My 500 Words

Tampilkan postingan dengan label Laporan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laporan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juni 2009

Melongok Upacara Ritual Acara Pemakaman: Toping-toping dan Huda-huda dari Simalungun


Oleh Jannerson Girsang

Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas dalam acara ritual pemakaman. Peninggalan budaya ini sungguh menarik untuk dipelajari dan dimaknai, khususnya para generasi saat ini. Salah satunya adalah Toping-toping dan Huda-huda.


Cerita berikut ini adalah laporan perjalanan kami. Pandangan mata dan sedikit keterangan dari tokoh desa dimana kami memperoleh ceritanya. Bagi yang mengetahui secara rinci, silakan diberi masukan!.
 
Alkisah, 7 Juni 2009 kami berkunjung ke Hampung, sebuah desa kira-kira 1 kilometer dari Negeri Dolok di Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa berpenduduk mayoritas suku Simalungun ini terletak sekitar 100 kilometer dari Medan. Dari Pematangsiantar, jaraknya hampir sama. Sayang, ketika kami ke sana jalan menuju ke sana  rusak dan harus menempuhnya lebih dari tiga jam. Saat kami berkunjung, upacara pemakaman seorang tokoh desa yang meninggal empat hari sebelumnya sedang berlangsung. Suasana berduka nampak di desa bependuk sekitar 100 Kepala Keluarga itu.

Memasuki pekarangan rumah duka, kami menyaksikan puluhan papan-papan bunga dari berbagai kalangan. Berjajar mulai dari jalan raya dan beberapa diantaranya di pajang halaman gereja di desa itu. Papan bunga itu berasal dari dari perangkat desa, para anggota legislatif Kabupaten, para pejabat kecamatan dan kabupaten dan keluarga besar berjajar rapi. Ungkapan duka yang marak menyusul pemilihan langsung pilkada dan pemilu ini.

Di tengah-tengah ucapan duka bergaya modern tersebut, berlangsung juga gaya orang Simalungun menghormati seseorang yang meninggal ”sayur matua”. Sebuah pesta besar dan menggelar berbagai upacara adat. Dari serangkaian acara yang digelar, Toping-toping dan Huda-huda menyedot perhatian kami. Upacara ritual ini merupakan sebuah bentuk Tari Topeng menyambut para pelayat dan menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Kecuali di desa ini, seumur hidup, kamibelum pernah menyaksikannya. Bahkan di kampung kami di Nagasaribu, Silimakuta, upacara seperti ini, dalam memori kami, penduduk desa dimana kami dilahirkan tidak pernah lagi digelar.

Secara umum toping-toping dan huda-huda terdiri dari tiga aktor, yakni mereka yang memainkan burung enggang dan dua topeng. Mengiringi penari topeng, digelar seperangkat alat musik tradisional Simalungun, gong kecil (panganak) dan lain-lain.

Musik tradisional mengawali pertunjukan. Bunyi musik dengan gendang dan gong bertalu-talu menggerakkan tiga orang penari mulai menari-nari di halaman rumah. Mereka berputar-putar dan  sesekali menghadap penonton seolah menyapa mereka. Mengamati dari dekat, ternyata ada tiga penari. Dua orang penari topeng berwajah manusia, ditutup kain berwarna biru dan topeng di masing-masing wajah mereka. Seorang lagi, dengan tubuh tertutup kain dan dikepalanya dikenakan paruh enggang.

Beberapa saat kemudian, setelah ketiganya melakukan gerakan-gerakan di halaman rumah, lantas mereka memasuki ”rumah duka”. Didahului patung yang berbentuk burung enggang, kemudian disusul dua pemakai topeng berwujud manusia. Ketiganya menari dan ”menyapa” satu persatu para keluarga yang sedang berduka.

Acara ritual tersebut hanya berlangsung beberapa menit, lantas ketiganya keluar dari rumah. Mereka lenyap begitu saja. Konon, tak seorangpun mengenal para pelakon. Dan tidak boleh seorangpun dibenarkan memberitahu identitas mereka.

Menurut seorang tokoh desa, dulu, pagelaran acara ritual ini mengandung ”magis” dan para aktornya tidak jarang kerasukan roh orang meninggal. Tetapi, kini acara seperti ini hanya merupakan acara budaya yang tidak mempertunjukkan unsur magis lagi. Setidaknya, saat itu kami tidak menyaksikan adanya kerasukan roh.
Topingtoping dan Huda-huda, merupakansebuah kekayaan budaya yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.  Saat ini, peralatan tari topeng masih dipelihara dan dirawat oleh penduduk desa itu dan beberapa desa di sekitarnya. Untuk memainkan upacara ritual ini, keluarga yang berduka menyewanya dari pemilik.

Lebih lanjut tokoh desa itu meneritakan bahwa upacara Toping-toping dianugerahkan kepada mereka yang meninggal di usia lanjut, memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari masig-masing mereka (sayur matua). Selain itu, juga memperhatikan ketokohan orang yang meninggal.

Kisah Toping-toping dan Huda-huda

Konon di zaman dahulu kala, seorang istri raja (na si puang) ditimpa kemalangan. Anak yang dikasihinya meninggal dunia. Saking sedihnya, sang putri tidak rela anaknya dimakamkan dan terus memangku mayat anaknya hingga berhari-hari. Proses pembusukanpun terjadi dan bau mayat yang menyengatpun sudah melingkupi istana dan tercium sampai ke kediaman penduduk.

Penghuni istana serta pendudukpun terusik dengan keadaan yang tidak nyaman itu dan ingin berbuat sesuatu membujuk sang permaisuri. Berbagai cara sudah dilakukan, namun permaisuri tidak mengindahkannya.

Hingga di suatu talun sekelompok laki-laki yang sedang ”martambul” turut prihatin. Talun adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang berfungsi sebagai tempat menampung dan memasak air aren (tuak) untuk membuat gula merah atau gula aren. Saat itu, di talun sedang berlangsung acara memasak binatang hasil buruan mereka. Salah satu binatang buruan itu adalah burung enggang.

Masalah ketidaksediaan permaisuri melepas mayat anaknya untuk dikebumikan menjadi topik pembicaraan mereka. Intinya, bagaimana caranya agar sang putri mau melepas mayat anaknya yang sudah membusuk itu untuk dimakamkan.

Alhasil, salah seorang dari mereka memiliki ide. Membuat pertunjukan lucu di depan sang putri, hingga nantinya mayat anaknya terlepas dari tangannya. Lantas mereka mencurinya dan memakamkannya!.

Usai bersantap, salah seorang diantara mereka memperhatikan sisa-sisa peralatan dan makanan tadi. Sisa daging enggang (paruh dan tulang lehernya) dicoba dikenakan di kepala salah seorang dari mereka. Terlihat lucu!. Maka ide lainpun muncul. Pelepah pinang yang biasa mereka gunakan tempat cuci tangan diukir menjadi ”patung” manusia berwujud laki-laki dan dikenakan di muka seorang lagi. Terlihat lucu juga!. Lantas dibuat satu lagi ”patung” manusia berwujud perempuan.
Ide membuat patung ini selesai. Masalahnya, siapa yang akan melakonkannya di depan sang putri. Karena tidak ada seorangpun berani melakukannya. Alasannya, apabila ada orang yang tau maka mereka pasti dihukum.  Mereka mempersiapkan tiga orang memainkannya di depan permaisuri.
Kini, mereka memikirkan cara agar aktor-aktornya tidak dikenali siapapun. Lantas, muncullah ide menutup seluruh tubuh mereka dengan kain. Pelakon burung enggang tadi seluruh mukanya ditutup dengan kain,  dan dikepalanya dikenakan paruh dan kepala enggang. Dua pelakon patung manusia muka ditutup dengan topeng dan tubuhnya ditutup dengan kain.
Setelah semuanya dipersiapkan dan mereka yakin pertunjukkan itu akan menarik perhatian sang permaisuri, ketiganya diberangkatkan memasuki istana raja. Singkatnya, mereka masuk ke ruang sang permaisuri. Saat permaisuri melihat ketiga patung aneh itu, dan dia terkejut. Mayat bayi di pangkuannya lepas!. Para penari topeng itu merebut mayat anak tadi. Melarikannya ke hutan dan menguburkannya.

Sejak itu, persoalan mayat bayi membusuk dapat diselesaikan tanpa seorangpun mengetahui orang yang ”mencuri” dan menguburkan mayat itu. Demikian kisahnya.

Upacara ritual ini masih dilaksanakan penduduk hingga di abad globalisasi dan informasi ini. Termasuk di Hampung, Negeri Dolok. Menurut keterangan seorang tokoh penduduk desa ini, beberapa desa di wilayah Silau Kahean dan Raya Kahean masih melaksanakan upacara ritual ini.

Selain itu pada acara ritual pemakaman, Toping-toping dan Huda-huda acapkali digelar pada acara-acara budaya Simalungun seperti pada Pesta Rondang Bintang atau pagelaran budaya bersama di Sumatera Utara.

Sebuah peninggalan masa lalu Simalungun yang seharusnya tidak punah begitu saja. Perlu dipelajari para generasi muda!.


Rabu, 18 Maret 2009

MUSEUM SIMALUNGUN


Menghargai Karya Agung

Oleh Jannerson Girsang

Bertahun-tahun, kami tinggal di Pematangsiantar di akhir 1980-an, dan kemudian pindah ke Medan sekitar 1990-an, tak pernah terpikir untuk sekedar mendalami makna bangunan berbentuk rumah adat yang terletak di pusat kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh penting di Negara ini. Hingga Jasamen Saragih MA, mahasiswa program doktoral di Australia National University bulan Mei 2008 mengajak kami mengunjungi museum itu. Selain itu, ada rasa rindu bertemu S. Lingga, seorang yang sudah mengabdikan dirinya memelihara karya agung para nenek moyang kita selama 26 tahun

Mungkin anda sama seperti saya, kurang peduli karya-karya agung di sekitarnya. (Kami berjanji, akan melengkapi artikel ini dengan foto-foto suatu ketika!).  Kalau anda berkunjung ke Pematangsiantar, silakan meluangkan waktu sejenak ke arah ujung jalan Sutomo, kemudian masuk Jalan Sudirman dan belok ke kiri, kira-kira 10 meter dari perempatan depan Kantor Polres Simalungun. Anda akan melihat sebuah kompleks yang diapit dua bangunan besar yakni Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Simalungun. Letaknya tidak jauh dari kantor Walikota Pematangsiantar maupun Kebun Binatang Pematangsiantar. Itulah Museum Simalungun.

Berhenti di pinggir Jalan Sudirman, persis di gerbang museum, pandangan mata terpaut pada sebuah bangunan rumah adat Simalungun. Wah, begitu mengagumkan. Memasuki gerbang kita seolah memasuki alam masa lalu, berabad-abad ke belakang. Di kiri kanan beberapa situs peninggalan sejarah masa lalu berbentuk manusia berdiri kokoh dengan pandangan bisu. Namun lukisan kelopak mata patung itu banyak yang terlihat suram karena mulai lapuk telah diterpa panas dan hujan.

Situs Satur ni Raja Nagur (buah catur raja Nagur) misalnya. Berukuran cukup besar, berbentuk catur yang berwujud perempuan. Konon, karena besarnya buah catur ini, sang raja yang memerintah pada masa itu memerlukan bantuan beberapa orang untuk memindahkannya.

Masih di lokasi pekarangan, masih dapat disaksikan situs lainnya yakni Pangulu Balang. Berwujud wajah perempuan yang memangku dua arca, yang menggambarkan bahwa Sang Pencipta selalu melindungi mahkota ciptaanNya. Di sebelah kanan Situs Catur Raja Nagur, berdiri Batu Pangulu Balang, seorang raja yang menunggang gajah yang melambangkan keperkasaan seorang raja. Kedua situs ini dulunya ditemukan di Kerajaan Batang Iou, Tanah Jawa, Simalungun.

Di pekarangan museum juga terlihat situs berwujud bangunan yakni Situs Pales Rumah atau tiang penyangga rumah di zaman dahulu. Situs ini diperkirakan berasal dari abad ke 8. Situs ini disumbangkan ke museum itu pada 1939. Menurut Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun, asal-usul Situs Pales Rumah ini masih dalam proses penelitian. Ada puluhan situs-situs kecil lainnya, yang menarik.

Kemudian kami menelusuri rumah adat, tempat berbagai barang peninggalan nenek moyang lainnya tersimpan. Memandang rumah adat ini kami ingin tau apa arti dari semua bagian bangunan yang unik. Ternyata, masyarakat Simalungun di zaman dahulu kala memberi makna setiap bagian bangunan. Di puncak bangunan terdapat tanduk kerbau yang melambangkan “keberanian dan kebenaran”. Dari puncak rumah, tergantung dua utas tali sepanjang dua sampai tiga meter, yang disebut pinar tanjung bara. Masyarakat Simalungun saat itu meyakini tali ini sebagai penangkal petir.

Masih pada posisi dinding, pada bagian bawah rumah terdapat suleppat, yang melambangkan persatuan. Memasuki rumah, maka tepampang di kiri dan kanan patung bohi-bohi (profil manusia) yang melambangkan keramahan, sekaligus menolak bala. Di bagian lain terdapat pinarbunga bongbong, artinya rezeki tertampung dan tidak bocor. Rumah dibuat bertiang untuk menghindari serangan binatang buas.

Memasuki rumah adat harus melewati beberapa anak tangga, dengan berpegangan pada seutas rotan sejajar tangga. Aku teringat akan rumah bolon di kampung kami, Nagasaribu. Menaiki rumah bolon di masa kecil. Sayangnya, empat rumah bolon di kampung kami sudah hancur dan tidak berbekas lagi.

Di dalam rumah adat seperti ini umumnya terdapat delapan dapur atau delapan rumah tangga atau lebih. Tetapi di dalam rumah adat Museum Simalungun, kami tidak menemukan ruangan-ruangan seperti biasanya. ”Ruangan ini memang hanya diperuntukkan bagi penyimpanan barang-barang peninggalan nenek moyang,”ujar Andreas Lingga, Kepala Museum Simalungun.

Perasaan takjub dan miris muncul saat kita berada di dalam rumah. Berbagai macam bukti kehidupan masa lalu masyarakat Simalungun terdapat di ruangan ini. Kami menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan masa lalu berupa lak-lak atau naskah kuno Simalungun. Laklak adalah buku yang ditulis dalam aksara Simalungun, yang berisikan tentang kehidupan masyarakat Simalungun di masa lalu seperti perbintangan, ramuan obat dan lain-lain. Lak-lak terbuat dari bambu dan ditulis dengan alat tulis khusus di atasnya. Masih di dalam rumah, kami menemukan peralatan rumah tangga (gusi, pinggan, tumbuan dll), permainan kuno (sappak hotang, catur, congklak, papan margajah, onja-onja). Onja-onja adalah sejenis perlombaan cerdas tangkas di zaman sekarang ini. Permainan nenek moyang kita dahulu sangat kreatif dan berasal dari alamnya sendiri, mengapa permainan itu tidak dikembangkan, sehingga alam sekitar kita bisa berguna dan kita tidak hanya menjadi buangan sampah mainan plastik produk luar nergeri? Terdapat juga alat-alat musik/kesenian seperti gondrang, husapi, sulim, sarune serta perlatan tari diantaranya toping huda-huda, hasil kerajinan dan lain-lain. Mata uang yang dipergunakan dari masa lalu dapat juga disaksikan di ruangan ini.

Masyarakat Simalungun memiliki ciri khas kehidupan, yang berbeda dari suku lainnya di Tanah Air tercinta ini. Barang-barang peninggalan di museum ini adalah bukti nyata.

Keluar dari ruangan muncul renungan di benak kami, kalau nenek moyang kita bisa menulis buku dengan alat yang sederhana, mengapa kini dengan peralatan serba canggih, kita tidak mampu menghasilkan karya-karya yang unggul dan dikagumi orang?

***

Museum ini merupakan salah satu yang tertua diantara 13 museum yang kini beroperasi dan terdaftar pada Direktori Pemerintah Indonesia. Mulai dibangun pada 10 April 1939 oleh Raja-raja Simalungun bekerja sama dengan tenaga-tenaga ahli dari negeri Belanda diantaranya Dr Voorhoeve, dan A.H. Doormik. Setahun kemudian, persisnya 30 April 1940, museum ini resmi beroperasi (Yayasan Museum Simalungun, 1983).
Selain Museum Simalungun, di Sumatera Utara terdapat Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Rumah Bolon Pematang Purba, Zoologi Pematangsiantar, Dairi Sidikalang, Hutabolon Simanindo, Balai Budaya Batak Arjuna, Karo Lingga, Niat Lima Laras di Tanjung Tiram, Pusaka Nias di Gunung Sitoli, Museum Juang 45 Sumatera Utara di Medan, Museum Perjuangan ABRI.

Di kala krisis belum melanda negara ini, dan kondisi kepariwisataan masih baik, Museum Simalungun adalah salah satu objek wisata yang tinggi peminatnya. Pada 1993 misalnya, museum ini menarik tidak kurang dari 43.000 lebih pengunjung asing, belum termasuk pengunjung domestik. Jauh lebih besar dari pengunjung Perpustakaan terbesar di Propinsi ini, yang hanya mampu menggaet kurang dari 1000 orang per bulannya.

Walau kemudian dari data statistik yang terpampang di papan Museum Simalungun menunjukkan jumlah pengunjung yang terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995, jumlah pengunjung asing tercatat sebesar 37.166 orang dan pengunjung dalam negeri 3.724 orang, tahun-tahun berikutnya terus menurun, hanya sekitar 5000-an (1997) dan menurun terus hingga hanya ratusan per tahun. “Dulu, bus-bus pariwisata berjejer parkir sepanjang jalan itu,”ujar Andreas.

Museum ini juga dipergunakan sebagai laboratorium penelitian. Puluhan peneliti dalam dan luar negeri menjadikannya sebagai objek penelitian dan referensi yang menghasilkan buku-buku budaya yang bernilai tinggi.

***
Kala kami mengitari bagian belakang museum, muncul rasa prihatin. Di sana terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari. Gedung Tari ini, dulunya ramai dengan para penari dan bahkan pengelolanyapun tinggal di sana. Sayang sekali. Bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang pembangunannya terbengkalai.

Puing-puing juga terdapat di sebelah Gedung Tari. Mengitari bagian belakang museum, terdapat puing-puing rumah yang dulunya adalah Gedung Tari dan di sebelah kiri terdapat ruang kantor. Gedung Tari ini, dulunya ramai dan bahkan dijadikan sebagai tempat tinggal pengelola museum. Sayangnya, bangunan tersebut tidak terurus. Rumput tumbuh di sana sini menjuluri bangunan rangka tiang beton yang terbengkalai.

Di sebelah Gedung Tari terdapat puing-puing di bekas bangunan tempat jaga malam. Bangunan itu terbakar beberapa waktu yang lalu. Ajaib!. Jarak api yang hanya beberapa meter dari lokasi kebakaran tidak sempat “menjilat” atap museum yang terbuat dari ijuk. Andaikata api sempat menjilat museum dan menghanguskannya, bisa dibayangkan apa nasib barang-barang pusaka yang ada didalamnya. Meski sudah luput dari bahaya, tokh puing-puing kebakaran itu hanya dibiarkan begitu saja, sudah beberapa bulan tak mendapat perbaikan sama sekali. Sebuah bukti penghargaan kita yang rendah pada sebuah nilai masa lalu kita yang justru dihargai tinggi oleh orang asing. Ingat, puluhan ribu wisatawan asing mampir beberapa tahun lalu.

Begitu banyak bangunan bersejarah yang bernilai tinggi, yang gagal diberi makna, tergusur dan bahkan lenyap dikalahkan oleh pertimbangan bisnis semata. Mudah-mudahan Museum Simalungun tidak mengalami nasib yang sama dengan bangunan-bangunan bernilai sejarah yang tergusur di tempat lain. “Inilah salah satu keprihatinan para pengelola museum seperti kami,”ujar Andreas. Dia masih berharap kelak Museum Simalungun, demikian juga museum-museum yang lain masih berpotensi dikelola dengan baik.

Tulisan ini mengingatkan seluruh lapisan masyarakat agar mengingat petuah-petuah pendiri bangsa ini. ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah masa lalu”.. Masa lalu bermanfaat untuk memaknai kondisi masa kini. Pemaknaan kisah masa lalu yang sebagian tersimpan di museum, terletak sejauh mana masyarakat kita—khususnya generasi muda memahaminya dan merasa hal itu penting dan relevan sebagai sebuah tolok ukur kondisi masa kini.

Mengamati bangunan dan membaca sejarah museum ini, kami memiliki rasa kagum. Ide mulia puluhan tahun yang lalu--disponsori Pemerintah Belanda dan tokoh-tokoh lokal di tahun 1930-an, masih dapat disaksikan dan bermanfaat sampai sekarang. Para pendahulu kita menyadari pentingnya sebuah nilai yang baik diwariskan kepada generasi berikutnya, melalui museum. Bisakah kita mempertahankan dan melanjutkan cita-cita pendirinya? Sebuah tantangan bersama generasi penerus bangsa ini!.

Tulisan ini sedikit mengalami edit dari artikel yang dimuat di Rubrik Nusantara Hal 31 dengan 12 Gambar, Harian Analisa tanggal 14 Mei 2008.


Senin, 16 Maret 2009

MELONGOK PENGUSAHA KEMENYAN ERA 30-AN

Oleh : Jannerson Girsang

Julius Nainggolan, pengusaha kemenyan di era 1930-an sampai 1950-an, tidaklah banyak diketahui masyarakat luas di Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, desa kecil Huta Julu, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, barangkali tak pernah tersebut, bahkan di peta umum propinsi yang dipublikasi luas, desanya tidak tercantum. Sama seperti wilayah Humbang yang selama ini dikenal dengan “Si Jama Polang” (Petani Kemenyan), kurang begitu dikenal kalangan generasi muda maupun masyarakat Sumatera Utara sebagai wilayah wisata agro.

Sama seperti kami sebelum mengunjungi wilayah ini, kebanyakan masyarakat Sumatera Utara di luar Humbang, tidak begitu mengenal akan tanaman khas daerah ini, Haminjon Toba (Styrax paralleloneurum) dan Haminjon Durame (Styrax benzoin)!.Apa lagi kisah sukses mereka yang pernah mengelola komoditi ini, seperti Julius Nainggolan dan puluhan pengusaha lainnya. Padahal, aktor-aktor pengelola kemenyan sebenarnya adalah pengusaha kelas-kelas dunia, karena wilayah itu merupakan penghasil kemenyan terbesar di dunia!. Tidak ada daerah lain yang menawarkan wisata seperti ini di Indonesia. Bagi pencinta wisata agro ada baiknya melongok wilayah ini sebagai satu alternatif tempat berlibur sekaligus tempat belajar bagi para remaja dan anak-anak muda. (Pelajar dan Mahasiswa).

Selain kemenyan, kota penghasil komoditi dunia lainnya sebenarnya tidak begitu jauh dari sini, yakni Barus. Jaraknya dari Onan Ganjang ibu kota kecamatan Onan Ganjang hanya 52 kilometer. Tidak jauh dari sana, Bakkara, terdapat istana Sang Raja Sisingamangaraja XII. Sebenarnya potensial untuk sebuah paket wisata.

***

Wisata agro dan kisah sukses pengusaha kemenyan terdapat di banyak tempat di Humbang. Salah satu diantaranya adalah Huta Batuara. Siang itu, Jumat 15 Februari 2008, suasana kampung begitu senyap. Rumah-rumah kosong. Di pekarangan terlihat beberapa wanita tua sedang berbincang-bincang. Di sudut lain dua atau tiga orang siswa Sekolah Dasar sedang bermain. Sekolah Dasar adalah satu-satunya fasilitas pendidikan satu-satunya di desa itu. Dua kompleks makam berdiri megah, diam membisu di antara 13 rumah di kampung itu. “Ibu-ibu bekerja di sawah dan para bapak-bapak ke tombak,”ujar seorang pria berusia 60-an. Begitulah desa itu dari masa ke masa, tanpa perkembangan yang berarti.

Di tengah-tengah suasana hening seperti itu, pandangan mata tertuju pada sebuah rumah. Dari luar, tampak ukurannya relatif besar dan tinggi menjulang dengan arsitektur campuran Batak, Melayu dan Barat, dibangun sekitar pertengahan 1930-an. Sungguh berbeda dari rumah-rumah lainnya. Proses pelapukan ternyata tak terhindarkan, sehingga bentuk asli bangunan tersebut sudah mengalami sedikit perubahan akibat renovasi. Untungnya, bangunan asli seperti bagian atap, desain ruangan masih dapat terlihat dengan jelas. Pemilik rumah pasti adalah seorang yang istimewa dari umumnya penduduk kampung itu. Muncul rasa kagum, mengingat arsitektur dan ukuran rumah seperti itu dibangun pertengahan dekade 30-an!.

Melongok ke dalam rumah, pertama kekaguman muncul saat melihat ruang tamu. Ruangan ini dulunya digunakan untuk ruang “kongko-kongko” atau tempat pertemuan, yang bisa menampung sekitar 100 orang. Selain itu, terdapat 7 buah kamar tidur dan kamar mandi berjajar di seputar ruang tamu dan bagian belakang rumah. Sebuah pertanda bahwa pemiliknya menerima tamu-tamu dari luar, tidak hanya petani-petani atau pedagang kemenyan di sekitar Huta Julu. Konon semasa pendudukan Belanda sampai 1942 di wilayah ini, para petinggi pemerintahan kerap mengunjungi rumah itu. Ini menggambarkan, pemiliknya adalah orang yang memiliki wibawa, tidak hanya dengan sesama pengusaha tetapi juga diantara para penguasa ketika itu. ”Orang-orang Belanda dulu sering bertamu dan menginap di rumah itu,”ujar Jakin Nainggolan (77), yang dulu pernah menjadi ”sijama bajut” (bendahara) si pemilik rumah.

Menurut Jakin Nainggolan, di sisi kanan rumah dulu terdapat garasi. Sang pemilik rumah rupanya sudah memiliki mobil di era 1930-an. Mobil KOPE, demikian penduduk kampung menyebut merk mobil milik Julius di era 30-an. Memiliki sebuah mobil pada masa itu adalah sebuah sukses besar ditengah-tengah masyarakat yang ketika itu masih terbiasa berjalan kaki dari desa itu sampai ke Dolok Sanggul yang berjarak sekitar 25 kilometer. Di sebelah kiri, terpisah dari rumah itu terdapat sebuah rumah kayu yang berkolong. Dulunya bangunan itu gudang kemenyan. Disinilah kemenyan dikeringkan, disortir menurut kualitasnya, dan dikemas dalam kotak sebelum dikirim ke luar Huta Julu.

Pemilik rumah itu adalah Julius Nainggolan, seorang pengusaha kemenyan besar di era 1930-an. Dia adalah seorang petani kemenyan yang ulet dan menikah dengan Binaron Br Silaban, seorang “partiga-tiga” (pedagang). Julius ditinggal ayahnya semasa masih anak-anak. Meski tidak mampu membaca dan menulis, keuletannya dan kelihaiannya bertani dan berdagang, membuat dirinya menjadi seorang pengusaha kemenyan ternama di Humbang sampai dengan akhir 1950-an. Bahkan sekitar 1954, dia mendirikan NV Dolok Pinapan, berbasis di Dolok Sanggul. Di masa Jayanya, NV Dolok Pinapan adalah sebuah perusahaan perdagangan kemenyan yang menjual kemenyan ke Jawa dan bahkan ke luar negeri. Perusahaan itu bangkrut, hanya beberapa tahun setelah dia meninggal dunia pada 26 Januari 1960 (terlihat di nisan makamnya di Batuara).

Konon, di masa jayanya, dua minggu sekali, Julius mampu mengirim 1 truk kemenyan ke Pematangsiantar atau ke Sibolga. ”Kakek sudah berdagang sampai ke Singapura, walau desanya kecil,”ujar John Pieter Nainggolan salah seorang cucunya. Dia mengumpulkan kemenyan dari para petani di sekitar Huta Julu.

Selain sebagai pengumpul kemenyan, Julius juga memiliki lebih dari 10 hektar tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, sekitar 5 kilometer dari rumahnya. Bahkan ladang dan sawah. Julius sebenarnya bukan penduduk asli kampung Huta Julu, dia berasal dari Bonan Dolok tidak jauh dari desa Huta Julu. Konon setelah Julius menapaki sukses, dia bisa memiliki sebidang tanah di Batuara dan kemudian memiliki tombak (hutan kemenyan) di Adian Bolak, kira-kira lima kilometer dari rumahnya. Julius kemudian mengajak saudara-saudaranya pindah dari desa lain ke huta Julu bahkan membentuk huta Batuara. ”Ketika itu amanguda, amangboru, adikku, anak amangtua, amangtua membantu dia untuk mengerjakan tombaknya” ujar Jakin Nainggolan, salah seorang bekas sijama bajut (bendahara Julius) menggambarkan kiat Julius untuk membesarkan usahanya, sekaligus membantu keluarganya. Semua keluarga Julius bekerja di tombak atau sawahnya. Julius memperoleh kemenyan (si jama polang) dari lahan miliknya sendiri. Dia juga pemilik sawah yang dikerjakan penduduk desa. Setiap tahun Julius mengumpulkan hasil kemenyan dan hasil-hasil ladang lainnya yang hasilnya dibagi dua dengan para pekerjanya.

Kalau dihitung-hitung, dari tombaknya saja Julius menghasilkan setidaknya 2.5 ton per tahun getah kemenyan. Kalikan saja kalau harga satu kilogram kemenyan di Dolok Sanggul bulan Pebruari 2008 lalu, katakan Rp 75,000 per kilogram (Kami menghitungnya, ketika melihat harga kemenyan di Dolok Sanggul saat mengunjungi pekan di kota itu Jumat 16 Pebruari 2008). Dari tombaknya saja, bisa dikalikan berapa penghasilan Julius. ”Paramak na so habalunon, tikar yang tak pernah digulung”, ”partataring na so ra mintop, tungku yang tak pernah padam” Demikian ungkapan orang desa itu atas kebesaran Julius.

Kebesaran Julius Naingolan, juga masih bisa disaksikan dari makam yang ada di sekitar kampung Batuara. Ada tugu Ompu Solam Nainggolan dengan keturunannya. Dia mampu mengumpulkan saudara-saudaranya di desa itu dari desa lain. Makam yang ada di sana menunjukkan bahwa Julius keturunan Ompu Solam Nainggolan, yang tulang belulangnya diangkut dari Bonan Dolok, desa yang berjarak beberapa kilometer dari kampung itu pada 1981. Puluhan jasad keluarga besar mereka dimakamkan di sana. Ini juga sebuah pemandangan akan sebuah kesatuan keluarga mereka di masa lalu, dan bertahan hingga sekarang ini, walau sebagian besar mereka ada di rantau.
 
***
Huta Batuara jaraknya kurang lebih 300 kilometer dari Medan ibu kota propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dapat dijangkau melalui Muara kemudian ke Dolok Sanggul, atau kalau mau melihat lapangan Terbang Silangit dan Pacuan Kuda bisa melalui Siborongborong. Kami memilih alternatif terakhir karena ingin melihat lapangan terbang Silangit dan Pacuan Kuda terbesar di Sumatera Utara itu. Setelah mengendarai mobil selama 75 menit dari Siborongborong, kita akan tiba di sebuah kota kecil Onan Ganjang. Sebuah pertigaan sesudah pasar Onan Ganjang, membeloka ke kiri dari jalan Raya Dolok Sanggul-Pakkat, belok ke kiri menjadi titik putar menuju desa Huta Julu. Dari sana dibutuhkan 20-30 menit untuk sampai di Huta Batuara.

Sepanjang perjalanan dari Dolok Sanggul beberapa pohon kemenyan berdiri tegak di pinggir jalan. Lobang-lobang bekas panenan terlihat jelas dengan kasat mata. Melihat orang memanen kemenyan merupakan pemandangan tersendiri. Karena pohonnya tinggi, maka panen dilakukan dengan memanjat dengan menggunakan alat khusus. Para pemanjat pohon kemenyan menggunakan tali yang terbuat dari ijuk dan “riman”—seperti ijuk tetapi lebih kuat daya tahannya. Tali itulah digunakan sebagai pengganti “tangga”. Mereka menyebutnya Polang. Itulah sebabnya mereka disebut Sijama Polang. Para pemanjat bergerak dan memindahkan tali ke arah puncak, kemudian bergerak lagi dan demikian seterusnya. Mereka bisa mencapai ketinggian 30 meter, kadang terlihat bergoyang-goyang. Ngeri juga!

Melalui jalan aspal yang sempit, dengan pemandangan sawah dan tanaman kemenyan di kiri kanan jalan, kampung itu dapat dicapai dalam waktu hanya 20-30 menit. Pada penggalan jalan tertentu, di kiri atau kanan jalan mata akan menyaksikan lembah-lembah dalam dan suara gemericik air jernih yang mengalir mengikuti alur lembah tersebut. Suara gemercik air dari sungai-sungai jernih yang mengalir deras, suara-suara burung dari tengah hutan bercampur baur menerpa telinga, alam hijau nan indah memberi pemendangan segar bagi mata. Kadang disebelah kanan kita bukit yang terjal seolah mengancam muntahan onggokan tanah di atasnya yang dapat menerpa siapa saja yang lewat, seolah menawarkan sebuah petulangan

Hutan-hutan alam di lembah dan kaki bukit, memberikan berkah bagi penduduk berupa pohon-pohon kemenyan dan kayu api. Dari sebuah bukit saat istirahat, tampak pemandangan menonjol. Pepohonan yang memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter antara 20-30 cm, tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Batangnya lurus dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan. Terlihat daunnya tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat memanjang dengan ujung daun meruncing. Inilah pohon kemenyan, sebuah komoditi yang mengangkat nama Huta Julu ke permukaan pada era 30-an. Kalau kita mendekat ke pohon, terlihat lobang-lobang disepanjang batang dari bawah ke atas. Ini menunjukkan aktivitas penduduk menyadap kemenyan masih aktif. Buahnya berbentuk bulat dan lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam daging buah yang tebal dan keras.

Di beberapa tempat dipinggir jalan, terlihat kayu api yang sudah mulai kering, tersusun rapi. Sebuah pertanda bahwa kebiasaan di masa lampau sampai sekarang masih dilakukan sebagian penduduk. Hutan masih merupakan sumber kayu untuk kebutuhan bahan bakar.

Di penggalan jalan lainnya sawah menghijau terhampar di kiri kanan jalan. Sebuah kehidupan kampung yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu dan tidak banyak mengalami perubahan. Sawah dibajak dengan kerbau, pematang dibentuk dengan cangkul dan tangan.

Di kiri kanan jalan juga terlihat tanaman baru yang terlihat adalah kopi sigarar utang. Menurut Sekretaris Camat (Sekcam) Kecamatan Onan Ganjang, Leiker Nainggolan, tanaman baru ini sudah mulai merubah kebiasaan masyarakat di sana. Sebelumnya, mereka hanya tergantung pada tanaman hutan kemenyan atau hasil sawah. “Kehadiran kopi sigarar utang banyak membantu ekonomi kami,”ujar P.Sihombing, seorang pensiunan guru SMP di Onan Ganjang.

Setelah meliuk-liuk mengikuti tikungan, kemudian mendaki dan menuruni bukit-bukit, sebuah pertigaan muncul di depan. Bagi orang baru, kondisi persimpangan seperti ini bisa memilih jalan yang keliru karena tidak ada tanda-tanda penunjuk arah. Tapi jangan takut, penduduk di sana ramah dan perhatian kepada tamu. ”Ke kiri adalah Bonan Dolok, ke kanan adalah Huta Julu”, demikian penduduk kampung memberi petunjuk. Sebuah pengalaman perjalanan yang menarik! Ramah dan polosnya penduduk desa. Kemudian kita mencapai Batuara, Huta Julu.

***
Setelah mengunjungi rumah dan tombaknya Julius, kami kembali ke Siborong-borong. Tour berikutnya adalah memutar balik melalui Onan Ganjang ke pekan Dolok Sanggul, yang jaraknya 25 kilometer. Hari Jumat adalah pekan mingguan di kota itu. Dolok Sanggul adalah transaksi kemenyan terbesar di dunia!. Menurut JN Nainggolan, tidak kurang dari 15 pengusaha kemenyan mengumpulkan kemenyan dari petani-petani kemenyan, baik dari wilayah Humbang maupun Pangaribuan dan Sipahutar.

Usai transaksi, beberapa petani kemenyan masuk ke rumah makan yang menyediakan daging kuda!. Sebuah ciri khas Dolok Sanggul. Daging kuda cukup enak. Di Dolok Sanggul setiap hari tersedia daging kuda. Kalau di kampung saya di Saribu Dolok, daging kuda hanya tersedia saat Perayaan Ulang Tahun Republik Indonesia atau Tahun Baru.

Mengunjungi gudang-gudang proses pengolahan kemenyan sampai siap untuk dikirim, memberikan kesan baru. Dari bahan yang disadap petani, kemudian dikeringkan, dipisahkan sesuai dengan kualitasnya, semua dilakukan di puluhan gudang yang terdapat di Dolok Sanggul. Menurut seorang penjaga gudang di Dolok Sanggul, tingkat kualitas kemenyan bisa sampai 8 jenis. Mulai dari jenis lak-lak yang terendah sampai kasar I yang paling mahal. Diantara jenis tertinggi dan terendah itu ada ukuran yang diberi nama menurut jenis tanaman. Misalnya kacangan, ukurannnya sebesar kacang, jagungan, berasan dan jenis lainnya.

Suasana di gudang kemenyan menyemburkan semerbak aroma yang sangat khas dan mengesankan. Wewangian yang berbeda dari yang pernah kami cium. Sebuah weangian kemenyan yang khas. “Kalau anda berada di gudang kemenyan anda akan merasa dunia luar itu bau,”ujar seorang petugas gudang milik TN Nainggolan di Dolok Sanggul.

Beberapa keluarga saudara satu ompung Julius, yang pernah dibinanya di masa kejayaannya, seperti Jakin Nainggolan dan TN Nainggolan kini melanjutkan usaha pedagang pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul. Keduanya kini menjadi pengumpul kemenyaan terbesar di Dolok Sanggul dan menjualnya ke Magelang, Purwokerto dan Semarang di Jawa Tengah.

***

Di perjalanan kami merenung sejenak. Batuara, kini hanya sebuah kenangan kejayaan masa lalu seorang pengusaha kemenyan ternama. Bangunan rumah hampir tidak bertambah, penduduknya sebagian besar adalah orang-orang tua. Bahkan tidak ada satu orangpun anak cucu Julius Nainggolan yang melanjutkan usaha kemenyannya. Rumah besar itu tidak dihuni. Anak-anak dan cucu Julius kini sudah berdiam di kota. Tombaknya di Adian Bolak, dulunya menghasilkan ratusan juta rupiah per tahun, kini dibiarkan menjadi hutan “abadi”, hanya mengawetkan lahan dari kerusakan erosi.

Padahal, kemenyan daerah ini sangat digemari nun jauh di seberang di luar Batuara, Huta Julu. Kemenyan tidak hanya digunakan untuk ritual seperti di Bali dan para penganut kepercayaan di Jawa. Lebih dari itu, kemenyan juga sering digunakan sebagai pengharum rokok kretek, bahan baku kosmetika dan bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang serta bahan pengawet dan bahan baku farmasi/obat-obatan, bahan campuran dalam pembuatan keramik agar lebih kuat dan tidak mudah pecah. Bahkan di negara-negara Eropa kemenyan digunakan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan.

Penduduk Huta Batuara sendiri hanyalah petani-petani kemenyan kecil-kecilan. Belum ada terlihat tanda-tanda pengembangan bibit dan teknologi penanaman dan pemenenan masih belum banyak berubah dari masa ke masa. Tampaknya, merekapun sudah mulai tertarik menanam kopi sigarar utang. Kalau itu lebih menguntungkan, barangkali mereka akan meninggalkan kemenyan. Tidakkah bangsa ini perlu memikirkan sistem pertanian yang bisa membangkitkan lagi kejayaan masa lalu hingga bisa berlanjut sampai selama mungkin?. Tidak mustahil suatu saat kemenyan akan lenyap dari Huta Batuara, bahkan dari Humbang. Butuh rasa cinta, pemahaman dan kreativitas anak-anak muda. Jangan biarkan Haminjon Toba dan Haminjon Durame punah!

Dimuat di Harian Analisa, 14 Maret 2008