Oleh: Jannerson Girsang.
Majalah
Horison telah berusia 47 Tahun. Kurun waktu yang tidak singkat, sebuah perjuangan media yang memerlukan dedikasi yang tulus, idealisme
dan kreativitas pengelolanya.
Pantas kita acungkan jempol, Horison bisa mempertahankan usia hingga
47 tahun melalui penampilannya unik, pembaharusan terus menerus terhadap
isi agar menarik bagi pembaca, yang menuntut pengelola yang idealis,
cerdas, kreatif serta semangat yang tinggi.Horison menjadi gerbang bagi
saya, dan jutaan rakyat Indonesia memahami perkembangan penulis-penulis
dan karya sastra di negeri ini.
Kini, di usianya ke 47 Horison terus berkibar dan menjadi icon
majalah sastra di negeri ini.Sebuah pelajaran berharga bagi para
sastrawan di provinsi Sumatera Utara, berpenduduk hampir sama dengan
Negara Kamboja ini.
Majalah Penjaga Karakter Indonesia
Membaca Horison edisi Juli 2013 menyiratkan bulan yang istimewa.Di
sampul depan bermotif kain batik Madura, tertulis Horison (warna hitam),
majalah sastra (warna putih), angka 47 (merah), di bawah angka empat
tertulis sejak Juli 1966 (tahun berdirinya majalah) dan dibawah angka
tujuh tertulis tahun (warna hitam).
Bukan hanya bangga karena bahasa yang digunakan banyak membantu saya
belajar bahasa yang baik atau membaca artikel-artikel, cerpen dan puisi
yang memotivasi, tetapi saya lebih bangga lagi, karena bulan Juli 2013,
Horison menampilkan cerpen berjudul Golok, Karya Bokor Hutasuhut, pria
kelahiran Medan, 2 Juni 1934. Golok adalah karya Bokor yang Horison
mengangkat karya-karya putra-putri terbaik dari penulis-penulis di
seluruh Indonesia.
Bokor adalah seorang penulis cerpen dan novel terkenal dari Sumatera
Utara dan karyanya dibukukan dalam Datang Malam, Penakluk Ujung Dunia,
Tanah Kesayangan, Pantai Barat.
Desain majalah ini juga menampilkan karakter daerah yang muncul
setiap bulan. Khusus untuk edisi Juli, keistimewaan lainnya adalah
kontekstualitas isi majalah.Bulan Juli dimana mayoritas bangsa ini
sedang menjalankan ibadah puasa, mengisi sebanyak 14 halaman edisi kali
ini.Majalah ini mengakomodasi ciri khas Indonesia yang lain.
Berbeda dengan majalah berita yang memiliki pasar yang lebih luas,
majalah bulanan Horison memiliki sasaran pembaca sastrawan, peminat
sastra, dan masyarakat umum.
Pendiri dan Penerus yang Bersemangat
Penerbitan Juli 2013 mampu memberi kisah keteladanan yang menarik dari Majalah ini.
Sebuah ungkapan yang membanggakan, tanpa mengundang keangkuhan.“Sudah
47 tahun. Ah tidak. Dengan rendah hati kami ingin mengatakan: baru 47
tahun…..dan itu hanya mungkin berkat harapan, dcita-cita, semangat dan
doa dan dukungan Anda semua”, demikian bunyi ungkapan satu alinea di
sampul depan bagian dalam majalah Horison edisi bulan Juli 2013.
Sebagai peminat sastra dan sekali-sekali membaca majalah ini ketika
jadi mahasiswa di erah awal 80 hingga pertengahan 80-an di Jawa, usia 47
tahun majalah ini memunculkan rasa bangga tersendiri.
Ternyata bangsa ini masih memiliki anak-anak terbaiknya yang berjuang
sedemikian lamanya mengelola majalah sastra bergengsi dan memegang
teguh idealisme, jauh dari hingar bingar iklan.Saya tidak melihat sebuah
iklanpun di majalah ini.Anehnya, mereka mampu melebihi kemampuan terbit
majalah-majalah berbau bisnis, yang usianya bisa hanya seumur jagung.
Tidak mudah untuk sebuah majalah sastra eksis di negeri yang korup
dan lebih mencintai materi.Banyak majalah sastra sesudah Horison muncul.
Tetapi usia majalah-majalah itu hanya seumur jagung sampai beberapa
tahun. Beberapa diantaranya yang eksis sekarang ini.Lentera, salah satu
diantara majalah sastra yang saya kenal dan beberapa kali mengunjungi
edisi onlinenya.
Tentu ucapan salut pantas diberikan kepada pendirinya.Semangat dan
cita-cita mereka yang luhur saat mendirikan majalah ini. Empat nama
pendiri selalu ditorehkan dalam setiap penerbitannya. Mereka adalah
Mochtar Lubis (1922-2004), P.K Ojong (1920-1980), Sapardi Joko Darmono,
Arif Budiman dan Taufik Ismail. Mereka adalah tokoh pers, sastra,
kritikus yang sangat disegani di negeri ini.Majalah yang besar adalah
menghormati para pendirinya.
Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, Arief Budiman,
Goenawan Mohamad, Sanento Yuliman, Arwah Setiawan, Ali Audah Fuad
Hassan, M.T. Zen, P.K. Ojong, Umar Kayam, dan D.S. Moeljanto pernah
duduk dalam jajaran redaktur. Sampai sekarang salah satu dari mereka,
Taufiq Ismail, aktif mengendalikan majalah Horison.
Majalah besar adalah bila memikirkan regenerasi yang
berkesinambungan.Kini jajaran redaksinya terus bersemangat dengan
regenerasi yang mantap. Pemimpin Redaksinya, Jamal D Rahman, kelahiran
Lenteng Timur Sumenep Madura, 14 Desember 1967. Di jajaran Pemimpin
Redaksi terdapat nama besar Taufik Ismail, kelahiran Bukit Tinggi, 25
Juni 1935.
Generasi muda dan tua berkreasi bersama. Dua tokoh berbeda generasi
itu bekerja bersama-sama turun di lapangan menjabat redaktur.
Rekan-rekan mereka di jajaran redaktur terdapat nama-nama Fadli Zon,
Cecep Syamsul Hari, Joni Ariadinata.Generasi muda yang siap membawa
majalah ini kearah yang lebih baik.
Kreativitas Membangun Keunikan
Dari berbagai sumber, saya menyimpulkan majalah Horison memiliki keunikan yang tentunya membedakan dirinya dari majalah sejenis.
Rubrikasi terus diperbaharui.Kaki langit yang merupakan bacaan
favorit saya, sebuah ruang apresiasi sastra bagi siswa SMU, madrasah,
aliah dan pesantren muncul sejak November 1996.Ruang apresiasi itu
berbentuk suplemen atau sisipan dengan jumlah halaman lebih banyak
daripada jumlah halaman isi majalah.
Hal unik dalam pengembangan rubrikasi adalah menampilkan lembaran
Mastera setiap tiga bulan sekali yang memuat karya sastra pilihan dari
tiga negara ASEAN.Tampilan ini sudah dimulai sejak 1999.
Majalah Horison mengamati dan memberi apresiasi atas karya-karya
agung negeri ini.Horison misalnya memberikan hadiah karangan terbaik
guna memajukan kehidupan sastra di Indonesia. Horison memberikan hadiah
kepada Film remaja paling popular di Indonesia, “Ada Apa dengan Cinta”
(2002) karena mampu mendorong para siswa membaca karya sastra (puisi).
Para redaktur majalah ini aktif memberikan ceramah-ceramah tentang
sastra.Taufik Ismail misalnya, dalam berbagai kesempatan memberikan
semangat kepada para generasi muda agar mencintai sastra.18 Juli 2013
lalu misalnya.Beliau tampil di Batang, Jawa Tengah.
Sejak tahun 2000, Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Horison
aktif keliling Indonesia dalam rangka pelatihan sastra untuk guru-guru
bahasa dan sastra Indonesia SD, SMP, dan SMA.Aktif pula keliling
Indonesia dalam rangka mendorong minat baca, menulis, dan apresiasi
sastra di kalangan siswa. Dia telah mengunjungi sekitar 200 sekolah di
160 kota di seluruh provinsi kecuali Maluku dan Papua, dalam rangka
acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).
Tak banyak majalah sastra seaktif Horison mendekatkan sekaligus
mencerdaskan para pembacanya, menjaring para penulis-penulis baru,
mengapresiasi mereka, mencerdaskan pelanggan yang baru tentunya. Di usia
47, Horison yang tidak hanya diam, menggerutu dan menyalahkan kondisi
negeri ini yang memang masih kurang memberikan perhatian pada dunia
sastra.
Semoga Horison menjadi inspirasi bagi para sastrawan di daerahku
untuk mengembangkan majalah sastra di daerahku Sumatera Utara—yang
dikenal menghasilkan sastrawan hebat di masa lalu. Kapan Sumut punya
masalah sastra yang bergengsi? Sebuah tantangan buat para sastrawan dan
bagi rakyat di provinsi ini.
Selamat Ulang Tahun ke-47 buat Majalah Horison. ***
Penulis adalah kolumnis, penulis biografi, peminat sastra tinggal di Medan