My 500 Words

Kamis, 29 September 2011

Belajar dari Para Penulis Sukses Indonesia (Jurnal Medan Edisi Cetak, 29 September 2011)

Oleh Jannerson Girsang

Saya bukan penulis sejak muda, dan baru memulai pekerjaan ini secara serius setelah berusia 40 tahun. Mulai dari menulis biografi, konsultan penulisan di berbagai media, dan menulis artikel di media cetak dan online.

Untuk informasi anda, saya telah menulis sekitar 14 buku otobografi dan biografi dalam kurun waktu delapan tahun. Artikel ini, adalah tulisan saya yang kesekian kalinya diterbitkan di berbagai media.

Menulis membutuhkan selain kemapuan dan pengetahuan yang terus ditingkatkan, juga perlu inspirasi untuk tetap bersemangat menulis. Salah satu cara saya meningkatkan kemampuan dan menjaga semangat untuk terus menginspirasi menulis adalah belajar dari pengalaman mereka yang sukses.

Menulis sebagai profesi bukan seperti meteor turun dari langit. Tiba-tiba saja melejit, bercahaya. Pekerjaan ini membutuhkan dukungan yang berasal dari diri sendiri, dari luar dan peralatan.  Mari belajar dari mereka yang sukses, ketimbang mengeluh soal penghargaan.

Mari sharing bersama tentang pengalaman saya kemaren!. Kemaren saya berselancar (searching) di internet dan membaca berbagai buku di Buku Google.

Mengeluh?: Malu Dong!

Membaca buku ”Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia” memberi inspirasi bagi saya bahwa menulis secara total akan memberikan hasil dan penulis sukses itu bekerja dan berjuang hingga mereka mencapai status mereka sekarang.

Buku tersebut ditulis oleh Albert Marbun dan diterbitkan Ide Media, 2008. Informasi ringkas buku itu bisa anda peroleh di Buku Google, karena sudah didigitalkan 25 Juni 2010 lalu. Albert juga seorang penulis novel: ”Jatuh Cinta di NAD”.

Di dalam buku itu ada daftar nama Alberthiene Endah, mantan wartawan, kemudian penulis novel dan terakhir sangat terkenal menulis biografi, Jennie S Bev penulis Indonesia yang kini berjaya di Amerika Serikat, Elizabet Lutter serta ratusan penulis lain yang sudah sukses.

Kalau mau sukses sebagai penulis, seseorang harus total menulis. Tidak ada penulis sukses berhasil tanpa usaha maksimal. Anda tidak hanya menulis sekali saja, langsung meraup milaran rupiah, seperti penulis Andrea Hirata. Menjadi seorang penulis sukses harus menghasilkan tulisan yang laku di pasar. Ada pembacanya atau pengguna tulisan itu.

Untuk itu diperlukan pengetahuan yang luas, dan mampu menulis dari topik yang khusus yang diperlukan orang-orang tertentu, kalau bisa juga dibutuhkan sebagian besar penduduk negeri (dunia) ini.

Membaca buku “Seratus Penulis Kaya Seratus Persen Asli Indonesia”, ada rasa geli kalau mendengar keluhan-keluhan para penulis, seperti kurang penghargaan, kurang dukungan, kurang macem-macem. Tidak ada gunanya. Sebab nasib penulis bukan di tangan siapa-siapa.

Harus diingat, penulis bergantung kepada lingkungan. Bukan sebaliknya lingkungan tergantung pada penulis. Peduli amat lingkungan kepada penulis!. Anda yang harus membuat para pembaca merasa penting untuk membaca tulisan anda. Anda harus mampu membuat tulisan anda: ”Enak Dibaca dan Perlu”, seperti semboyan Tempo, majalah berita terkemuka di Indonesia.

Tentu malu kalau kita para penulis mengeluh, sementara dalam keadaan seperti sekarang ini begitu banyak penulis sukses dan kaya di negeri ini.

Persiapan Diri

Saya kemudian mempelajari lebih lanjut pengalaman Elizabeth Lutter. Dia adalah penulis skenario dan menuliskan pengalamannya dalam buku:”Kunci Sukses Menulis Skenario, Elizabeth Lutter (orang Indonesia Asli).

Buku ini memberi tips bagi saya bahwa seorang penulis (dalam hal ini penulis skenario), bagi saya itu sama saja dengan penulis bidang yang lain, harus memiliki persyaratan sebagai berikut.

Pertama harus ada dorongan dari diri sendiri, seperti minat dari dalam diri seperti bakat, motivasi, disiplin, kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, komunikasi (dengan berbagai pihak, memperoleh informasi tentang bahan tulisan, media tempat menulis dll), belajar (seorang penulis adalah pembaca tentang apa saja yang mampu mendukung kualitas tulisan)  dan  memiliki pengalaman perjalanan (untuk memperkaya tulisan tentang lokasi).

Belajar tidak hanya dari buku-buku, koran atau televisi/radio, internet, tetapi juga memaknai catatan pengalaman hidup, perjalanan yang pernah dilakukan atau merencanakan perjalanan.

”Belajar adalah kutuk masa kecil, minyak masa dewasa, dan obat di masa tua”, Walter Savage Landor, seperti dikutip Elizabeth.

Penulis harus terus belajar dari apa saja yang dilihatnya. Mendalami makna dari fakta yang ada, sehingga penulis mampu ”Menulis Fakta dan Memberi Makna”. Jika tidak maka tulisan akan kering, tak bermakna. Pembaca bosan dan tulisan tidak laku.

Hal lain adalah disilplin. Elizabeth menulis setiap hari dengan jam-jam yang sudah ditetapkannya dan konsep yang sudah ditulisnya.

”Saya sendiri terus terang belum bisa mengatur waktu dengan pasti. Sehingga saya membiarkan lapotop saya terbuka mulai pukul 11.00 (setelah pekerjaan rumah tangga beres, hingga pukul 01 non stop, setiap hari. Apa yang saya kerjakan hari ini sudah saya konsep terlebih dahulu. Meski laptop saya terbuka dari pukul 11.00 dampai 01, bukan berarti sepanjang 14 jam itu saya bekerja terus menerus di depan laptop. Di sela-sela jam itu, kadang-kadang saya masih bisa membaca atau becanda ria dengan keluarga, jika tiba-tiba saya mendapat ide, saya langsung ke laptop untuk mengetiknya”.

Sebagai perbandingan, Elizabeth mengutip pengalaman Norah Lofts penulis roman sejarah yang melakukan pekerjaannya mulai dari jam 09.00-13.00, dan mulai lagi 16.30-19.30, setiap hari.

Kedua, harus mendapat dukungan dari luar diri seperti keluarga, lingkungan, mengatur kedatangan tamu/kerabat, memiliki rekan kerja (Asisten dan Sekretaris, bagi penulis yang volume pekerjaannya sudah besar), penonton (penulis scenario), pembaca (penulis buku, media cetak), pemirsa (radio, televisi) dan sesama penulis.

Hambatan besar saya menulis adalah dukungan keluarga dan lingkungan. Pengalaman kami di Medan, keluarga atau lingkungan masih memandang pekerjaan menulis bukan sesuatu yang menjanjikan. ”Penulis?”. Apa itu?. Orang belum percaya kalau penulis itu bisa hidup dari menulis.

Selain itu, tamu-tamu yang datang tanpa memberi tahu kedatangannya sering menjadi pengganggu. Karena mereka tidak mengerti pekerjaan saya,  maka dikira saya main-main. Ini bukan salah mereka. Memang sayalah yang harus menjelaskannya. Beberapa saya beritahu agar kalau mereka datang memberitahu terlebih dahulu.

Kalau menghadapi masalah saya senantiasa ingatkan kata-kata Nurheti Yuliarti dalam bukunya ”Menjadi Penulis Professional”: ”Ungkapan hati seorang penulis yang penuh ketulusan dan keikhlasan lebih berharga dari sekadar kemewahan duniawi”.(Nurheti Yuliarti, Menjadi Penulis Professional).

Meski pendapatan menulis saat ini masih kecil, tetapi sesuatu yang lebih berharga saya peroleh. Pekerjaan apapun yang saya lakukan, tidak mungkin membuat saya lebih dikenal dan dihargai seperti sekarang ini.

Ketiga, harus memiliki dukungan fasilitas, seperti peralatan kerja, tempat kerja, perpustakaan. Ruangan tempat anda menulis harus nyaman dan memiliki peralatan kerja, komputer yang tersambung dengan internet. Menurut saya peralatan ini mutlak.

Sangat tidak layaklah kalau masa sekarang ini penulis masih menggunakan mesin ketik lama. Sangat menyusahkan tidak hanya dirinya, karena kita tidak bisa bekerja cepat dengan mereka. Penulis harus mampu menghasilkan tulisan dalam format mikrosoft word yang bisa dikomunikasikan menggunakan e-mail. Para redaktur mediapun akan bekerja dua kali menghadapi penulis yang menggunakan mesin ketik tradisional seperti ini.

Penulis harus memiliki perpustakaan pribadi, sekecil apapun ukurannya. Setidaknya beberapa referensi-referensi penting tersedia di dekat meja anda saat menulis. Sekali-sekali harus berkunjung ke perpustakaan, demikian juga mengunjungi beberapa perpustakaan digital di internet.

Kalau anda belum sukses, berarti anda harus belajar cara-cara mereka yang sudah sukses dan mengembangkannya.

Penutup

Menulis sebagai sebuah profesi adalah merebut pasar. Itu tidak mudah. Hal ini perlu supaya anda tidak kecewa dan mengutuk pekerjaan menulis.Harus diingat: No gain without pain. Tidak ada hasil tanpa pengorbanan. Melakukan pekerjaan apapun tidak bisa sambilan, tidak bisa setengah-setengah. Sukses menulis,  sama dengan sukses di pekerjaan lain, harus total.

Semoga bermanfaat dan menginspirasi anda!

Artikel ini juga bisa diakses di :
http://medan.jurnas.com/index.php?option=com_content&view=article&id=65978:belajar-dari-para-penulis-sukses-indonesia&catid=57:opini&Itemid=65.

Tidak ada komentar: