My 500 Words

Sabtu, 25 Oktober 2014

IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014) “Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)

Oleh Jannerson Girsang  [1]

*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.https://www.youtube.com/watch?v=YPKhnGB48L4.

Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan

NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di  Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.

Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.

Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).

Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.

Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional.  Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.

Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan

Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”,  seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus  juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain  dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia  terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap  riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.
Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini,  para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban  melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas.  Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias.  Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya.  Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik  media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.
Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi  penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir:  “Elefu”

Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.

Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.

Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.

Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.

Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”.
Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.

28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo,  sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.

Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.
[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf


IN MEMORIAM: HIKAYAT MANAӦ (1958-2014)

“Perpustakaan Besar” Itu Sudah Hangus Terbakar (Bagian 2)


Oleh Jannerson Girsang  [1]


*Sambil membaca artikel ini bisa mendengarkan lagu karya Hikayat Manaö di video ini.
Panglima “Kafalo Zaluaya”: Karisma dan Keteladanan
NBC — Setelah melanglang buana selama bertahun-tahun di perantauan, akhirnya pada 1986, Hikayat kembali ke kampung halamannya di  Bawömataluo. Tujuannya hanya satu: “Saya ingin mengembangkan bakat seninya dan mengembangkan budaya desaku,” ujarnya.
Ketekunannya menggeluti budaya dan memimpin di tengah-tengah masyarakat, para tetua Bawömataluo menobatkannya menjadi “Kafalo Zaluaya’ (Panglima Perang), sebuah jabatan yang dipilih para tetua adat dan kaum bangsawan di desanya pada 1992.
Dia dipilih tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimilikinya. Tingkah laku dan tindak-tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa menjadi parameter penting penunjukannya itu. “Kalau saya tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin terpilih,” tegasnya, seperti dikutip Warisan Indonesia (Desember, 2010).
Sang panglima harus memiliki kemampuan menjadi mediator dan sekaligus eksekutor yang baik untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di lingkungannya, seperti pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi konflik di antara warga.
Di tengah pergulatannya di dunia seni, pria ini beberapa kali memimpin delegasi budaya Nias ke berbagai event, baik di tingkat provinsi maupun nasional.  Kemampuannya menjadi dirigen dibuktikannya dengan meraih prestasi/penghargaan sebagai Juara II Konduktor Pesparawi se-Kabupaten Nias Selatan.
Sang Dinamo: Seni Sumber Kebahagiaan
Memilih profesi sebagai budayawan bukanlah hal mudah di negeri ini, khususnya di kepulauan Nias, yang jauh dari jangkauan kehidupan modern. Mengembangkan budaya Nias membutuhkan usaha promosi yang gencar, pemikiran serta energi, juga materi yang tidak sedikit. Dalam pandangan umum, terjun ke bidang pengembangan budaya adalah “siap miskin”,  seperti pernah diungkapkan oleh seorang tokoh Nias.
Tari kolosal yang kadang melibatkan 100 orang penari, Hombo Batu yang membutuhkan pria-pria perkasa dengan kesehatan yang prima, bukanlah kegiatan yang murah. “Untuk mempersipkan tarian kolosal membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” keluhnya suatu ketika karena sulitnya mencari donor yang mau membantu pengembangan budaya.
Terjun menjadi pelaku budaya secara penuh selama 28 tahun tentu mustahil kalau Hikayat tidak memiliki kecintaan serta visi yang kuat. Keterbatasan bukan penghalang baginya.
Selain itu, Hikayat harus menjaga stamina fisik yang prima karena merangkap banyak pekerjaan: sebagai pelompat batu (kemudian melatih banyak pemuda), penari, pencipta lagu, penyanyi, event organizer, bahkan sekaligus  juga menjadi humas.
Saya menyaksikan sendiri ketika Festival Bawömataluo 2011 berlangsung. Hikayat tampil siang, sore, dan malam hari. Tanpa istirahat yang cukup. Pada acara pembukaan dia memimpin tari kolosal Faluaya yang terkenal itu dan melibatkan sekita 100 penari. Kemudian dia juga bermain  dalam berbagai atraksi pada acara lain. Seusai setiap tahapan pergelaran, para wartawan televisi dan media lainnya mengerubutinya untuk meminta penjelasan tentang apa saja di balik sebuah pertunjukan yang baru dilakoninya.
Malam hari, ia tampil dalam acara hiburan, bernyanyi  bersama penduduk dan para tamu. Praktis dalam satu hari dia hanya tidur beberapa jam. Belum lagi berhari-hari masa latihan.
Hikayat Manaö mengungkapkan kuncinya agar dia  terus bersemangat adalah menjaga suasana hati tetap  riang. “Hati yang riang adalah obat,” ujarnya. Dia juga mengajarkan hal-hal besar untuk untuk memberikan semangat anak-anak buahnya.
Hikayat cukup bahagia dengan seni yang digelutinya, walau tanpa penghargaan yang memadai. Beda dengan para artis di era hedonism sekarang ini,  para artis Ibu Kota yang terjun ke dunia seni banyak meraih gemerlapnya hasil dari profesi ini.
Melakoni seni adalah kebahagiaan baginya. Seni untuk seni, tanpa embel-embel duniawai lainnya. “Ukuran kebahagiaan bukan karena title, harta, tapi berakar dari hati,” ujarnya ketika itu. Hikayat melaksanakan niatnya mengembangkan budaya dengan hati yang bahagia.
Prihatin Budaya Tradisional Nias Hilang
Keprihatinannya atas makin pudarnya minat pemilik budayanya justru telah menjadi sumber energi bagi Hikayat untuk berjuang atas kelangsungan dan pewarisannya kepada generasi mendatang. Misalnya, dia mengeluhkan banyaknya tarian sakral Nias yang sudah tidak dipertontonkan lagi, seperti Fadolohia. Tarian ini merupakan ucapan syukur yang pada masa Hikayat sering digelar seusai panen.“Itu sebabnya, setiap penampilan kami mengikutsertakan tarian ini,” ujarnya.
Hal lain yang belakangan turut menjadi perhatiannya adalah pengukur dada ternak babi Nias Selatan yang khas (afore). Dia begitu prihatin afore versi Nias Selatan yang sudah lama tidak terlihat lagi di Omo Bale.
Tentu banyak lagi karya-karya luhur nenek moyang Nias yang kini sudah hampir terlupakan. Inilah yang senantiasa membakar dirinya untuk terus bergerak dan bergerak. Dia ingin semua itu bisa kembali dan diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang.
Hikayat merasa terbeban  melestarikan dan mengembangkan tari dan budaya Nias. “Saya mempunyai beban moral untuk menurunkan (mewariskan—penulis) nilai-nilai budaya agar generasi muda memiliki jati diri sebagai orang Nias,” ujarnya kepada NBC, seusai menggelar tari kreasi gerakan Faluaya Zanokhe di depan Omo Sebua, 15 Mei 2011.
Seniman yang Dekat dengan Media
Satu catatan khusus saya. Peristiwa duka ini berlangsung hanya satu minggu sesudah ulang tahun ke-4 media online Nias-Bangkit.com (NBC). Mengapa saya kaitkan Hikayat Manaö dengan Nias Bangkit?
Sebagai orang yang tinggal di luar Nias, saya mengenal beliau melalui Nias Bangkit. Media inilah yang memperkenalkanku kepada pria kelahiran Bawömataluo, 12 Juli 1958, itu.
Di awal penerbitannya, saya beruntung turut serta membantu media online itu sebagai fasilitator bagi wartawan-wartawan baru, serta merangkap koresponden media tersebut, yang memungkinkan saya bertemu beliau.
Media sangat penting bagi publikasi seorang seniman. Melalui media, seniman mengomunikasikan pemikiran, karya-karyanya kepada publik, sementara media sendiri mencari inspirasi baru dari para seniman. Keduanya adalah partner yang harus seiring sejalan dan saling mendukung.
Hikayat Manaö memiliki kemampuan mengomunikasikan ide-ide dan pemikirannya melalui media. Dia dikenal sangat dekat dengan awak media dan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara jernih dan bernas.  Hikayat Manaö adalah sumber informasi andal bagi media tentang budaya Nias.  Dia tahu betul peran media dalam mendorong pengenalan budaya kepada dunia luar sehingga dia akan melayani media, tanpa kenal waktu dan tempat, melalui telepon atau bertemu langsung.
Sebuah karya media online untuk sebuah karya seni telah dipertontonkan dalam Festival Bawömataluo Mei 2011, di mana media online NBC sebagai sponsor utamanya, juga mengundang berbagai media televisi dan media lainnya.  Pemberitaan pergelaran tersebut turut berperan dalam mendongkrak publikasi tentang Nias, yang selama ini kurang begitu dilirik  media lokal di Sumatera Utara. Bahkan, kematian Hikayat Manaö sepi dari pemberitaan harian-harian lokal di provinsi ini.
Satu hal yang perlu menjadi catatan, peristiwa meninggalnya Hikayat Manaö tidak begitu menarik perhatian bagi media lokal di Sumatera Utara, tetapi menjadi berita menarik bagi media-media di Jakarta seperti Nias-Satu, Nias Bangkit, serta Kompas.com.
Hikayat telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak media, elektronik, cetak maupun media online. Selain seniman, Hikayat telah menjadi  penyuara suara rakyat Bawömataluo melalui media. Terus terang tanpa peran media saya tidak mungkin mengenal beliau, tidak mungkin mengetahui Nias seperti saat sekarang ini.
Catatan Akhir:  “Elefu”
Hikayat Manaö menemukan dunianya 28 tahun yang lalu. Dia berbahagia dengan dunia itu, dunia seni Nias.
Selasa pagi, 13 Oktober 2014, saya mendengarkan lagu “Elefu”. Iramanya begitu menarik dan saya meminta Etis Nehe, seorang teman dari Nias Selatan menerjemahkannya.Lagu Elefu ini ternyata adalah tentang satu jenis ikan bernama elefu.
Biasanya ikan ini ditemukan di sungai-sungai kecil di Nias, termasuk di beberapa sungai yang mengelilingi separuh desa Bawömataluo.
Menurut Etis Nehe, yang juga pengelola media online Nias Satu, sebuah kegembiraan luar biasa bagi penduduk Bawömataluo bila berhasil menangkap ikan ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi warnanya mengilap dengan sisik yang relatif besar. Seni, sebuah keindahan, itulah mungkin daya tarik ikan ini bagi Hikayat Manaö.
Ibarat bahagianya menangkap ikan Elefu, Hikayat telah menemukan seni sebagai sumber kebahagiaannya. Tiada hari tanpa seni, meski tidak mendatangkan harta yang banyak, tetapi jiwanya bahagia. Hikayat menebar kebahagiaan itu kepada banyak orang, ibarat sumur yang tak pernah kering.
Sebagai seorang seniman, Hikayat Manaö dikenal berhasil merivitalisasi kesenian leluhurnya yang dimodifikasi dengan budaya kekinian, sehingga memperkaya perbendaharaan khazanah budaya Nias, baik dalam ratusan lagu daerah ciptaannya maupun seni tari.
Hikayat Manaö adalah seorang pencipta lagu-lagu Nias yang cukup produktif. Salah satu lagu yang cukup populer di masyarakat adalah lagu “Elefu”, lagu mars Nias Selatan juga berjudul “Furai Tanö Raya”. Selama ini,
Karya besar tidak harus dihasilkan dari kemewahan atau kecukupan materi, tidak harus dihasilkan di sebuah kota besar atau lingkungan metropolitan. Dalam keterbatasannya dan keterisolasian daerahnya, kehidupan yang serba prihatin, Hikayat Manaö menapaki menjalani kisah kecintaannya kepada budaya leluhurnya.
28 tahun yang lalu dia kembali menemukan dan mengembangkan dirinya dan budayanya dari sebuah desa kecil bernama Bawömataluo, Nias Selatan. Hikayat Manaö kemudian menjadi “dinamo” yang menggerakkan dunia seni di Bawömataluo,  sebagaimana yang dilukiskan, Kompas.com dalam artikel kenangan buat Hikayat.
Hikayat meninggalkan seorang istri, Munihati Manaö dan lima anak. Sejumlah karyanya yang spektakuler di bidang tari, serta lagu-lagu ciptaannya tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan.
Selamat jalan Hikayat Manaö, sang Maestro budaya Nias. Pergilah dengan tenang kawan. Ketulusanmu, kegigihanmu berkarya akan menginspirasi kami semua dalam menata kehidupan ke depan. Tutur bahasamu yang apik, ekspresi wajahmu yang mengesankan, keramahan, kehangatanmu tak pernah lekang dalam ingatan kami semua.
[JANNERSON GIRSANG, Penulis Biografi, Tinggal di Medan; Dia juga menulis Profil Hikayat Manaö yang dimuat di NBC, Maret 2011]
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2014/10/perpustakaan-besar-itu-sudah-hangus-terbakar-bagian-2/#sthash.lWDJ0evQ.dpuf

Tidak ada komentar: