dua kali lipat dari bantuan IMF kepada BI tahun 2009 sebesar US $ 2,7 juta.

Merumuskan Kesalahan dan Memaknai Kesalahan

Segera setelah kecelakaan pesawat itu, Pemerintah Amerika Serikat membentuk komisi khusus dengan ketua : William P. Rogers—mantan Menteri Luar Negeri AS; wakil : Neil A. Armstrong—mantan astronout yang pertama kali mendarat di bulan untuk menginvestigasi kecelakaan dan kemudian menghasilkan beberapa fakta sebagai dasar untuk menjelaskan penyebab kecelakaan tersebut.

Enam bulan kemudian, Juni 1986, komisi ini sudah mampu menemukan penyebab kecelakaan dan mengumumkannya secara terbuka kepada publik. Kesalahan yang mereka temukan bisa dilihat di http://www.aerospaceguide.net/spaceshuttle/challenger_disaster.html.

Kesalahan-kesalahan diperbaiki dan proyek peluncuran pesawat ulang-alik berlanjut dengan penyempurnaan-penyempurnaan.

Dua puluh lima tahun kemudian, seperti diberitakan Associated Press, Sabtu (29/1), ratusan orang, berkumpul di lokasi peluncuran kapal ulang alik milik NASA untuk memperingati 25 tahun kecelakaan Challenger.

Mereka adalah mantan manajer NASA, mantan astronaut, keluarga dan teman astronot yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut serta para pelajar yang belum lahir saat kapal ulang alik yang akan mengantarkan seorang guru asal Concord, New Hampshire, meledak di udara.

Kecelakaan pesawat ulang alik Challenger bukan yang pertama dan terakhir terjadi di NASA. Dalam upacara tersebut, Scobee Rodgers dan Kepala Operasi Luar Angkasa NASA Bill Gerstenmaier meletakkan sebuah karangan bunga berwarna merah, putih, dan biru di dasar Space Mirror Memorial, tugu setinggi 13 meter yang bertuliskan nama 24 astronaut yang tewas saat menjalankan tugas sepanjang sejarah NASA.

Hal menarik adalah reaksi para keluarga korban yang cukup simpatik. Mereka tidak terus-terusan mengutuk kesalahan yang terjadi, meski keluarga mereka menjadi korban. Simaklah pernyataan June Scobee Rodgers, janda dari komandan kapal ulang alik Challenger Dick Scobee.

Dia meminta mereka yang berkumpul di Cape Canaveral untuk tidak hanya melihat ke belakang namun menatap ke masa depan terutama di bidang pendidikan mengenai luar angkasa dan ilmu pengetahuan.

Semangat para astronaut diangkat menjadi motivasi bagi rakyat Amerika. "Seluruh dunia telah mengetahui bagaimana para astronaut Challenger meninggal. Kini kita harus mengingatkan mereka mengenai kehidupan mereka dan apa yang mereka pertaruhkan saat memasuki kapal ulang alik tersebut," tegas Scobee Rodgers.

Belajar Dari Kesalahan

Kisah jatuhnya pesawat ulang alik Challenger dan pemaknaan atas peristiwa itu menjadi sebuah refleksi bagaimana kita menyikapi sebuah kesalahan.

Artikel ini menghimbau agar sebagai bangsa, di benak kita muncul kesadaran bahwa kesalahan yang sudah terjadi tidak mungkin dihapus dan akan melekat selama-lamanya sebagai bagian dari perjalanan bangsa ini .

Kasus Century, Gayus, Nazaruddin, kecelakaan pesawat, kecelakaan kapal laut, hukuman mati bagi TKI di luar negeri dan pengelolaan TKI itu sendiri, dan ribuan kesalahan yang sudah dilakukan pejabat, pribadi atau bangsa ini secara keseluruhan.

Kita teralalu banyak membuang energi membicarakan kesalahan dan kadang mempolitisir kesalahan itu sendiri. Sebuah kesalahan seharusnya disikapi dengan memberi makna, karena kesalahan telah menyebabkan kerugian besar. Menatap ke depan dan memperbaiki kesalahan.

Sampai sejauh ini, kebanyakan kesalahan itu masih disikapi dengan asyik mencari kambing hitam, belum mampu menarik pelajaran berharga. Buktinya, kasus Century justru diikuti kasus Gayus dan Nazaruddin. Kita tetap berputar-putar di lubang yang sama.

Kasus TKI dari dulu hingga sekarang tak habis-habisnya menjadi sorotan, tanpa sesuatu usaha yang sistematis untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Kita baru mampu membuat moratorim pengiriman TKI, suatu keputusan yang tentunya kurang bijak dalam jangka panjang, mengingat besarnya minat TKI dalam negeri (Kompas, 23 Juli 2011), menyikapi kasus PNS yang membebani APBN dengan penandatanganan moratorium PNS oleh Tiga Menteri (Kompas 24/8/2011).

Peristiwa Tsunami dan Gempa Aceh-Nias, Yogya, Mentawai yang menelan korban ratusan ribu jiwa dan harta benda triliunan rupiah belum mampu memberi pelajaran bagi bangsa ini. Kita masih mengulangi kesalahan yang sama ketika Tsunami menerjang Mentawai. Berhari-hari setelah peristiwa sebagian masyarakat tidak memperoleh bantuan makanan. Pembentukan tim terpadu penggulangan bencana masih mengalami keterlambatan.

Marilah kita semua, media kita, bersama dengan elemen-elemen masyarakat lainnya menggiring bangsa ini menatap masa depan, ketimbang berasyik ria memanfaatkan kesalahan untuk mewujudkan tujuan pribadi, kelompok atau golongan, yang kadang tidak luput mengundang rasa dendam satu sama lain.

Jadilah bangsa yang mampu merumuskan kesalahan yang diperbuat warganya dan bangsanya secara keseluruhan, memaknai kesalahan itu sebagai sebuah batu loncatan kearah kehidupan yang lebih baik dengan melakukan perbaikan-perbaikan. Akh…tidak mudah tentunya!.

 Penulis Biografi, tinggal di Medan
Dimuat di Edisi Cetak Harian Analisa, 12 September 2011. 






2 komentar:

Siswanto mengatakan...

Terima kasih sudah menyediakan karya ini pak. Sebagai anak muda, kami termotivasi oleh semangat bapak.

JANNERSON GIRSANG: Menulis Fakta Memberi Makna mengatakan...

Tkhs atas apresiasinya. Semoga pemimpin kita semakin mampu mendiagnosa pernyakit bangsa ini dan memberi resep yang tepat.