Oleh: Jannerson Girsang.
Sebagian
besar perguruan tinggi di negeri ini memiliki konsep pembangunan kampus masih
lebih menitik beratkan pada gedung perkantoran megah, ruang kuliah yang
mewah-ber AC, in focus yang mahal, tetapi lalai membangun
perpustakaannya. Padahal, perpustakaan adalah jantung Universitas. Di
sanalah mahasiswa terdidik untuk membaca dan melakukan riset
kepustakaan. Perpustakaan yang tidak menarik tentu tidak akan kedatangan
pengunjung.
Tak heran dengan kondisi perpustakaan universitas seperti sekarang
ini kurang mampu mendidik lulusan perguruan tinggi yang memiliki budaya
mengunjungi perpustakaan dan tentunya budaya membaca yang rendah.
Masalah besar lulusan perguruan tinggi kita dengan daya saing yang lemah
memasuki abad 21.
Gedung Perpustakaan: Jantung Universitas
Ketika mengunjungi perpustakaan Universitas Indonesia (UI) tahun
lalu, saya teringat kritik Wakil Presiden Budiono beberapa tahun lalu
soal konsep membangun universitas, dengan mencontohkan kisah Thomas.
(http://wapresri.go.id/index/preview/berita/1671)
Menurut Budiono, Thomas Jefferson, pendiri Negara Amerika Serikat,
250 tahun yang lalu, membangun bangsa adalah membangun universitas.
Hanya konsepnya berbeda dengan konsep kebanyakan perguruan tinggi kita
sekarang.
Dalam kisahnya, Budiono mengatakan Jefferson bercita-cita
mencerdaskan bangsa Amerika dengan mendirikan universitas Virginia.
Hibah pertama Jefferson adalah sebidang tanah dengan sebuah gedung
berdiri di atasnya. Gedung pertama itu adalah perpustakaan.
Inspirasi Jefferson menjalar ke UI, demikian kesimpulan saya kembali
dari perpustakaan yang megah itu. Saya terkesan dengan ruang
perpustakaan megah ditengah-tengah kampus. Mungkin universitas ini sudah
memahami pentingnya perpustakaan.
Sayang, kebanyakan universitas kita sudah bangga memiliki gedung
perkuliahan, laboratorium, dosen, sementara perpustakaannya dibiarkan
lusuh, berdebu dan anggaran penyediaan buku baru dibiarkan seadanya.
Kalau tidak keadaan terpaksa, misalnya kepentingan akreditasi maka
perpustakaan seolah kurang penting dari yang lainnya.
Sekedar mengingatkan, jantung sebuah universitas adalah perpustakaan,
"Bukan kantor megah atau ruang kuliah mewah," kritik Budiono.
Staf Perpustakaan: Bukan Setingkat Pesuruh
Pengendali perpustakaan adalah manusia yang bekerja di sana. Selain
lalai membangun gedung perpustakaan, universitas-universitas kita masih
menganaktirikan petugas perpustakaannya. "Dari 34 institusi perguruan
tinggi yang tergabung dalan Forum Perpustakaan PerguruanTinggi Indonesia
(FPTI) wilayah Jatim, banyak pustakawannya yang bukan lulusan dari ilmu
perpustakaan, "(Surabaya Pos, 27 Desember 2010).
Profesi pustakawan sudah saatnya dipandang tidak sekedar profesi yang
sifatnya administratif, tetapi sebuah profesi yang menuntut kemampuan
dan kreativitas, sejalan dengan perkembangan teknologi.
Inti dari profesi pustakawan adalah bagaimana menyediakan informasi
bagi seluruh sivitasaka demika di kampusnya. Jika kondisi para staf
perpustakaan tidak profesional, tentunya kondisi perpustakaan sebagai
gudang ilmu tak lebih dari sebatas gudang debu.
Sangat disayangkan memang, karena di berbagai perpustakaan staf
perpustakaan baru dianggap "pesuruh". Pekerjaannya membuat sampul buku,
mendata buku, dan menjaga pintu perpustakaan. Padahal seorang pegawai
perpustakaan seharusnya mampu mengusulkan jenis buku serta pendataan
jurnal ilmiah. Hal ini tentu tidak akan dipahami orang yang tidak
memiliki latar belakang pendidikan kepustakawanan.
Tantangan baru perpustakaan adalah menjadikan peran perpustakaan
sebagai penyokong utama informasi di sebuah perguruan tinggi dengan
tuntutan perkembangan teknologi, khususnya teknologi internet.
Misi perpustakaan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan dan
menyediakan akses terhadap sumber daya informasi membutuhkan selain
sumberdaya manusia adalah kemampuan mengelola dan menyediakan teknologi
yang terus berubah.
Memang diakui, hadirnya teknologi internet maka penyediaan sumber
daya informasi berbasis cetak tidak lagi memadai, tapi harus dilengkapi
dengan sumber daya berbasis elektrik/digital. Para pegawai perpustakaan
harus dilengkapi kemampuannya untuk mengembangkan bahan-bahan
elektronik.
Fungsi tradisional perpustakaan mulai diambil alih oleh teknologi dan
perubahan jaman. Sehingga, Institusional Repositories (IR) atau
Perpustakaan Digital penting dipahami dan perlu terus di redefinisi
peran dan fungsi perpustakaan.
Pegawai perpustakaan dituntut memiliki kemampuan membimbing para
pengunjung untuk menggunakan internet sebagai sumber informasi
alternatif, disamping buku yang dimilikinya di perpustakaan.
Mereka yang berkunjung ke perpustakaan mampu mengakses informasi yang
mereka butuhkan, bahkan mendidik mereka mengetahui apa yang seharusnya
dibutuhkan pengunjung. Mereka juga dituntut menarik pengunjung melalui
media online yang dimiliki perpustakaan bersangkutan dan mengadakan
komunikasi dengan pengunjung melalui internet.
Universitas harus memperhatikan keahlian para pustakawan mereka.
Setidaknya, menurut Aditya Nugraha komposisi pustakawan yang
professional dari perpustakaan yang ada minimal di atas 50 persen.
Merangsang Minat Baca dan Menggairahkan Perpustakaan
Salah satu tugas penting lainnya dari pustakawan adalah membuat
resensi buku-buku baru yang dimuat di media kampus dan media umum
lainnya. Sehingga pengunjung perpustakaan, masyarakat pembaca memiliki
minat dan tertarik mencarinya dan tentu saja membacanya.
Perpustakaan seharusnya memberikan insentif kepada para pustakawan
yang mampu menulis resensi buku-buku pilihan karena dia melakukan tiga
hal, yakni memperkenalkan buku baru-peradaban baru ke tengah-tengah
masyarakat, meningkatkan minat baca masyarakat dan minat membeli buku,
serta mencerdaskan bangsa melalu peningkatan minat baca.
Kita menyambut baik, kegiatan Pemprovsu dalam menggairahkan
pengelolaan perpustakaan dengan memberikan penghargaan kepada
perpustakaan terbaik di Perguruan Tinggi (juga rumah-rumah ibadah,
sekolah dan lain-lain). Dukungan Badan Perpustakaan Pemprovsu dalam
merangsang gairah mengembangkan perpustakaan hendaknya berlanjut dan
terus ditingkatkan dan sesuatu yang harus mendapat apresiasi.
2014 adalah momen yang baik untuk terus melanjutkan dan meningkatkan
usaha-usaha pengembangan perpustakaan di perguruan tinggi, sekolah,
rumah-rumah ibadah, sehingga minat baca masyarakat kita yang masih cukup
rendah bisa sedikit terangkat.***
Penulis adalah staf ahli Yayasan Universitas HKBP Nommensen
dan pengguna perpustakaan Universitas. Aktif sebagai juri dalam berbagai
kegiatan lomba cerita dan menulis di Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah, Pemprovsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar