Oleh : Jannerson Girsang
Kaget dan awalnya tidak percaya. Menyaksikan televisi menyiarkan Gunung Sinabung meletus tengah malam 29 Agustus 2010 membuat kami terhenyak sejenak. Apa ya?. Saat itu kami sedang berkunjung ke tempat kos anak-anak kami di Depok, 1500 kilometer dari tempat kejadian.
Berita itu begitu menarik.Pasalnya, Gunung Sinabung tak jauh dari desa tempat saya dilahirkan. Muncul kekhawatiran. Bagaimana dengan orang tua saya di kampung?. Kami punya pengalaman saat letusan Galunggung pada 1982. Ketika itu, tempat kos kami di Bogor yang berjarak ratusan kilometer dari lokasi kejadian kena semburan abu. Pagi hari, kami sudah menemukan pakaian yang dijemur di teras rumah penuh debu. Syukurlah, memang letusannya tidak separah Galunggung.
Artikel ini ingin berbagi dengan pembaca, kisah saya dan Gunung Sinabung. Kiranya pesan sederhana ini dapat menyadarkan kita betapa pentingnya memahami alam sekitar. Alam indah dan memberi kemakmuran, ternyata menyimpan risiko, sehingga selain penyaluran bantuan pihak berwenang perlu mempersiapkan mitigasi gunung berapi.
Keindahan Panorama
Kehidupan sehari-hari di masa anak-anak sampai menjelang remaja kami adalah menikmati pemandangan Gunung Sinabung dari kejauhan. Dari desa tempat saya dilahirkan empat puluh sembilan tahun lalu, Nagasaribu, Kabupaten Simalungun—berjarak lurus 20-30 kilometer, memandang Sinabung ibarat menyaksikan lukisan alam nan indah, sumber inspirasi, serta pemberi rasa sejuk di hati saat lelah bekerja di ladang.
Di pagi hari, dari perladangan di sekitar kampung kami, saya bisa menyaksikan kawah yang mengepulkan asap berwarna putih. Cahaya kekuningan sebagai hasil terpaan matahari pagi ke dinding dan lubang di sekitar kawah, kontras dengan warna kebiruan dedaunan pohon di sekitarnya.
Hingga sekarang ini, keindahan Gunung Sinabung memang sedemikian mempesona dan tidak surut karena bertambahnya usia kami. Ketika bekerja di sebuah lembaga asing untuk Tsunami dan Gempa Aceh-Nias, kami beberapa kali menumpang pesawat Caravannya Susi Air. Terbang dengan ketinggiannya maksimal 10.000-- kaki (di lokasi ini lebih rendah dari ketinggian Gunung Sinabung), menuju Sibolga atau Nias, memberi kesan tersendiri. Beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Polonia Medan, saya tidak meloloskan kesempatan memandang ke arah Gunung Sinabung--beberapa kilometer ke sebelah kanan pesawat, dan posisinya lebih tinggi dari pesawat. Sungguh-sungguh pemandangan yang indah luar biasa. Saya bisa melihat dengan rasa kagum pesona Gunung Sinabung. Sekali-sekali mata kuarahkan ke bawah dan menikmati pesona lembah, sungai yang berkelok-kelok. Lantas beberapa menit kemudian, saya menyaksikan hamparan pertanian nan hijau, berpetak-petak di wilayah semburan debu dari Gunung Sinabung selama ratusan tahun. Berbeda dengan perladangan di sekitar Nagasaribu yang belum tertata serapi pertanian di wilayah sekitar Gunung Sinabung.
Sumber Kemakmuran
Memori kami di awal delapan puluhan adalah memahami Gunung Sinabung dari sudut ilmu geologi yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor, Gunung Sinabung menjadi salah satu topik dalam mata kuliah Geologi Indonesia, dari sekian puluh gunung berapi di negeri ini. Pak Rahmat Harjosoesatro, dosen geologi—lulusan zaman Belanda itu mengajarkan bahwa Gunung Sinabung melepas abu vulkaniknya dan memberikan kesuburan tanah pertanian di sekitarnya.
