Jannerson Girsang |
Bagaikan air mengalir, semangatnya menulis terus mengukir. Riak-riak aksara membentuk kata, dia akan menulis selamanya. Secara formal Jannerson Girsang tidak pernah belajar menulis, khususnya biografi, apalagi sastra. Hanya saja sejak duduk di bangku SMA, angka 9 selalu diraihnya dalam mata pelajaran sejarah. |
SEIRING bertambahnya waktu, Jannerson Girsang yang
lulusan IPB tahun 1985 mulai memasuki dunia kerja. Beberapa kali dia
beralih profsi, mulai dari menjadi survey tanah, dosen, wartawan,
asisten ekonomi, sampai demand forcaster di perusahaan telekomunikasi. Namun pada November 2001, Pramindo-KSO Telkom di Sumatera melakukan PHK besar-besaran, sehingga dia pun kembali menghadapi PHK untuk kesekian kalinya. "Tahun 1992 sampai 1996, saya pernah menjadi penulis ekonomi di Konsulat Amerika," katanya kepada MedanBisnis saat ditemui di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan. Setelah mengalami banyak pemutusan kerja, berbagai peluang kerja terbuka lebar. Tapi Jannerson Girsang tak lagi berniat menjadi buruh, dia ingin punya usaha sendiri. Hingga pada suatu ketika, Jannerson Girsang menyadari bahwa talenta pada dirinya hanyalah menulis. Seperti mendapat nyawa baru, Jannerson Girsang yang senang menulis, membuat laporan, dan kerap dibilang sebagai penulis oleh orang-orang disekitarnya,memutuskan menulis sebagai profesinya. "Saya bercerita panjang lebar dengan saudara-saudara dan teman-teman di Jakarta tentang rencana ini. Ada yang bilang bagus, ada yang kaget tertawa," ujarnya. Dilema muncul, kebimbangan bergulat dalam dirinya, banyak bisikan yang mengganggu. Masa itu penulis belum merupakan profesi yang menjanjikan. Layaknya Alice in a Wonderland, Jannerson Girsang seperti berada di persimpangan jalan dengan banyak arah atau keinginan. Dalam kondisi seperti itu akhirnya dia tetap memilih talentanya. Menulis masuk dalam prioritas teratas sebagai pilihan profesinya. Lagi-lagi Jannerson Girsang bergumul pada keraguan. Kebiasan belajar dari buku sudah lama dilakoninya. Untuk belajar sesuatu yang baru, dia lari ke toko buku karna dia percaya buku yang kemudian dikunyahnya sendiri. Buku karya Herman Holtz (2000) benar-benar mengilhaminya. How to Start and Run a Writing Business seolah membisikkan sesuatu hal yang mustahil dikerjakannya. "Memasuki bisnis penulisan anda harus menulis sebuah buku, demikian kira-kira konklusinya," jelasnya yang pernah gagal mendaftar masuk S2 di IPB tahun 1990, karena karyanya belum ada yang dipublikasi oleh majalah yang memiliki ISBN. Beberapa kali dia bertanya dalam hatinya. Sebuah pekerjan yang tak mungkin dilakukan, walau pernah diimpikan sebelumnya. Mski pernah menulis laporan, profil, atau berita, tetapi Jannerson Girsang tidak pernah memiliki keahlian yang mendalam dalam satu bidang. Menjadi wartawan, analis ekonomi, politik, bahasa Inggeris, dan lain-lain dipelajarinya secara otodidak, bukan melalui pendidikan formal. "Dulunya pekerjaan itu saya terima karena harus membiayai anak-anak. Meski terasa berat, saya harus lakukan walau kadang tidak saya nikmati. Tetapi, penderitaan membuahkan pengetahuan dan hikmat," tuturnya yang gemar membaca buku-buku biografi ini. "Siapa menabur angin akan menuai badai" dilahapnya sampai beberapa kali. "Kalau sudah membaca buku seperti ini, lupa deh segalanya kecuali merokok," ungkapnya yang sudah menjadi kakek ini sambil tertawa. Lantas terlintas dalam benaknya untuk mencoba membuat biografi. Buku biografi Muhammad Hatta, Mahatma Gandhi, Jenderal Nasution, Yoga Sugama, dan Soekarno pun di bolak-baliknya. Ternyata membuat biografi tidak begitu sulit baginya. Awalnya sebuah ide memang masih samar-samar, karena dia belum pernah melakukannya. Akan tetapi secara perlahan semuanya semakin jelas, setelah mempelajari berbagai buku teori-teori yang ada di internet. "Biografi merupakan pilihan yang realistik bagi saya. Dalam pengertian saya ketika itu, biografi tidak lebih dari pengembangan profil. Ternyata, sebenarnya tidak sesederhana itu," paparnya. Baginya belajar menulis biografi layaknya seorang anak masuk kolam renang sendirian. Memainkan gaya batu, kemudian tenggelam lalu bangkit ke permukaan. Ganti gaya dada, gaya punggung, gaya bebas, hingga akhirnya bisa menuliskan pengalaman baru tentang berenang. Pengalamannya tentu berbeda dengan mereka yang belajar banyak teori, kemudian menulis biografi atau otobiografi. Jannerson Girsang tumbuh sendiri dari lapangan. Belajar dari nol dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman orang yang lebih dulu menulis biografi dan otobiografi. Langkah demi langkah dilaluinya dengan semangat, ketekunan, dan fokus. Setiap kekurangan disempurnakannya dengan buku-buku teori. Kritik serta masukan dari pembaca dijadikannya sebagai penjaga roh. Enam tahun kemudian, ribuan pembaca buku biografi di daerah Sumatera Utara dan daerah-daerah lainnya pun sudah menikmati hasil tulisannya. Meluncurkan Buku Pertama Kerja kerasnya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Jannerson Girsang pun meluncurkan buku pertamanya, dan itu seperti memberikan kenikmatan yang luar biasa baginya. Tapi tunggu dulu. Membuatnya membumi, bisa dilaksanakan, dan menguntungkan bukanlah hal yang gampang. Tak semudah membalik telapak tangan. Pasalnya untuk menjual proposal ternyata tidak semudah menyusun proposal. Berbulan-bulan Jannerson Girsang menawarkan proposal kepada calon kliennya. Hasilnya nihil. Tidak ada yang tertarik. Namun dia tetap yakin, dan keyakinannya tersebut terbukti. Sekitar April 2002, usulan penulisan buku biografi pertamanya mendapat persetujuan. Tokohnya adalah Jahodim Saragih, ayah kandung Prof. Dr. Bungaran Saragih yang saat itu menjabat Menteri Pertanian Republik Indonesia. Penyelesaian buku ditargetkan sekitar 4 bulan, dimana pada saat itu Jannerson Girsang hanya punya sisa waktu empat bulan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tanpa gangguan berarti dia pun melakukan wawancara dan riset. Akan tetapi suasana membingungkan kemudian muncul, setelah penulisan buku hampir separuh jalan. Soalnya salah seorang rekannya mengatakan, biografi harus ditulis seperti karya orang-orang luar negeri. Tapi Jannerson Girsang bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi. Sampai saat ini, Ayah dari 4 orang anak ini masih memilih kelompok authorized otobiography dan biography, serta mengandalkan anggaran yang disediakan pemilik biografi. "Yah, tak ada rotan akar pun bergunalah. Lakukan perbaikan, perbaikan, dan perbaikan. Kuncinya adalah menulis dengan hati," ucapnya yang punya prinsip menjalani hidup dengan mengalir dan pnuh rasa suka cita. Singkat cerita, buku tersebut selesai dan diberi judul "Bukan Harta Duniawi". Dicetak 1000 eksemplar dan diperuntukkan bagi kalangan sendiri. Peluncuran buku pertama ini ternyata memberi modal yang sangat mahal bagi perjalanan karier menulisnya. Tidak dibayangkan Jannerson Girsang sebelumnya, media lokal meliput pristiwa ini dengan porsi halaman yang cukup menggembirakan. Media tertarik pada biografi dan dia sebagai penulisnya pun ikut terkenal. Selama enam tahun sejak 2002, Jannerson Girsang telah menghasilkan sepuluh buku biografi dan ratusan artikel. Bahkan saat iniJannerson Girsang sedang mempersiapkan sebuah buku biografi baru. Adapun buku yang pernah dibuatnya adalah "Berkarya di Tengah Gelombang" yang diterbitkan TD Pardede Foundation dicetak lux sebanyak 2500 eksemplar. Demikian juga buku "Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga" yang diterbitkan WEB dicetak sebanyak 3500 eksemplar sudah habis di pasar. Melihat minat baca masyarakat terhadap jenis buku seperti ini, dia yakin profesi menulis biografi menjanjikan di masa mendatang. Bukan hanya dari sisi financial, tetapi upaya meningkatkan minat baca rakyat. Tentunya harus dengan usaha-usaha perbaikan terus menerus. "Sama dengan membaca, jika sudah menulis biografi, rasanya lupa segalanya. Bahkan kadang-kadang saya lupa apakah saya punya uang atau tidak," ungkap Jannerson Girsang yang punya motto "berteman seumur hidup, menambah kawan seumur hidup" ini. Sayangnya menulis biografi saat ini baru taraf nama tenar, belum menjanjikan seperti di Negara-negara maju dimana seorang penulis memasang tarif Rp 0.35 dollar per kata. Sedangkan di Sumatera Utara, seorang penulis biografi harus berjuang setengah mati mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang kuliah dan sekolah. Sejak menulis biografi enam tahun yang lalu, tidak dipungkirinya jika dia harus nyambi bekerja di berbagai lembaga seperti Manajer Kampanye, Konsultan PR, ataupun terlibat dalam program lembaga NGO, dan menulis artikel di media cetak. "Saya tidak pernah berpikir untuk berhenti menulis. Selagi saya bias menulis, saya akan menulis. Rasa jenuh pada saat menulis pasti ada, tapi bukan menjadi alasan untuk saya berhenti menulis," tegasnya. Karena baginya menulis punya banyak keuntungan, sepeti bisa berhubungan dan bicara dengan siapa saja, lebih mudah berbahagia, dan banyak orang yang dibesarkan. (sri mahyuni) Biodata: N a m a : Jannerson Girsang Tempat/tgl lahir : Simalungun, 14 Januari 1961 Pendidikan : Alumnus IPB Fakultas Pertanian Jurusan Pertanahan Pekerjaan : - Staff Ahli Yayasan Universitas Nommensen Medan - Ketua Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan GKPS Istri : Erlina Sari Sipayung (53) Anak : - Clara Mariana Girsang (1985) - Patricia Girsang (1989) - Bernard P Girsang (1991) - Deviana Anastasia Girsang ( 1993) Organisasi : Utusan Sinode GKPS 1998-2003 |
"Let us not be satisfied with just giving money. Money is not enough, money can be got, but they need your hearts to love them. So, spread your love everywhere you go" (Mother Theresia). Photo: Di Pantai Barus, Tapanuli Tengah, April 2008. Saat itu, seorang anak laki-laki sedang asyik memancing bersama teman-temannya. (Dilarang keras memposting artikel-artikel dalam blog ini untuk tujuan komersial, termasuk website untuk tujuan memperoleh iklan).
Selasa, 28 Januari 2014
Jannerson Girsang: Menulis Sampai Mati (Harian Medan Bisnis Minggu, 26 Januari 2014)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar