Oleh : Jannerson Girsang
27 Nopember 2009 sepanjang hari cuaca begitu cerah di Medan. Secerah suasana hati rekan-rekan saya yang beragama Islam dalam menyambut Hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha, tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi umat Muslim. Tetapi juga bagi tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama. Rumah kami bersebelahan dengan pak Halim, seorang Muslim.Sebagai tetangga, kami sekeluarga yang beragama Kristen turut merasakannya.
Warga Muslim berbondong-bondong menuju sejumlah mesjid. Ketika saya keluar rumah, pembagian daging kurban sudah mulai terlihat di beberapa tempat. Arus lalulintas di Kota Medan di Hari Raya Idul Adha 1430H, terlihat sedikit lengang di pagi hari. Warga cukup antusias menyambut dan melaksanakan solat Idul Adha.
Sepulang dari diskusi finalisasi sebuah buku otobiografi, sore hari, ibu Yuli, istri pak Halim menghampiri saya, tidak lama setelah memarkir mobil. Beliau menyapa dengan muka ceria. "Pak Girsang, mana ibu,"ujar ibu Yuli sambil tersenyum, seraya menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Saat itu, istri saya sedang tidak berada di rumah. Dia keluar bersama anak bungsu saya memanfaatkan libur hari Raya Idul Adha dengan jalan-jalan. Mungkin beberapa jam sebelumnya, ibu Yuli sudah mencari-cari kami. "Dari tadi rumahnya tutup ya," katanya.
Saya menerima bungkusan plastik itu dengan rasa senang yang luar biasa, karena bungkusan seperti itu, layaknya tahun-tahun sebelumnya, pasti berisi daging sapi. Berkat luar biasa bagi kami di saat tetangga kami merayakan Idul Adha.
Benar saja. Ketika bungkusan ini saya buka, isinya adalah daging sapi yang cukup untuk lauk dua kali makan bagi kami bertiga dengan istri dan anak bungsu saya. Kami ikut merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Adha melalui tetangga kami yang luar biasa baiknya. Bukan soal nilai daging sapinya, tetapi perhatiannya.
Tiga anak saya di Jakarta, pernah merasakan pemberian ibu Yuli. Istri saya memberitahukan bahwa kami sudah menerima daging kurban Idul Adha dari ibu Yuli. "Salam sama ibu Yuli ya bu," demikian jawaban mereka kepada istri saya.
Mendengar hal itu, mereka turut memaknai perayaan Idul Adha. Meski mereka tidak ikut menikmati daging pemberian bu Yuli, tetapi anak-anak saya ikut merasakan kebahagiaan yang kami nikmati.
Setiap tahun, pada Hari Raya Idul Adha, ibu Yuli selalu menyisihkan daging sapi bagi kami. Meskipun kami bukan Muslim. Ibu Yuli melakukan hal yang sama, sejak 1996, awal kami mulai bertetangga. Kami merasakan sebuah kedamaian bertetangga sesama umat yang berbeda agama. Kami tidak pernah terkungkung oleh perbedaan, tetapi kami melihatnya sebagai sebuah karunia Tuhan.
Saya teringat pengalaman saya di Ciamis, Jawa Barat di era 1980-an, ketika kami bertugas di sana. Almarhum Haji Badrudin pemilik rumah kos yang kami tempati di Jalan Sudirman 132 di kota itu, senantiasa menyisihkan daging kurban Idul Adha kepada keluarga kami. Begitu indahnya bertetangga andaikata kita memahami persamaan : saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Ibu Yuli dan pak Halim adalah keluarga yang sederhana dan berbahagia. Keduanya telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Saat mereka berangkat haji, kami juga diundang dalam acara selamatan. Ibu Yuli bekerja pada sebuah surat kabar dan suaminya pak Halim adalah seorang redaktur senior di salah satu surat kabar lokal berpengaruh di Medan.
Di Hari Raya Idul Adha ini, penting bagi kita semua untuk memikirkan cara-cara sederhana dalam bertetangga dan memelihara kedamaian dengan sesama. Kami merasakan makna dalam perbuatan, tanpa sibuk membahas hal-hal yang terkadang rumit. Mengambil cara sederhana, tetapi menciptakan suasana yang saling tergantung dan saling membutuhkan. Kami mampu melaksanakannya, meski kami tidak mengetahui secara mendalam soal teologis, karena kami memang bukan ahli agama.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai tetangga ibu Yuli dan suaminya menunjukkan sikap saling membutuhkan dan kedamaian yang menyejukkan hati. Hal-hal sederhana sering kami lakukan sesama tetangga. Kalau hujan datang dan kebetulan tidak ada orang yang tinggal di rumah kami, sementara ibu Yuli kebetulan di rumah, maka dengan cekatan dia akan mengamankan kain jemuran kami ke rumahnya. Kalau kebetulan salah seorang anak saya atau istri saya di rumah dan kejadiannya seperti di atas, maka mereka melakukan hal yang sama. Ujung-ujungnya, ibu Yuli pasti memberikan hadiah. Anak-anak saya acapkali menerima kiriman makanan atau apa saja dari ibu Yuli.
Sebagai tetangga, karena kesibukan masing-masing, maka kami hanya memiliki waktu tertentu untuk bersilaturahmi. Khususnya pada Tahun Baru dan Lebaran. Saat merayakan Tahun Baru, mereka berdua selalu berkunjung ke rumah kami. Sebaliknya, kami senantiasa berkunjung ke rumah mereka pada saat Lebaran. Memang, di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, kami kadang hanya sempat saling tegor atau "say hello". Tetapi memiliki makna persahabatan dan saling menghargai.
Selamat merayakan Idul Adha bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kita berbeda karena Tuhan menginginkan kita berbeda.
Marilah melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk membuahkan kedamaian dengan tetangga kita dan pada akhirnya kedamaian di bumi Indonesia ini.
Semoga kisah-kisah seperti ini bisa dialami oleh rekan-rekan saya sebangsa dan se tanah air.***
Tulisan ini dimuat di : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=36246:berkat-di-hari-idul-adha-&catid=78:umum&Itemid=139 dan harian Analisa Edisi 30 Nopember 2009 halaman 24.
2 komentar:
pluralism nice story :)
Semoga bermanfaat!
Posting Komentar