Pelajaran Gunung Sinabung memberi pemahaman kepada kami mengapa Daerah Karo Simalem berbeda kesuburannya dibanding dengan ladang kami, di sekitar Gunung Singgalang dan Gunung Sipiso-piso. Pulau Jawa yang banyak gunung berapinya adalah pulau tersubur di Indonesia, bahkan di dunia.
Wilayah sebaran abu vulkaniknya menjadi contoh pertanian hortikultura modern tidak saja bagi Sumatera Utara, bahkan bagi Indonesia. Tak salah kalau saya menyebut Gunung Sinabung adalah lambang kemakmuran. Kawasan di sekitar Gunung Sinabung terkenal sebagai daerah pertanian subur dengan eksport sayur mayur dan buah-buahannya.
Bagi mahasiswa Fakultas Pertanian, wilayah ini menjadi sumber inspirasi pengelolaan pertanian modern. Ketika bekerja sebagai dosen si Universitas Simalungun, saya membawa seratusan mahasiswa melakukan study banding ke kebun vanili di Kecamatan Simpang Empat. Dari lokasi itu, saya seolah berhadapan langsung dengan kawah gunung Sinabung. Berkunjung ke wilayah sekitar Gunung Sinabung adalah menyaksikan petani maju, dengan sistem pertanian yang jauh lebih modern dari daerah lain. Banyak hal yang tidak kami ketahui tentang sistem yang sudah diterapkan dibanding dengan pengetahuan yang kami pelajari di Institut Pertanian Bogor. Hanya satu yang tidak mereka kuasai, yakni aktivitas gunung yang berada di sekitar mereka.
Dua kisah kami di atas adalah gambaran orang di luar wilayah cakupan Gunung Sinabung merasakan gunung ini sebagai sebuah keindahan ciptaan Tuhan, sumber inspirasi dan pengetahuan. Tak pernah sekalipun kami membayangkan adanya bahaya dari dalam gunung itu. Pendapat saya, penduduk di sekitar Gunung Sinabung memiliki pemahaman yang sama dengan saya. Mereka tidak pernah membayangkan kejadian Malam Minggu itu. .
Babak Baru
Gunung Sinabung mencatat babak baru. Setelah tidur selama 400 tahun, Sabtu, (28/8) sekitar pukul 23.00 WIB, gunung yang memiliki ketinggian 2.640 meter di atas permukaan laut dan terletak di Desa Merdinding, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, meletus dengan mengeluarkan asap putih tebal disertai lava pijar.
Seperti diberitakan media, sampai hari Selasa 31 Agustus, lebih dari 27 ribu (dari sekitar 330 ribu penduduk Tanah Karo) meninggalkan rumah dan lahan pertanian mereka, menembus malam yang dingin menuju tempat pengungsian, menghadapi masalah makan dan sandang, bermalam di tempat terbuka, diterpa angin dingin alam yang terletak di atas 1400 meter dari permukaan laut itu.
Kejadian yang tidak biasa ini memunculkan banyak pertanyaan baru di tengah-tengah masyarakat dan tentunya butuh jawaban yang akurat. Pertanyaan besarnya adalah, mengapa gunung yang selama ini menyuburkan tanah mereka, memberi keindahan dan rezeki berkelimpahan, tapi mereka harus mengungsi menjauhinya. Sampai kapan mereka tinggal di pengungsian dan bagaimana mereka mengembalikan trauma kejadian itu.
Mereka diliputi kekhawatiran atas sesuatu bahaya yang mereka tidak tahu secara persis. Wajar saja, karena selama ini mereka adalah petani teladan yang pintar bercocok tanam, bukan ahli aktivitas gunung berapi. Bahkan banyak yang memperoleh pengetahuan gunung api dari mitos-mitos nenek moyang mereka. Untuk itu diperlukan usaha-usaha mitigasi yang lebih intensif, menyusul kegiatan penyaluran bantuan yang sudah dilaksanakan.
Meskipun letusannya tidak sehebat letusan gunung Merapi, Galunggung atau Krakatau, tetapi sudah menyiratkan pentingnya kita menyadari bahwa ada aktivitas di dalam gunung yang perlu diteliti tingkat bahayanya.
Memaknai letusan Sabtu malam itu, seorang pejabat yang menangani vulkanologi dan mitigasi bencana mengatakan: "Ini seperti kertas putih yang akan kita tulis sejarahnya bahwa tanggal 29 Agustus lembaran baru Gunung Sinabung tercatat. Gunung Sinabung meletus kembali sejak tahun 1.600," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono, Minggu (29/8). (Analisa, Senin 30 Agustus 2010).
Sementara itu, peristiwa meletusnya Sinabung bukan sesuatu yang luar biasa, karena tidak ada ada rumah yang rusak, dan tidak ada yang meninggal dunia. Demikian kira-kira makna yang diberikan Bupati Karo DD Sinulingga. “Kejadian meletusnya Gunung Sinabung merupakan kejadian yang tidak biasa dialami bagi masyarakat Karo, jadi bukan kejadian yang luar biasa,” kata DD Sinulingga di hadapan Gubsu H Syamsul Arifin SE, Pangdam I/BB Mayjen TNI Leo Siegers, Ketua DPRD Sumut Drs Saleh Bangun, Wakapolda dan rombongan lainnya yang memadati Pendopo Rumah Bupati di Jalan Veteran Kabanjahe, Selasa (31/8). (Analisa 1 September 2010).
”Babak baru” dan ”Bukan peristiwa biasa”, dua kata kunci yang mestina melekat bagi setiap orang baik sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai pemerintah atau lembaga yang memberi perhatian pada peristiwa ini.
Saking nikmatnya keindahan dan kemakmuran yang disumbangkan gunung ini, kita sering alpa untuk memahami apa yang terjadi di dalam gunung itu, apalagi memprediksi bahaya yang terjadi kemudian. Memasuki babak baru ini, banyak pekerjaan rumah yang selama ini (mungkin) terabaikan, yakni kemampuan kita menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi dan bagaimana semua pihak menyikapinya.
Pengalaman pribadi kami sendiri sudah mengisyaratkan hal itu. Sebuah pertanyaan baru muncul di pagi hari 30 Agustus lalu, sebelum kami terbang dari Jakarta menuju Medan. Kami menulis kekhawatiran di Facebook apakah debu yang disemburkan Gunung Sinabung bisa mengganggu penerbangan. Melalui Facebook, salah seorang teman yang berasal dari Tanah Karo mengatakan tidak ada masalah dan penerbangan berjalan lancar. Kami lega, dan kenyataan yang kami alami memang memang demikian. Pertanyaan baru terjawab dengan baik dan benar. Sinabung tidak mengganggu penerbangan Medan-Jakarta.
.
Bagi masyarakat di sekitar gunung tersebut, ratusan bahkan ribuan pertanyaan baru muncul. Bagaimana keselamatan mereka yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung?. Apakah letusan yang terjadi Malam Minggu 29 Agustus 2010 adalah letusan terbesar?. Apakah akan terjadi lagi letusan susulan?. Kapan mereka yang berada di batas radius 6 kilometer akan kembali ke rumahnya?.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana di atas tidak bisa dijawab dengan jawaban ”asbun” (asal bunyi). Kebiasaan mengeluarkan statemen tidak bertanggungjawab, sudah perlu ditinggalkan. Media juga diharapkan memiliki kemampuan memahami seluk beluk penanganan gunung berapi, sehingga tidak menyiarkan berita yang menyesatkan.
Pemasangan alat detektor aktivitas gunung berapi dan hasil-hasilnya perlu dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di sekitar gunung tersebut. Keahlian bangsa Indonesia menjawab peristiwa alam yang kini menimpa masyarakat Tanah Karo, serta mengkomunikasikan kepada masyarakat sedang diuji.
Last but not least, penyaluran bantuan adalah tindakan yang perlu, tetapi tidak cukup. Pemahaman masyarakat tentang Gunung Sinabung dengan segala aspeknya jauh lebih penting. Memberi rasa nyaman bagi para pengungsi tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan fisik mereka. Mereka juga butuh pengetahuan membaca isyarat alam yang memampukan mereka memiliki harapan akan kehidupan yang nyaman.
Dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru 4 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar