Cagubsu dan Cawagubsu Perempuan, Muncullah!
Oleh : Jannerson Girsang
Sumber foto: http://www.doelindramayu.blogspot.com
Sumber foto: http://www.doelindramayu.blogspot.com
Sampai artikel ini ditulis, belum satupun calon perempuan maju sebagai calon Gubsu maupun Wagubsu sebagai pilihan bagi lebih dari 9 juta pemilih dari provinsi yang berpenduduk 13 juta jiwa ini. Padahal, jumlah perempuan diperkirakan lebih dari 50 persen pemlih. Selain itu, masa pelaksanaan Pilgubsu akan berlangsung 7 Maret 2012. Sayang sekali kalau peluang itu berlalu begitu saja.
Perempuan sangat potensial memimpin sebuah perubahan. Tak ada lagi orang yang meragukannya. Buktinya, beberapa tahun terakhir ini pemimpin perempuan telah menunjukkan kiprahnya dalam memimpin perubahan bangsa ini. Dekade pertama abad 21 Indonesia berhasil melahirkan seorang gubernur pertama di Indonesia, Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten.
Artikel ini bermaksud membuka mata dan mengajak kaum perempuan di provinsi ini dan mengajak untuk menyimak pengalaman Ratu Atut Chosyiah. .
Teori Berenang tidak Cukup, tapi Terjunlah ke Kolam RenangBeberapa artikel telah menyatakan keprihatinannya atas alpanya calon perempuan meramaikan bursa Cawagub dan Cagubsu dalam Peilbugsu 2012. Kami tertarik dengan artikel yang ditulis Lusiah, SE, MM dan Halim Loly, SE, MM (Analisa, 20 Juni 2012).
Lusiah dan Halim Loly berpendapat pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan selama ini belum maksimal. "Ke depan perlu didukung pemberdayaan politik perempuan dengan ikut serta dalam suksesi kepemimpinan. Perempuan sangat potensial dalam memimpin karena menggunakan perpaduan rasio dan perasaan perempuan. Kepemimpinan seperti ini sangat dibutuhkan oleh rakyat. Perempuan sendiripun perlu membenahi dirinya dan meningkatkan dirinya agar bisa bersaing dengan kaum laki-laki," demikian penulis artikel ini dalam kata penutupnya.
Satu catatan tambahan bahwa pemberdayaan itu sendiri hanya sebuah stimulant terciptanya seorang pemimpin, penentunya adalah pilihan orang yang diberi pemberdayaan itu.
Belajar teori tidak cukup, tetapi harus praktek. Sekali lagi, materi pelatihan yang diberikan kepada perempuan hanyalah pengetahuan yang membekali dirinya memberi tanggapannya atau respons terhadap sebuah rangsangan (kepekaannya terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya).
Artikel Lusiah, SE, MM dan Halim Loly, SE, MM menyebut materi pemberdayaan perempuan yang mencakup banyak hal dan dibagi dalam materi pokok (mencakup pendidikan politik seperti UUD 1945; Paket undang-undang bidang politik, serta materi tentang peranan perempuan dalam pembangunan politik dan demokrasi) dan materi penunjang (tata pemerintahan yang baik (good governance); retorika publik; pemberdayaan perempuan; otonomi daerah dan sistem pemerintahan daerah; komunikasi yang efektif; citra diri; perempuan dan peluang global; kebijakan serta pemerintah dalam pembangunan dan pemberdayaan perempuan). Bahkan dilengkapi materi lokal seperti budaya perempuan berdasarkan adat istiadat daerah, pembentukan organisasi perempuan di daerah; peranan Ormas dan LSM dalam pemberdayaan perempuan.
Materi-materi itu ibarat pelajaran berenang di depan kelas. Sama seperti seorang anak yang belajar teori berenang di depan kelas, maka dia tidak akan bisa berenang tanpa membuat pilihan dirinya terjun ke kolam renang. Kalau si anak takut kedinginan atau takut tenggelam, maka sampai kapanpun si anak tidak akan pernah bisa berenang. Pemimpin harus berani melintasi tantangan, tidak hanya mengeluh dan mencari alasan.
Sangat menarik menyimak pendapat Dr Noel Tichy penulis buku terkenal The Leadership Engine. Pemimpin tidak dilahirkan tetapi diajar. Walau kemudian ditegaskan kembali oleh Steven R. Covey, bahwa sekali lagi, dalam hal inipun berlaku pilihan seseorang atau sang tokohnya sendiri. Bukan ajaran itu yang menentukan, tetapi orang tertentu yang mau diajar, dan mau mengikuti ajaran itu.
Pelajaran yang sudah didapat dari pemberdayaan harus digunakan untuk mengasah kemampuan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat serta memberi solusi atas persoalan. Itulah sebenarnya "kolam renangnya".
Belajar dari Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Perempuan Pertama di Indonesia
Seorang pemimpin tidak dilahirkan atau dibuat (dalam arti bukan hasil didikan dan pelatihan lingkungannya). Pemimpin itu "dibuat sendiri" (self made) oleh seseorang melalui kemampuannya menanggapi atau merespons situasi di sekitarnya.
Kepemimpinan adalah pilihan dan pembentukan pemimpin memerlukan proses. Seseorang akan terbentuk menjadi pemimpin pada bidangnya dengan mempraktekkan wilayah kepedulian atau responnya dengan prinsip-prinsip yang benar serta mengembangkan kemampuan, pengetahuan atau disiplin ilmu yang dimilikinya.
Dari pengaruh yang kecil lama-lama membesar. Ingat bagaimana pemimpin informal Ibu Theresia di India, Presiden Pertama Perempuan Nigeria, Ellen Johnson Sirleaf, atau "The Mother of Revolution", Tawakkol Karman dari Yaman. Mereka adalah perempuan-perempuan berpengaruh, peraih Nobel atas kegiatan-kegiatan baik yang dilakukannya menuju keadilan dan perdamaian dunia ini. .
Mereka muncul dengan area of concernnya dan menjadi pemimpin di sana, kemudian mendapat dukungan dari kalangan yang lebih luas. Tokoh-tokoh seperti ini bahkan tidak mencalonkan dirinya, tetapi dicalonkan orang lain.
Bukan muncul tiba-tiba, hanya berteriak ketika musim Pilgubsu.
Seorang perempuan maju menjadi gubernur, bermodalkan ide, keinginan serta keberanian untuk maju. Itulah prinsip yang dipegang Ratu Atut Chosyiah, gubernur pertama perempuan di Indonesia. Ia terpanggil menjadi gubernur (Lihat blog pribadinya: http://ratuatutchosiyah.wordpress.com/perihal/).
Menjadi seorang gubernur adalah panggilan. Tidak didorong-dorong atau diciptakan lingkungan. Ada keinginan besar dari seseorang untuk menjadi pemimpin, untuk memimpikan perubahan.
Perempuan berparas cantik kelahiran Serang, Banten, 16 Mei 1962 menjadi Gubernur Perempuan Indonesia pertama, didampingi wakil gubernur Muhammad Masduki. Keduanya dilantik pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD Banten di Cipocok Jaya, 11 Januari 2007.
Sebelum mencalonkan diri menjadi gubernur, Ratu Atut Chosiyah menapaki jalan panjang dan berliku.
Ratu Atut menjalani masa kecil, tumbuh dan berkembang bersama lingkungan masyarakat agraris dan agamis. Ia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya di Serang dan melanjutkan pendidikannya (SMP, SMA, Perguruan Tinggi) di Kota Bandung.
Di Kota Kembang ini, selain belajar ia merintis bisnisnya. Mulai dari usaha kecil-kecilan sebagai supplier alat tulis dan kontraktor, kemudian berkembang pesat ke berbagai bidang, terutama perdagangan dan kontraktor.
Dia memang berbakat sebagai pemimpin dan dikenal luas di kalangan pengusaha di daerah pemilihannya. Sebagai pengusaha, Ratu Atut pernah menduduki sejumlah jabatan prestisius, antara lain, bahkan pernah menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Banten, Ketua Asosiasi Distributor Indonesia (ARDIN) Provinsi Banten dan aneka organisasi lain.
Sebagai putri Banten, Ratu Atut merasa terpanggil untuk membangun Provinsi Banten, yang terbentuk pada pertengahan tahun 2001, dengan terlibat langsung sebagai pemegang kebijakan dalam pemerintahan.
Awalnya, dirinya tidak mencalonkan langsung menjadi gubernur. Dalam usia masih muda (40 tahun), ia terjun ke dunia birokrasi dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2002 – 2007, dan dalam pemilihan di DPRD Banten, Ratu Atut bersama calon gubernur Djoko Munandar terpilih untuk memimpin Provinsi Banten.
Situasi politik mendongkrak popularitasnya. Ketika Djoko Munandar dicopot dari jabatannya karena terkait kasus korupsi, Ratu Atut ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Banten.
Sebagai pelaksana tugas gubernur, ia mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah 2006.
Setelah merasa memiliki pengaruh dan kemampuan yang cukup, maka dalam pilkada 2006, ia mencalonkan diri sebagai gubernur dan berpasangan dengan calon wakil gubernur Mohammad Masduki.
Pencalonan mereka didukung Partai Golkar, PDI-P, PBR, PBB, PDS, Partai Patriot, dan PKPB. Ini bukan hal yang mudah. Dia pasti punya lobby-lobby yang kuat, memiliki jaringan yang luas. Hebat tokh, seorang perempuan bisa mendapat dukunan dari partai-partai besar seperti itu. Kita semua tau, mencari dukungan satu partai saja bukan hal yang mudah.
Berdasarkan hasil penghitungan manual yang dilakukan KPU Provinsi Banten, bersama pasangan wakil gubernur, ia memperoleh 1.445.457 (40,15 persen) dari 3.599.850 suara sah. Suara tidak sah mencapai 177.141 suara.
Dengan demikian, tingkat partisipasi pemilih mencapai 60,83 persen dari total warga yang menggunakan hak pilih sebanyak 3.776.385 atas 6.208.951 pemiluh terdaftar.
Tentu sang Ratu tidak mulus-mulus saja melenggang menikmati hasil pemilihan yang memenangkannya menjadi gubernur. Hasil pemilihan gubernur itu ditolak tiga pasangan calon gubernur, yakni Zulkieflimansyah - Marissa Haque, Tryana Sjam’un - Benyamin Davnie dan Irsjad Djuwaeli - Mas A. Daniri.
Mereka menolak dan menggugat Komisi Pemilihan Provinsi Banten, Biro Pemerintahan Provinsi Banten, dan Dinas Kependudukan Provinsi Banten. Bahkan, selain menggugat Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten, pasangan Irsjad-Daniri juga mengajukan gugatan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proses gugatan berjalan, tetapi sang Ratu melenggang menjadi gubernur.
Kisah menuju tangga gubernur, Hajjah Ratu Atut seharusnya menjadi inspirasi berharga bagi kaum perempuan menuju tangga gubernur!.
Apapun ceritanya, Ratu Atut telah membuka sejarah di Indonensia, bahwa perempuan layak memimpin provinsi.
Adakah perempuan sekaliber Ratu Atut dari kalangan perempuan Sumatera Utara. Kalau ada, majulah jangan tunggu!. Kalau tidak menjadi Cagubsu, yah paling tidak Cawagubsu. Sebuah tantangan yang hanya bisa dijawab sendiri oleh kaum perempuan di provinsi ini.
Dimuat di Harian Analisa, 4 Juli 2012 dan bisa diakses di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/04/60808/cagubsu_dan_cawagubsu_perempuan_muncullah/#.T_RZv5Ee6Fr.
Catatan: Ratu Atut kemudian dimasukkan ke penjara karena korupsi. Gubenur Banten itu dijemput penyidik KPK, Jumat (27/12/2013), karena dugaan korupsi dalam jumlah besar. Dia ratu korup, bukan contoh yang baik untuk ditiru.
Catatan: Ratu Atut kemudian dimasukkan ke penjara karena korupsi. Gubenur Banten itu dijemput penyidik KPK, Jumat (27/12/2013), karena dugaan korupsi dalam jumlah besar. Dia ratu korup, bukan contoh yang baik untuk ditiru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar