My 500 Words

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (2)

 (Sambungan dari bagian 1) 

Oleh: Ir Jannerson Girsang

“Bu, bapak lagi maragat (mengambil air nira dari pohon enau),” kata Sarioto kepada Ibunya, kala ibunya sedang memasak makan malam.

Setelah kegiatan memukul-mukul selesai, ayah Sarioto kemudian menaruh handi-handi yang sudah penuh itu di pundaksebelah kanan.

Hari sudah mulai gelap, ketika dia hendak menuruni tangga. Pandangan mata ayah Sarioto tidak begitu jelas melihat lobang-lobang di bambu tempatnya berpijak.

Baru melangkah ke bawah beberapa tangga, kakinya tergelincir,  hingga kaki berikutnya tidak tepat menginjak lobang. Lalu  tangannya terlepas karena beban air nira yang cukup berat.

Malam senyap dan suara-suara riuh binatang dari dalam hutan menyaksikan ayah Sarioto terjun bebas ke tanah.

“Ras………..,” bunyi tubuhnya yang menyentuh dedaunan di sekitar pohon enau dan dalam hitungan detik, lantas, “Bum………”tubuhnya menyentuh tanah dan tulang-tulangnya remuk.

Di rumah gubuknya, Sarioto dan Ibunya sedang menunggu lelaki yang sangat mereka cintai itu. Keduanya dengan setia menunggunya hingga waktu makan malam tiba.

Malam itu memang berbeda dengan biasanya. Hingga waktu makan malam lewat beberapa lama, ayah Sarioto belum tiba di rumah. Biasanya, sebelum waktu makan malam ayahnya sudah tiba di rumah dan  bercengkerama dengan Sarioto dan ibunya.

Ibunya curiga sudah terjadi sesuatu kepada suaminya. Setelah menyimpan makan malam mereka kembali ke tempat penyimpanan makanan, dia menarik tangan Sarioto, lantas mengajaknya keluar rumah  menuju rumah Pangulu (pemimpin kampung).

Kepada pangulu dia melaporkan bahwa suaminya belum pulang dari “pargulaan” (tempat memasak nira menjadi gula aren). Seketika, pangulu memukul mong-mong dan berkeliling desa.

“Mong….mong….mong,”bunyi pukulan mong-mong--sejenis alat gamelan dari tangan pangulu, sambil memanggil semua para penduduk laki-laki berkumpul di depan kedai. 

Seluruh penduduk kampung berkumpul di kedai tempat ayah Sarioto biasanya menjual tuak.Semua pemuda kampung dan beberapa orang tua  ditugaskan mencari ayah Sarioto.

Puluhan pemuda dan orang tua dengan menggunakan obor berangkat menuju pargulaonayah Sarioto.

Setibanya di tempat itu, mereka berbagi ke dalam beberapa regu mencari ke pohon enau milik lelaki bertubuh kekar itu.

Satu regu menemukan ayah Sarioto. Semuanya terkejut, ketika seseorang berteriak karena menyentuh tubuh yang tergeletak di dekat tangga!.

“Tubuh manusia!,”teriaknya kaget.

“Apa….?,” kata yang lain terkejut.

Setelah seseorang mengamatinya dan yang lain membantu penerangan dengan obor, ternyata adalah ayah Sarioto.

Tubuhnya tergeletak di tanah dan tertimpa handi-handi tempat air nira.Sebagian langsung mendekat dan menggoyang-goyang tubuhnya.Ternyata ayah Sarioto tidak bernyawa lagi.

Beberapa laki-laki mengusungnya ke pargulaon dan di sana mereka membuat tandu dari goni untuk mengangkutnya ke kampung.

Seluruh penduduk kampung malam itu memenuhi rumah kecil dan sebagian besar berkerumun di sekeliling pekarangan rumahnya.Mereka sangat berduka atas meninggalnya ayah Sarioto.

Tinggallah Sarioto yang masih kecil bersama ibunya.

Merindukan Makanan Enak

Setelah ayahnya meninggal dunia, hidup Sarioto bersama ibunya semakin susah. Sarioto tidak pernah lagi memperoleh daging buruan seperti ketika ayahnya masih hidup.

Penghasilan ibunyapun tidak lebih baik, dibanding ketika ayahnya masih hidup.

Sarioto tumbuh menjadi anak laki-laki yang lasak, sering membandel kepada ibunya.Sebaliknya, ibunya tidak mampu memberikan kenikmatan hidup seperti yang dialaminya ketika ayahnya masih hidup.

Semasa  hidup ayahnya, Sarioto menikmati daging hasil buruan ayahnya. Ayahnya bersama-sama para laki-laki sekampungnya  sering  berburu ke hutan. Mereka menangkap babi hutan, rusa, musang dan lain-lain.

Ayahnya juga  memasangsiding (perangkap burung) baik di rerumputan atau semak-semak, maupun pada sarang-sarang burung pipit saat buah padi masih muda. Saat seperti ini, burung-burung pipit dan sejenisnya sangat banyak bersarang di sekitar  ladang di desa tempat tinggal Sarioto

Sarioto sangat senang kalau ayahnya membawa daging hasil buruannya ke rumah. Malamnya dia bisa menikmati  daging sepuasnya.

Sebagian daging tangkapan ayahnya dicampur garam dan dikeringkan di atas para-para. Setelah diperlakukan demikian daging itu akan awet  selama beberapa hari. Daging seperti ini disebut sale-sale dan rasanya sangat nikmat.

Sehingga berhari-hari Sarioto bisa memakan daging saat makan siang atau malam.Bahkan di luar waktu makanpun dia sering mencuri-curi daging hasil buruan ayahnya.

Kini menjelang usianya 6 tahun, dia turut ibunya bekerja memburuh di ladang.Ibunya melarangnya bermain-main di kampung seperti kebanyakan teman-temannya yang lain.  Bahkan seusia itu, Sarioto sudah bisa membantu ibunya menanam jagung di ladang dimana ibunya memburuh dan mendapat sedikit imbalan.

Dia sering disuruh ibunya membantu mengantar bibit jagung dari gubuk pemilik ladang  kepadaibunya di tengah ladang. Saat anak-anak seusianya masih bermain, Sarioto turut andil membantu ibunya menanam jagung.

Ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani, dan hanya mampu menyediakan makanan ala kadarnya untuk Sarioto.

Sarapan ubi jalar, makan siang dengan ikan dan nasi bercampur jagung (sakke) atau bubur ubi kayu yang dicampur dengan gula merah.Lauknya hanya sepotong ikan, sayur rebus berupa daun jipang, daun ubi kayu dan lain-lain.

Sarioto sangat merindukan makanan yang enak saat ayahnya masih hidup.Dia sangat jengkel dengan aturan ibunya yang hanya memberinya sepotong ikan setiap kali makan.

Sarioto tinggal di sebuah desa terpencil, terletak sekitar 7 kilometer dari tiga (sebuah pasar mingguan).Hanya dibuka sekali seminggu.

Jarak itu ditempuh dengan jalan kaki selama satu jam. Sekali seminggu ibunya bersama beberapa penduduk  pergi ke tiga yang berjalan kaki telanjang melintasi perladangan, sawah tadah hujan, bahkan beberapa kali melintasi hutan.

Penduduk desa yang status ekonominya lebih tinggi biasanya naik kuda.

Sarioto hanya diizinkan ibunya menikmati pasar satu atau dua kali setahun. Paling-paling dia diperbolehkan ikut ke tiga  ketika menjelang  robu-robu (atau pesta panen).Saat itu adalah hari bahagia bagi Sarioto,karena pulang dari tigadia dibelikan ibunya sarung atau baju bekas. (Bersambung ke bagian 3)

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut). 
 



Tidak ada komentar: