Oleh: Jannerson Girsang
Segan dan enggan bertanggungjawab. "Bukan saya..." jadi kalimat populer di banyak instansi di negeri ini. Kalau ada pekerjaan yang tidak beres, semua saling tuding, semua saling menyalahkan.
Suatu ketika tejadi kerusakan pada sebuah bangunan proyek yang baru saja diresmikan. Di dalam sebuah ruangan di kantor instansi pemerintah, terdengar dialog antara atasan dan bawahan. .
"Kenapa sampai terjadi kerusakan, padahal proyek baru saja diresmikan?." keluh sang Pimpro.
"Itulah Pak. Bukan saya Pak. Anak buah saya memang brengsek semua, karena mereka diangkat atas rekomendasi "bos" tertinggi kita," ujar anak buah Pimpro yang menangani bagian yang rusak itu.
Kemudian Kepala Dinas masuk dan marah-marah. Sambil bertolak pinggang dia melontarkan kekesalannya kepada sang Pimpro.
"Saya bilang sekali lagi yah. Saya tidak habis pikir, proyek yang saya resmikan kemaren rusak. Dimana tanggungjawabmu?"
Sang Pimpro kaget dan tidak mau kalah. Dia bangkit berdiri dan menuding Kepala Dinasnya tak becus.
"Bukan saya Pak. Anggaran yang bapak turunkan kan tidak sampai memenuhi bestek. Jadi, saya tidak mampu membangun dengan bangunan standar," ujar sang Pimpro menyalahkan "bos"nya.
Sang bos keluar ruangan. Dari tiga oknum di atas, tak satupun mau bertanggungjawab atas dampak perbuatan mereka.
Proyek tersebut dibiarkan saja rusak, menunggu anggaran tahun berikutnya.
Jadi ingat apa yang dikatakan Mochtar Lubis. Banyak manusia Indonesia kini segan, dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusannya, pikirannya, dan sebagainya.
"Bukan saya", adalah kalimat populer di sekitar kita, untuk sebuah pekerjaan yang tidak beres.
Tapi sebaliknya. Kalau proyek berhasil, maka semua akan mengaku, "Kalau bukan Saya...".
Semua pengen tampil ke depan menerima tepuk tangan, penghargaan...! Yang tak berhubungan dengan pekerjaan itupun dikaitkaitkan supaya dapat penghargaan!.
Foto selfilah dll, seolah dialah yang paling berjasa!
Medan, 25 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar