"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Rabu, 18 Maret 2009
MUSEUM SIMALUNGUN
Menghargai Karya Agung
Oleh Jannerson Girsang
Bertahun-tahun, kami tinggal di Pematangsiantar di akhir 1980-an, dan kemudian pindah ke Medan sekitar 1990-an, tak pernah terpikir untuk sekedar mendalami makna bangunan berbentuk rumah adat yang terletak di pusat kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh penting di Negara ini. Hingga Jasamen Saragih MA, mahasiswa program doktoral di Australia National University bulan Mei 2008 mengajak kami mengunjungi museum itu. Selain itu, ada rasa rindu bertemu S. Lingga, seorang yang sudah mengabdikan dirinya memelihara karya agung para nenek moyang kita selama 26 tahun
Mungkin anda sama seperti saya, kurang peduli karya-karya agung di sekitarnya. (Kami berjanji, akan melengkapi artikel ini dengan foto-foto suatu ketika!). Kalau anda berkunjung ke Pematangsiantar, silakan meluangkan waktu sejenak ke arah ujung jalan Sutomo, kemudian masuk Jalan Sudirman dan belok ke kiri, kira-kira 10 meter dari perempatan depan Kantor Polres Simalungun. Anda akan melihat sebuah kompleks yang diapit dua bangunan besar yakni Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Simalungun. Letaknya tidak jauh dari kantor Walikota Pematangsiantar maupun Kebun Binatang Pematangsiantar. Itulah Museum Simalungun.
Berhenti di pinggir Jalan Sudirman, persis di gerbang museum, pandangan mata terpaut pada sebuah bangunan rumah adat Simalungun. Wah, begitu mengagumkan. Memasuki gerbang kita seolah memasuki alam masa lalu, berabad-abad ke belakang. Di kiri kanan beberapa situs peninggalan sejarah masa lalu berbentuk manusia berdiri kokoh dengan pandangan bisu. Namun lukisan kelopak mata patung itu banyak yang terlihat suram karena mulai lapuk telah diterpa panas dan hujan.
Situs Satur ni Raja Nagur (buah catur raja Nagur) misalnya. Berukuran cukup besar, berbentuk catur yang berwujud perempuan. Konon, karena besarnya buah catur ini, sang raja yang memerintah pada masa itu memerlukan bantuan beberapa orang untuk memindahkannya.
Masih di lokasi pekarangan, masih dapat disaksikan situs lainnya yakni Pangulu Balang. Berwujud wajah perempuan yang memangku dua arca, yang menggambarkan bahwa Sang Pencipta selalu melindungi mahkota ciptaanNya. Di sebelah kanan Situs Catur Raja Nagur, berdiri Batu Pangulu Balang, seorang raja yang menunggang gajah yang melambangkan keperkasaan seorang raja. Kedua situs ini dulunya ditemukan di Kerajaan Batang Iou, Tanah Jawa, Simalungun.
Di pekarangan museum juga terlihat situs berwujud bangunan yakni Situs Pales Rumah atau tiang penyangga rumah di zaman dahulu. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke 8. Situs ini disumbangkan ke museum itu pada 1939. Menurut Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun, asal-usul Situs Pales Rumah ini masih dalam proses penelitian. Ada puluhan situs-situs kecil lainnya, yang menarik.
Kemudian kami menelusuri rumah adat, tempat berbagai barang peninggalan nenek moyang lainnya tersimpan. Memandang rumah adat ini kami ingin tau apa arti dari semua bagian bangunan yang unik. Ternyata, masyarakat Simalungun di zaman dahulu kala memberi makna setiap bagian bangunan. Di puncak bangunan terdapat tanduk kerbau yang melambangkan “keberanian dan kebenaran”. Dari puncak rumah, tergantung dua utas tali sepanjang dua sampai tiga meter, yang disebut pinar tanjung bara. Masyarakat Simalungun saat itu meyakini tali ini sebagai penangkal petir.
Masih pada posisi dinding, pada bagian bawah rumah terdapat suleppat, yang melambangkan persatuan. Memasuki rumah, maka tepampang di kiri dan kanan patung bohi-bohi (profil manusia) yang melambangkan keramahan, sekaligus menolak bala. Di bagian lain terdapat pinarbunga bongbong, artinya rezeki tertampung dan tidak bocor. Rumah dibuat bertiang untuk menghindari serangan binatang buas.
Memasuki rumah adat harus melewati beberapa anak tangga, dengan berpegangan pada seutas rotan sejajar tangga. Aku teringat akan rumah bolon di kampung kami, Nagasaribu. Menaiki rumah bolon di masa kecil. Sayangnya, empat rumah bolon di kampung kami sudah hancur dan tidak berbekas lagi.
Di dalam rumah adat seperti ini umumnya terdapat delapan dapur atau delapan rumah tangga atau lebih. Tetapi di dalam rumah adat Museum Simalungun, kami tidak menemukan ruangan-ruangan seperti biasanya. ”Ruangan ini memang hanya diperuntukkan bagi penyimpanan barang-barang peninggalan nenek moyang,”ujar Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun.
Perasaan takjub dan miris muncul saat kita berada di dalam rumah. Berbagai macam bukti kehidupan masa lalu masyarakat Simalungun terdapat di ruangan ini. Kami menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan masa lalu berupa lak-lak atau naskah kuno Simalungun. Laklak adalah buku yang ditulis dalam aksara Simalungun, yang berisikan tentang kehidupan masyarakat Simalungun di masa lalu seperti perbintangan, ramuan obat dan lain-lain. Lak-lak terbuat dari bambu dan ditulis dengan alat tulis khusus di atasnya. Masih di dalam rumah, kami menemukan peralatan rumah tangga (gusi, pinggan, tumbuan dll), permainan kuno (sappak hotang, catur, congklak, papan margajah, onja-onja). Onja-onja adalah sejenis perlombaan cerdas tangkas di zaman sekarang ini. Permainan nenek moyang kita dahulu sangat kreatif dan berasal dari alamnya sendiri, mengapa permainan itu tidak dikembangkan, sehingga alam sekitar kita bisa berguna dan kita tidak hanya menjadi buangan sampah mainan plastik produk luar nergeri? Terdapat juga alat-alat musik/kesenian seperti gondrang, husapi, sulim, sarune serta perlatan tari diantaranya toping huda-huda, hasil kerajinan dan lain-lain. Mata uang yang dipergunakan dari masa lalu dapat juga disaksikan di ruangan ini.
Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas kehidupan, yang berbeda dari suku lainnya di Tanah Air tercinta ini. Barang-barang peninggalan di museum ini adalah bukti nyata.
Keluar dari ruangan muncul renungan di benak kami, kalau nenek moyang kita bisa menulis buku dengan alat yang sederhana, mengapa kini dengan peralatan serba canggih, kita tidak mampu menghasilkan karya-karya yang unggul dan dikagumi orang?
***
Museum ini merupakan salah satu yang tertua diantara 13 museum yang kini beroperasi dan terdaftar pada Direktori Pemerintah Indonesia. Mulai dibangun pada 10 April 1939 oleh Raja-raja Simalungun bekerja sama dengan tenaga-tenaga ahli dari negeri Belanda diantaranya Dr Voorhoeve, dan A.H. Doormik. Setahun kemudian, persisnya 30 April 1940, museum ini resmi beroperasi (Yayasan Museum Simalungun, 1983).
Selain Museum Simalungun, di Sumatera Utara terdapat Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Rumah Bolon Pematang Purba, Zoologi Pematangsiantar, Dairi Sidikalang, Hutabolon Simanindo, Balai Budaya Batak Arjuna, Karo Lingga, Niat Lima Laras di Tanjung Tiram, Pusaka Nias di Gunung Sitoli, Museum Juang 45 Sumatera Utara di Medan, Museum Perjuangan ABRI.
Di kala krisis belum melanda negara ini, dan kondisi kepariwisataan masih baik, Museum Simalungun adalah salah satu objek wisata yang tinggi peminatnya. Pada 1993 misalnya, museum ini menarik tidak kurang dari 43.000 lebih pengunjung asing, belum termasuk pengunjung domestik. Jauh lebih besar dari pengunjung Perpustakaan terbesar di Propinsi ini, yang hanya mampu menggaet kurang dari 1000 orang per bulannya.
Walau kemudian dari data statistik yang terpampang di papan Museum Simalungun menunjukkan jumlah pengunjung yang terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995, jumlah pengunjung asing tercatat sebesar 37.166 orang dan pengunjung dalam negeri 3.724 orang, tahun-tahun berikutnya terus menurun, hanya sekitar 5000-an (1997) dan menurun terus hingga hanya ratusan per tahun. “Dulu, bus-bus pariwisata berjejer parkir sepanjang jalan itu,”ujar Andreas.
Museum ini juga dipergunakan sebagai laboratorium penelitian. Puluhan peneliti dalam dan luar negeri menjadikannya sebagai objek penelitian dan referensi yang menghasilkan buku-buku budaya yang bernilai tinggi.
***
Kala kami mengitari bagian belakang museum, muncul rasa prihatin. Di sana terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari. Gedung Tari ini, dulunya ramai dengan para penari dan bahkan pengelolanyapun tinggal di sana. Sayang sekali. Bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang pembangunannya terbengkalai.
Puing-puing juga terdapat di sebelah Gedung Tari. Mengitari bagian belakang museum, terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari dan di sebelah kiri terdapat ruang kantor. Gedung Tari ini, dulunya ramai dan bahkan dijadikan sebagai tempat tinggal pengelola museum. Sayangnya, bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang terbengkalai.
Di sebelah Gedung Tari terdapat puing-puing di bekas bangunan tempat jaga malam. Bangunan itu terbakar beberapa waktu yang lalu. Ajaib!. Jarak api yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran tidak sempat “menjilat” atap museum yang terbuat dari ijuk. Andaikata api sempat menjilat museum dan menghanguskannya, bisa dibayangkan apa nasib barang-barang pusaka yang ada didalamnya. Meski sudah luput dari bahaya, tokh puing-puing kebakaran itu hanya dibiarkan begitu saja, sudah beberapa bulan tak mendapat perbaikan sama sekali. Sebuah bukti penghargaan kita yang rendah pada sebuah nilai masa lalu kita yang justru dihargai tinggi oleh orang asing. Ingat, puluhan ribu wisatawan asing mampir beberapa tahun lalu.
Begitu banyak bangunan bersejarah yang bernilai tinggi, yang gagal diberi makna, tergusur dan bahkan lenyap dikalahkan oleh pertimbangan bisnis semata. Mudah-mudahan Museum Simalungun tidak mengalami nasib yang sama dengan bangunan-bangunan bernilai sejarah yang tergusur di tempat lain. “Inilah salah satu keprihatinan para pengelola museum seperti kami,”ujar Andreas. Dia masih berharap kelak Museum Simalungun, demikian juga museum-museum yang lain masih berpotensi dikelola dengan baik.
Tulisan ini mengingatkan seluruh lapisan masyarakat agar mengingat petuah-petuah pendiri bangsa ini. ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah masa lalu”.. Masa lalu bermanfaat untuk memaknai kondisi masa kini. Pemaknaan kisah masa lalu yang sebagian tersimpan di museum, terletak sejauh mana masyarakat kita—khususnya generasi muda memahaminya dan merasa hal itu penting dan relevan sebagai sebuah tolok ukur kondisi masa kini.
Mengamati bangunan dan membaca sejarah museum ini, kami memiliki rasa kagum. Ide mulia puluhan tahun yang lalu--disponsori Pemerintah Belanda dan tokoh-tokoh lokal di tahun 1930-an, masih dapat disaksikan dan bermanfaat sampai sekarang. Para pendahulu kita menyadari pentingnya sebuah nilai yang baik diwariskan kepada generasi berikutnya, melalui museum. Bisakah kita mempertahankan dan melanjutkan cita-cita pendirinya? Sebuah tantangan bersama generasi penerus bangsa ini!.
Tulisan ini sedikit mengalami edit dari artikel yang dimuat di Rubrik Nusantara Hal 31 dengan 12 Gambar, Harian Analisa tanggal 14 Mei 2008.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Dear Mr. Girsang:
My name is Melling Simanjuntak. I hit your blogspot when I am searching for e-mail address of Jasamen Saragih. His name is mentioned in one of your writings. I am sure he is the person I am looking for.We are old friends but has not in touch since mid 2008 when he visited Jakarta. I will be very grateful if you could give me his e-mail address. Thank you.
Melling
Dear Melling,
You can reach him throuh email : flynnsaragih@hotmail.com. Or you can visit his Facebook.
Thank you for visiting my blog. Have a nice weekend!
Posting Komentar