Pengantar
Semasa kecil di era
enampuluhan, kisah Sarioto berkali-kali dikisahkan oleh ibu saya seorang guru
Sekolah Dasar. Begitu melekatnya kisah ini, hingga puluhan tahun kemudian, saya
masih bisa mengisahkannya kepada anak-anak, termasuk kepada pembaca sekalian.
Kisah ini merupakan penceritaan ulang kisah ibu saya yang memotivasi dan membimbing anak-anaknya melalui berbagai cerita.
Di masa kecil, anak-anak saya senang mendengar kisah ini dan hingga mereka sudah dewasa dan ada yang menikah, sekali-sekali ingin saya mengisahkannya kembali. Saya menuliskannya untuk turut membantu membentuk karakter anak melalui cerita.
Kisah ini merupakan penceritaan ulang kisah ibu saya yang memotivasi dan membimbing anak-anaknya melalui berbagai cerita.
Di masa kecil, anak-anak saya senang mendengar kisah ini dan hingga mereka sudah dewasa dan ada yang menikah, sekali-sekali ingin saya mengisahkannya kembali. Saya menuliskannya untuk turut membantu membentuk karakter anak melalui cerita.
Alkisah, dahulu kala
hiduplah sepasang suami istri dan anak semata wayang mereka bernama Sarioto.
Mereka hidup di sebuah desa yang jauh di pedalaman.
Sebagai pendatang ke
desa itu, mereka tidak memiliki sebidang tanahpun. Meski keluarga itu miskin,
awalnya kehidupan keluarga ini sangat harmonis.
Hingga suatu hari, ayah
Sarioto terjatuh dari pohon enau dan meninggal di tempat. Sepeninggal ayahnya, kehidupan
Sarioto bersama ibunya makin melarat. Terbatasnya makanan yang bisa disediakan
ibunya membuat Sarioto tumbuh menjadi anak yang rakus.
Sarioto melanggar
aturan ibunya yang membatasinya makan lauk: “hanya boleh memakan sepotong ikan”.
Dia menghabiskan persediaan ikan seminggu, satu periuk tanah ikan dan ibunya menghukumnya:
memukul kepala Sarioto hingga menjadi kera.
Ibunya menjadi sebatang kara dalam dalam penyesalan.
Ibunya menjadi sebatang kara dalam dalam penyesalan.
Jangan melanggar aturan ibu dan orang
tua tidak boleh memukul anak-anaknya sembarangan. Sebuah pesan yang tentunya
masih relevan dengan kehidupan masa kini.
Miskin Tapi Harmonis
Rumah Sarioto layaknya
sebuah gubuk, terletak di bibir sebuah lembah sungai di pinggiran desa Sebuah
pohon beringin yang lebat, seolah melindungi rumahnya dari panas matahari, dan
membuat rumahnya lembab, karena tidak kena sinar matahari.
Banyak penduduk desa
meletakkan sesajen di antara akar-akar pohon. Sesekali, Sarioto mencuri-curi
makanan yang ditinggal pemuja pohon itu dan memakannya. Biasanya buah-buahan
atau daging ayam yang lezat.
Rumah itu beratap ijuk, dengan dinding tepas dan
berlantai tanah. Tidak ada batas ruang dapur, ruang tamu, atau ruang tidur.
Rumah berukuran 4x5 meter persegi itu memiliki tataring (tungku memasak), para-para
tempat menyimpan garam, ikan atau makanan lainnya, dan mengeringkan kayu api
untuk memasak.
Sehari-hari, ayah
Sarioto bekerja sebagai seorang partalun (penderes enau)
dan ibunya adalah seorang pangomo (buruh
tani).
Setiap hari, pagi-pagi
sekali ayah Sarioto berangkat dari rumah menuju pargulaon (gubuk tempat
mengolah nira menjadi tuak atau gula merah), yang terletak di tengah hutan, sekitar
2 kilometer dari desa itu.
Di gubuk itulah ayah
Sarioto mengolah hasil sadapan nira menjadi tuak atau gula merah.Disanalah tempatnya
beristirahat setelah selesai menyadap air nira dan mengolahnya menjadi tuak
atau gula merah.
Setiap sore, ayahnya
membawa beberapa botol tuak dan dijual
kepada pemilik kedai di kampungnya.Ayahnya juga turut menikmati tuak yang
dijualnya sebagai mana sebagian besar laki-laki dewasa di desa itu.
Hasil masakan sebagian
nira sadapannya dicetak berbentuk gula
merah (berbentuk segi empat), dan dijual ke pekan mingguan yang berjarak
sekitar 7 kilometer dari desanya.
Sementara itu,
ibunya bekerja memburuh di ladang orang.Penghasilan ibunya hanya sekitar satu
atau dua kaleng beras dalam sebulan.Ibunya juga memungut sisa-sisa buah jagung,
atau ubi yang tidak sempat dipanen pemilik ladang.
Hidup mereka boleh
dikatakan hanya mampu mencukupi makan sehari-hari serta sandang seadanya.Meski
mereka hidup sangat sederhana namun keluarga ini sangat harmonis.
Pulang dari ladang,
wajah Sarioto diselimuti debu tanah hingga tampak seperti topeng.Itu sering
menjadi tertawaan ayahnya di rumah.Lalu menyuruhnya mandi atau sekedar cuci
muka.
Sarioto juga dihibur
ibunya dengan menyanyikan lagu-lagu untuk Sarioto.“Besar tidak muat di rumah
dan tambah tinggi sampai setinggi atap rumah”.
Sepulang bekerja,
ayahnya sering bercerita tentang kisah-kisah yang menarik dan Sarioto dengan
tekun mendengarkannya.Cerita ayahnya biasanya berhenti setelah Sarioto
tertidur.
Sebuah
Malapetaka
Hingga suatu ketika,
keluarga ini ditimpa mala petaka.Sore itu, ayah Sarioto sendirian sedang berada
di gubuknya menunggu redanya hujan deras yang turun sejak siang hari.
Setelah menunggu
beberapa lama, ayahnya memutuskan untuk menyadap nira dari enaunya meski hujan
masih rintik-rintik.
Seperti biasa dia
mengangkat handi-handinya (tempat
menampung air nira hasil sadapan dari pohon enau, terbuat dari bambu besar sepanjang
lebih kurang 1 meter), digunakan sebagai
tempat tuak hasil sadapan dari pohon enau) dan bergerak menuju pohon enau yang
akan disadapnya. Pohon itu hanya berjarak
beberapa puluh meter dari gubuk itu.
Jalan yang
dilaluinya berlumpur dan licin, bahkan dia hampir saja jatuh karena kakinya terpeleset.
Untungnya dia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Dia memandang pohon
enau dan tangga bambu yang menjulang puluhan
meter ke atas. Tangga itu dibuatnya sendiri. Pada setiap ruas bamboo, dia membuat
lobang segi empat untuk tempat kakinya bertumpu. Tangga itu diikatkan ke pohon
enau agar kokoh.
Ayah Sarioto bersiap-siap
memanjat. Dia mengeratkan ikat pinggangnya dan merapikan handi-handinya. Karena diguyur hujan, badannya kedinginan, tubuhnya
menggigil. Tetapi dia tetap bersemangat. alu, dia menancapkan kakinya di tangga
pertama.
Kakinya menyentuh
tangga kedua dan tanggannya hampir lepas pegangan. Dia semakin hati-hati
melangkah.
“Aduh.Licin
sekali,”keluhnya dalam hati.
Meski tangganya licin
karena digury hujan, dia berhasil memanjat hingga ke puncak, tempat cabang enau
yang menghasilkan nira.
Resiko apapun yang
menimpanya, ayah Sarioto harus mencapai puncak untuk mengambil air nira yang
sudah berada di dalam handi-handi. Kalau tidak, maka nira akan rusak dan dia
tidak bisa menghasilkan uang untuk membeli makanan keluarganya.
Di puncak, hati ayah
Sarioto dliputi rasa senang karena hasil air niranya penuh, bahkan sebagian sudah tumpah dari handi-handinya. Dia memindahkan handi-handi yang sudah meluap itu ke cabang
lain dan mengikatnya di gantungan. Lantas, dia
mengganti handi-handi kosong yang
diusungnya dari bawah dan menggantungkannya dekat aliran air nira.
Meski di tengah
hujan rintik-rintik, dia harus memukul-mukul batang di sekitar cabang yang
menghasilkan nira dengan sepotong kayu. Beberapa kali selama beberapa menit, sebagai syarat agar air
nira tetap mengalir.
Konon, dengan
memukul-mukul batang dan cabang yang menghasilkan air nira, maka air nira yang
dihasilkan makin banyak dan bagus kualitasnya.Itulah menurut keyakinan dan
pengetahuan mereka di desa itu.
Bunyi pukulan kayu dengan batang enau itu memecah kesunyian di sekeliling hutan, dan terdengar hingga ke desanya.
Orang-orang desa yang mandi di pancuran atau sedang beristirahat di perbukitan kampung
mendengarnya, termasuk ibu Sarioto dan Sarioto sendiri. (Bersambung ke bagian 2)
*)Penulis Biografi, Tinggal di Medan
(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Sedang dalam proses menuju sebuah buku kecil, cerita rakyat. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut. Saya menyimpan di blog ini untuk menghindari virus di komputer dan kerusakan file. Silakan menikmatinya dan membeli bukunya kalau sudah terbit).
(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Sedang dalam proses menuju sebuah buku kecil, cerita rakyat. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut. Saya menyimpan di blog ini untuk menghindari virus di komputer dan kerusakan file. Silakan menikmatinya dan membeli bukunya kalau sudah terbit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar