My 500 Words

Senin, 16 Desember 2013

Beban Orang Tua Makin Berat Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (Dimuat di Harian Analisa, 14 Desember 2013)

Oleh: Jannerson Girsang. 

Memutar memori pengalaman membiayai kuliah anak-anak di Perguruan Tinggi Negeri sejak 2003, ternyata dari tahun ke tahun, beban orang tua makin berat. Perubahan demi perubahan kebijakan saringan masuk perguruan tinggi di negeri ini, membuat orang tua hanya menikmati rasa gembira diterima di PTN hanya berlangsung sesaat.

Pengalaman kami menyekolahkan tiga mahasiswa di PTN ini mungkin berguna bagi orang tua lain serta bahan bagi pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan pendidikan sejak sepuluh tahun terakhir ini.

Tiga Anak, Tiga Perlakuan

Saya memiliki empat orang anak. Tiga diantaranya menjalani pendidikan dan sudah lulus dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ”terbaik” di Indonesia yang berlokasi di Depok. 

Perkembangan sejak 2003, saat anak pertama saya masuk di Universitas Indonesia ternyata hingga anak saya yang ketiga, pertambahan beban itu cukup signifikan. Saat anak pertama saya masuk, saya hanya membayar uang kuliah, sebesar Rp 1.250.000, serta membayar uang asrama Rp 100 ribu per bulan. Tidak ada yang namannya uang ”pembangunan” atau ”sumbangan”.

Tapi saya merasa aneh, karena anak teman saya di USU dengan jurusan yang sama, uang kuliahnya lebih rendah. Apa bedanya ya USU dengan UI, tokh sama-sama PTN. Tiap PTN memiliki kebijakan yang berbeda soal uang kuliah. 

Tiga tahun kemudian (2006), putri kedua saya lolos ujian masuk di UI di kelompok sosial. Sama dengan anak saya yang pertama. Kita senang dan memperhitungkan belanja yang relatif sama dengan anak pertama.

Ternyata, setelah pengumuman keluar, selain membayar uang kuliah yang naik menjadi Rp 1.350.000 per semester (naik Rp 100 ribu), saya harus menanggung uang ”pembangunan”. sebesar Rp 9 juta. Meski akhirnya, dapat keringanan membayarnya dengan tiga kali cicilan.  

Artinya, hanya berselang tiga tahun dari anak pertama, saya harus menanggung beban yang naik hingga 800 persen. Logikanya, pemerintah seharusnya memberi keringanan kepada biaya anak kedua, tetapi justru sebaliknya, malah semakin besar. Logikanya, uang sudah terkuras membiayai anak pertama.

Jujur saja, karena kesulitan keuangan, putri saya kedua ini harus rela bekerja di tata usaha perpustakaan Indonesia untuk melepaskan sebagian beban berat itu. Kasihan benar dia!. (Untungnya, dia sudah lulus dan bekerja di Jakarta).

Pada 2008, lima tahun setelah anak saya pertama menginjak PTN, putra saya (anak kami yang ke tiga) masuk di Politeknik Negeri Jakarta. Lokasinya masih satu kompleks dengan Universitas Indonesia di Depok.

Saat pengumuman, banyak orang mengatakan saya beruntung. Tapi, jangan salah. Uang kuliah di Politeknik, hampir dua kali lipat besarnya dari yang kuliah di kelompok sosial di UI. Besarnya tidak mungkin dijangkau oleh orang tua yang bekerja hanya sebagai penulis, yang masih dihargai dengan pekerja ”upahan” di pabrik.

Di saat kemampuan ekonomi menurun, justru saya harus menanggung beban yang lebih berat. Saat itu saya harus menjual aset yang paling saya butuhkan. Mobil terjual. Demi ”Anakkon hi do hamoraon di ahu, anakku harta paling berharga”. Anak-anak harus memperoleh pendidikan agar masa depannya lebih cerah.   

Syukur ketiga-tiganya bisa lulus tepat waktu, meski dengan kehidupan yang pas-pasan. Belakangan, informasi yang saya peroleh dari teman-teman anak saya yang masuk sesudah mereka, ternyata terus meroket. Uang kuliah dan pembangunan terus merangkak naik. Semoga rekan-rekan orang tua berikutnya mampu membiayai anak-anaknya dengan beban yang makin meningkat itu. 

Anak Keempat Masuk Swasta

Pada 2011, anak saya keempat tidak lolos ke PTN. Tidak ada perasaan yang mengganjal meski dia tidak masuk PTN.”Masuk Perguruan Tinggi Swasta aja nak, karena di negeripun biayanya mahal,” demikian saya menghiburnya. Kebetulan, bulan Maret tahun itu anak saya sudah lulus pada sebuah perguruan tinggi swasta yang pengantar kuliahnya berbahasa Inggeris di Cikarang, Jakarta.

Ungkapan seperti ini mungkin belum pernah saya dengar dari orang tua saya, yang di masa saya mahasiswa. Mereka selalu berusaha agar anaknya masuk PTN, walau harus berkorban setahun menunggu UMPTN berikutnya.

Uang kuliahnya memang tiga kali lipat dari uang kuliah anak saya yang di Politeknik. Meski saya menjerit, masih bersyukur karena tidak perlu membayar uang pembangunan. Dengan membayar Rp 10 juta di semester pertama, ditambah uang asrama Rp 3 juta per 4 bulan (mahasiswa bebas mengambil kos di luar asrama setelah setahun kuliah). Dengan uang Rp 13 juta dia bisa kuliah.

Tapi saya hitung-hitung, masih rasional, ketimbang beberapa teman yang anaknya masuk ke PTN melalui jalur Mandiri. Uang kuliah dan uang pembangunannya cukup mencekik juga. Saya punya keluarga yang masuk melalui jalur Mandiri di program Diploma Universitas Indonesia pada tahun yang sama, membayar uang kuliah Rp 5 juta per semester dan uang pembangunannya di atas Rp 20 juta.   

Kebanggaan masuk PTN, jauh dari kebanggaan saya ketika masuk di IPB pada 1980. Saat itu tidak ada uang yang namanya uang pembangunan, bahkan uang kuliahpun relatif rendah. Ayah saya yang hanya guru SD tidak begitu sulit membiayai saya di perguruan tinggi, biayanya sangat murah, hanya Rp 12 ribu per semester. Padahal, honor saya saja sebagai asisten dosen mata kuliah Foto Udara ketika itu, Rp 18 ribu per semester. Saya masih beruntung Rp 6000 per semester. Dan, selama empat tahun saya kuliah, tidak pernah ada kenaikan uang kuliah.

Saya kira kisah di atas adalah sebuah ironi. Saat kita menjalani abad ke-21, abad informasi dan ilmu pengetahuan, ketika negeri ini sedang membutuhkan orang-orang terdidik, masyarakat semakin sulit membiayai anaknya kuliah di perguruan tinggi.

Ironisnya lagi, justru di tengah-tengah beban seperti ini, muncul pula berita para pejabat di Perguruan Tinggi Negeri diperiksa KPK karena dugaan korupsi. Lha, bagaimana kita percaya uang kuliah yang terus meningkat, bisa dinikmati mahasiswa? ***

Tidak ada komentar: