Oleh : Jannerson Girsang
Bagi seorang gadis Batak di era 50-an, ditawari sekolah ke Jerman adalah sebuah kesempatan yang langka. Saat itu kebanyakan perempuan Batak dan umumnya perempuan Indonesia menghabiskan sebagian besar waktu mereka bekerja di ladang atau sawah, bahkan masih sedikit keluar dari desanya dilahirkan. Saat-saat seperti itulah Floriana ditawari Sekolah Diakonia ke Jerman.
Floriana adalah salah seorang dari tiga perempuan pertama siswa Sekolah Diakonia yang dikirim Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ke Jerman pada 1952. Mereka memperoleh bea siswa Sekolah Diakones dari RMG (Rheinische Mission Gessellschaft) yang berkedudukan di Wuppertal, Jerman. Dua orang temannya yang lain adalah Nuria Domdom Gultom dan Bonaria Hutabarat. Ia menyelesaikan Sekolah Diakones di Kaiserwerth (1956) dan Tubingen (1958).
Di dua lokasi pendidikan itu, Floriana menguasai ilmu kebidanan dan berbagai bahasa asing seperti Jerman, Inggeris dan Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, selama dua tahun, cucu pendeta HKBP Amon Lumbantobing ini mengawali kariernya sebagai bidan di Rumah Sakit HKBP Balige—milik gereja terbesar di Asia Tenggara itu. Dari sana HKBP memindahkannya ke Rumah Sakit Bethesda di Saribudolok—sebuah rumah sakit milik GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun). GKPS adalah sebuah gereja yang saat ini memiliki 200 ribu lebih jemaat.
Gadis Batak berkulit putih dan bertubuh pendek ini menikah dengan Armencius Munthe—lulusan Master Theologia, Universitas Hamburg, Jerman, pada 1966. Pernikahannya mengakhiri kariernya sebagai bidan. ”Itu sudah menjadi prinsip hidup saya,” ujarnya dalam buku otobiografinya ”Berdoa dan Menebar Kasih”, yang diluncurkan di Medan, 16 September 2009 lalu, tepat pada hari Ulang Tahunnya ke 78.
Waktunya dicurahkan mendampingi suaminya sebagai pendeta yang pernah bertugas di pulau Nias, Sondiraya dan menjadi Pimpinan Pusat GKPS yakni menjadi Sekjen dan Ephorus selama 25 tahun (1970-1995).
Di sela-sela tugas mendampingi suami. Florian terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Perempuan yang mampu berbahasa Inggeris, Jerman dan Belanda ini pernah menjadi penerjemah dalam program KNH (Kinder Not Hilfe) GKPS dan bagi para tamu-tamu GKPS saat melakukan peninjauan atau perjalanan ke jemaat atau program-program gereja lainnya.
Selain itu, selama 22 tahun, sejak 1986, Floriana menjadi Sekretaris Yayasan Harapan Jaya, sebuah Yayasan Katolik yang didirikan di Pematangsiantar pada 1982. Yayasan ini bergerak membantu anak-anak cacad. Bersama pengurus yayasan lainnya, pengabdiannya di yayasan itu mendapat penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara, Drs Rudolf Pardede, bertepatan dengan Peringatan Ulang Tahun ke 25 yayasan itu pada 2007. Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi wanita gereja seperti Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI).
Pada 1995-selepas suaminya mengakhiri jabatan sebagai Sekjen GKPS, Floriana dan keluarganya pindah ke Medan. Sejak itu ia mendampingi suaminya yang bekerja sebagai dosen, aktif sebagai pengkhotbah di berbagai gereja di Sumatera Utara (GKPS, HKBP, GKPI, Gereja Methodist, GBKP, BNKP dan lain-lain), representasi Crossway International-sebuah lembaga berpusat di Minneapolis, Amerika Serikat, Perguruan Immanuel Medan, dan berbagai yayasan sosial lainnya.
Anak abang Dr Andar Lumbantobing—mantan Bishop Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) ini, lahir di Flores pada 16 September 1931. Flores adalah sebuah pulau yang terletak beberapa ratus kilometer sebelah Timur pulau Bali. Ia lahir saat ayahnya--anak pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), adalah seorang klerk di kantor pemerintah Hindia Belanda. Ayahnya hijrah ke Jakarta pada era 1920-an dan kemudian menjadi klerk di kantor Pemerintah Belanda di Palembang.
Putri pasangan Alfred Lumbantobing dan Hilderia Panggabean ini, menjalani masa kecil sampai remajanya di Flores, Lombok, Bengkulu dan Lampung. Sebagai seorang anak pegawai Belanda, Floriana memperoleh pendidikan dasar di Europese Lagere School (ELS) di Bengkulu dan Lampung. ELS adalah sebuah sekolah dasar berbahasa Belanda. Dia dibesarkan dalam keluarga dengan pengantar Bahasa Belanda.
Masa penjajahan Jepang adalah masa-masa penderitaan keluarganya. Ayahnya Alfred Lumbantobing ditahan Jepang di sebuah penjara di Jambi. Kehidupan keluarganya bertambah sulit, karena puluhan keluarga mereka yang tinggal di Jakarta mengungsi ke Lampung karena situasi keamanan. Selain itu, buruknya pelayanan kesehatan di masa penjajahan Jepang, menyebabkan adiknya Jhony Lumban Tobing yang ketika itu berusia 10 tahun meninggal akibat tetanus.
Di masa sulit itu, nenek dari enam cucu itu melakukan berbagai pekerjaan untuk membantu keluarganya. Mulai dari menyanyi bersama grup band di berbagai acara untuk mendapatkan hadiah sabun, mengikuti lomba bahasa Jepang demi sebungkus rokok ”Davros” untuk ditukar dengan garam, bahkan kasir di Kawasaki Jidosha — sebuah perusahaan bus angkutan, dengan imbalan sabun atau minyak makan.
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, ayahnya pindah tugas dari Lampung ke kantor gubernur Sumatera di Medan. Di kota inilah, anak tertua dari tiga belas bersaudara ini menyelesaikan IMS (Indonesische Middlebare School) pada 1950.
Almarhum suaminya Dr Armencius Munthe yang meninggal 25 Juli 2009 lalu, menggambarkan Floriana sebagai seorang perempuan yang senantiasa "Berdoa dan Menebar Kasih".
Kisah kehidupannya direkam dalam buku ”Berdoa dan menebar Kasih” Buku setebal 134 halaman itu dilengkapi dengan 50 foto kenangan awal 1900-an sampai foto-foto terakhir saat Floriana mendampingi suaminya yang meninggal pada 25 Juli 2009 lalu.
Publikasi pertama pada blog www.harangan-sitora.blospot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar