My 500 Words

Sabtu, 12 Oktober 2013

Cerita Rakyat dari Simalungun Sarioto: Tidak Patuh Aturan Ibunya, Jadi Kera (1)


Oleh: Ir Jannerson Girsang*)

Pengantar

Semasa kecil di era enampuluhan, kisah Sarioto berkali-kali dikisahkan oleh ibu saya seorang guru Sekolah Dasar. Begitu melekatnya kisah ini, hingga puluhan tahun kemudian, saya masih bisa mengisahkannya kepada anak-anak, termasuk kepada pembaca sekalian. 

Kisah ini merupakan penceritaan ulang kisah ibu saya yang memotivasi dan membimbing anak-anaknya melalui berbagai cerita. 

Di masa kecil, anak-anak saya senang mendengar kisah ini dan hingga mereka sudah dewasa dan ada yang menikah, sekali-sekali ingin saya mengisahkannya kembali. Saya menuliskannya untuk turut membantu membentuk karakter anak melalui cerita.  

Alkisah, dahulu kala hiduplah sepasang suami istri dan anak semata wayang mereka bernama Sarioto. Mereka hidup di sebuah desa yang jauh di pedalaman.

Sebagai pendatang ke desa itu, mereka tidak memiliki sebidang tanahpun. Meski keluarga itu miskin, awalnya kehidupan keluarga ini sangat harmonis.

Hingga suatu hari, ayah Sarioto terjatuh dari pohon enau dan meninggal di tempat. Sepeninggal ayahnya, kehidupan Sarioto bersama ibunya makin melarat. Terbatasnya makanan yang bisa disediakan ibunya membuat Sarioto tumbuh menjadi anak yang rakus.

Sarioto melanggar aturan ibunya yang membatasinya makan lauk: “hanya boleh memakan sepotong ikan”. Dia menghabiskan persediaan ikan seminggu, satu periuk tanah ikan dan ibunya menghukumnya: memukul kepala Sarioto hingga menjadi kera. 

Ibunya menjadi sebatang kara dalam dalam penyesalan.

Jangan melanggar aturan ibu dan orang tua tidak boleh memukul anak-anaknya sembarangan. Sebuah pesan yang tentunya masih relevan dengan kehidupan masa kini.

Miskin  Tapi Harmonis

Rumah Sarioto layaknya sebuah gubuk, terletak di bibir sebuah lembah sungai di pinggiran desa Sebuah pohon beringin yang lebat, seolah melindungi rumahnya dari panas matahari, dan membuat rumahnya lembab, karena tidak kena sinar matahari.

Banyak penduduk desa meletakkan sesajen di antara akar-akar pohon. Sesekali, Sarioto mencuri-curi makanan yang ditinggal pemuja pohon itu dan memakannya. Biasanya buah-buahan atau daging ayam yang lezat.  

Rumah itu  beratap ijuk, dengan dinding tepas dan berlantai tanah. Tidak ada batas ruang dapur, ruang tamu, atau ruang tidur. Rumah berukuran 4x5 meter persegi itu memiliki tataring (tungku memasak), para-para tempat menyimpan garam, ikan atau makanan lainnya, dan mengeringkan kayu api untuk memasak.

Sehari-hari, ayah Sarioto bekerja sebagai seorang partalun (penderes enau) dan ibunya adalah seorang pangomo (buruh tani).

Setiap hari, pagi-pagi sekali ayah Sarioto berangkat dari rumah menuju pargulaon  (gubuk tempat mengolah nira menjadi tuak atau gula merah), yang terletak di tengah hutan, sekitar 2 kilometer dari desa itu. 

Di gubuk itulah ayah Sarioto mengolah hasil sadapan nira menjadi tuak atau gula merah.Disanalah tempatnya beristirahat setelah selesai menyadap air nira dan mengolahnya menjadi tuak atau gula merah.

Setiap sore, ayahnya membawa beberapa botol tuak dan  dijual kepada pemilik kedai di kampungnya.Ayahnya juga turut menikmati tuak yang dijualnya sebagai mana sebagian besar laki-laki dewasa di desa itu.

Hasil masakan sebagian nira sadapannya dicetak berbentuk  gula merah (berbentuk segi empat), dan dijual ke pekan mingguan yang berjarak sekitar 7 kilometer dari desanya.

Sementara itu, ibunya bekerja memburuh di ladang orang.Penghasilan ibunya hanya sekitar satu atau dua kaleng beras dalam sebulan.Ibunya juga memungut sisa-sisa buah jagung, atau ubi yang tidak sempat dipanen pemilik ladang.

Hidup mereka boleh dikatakan hanya mampu mencukupi makan sehari-hari serta sandang seadanya.Meski mereka hidup sangat sederhana namun keluarga ini sangat harmonis.

Pulang dari ladang, wajah Sarioto diselimuti debu tanah hingga tampak seperti topeng.Itu sering menjadi tertawaan ayahnya di rumah.Lalu menyuruhnya mandi atau sekedar cuci muka.

Sarioto juga dihibur ibunya dengan menyanyikan lagu-lagu untuk Sarioto.“Besar tidak muat di rumah dan tambah tinggi sampai setinggi atap rumah”.

Sepulang bekerja, ayahnya sering bercerita tentang kisah-kisah yang menarik dan Sarioto dengan tekun mendengarkannya.Cerita ayahnya biasanya berhenti setelah Sarioto tertidur.

Sebuah Malapetaka

Hingga suatu ketika, keluarga ini ditimpa mala petaka.Sore itu, ayah Sarioto sendirian sedang berada di gubuknya menunggu redanya hujan deras yang turun sejak siang hari.

Setelah menunggu beberapa lama, ayahnya memutuskan untuk menyadap nira dari enaunya meski hujan masih rintik-rintik.

Seperti biasa dia mengangkat handi-handinya (tempat menampung air nira hasil sadapan dari pohon enau, terbuat dari bambu besar sepanjang lebih kurang  1 meter), digunakan sebagai tempat tuak hasil sadapan dari pohon enau) dan bergerak menuju pohon enau yang akan disadapnya. Pohon itu  hanya berjarak beberapa puluh  meter dari gubuk itu.

Jalan yang dilaluinya berlumpur dan licin, bahkan dia hampir saja jatuh karena kakinya terpeleset. Untungnya dia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Dia memandang pohon enau dan  tangga bambu yang menjulang puluhan meter ke atas. Tangga itu dibuatnya sendiri. Pada setiap ruas bamboo, dia membuat lobang segi empat untuk tempat kakinya bertumpu. Tangga itu diikatkan ke pohon enau agar kokoh.

Ayah Sarioto bersiap-siap memanjat. Dia mengeratkan ikat pinggangnya dan merapikan handi-handinya. Karena diguyur hujan, badannya kedinginan, tubuhnya menggigil. Tetapi dia tetap bersemangat. alu, dia menancapkan kakinya di tangga pertama.

Kakinya menyentuh tangga kedua dan tanggannya hampir lepas pegangan. Dia semakin hati-hati melangkah.

“Aduh.Licin sekali,”keluhnya dalam hati.

Meski tangganya licin karena digury hujan, dia berhasil memanjat hingga ke puncak, tempat cabang enau yang menghasilkan nira.

Resiko apapun yang menimpanya, ayah Sarioto harus mencapai puncak untuk mengambil air nira yang sudah berada di dalam handi-handi. Kalau tidak, maka nira akan rusak dan dia tidak bisa menghasilkan uang untuk membeli makanan keluarganya.

Di puncak, hati ayah Sarioto dliputi rasa senang karena hasil air niranya penuh, bahkan  sebagian sudah tumpah dari handi-handinya. Dia memindahkan handi-handi yang sudah meluap itu ke cabang lain dan mengikatnya di gantungan. Lantas, dia  mengganti handi-handi kosong yang diusungnya dari bawah dan menggantungkannya dekat aliran air nira.

Meski di tengah hujan rintik-rintik, dia harus memukul-mukul batang di sekitar cabang yang menghasilkan nira dengan sepotong kayu. Beberapa kali selama beberapa menit, sebagai syarat agar air nira tetap mengalir.

Konon, dengan memukul-mukul batang dan cabang yang menghasilkan air nira, maka air nira yang dihasilkan makin banyak dan bagus kualitasnya.Itulah menurut keyakinan dan pengetahuan mereka di desa itu.

Bunyi pukulan kayu dengan batang enau itu memecah kesunyian di sekeliling hutan, dan terdengar hingga ke desanya. Orang-orang desa yang mandi di pancuran atau sedang beristirahat di perbukitan kampung mendengarnya, termasuk ibu Sarioto dan Sarioto sendiri. (Bersambung ke bagian 2)

*)Penulis Biografi, Tinggal di Medan

(Artikel ini adalah asli tulisan saya dan belum pernah dimuat di media manapun. Saya menawarkan artikel ini untuk dijadikan buku. Sedang dalam proses menuju sebuah buku kecil, cerita rakyat. Bagi penerbit yang berminat, silakan menghubungi saya melalui email: girsangjannerson@gmail.com. Dilarang mengkopi artikel ini tanpa izin tertulis daripenulis melalui email tersebut. Saya menyimpan di blog ini untuk menghindari virus di komputer dan kerusakan file. Silakan menikmatinya dan membeli bukunya kalau sudah terbit).

Tidak ada komentar: