My 500 Words

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 November 2009

Berkat di Hari Raya Idul Adha (Harian Analisa, 30 Nopember 2009 halaman 24)

Oleh : Jannerson Girsang

27 Nopember 2009 sepanjang hari cuaca begitu cerah di Medan. Secerah suasana hati rekan-rekan saya yang beragama Islam dalam menyambut Hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha, tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi umat Muslim. Tetapi juga bagi tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama. Rumah kami bersebelahan dengan pak Halim, seorang Muslim.Sebagai tetangga, kami sekeluarga yang beragama Kristen turut merasakannya.

Warga Muslim berbondong-bondong menuju sejumlah mesjid. Ketika saya keluar rumah, pembagian daging kurban sudah mulai terlihat di beberapa tempat. Arus lalulintas di Kota Medan di Hari Raya Idul Adha 1430H, terlihat sedikit lengang di pagi hari. Warga cukup antusias menyambut dan melaksanakan solat Idul Adha.

Sepulang dari diskusi finalisasi sebuah buku otobiografi, sore hari, ibu Yuli, istri pak Halim menghampiri saya, tidak lama setelah memarkir mobil. Beliau menyapa dengan muka ceria. "Pak Girsang, mana ibu,"ujar ibu Yuli sambil tersenyum, seraya menyerahkan sebuah bungkusan plastik. Saat itu, istri saya sedang tidak berada di rumah. Dia keluar bersama anak bungsu saya memanfaatkan libur hari Raya Idul Adha dengan jalan-jalan. Mungkin beberapa jam sebelumnya, ibu Yuli sudah mencari-cari kami. "Dari tadi rumahnya tutup ya," katanya.

Saya menerima bungkusan plastik itu dengan rasa senang yang luar biasa, karena bungkusan seperti itu, layaknya tahun-tahun sebelumnya, pasti berisi daging sapi. Berkat luar biasa bagi kami di saat tetangga kami merayakan Idul Adha.

Benar saja. Ketika bungkusan ini saya buka, isinya adalah daging sapi yang cukup untuk lauk dua kali makan bagi kami bertiga dengan istri dan anak bungsu saya. Kami ikut merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Adha melalui tetangga kami yang luar biasa baiknya. Bukan soal nilai daging sapinya, tetapi perhatiannya.

Tiga anak saya di Jakarta, pernah merasakan pemberian ibu Yuli. Istri saya memberitahukan bahwa kami sudah menerima daging kurban Idul Adha dari ibu Yuli. "Salam sama ibu Yuli ya bu," demikian jawaban mereka kepada istri saya.

Mendengar hal itu, mereka turut memaknai perayaan Idul Adha. Meski mereka tidak ikut menikmati daging pemberian bu Yuli, tetapi anak-anak saya ikut merasakan kebahagiaan yang kami nikmati.

Setiap tahun, pada Hari Raya Idul Adha, ibu Yuli selalu menyisihkan daging sapi bagi kami. Meskipun kami bukan Muslim. Ibu Yuli melakukan hal yang sama, sejak 1996, awal kami mulai bertetangga. Kami merasakan sebuah kedamaian bertetangga sesama umat yang berbeda agama. Kami tidak pernah terkungkung oleh perbedaan, tetapi kami melihatnya sebagai sebuah karunia Tuhan.

Saya teringat pengalaman saya di Ciamis, Jawa Barat di era 1980-an, ketika kami bertugas di sana. Almarhum Haji Badrudin pemilik rumah kos yang kami tempati di Jalan Sudirman 132 di kota itu, senantiasa menyisihkan daging kurban Idul Adha kepada keluarga kami. Begitu indahnya bertetangga andaikata kita memahami persamaan : saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Ibu Yuli dan pak Halim adalah keluarga yang sederhana dan berbahagia. Keduanya telah menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Saat mereka berangkat haji, kami juga diundang dalam acara selamatan. Ibu Yuli bekerja pada sebuah surat kabar dan suaminya pak Halim adalah seorang redaktur senior di salah satu surat kabar lokal berpengaruh di Medan.

Di Hari Raya Idul Adha ini, penting bagi kita semua untuk memikirkan cara-cara sederhana dalam bertetangga dan memelihara kedamaian dengan sesama. Kami merasakan makna dalam perbuatan, tanpa sibuk membahas hal-hal yang terkadang rumit. Mengambil cara sederhana, tetapi menciptakan suasana yang saling tergantung dan saling membutuhkan. Kami mampu melaksanakannya, meski kami tidak mengetahui secara mendalam soal teologis, karena kami memang bukan ahli agama.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai tetangga ibu Yuli dan suaminya menunjukkan sikap saling membutuhkan dan kedamaian yang menyejukkan hati. Hal-hal sederhana sering kami lakukan sesama tetangga. Kalau hujan datang dan kebetulan tidak ada orang yang tinggal di rumah kami, sementara ibu Yuli kebetulan di rumah, maka dengan cekatan dia akan mengamankan kain jemuran kami ke rumahnya. Kalau kebetulan salah seorang anak saya atau istri saya di rumah dan kejadiannya seperti di atas, maka mereka melakukan hal yang sama. Ujung-ujungnya, ibu Yuli pasti memberikan hadiah. Anak-anak saya acapkali menerima kiriman makanan atau apa saja dari ibu Yuli.

Sebagai tetangga, karena kesibukan masing-masing, maka kami hanya memiliki waktu tertentu untuk bersilaturahmi. Khususnya pada Tahun Baru dan Lebaran. Saat merayakan Tahun Baru, mereka berdua selalu berkunjung ke rumah kami. Sebaliknya, kami senantiasa berkunjung ke rumah mereka pada saat Lebaran. Memang, di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, kami kadang hanya sempat saling tegor atau "say hello". Tetapi memiliki makna persahabatan dan saling menghargai.

Selamat merayakan Idul Adha bagi rekan-rekan saya yang beragama Islam. Semoga Idul Adha tahun ini menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kita berbeda karena Tuhan menginginkan kita berbeda.

Marilah melakukan tindakan-tindakan sederhana untuk membuahkan kedamaian dengan tetangga kita dan pada akhirnya kedamaian di bumi Indonesia ini.

Semoga kisah-kisah seperti ini bisa dialami oleh rekan-rekan saya sebangsa dan se tanah air.***

Tulisan ini dimuat di : http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=36246:berkat-di-hari-idul-adha-&catid=78:umum&Itemid=139 dan harian Analisa Edisi 30 Nopember 2009 halaman 24.

Selasa, 06 Oktober 2009

Belajar Hidup Dari Kisah Hidup

Oleh : Jannerson Girsang 

Sergio Asteriti biography
Sumber foto:  http://www.illustrationartgallery.com/acatalog/ArtistsBiographies.html

Membaca buku biografi dan otobiografi adalah pengalaman mengesankan bagi saya. Berbagai pengalaman tokoh dalam biografi dapat memberi ilham saat menghadapi masalah hidup.

Membaca buku Biografi Mahatma Gandhi, Muhammad Hatta, Soekarno, misalnya. Kehidupan Mahatma Gandhi mengajarkan soal ahimsa--memilih cara damai dan menjauhkan kekerasan, kesederhanaan, uang bukan segalanya dalam hidup. Buku Biografi Muhammad Hatta mengajarkan kesabaran menghadapi situasi, soal konsep hidup secara adil dan beradab. Buku-buku Biografi Soekarno mengajarkan kami pentingnya ide-ide besar disampaikan ke tengah-tengah masyarakat baik melalui lisan (pidato-pidato, pembicaraan langsung) maupun secara tulisan, soal pentingnya seseorang pemimpin menguasai persoalan bangsanya, soal perjuangan, nasionalime dan idealisme. Menuju kemenangan, mencapai keagungan yang mereka raih di kemudian hari, buku-buku ini mengajarkan sebuah kerja keras, konsistensi, dan ketekunan.

Belakangan, ketika sudah memahami kemajuan teknologi internet dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, saya membaca kisah Larry Page dan Sergey Brin, dua orang pencipta Google, (The Succes story of Google), atau Mark Elliot Zuckerberg pencipta Facebook.

Kisah dua orang pendiri Google mengajarkan saya betapa pentingnya “rencana bisnis jitu” yang menginsipirasi para pemodal menanam modalnya. Sayangnya, kisah terciptanya Google dan Facebook sendiri jarang dikomunikasikan kepada generasi muda di daerah ini. Perjuangan, tantangan mereka seharusnya meinginspirasi para anak-anak muda kita. Ingin seperti mereka, harus mau belajar dan bekerja seperti mereka.

Pengantar di atas adalah pengalaman membaca kisah hidup, yang kami alami. Pasti berbeda dengan pengalaman anda!

Secara umum, buku kisah kehidupan (Biografi atau otobiografi) merekam kehidupan seseorang : tindakan-tindakannya, peristiwa yang dialaminya, pemaknaan atas tindakan-tindakannya dan peristiwa itu sendiri, dalam mengarungi rangkaian masa yang berubah.

Buku jenis ini semakin banyak diminati. Anda bisa saksikan sendiri semakin membanjirnya buku-buku biografi dan otobiografi di toko-toko buku. Ratusan ribu judul buku biografi ditulis di berbagai negara dunia ini setiap tahun.

Apa yang istimewa dalam buku ini, sehingga banyak orang menyukainya?.Buku jenis ini menawarkan Anda menemukan kisah sukses, gagal, sedih, senang, bersemangat, lesu, kiat baru dan lain-lain. 

Pelaku-pelaku mulai dari tokoh-tokoh terkenal: pemimpin-pemimpin pemerintahan, tokoh politik, pemimpin agama, pengusaha, para humanis, sampai kisah ibu-ibu rumah tangga. Kisahnya diramu dengan gambaran soal ruang, waktu, dan suasana yang menciptakan kisah yang hidup, seolah pembaca terlibat dalam kisah yang dibacanya.

Dengan membaca buku biografi atau otobiografi Anda bisa menyerap pengalaman seseorang dalam merenungkan arti hidup dengan tepat, melakukan tindakan yang tepat, (terkadang anda dihipnotis dengan bagaimana Tuhan berperan dalam hidupnya). Proses seseorang keluar dari himpitan kehidupan yang menyesakkan, begitu mengasyikkan. Hingga anda tidak ingin menyelesaikannya sebelum cerita berakhir, bahkan kadang lupa makan dan minum.

Anda belajar memahami bahwa keberhasilan terjadi saat seseorang terbuka dan rela melawan pikiran ”tidak bisa berubah” dan apatis. Seberapa beratpun beban Anda, semuanya sudah pernah dialami orang lain—hanya waktu, tempat dan suasananya yang berbeda. 

Singkatnya, Biografi membantu menginsiprasi Anda mencari jalan keluar dari berbagai kesulitan hidup. Anda akan terkesima ketika tokoh berkata :”Sesuatu akan Indah pada Waktunya”. Sikap yang sulit dipahami seseorang yang sedang dalam kesulitan bahkan hampir menghadapi rasa frustrasi.

Buku biografi menawarkan Anda menemukan banyak hal yang mengejutkan. Anda bisa belajar melihat keunggulan orang lain sekaligus melihat keunggulan Anda sendiri. 

Hal yang perlu kita galakkan saat ini, menghindari sikap ”iri”, mengklaim ketokohan diri sendiri dengan meremehkan orang lain. Biarlah orang besar dengan kebesarannya, carilah keunggulan anda supaya bisa menjadi besar dalam kebesaran anda sendiri. 

Membaca biografi, Anda terlatih melihat keunggulan orang lain, sekaligus belajar melihat banyak kelebihan yang Anda miliki.

Setelah membaca, Anda mungkin akan menyimpulkan, "Aduh, kalau melakukan yang seperti ini, saya juga bisa, mengapa tidak saya mulai?”. Atau suatu saat, Anda akan berujar : ”Memang hebat orang ini, bagaimana saya bisa menciptakan yang berbeda dengan cara saya sendiri!”. 

Ketika Anda mengalami hinaan orang, dan membandingkan pengalaman seseorang dalam buku biografi, Anda bisa berujar, ”Ternyata hinaan ini tidak seberapa, ketimbang tokoh yang kubaca”. Sehingga suatu saat Anda semakin kuat dan bisa mengatakan ”untunglah anda menghina saya, kalau tidak saya tidak akan jadi seperti ini”. ”Untunglah guru saya dulu tidak mengizinkan saya sekolah di sana, kalau tidak saya pasti hanya sebagai gemble”. 

Biografi banyak mengajarkan saya memaknai sebuah kesalahan, kegagalan menjadi sebuah berkah!. Tidak justru asyik dengan mencari kambing hitam, tetapi belajar dari kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. 

Selain itu, dengan seringnya anda membaca buku jenis ini, Anda akan berminat memahami seseorang lebih mendalam. Anda akan berlatih menilai seseorang secara obyektif, tidak hanya mengenal seseorang seperti ”kucing dalam karung”, kemudian menciptakan persepsi dan stigma-stigma menurut pemahaman sendiri.

Anda akan belajar, bagaimana seseorang sampai mencapai kondisinya seperti sekarang? Tidak cukup hanya menilai seseorang baik--sesaat setelah membagi-bagikan sesuatu, tanpa memahami seseorang dengan baik. Mengapa ia sampai mampu dan mau membagi-bagikannya, itulah pertanyaan kristis yang dijawab dalam buku biografi-atau otobiografi.

Membaca puluhan buku biografi, serta membudayakan anak-anak membaca buku biografi, dampaknya terasa pada ketahanan mereka menghadapi tantangan hidup. Ketika kami mengalami kesulitan keuangan, anak-anak maklum, ketika mereka harus bekerja atau belajar dalam kondisi stress, mereka lebih kuat.

Bahkan buku-buku seperti ini mampu mengajarkan anak-anak memahami masa depan mereka. Sukses hanya bisa dicapai dengan kerja keras, ketekunan dan fokus. Tidak semata mengandalkan KKN.

Mereka belajar secara nyata arti gagal, dan berhasil melalui kehidupan nyata seseorang. Buku jenis ini mengisahkan bahwa kegagalan hanyalah sebuah tahapan proses kehidupan memulai keberhasilan baru. 

Gagal, bukan tindakan yang harus mendapat hukuman!. Ada pelajaran berharga di dalamnya. Sukses adalah sebuah keagungan, dimana seseorang bisa memberi lebih banyak kepada orang lain, bermanfaat bagi orang lain.

Pengalaman kami, mengajak anak-anak dan keluarga membaca buku biografi yang ditulis dengan kaidah-kaidah yang benar, bisa menjadi salah satu alternatif menangkal kehidupan khayalan yang banyak disiarkan televisi melalui ”sinetron” yang banyak menawarkan ”impian”, bukan kehidupan ”nyata” yang membumi.

Memperkenalkan buku biografi tokoh-tokoh di sekitar kita, bisa memotivasi minat baca di kalangan keluarga. Sekaligus mengetahui lingkungan sekitarnya—yang dekat dengan mereka. Sayang, banyak buku biogafi yang beredar di sekitar kita berasal dari terjemahan sukses di negeri orang. Sehingga tidak bisa banyak diserap oleh anak-anak dalam membentuk watak keindonesiaannya. Alangkah baiknya kalau mereka diberikan kisah kehidupan nyata di sekitarnya.

Singkatnya, dengan membaca biografi, Anda bisa membuat hidup lebih berarti.Rajinlah membaca biografi. 

Tak perduli kehidupan orang besar atau orang tidak terkenal. Apakah ditulis seorang penulis terkenal atau penulis pemula. Dengan gaya sastra modern atau tulisan yang sederhana sekalipun. 

Ini pengalaman pribadi saya, silakan mencoba memulainya!

Tulisan ini diilhami oleh Action Principle, http://billfitzpatrick.com


Selasa, 25 Agustus 2009

Belajar Demokrasi dan Membangun Bangsa

Oleh : Jannerson Girsang

Beberapa hari menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-64, bangsa Indonesia menerima kado demokrasi, sekaligus sebuah pembelajaran berdemokrasi dan kedewasaan menghadapi sebuah kekalahan. MK memutuskan menerima hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan menggugurkan gugatan dua pasangan Capres dan Cawapres. Keputusan ini sekaligus mengukuhkan SBY-Budiono melenggang maju menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang rencananya akan dilantik Oktober mendatang.

Jumat, 21 Agustus 2009

Toping-toping and Huda-Huda from Simalungun

By Jannerson Girsang


Entering 21th century, the Simalungun ethnic still performs ancient culture, called Toping-toping and Huda-Huda. It can be seen in few remote villages of Simalungun District, North Sumatra, Indonesia.  It is one of hundreds of different funeral rituals founded in the country.

Rabu, 15 April 2009

ASIAN IDOL DAN PEMILU

“Budaya Mengakui Kekalahan”

Oleh : Jannerson Girsang

Menjelang 9 April 2009, saat sekitar lebih dari 9 juta lebih  pemilih di provinsi ini akan memasuki TPS menentukan nasib legislative periode 2009-2014 (DPD, DPR-RI, DPRD Tingkat I dan DPRD tingkat II), rasanya perlu mengingatkan kepada kita semua akan budaya menghargai sesama—baik yang kalah maupun yang menang. Yang kalah mengakui kekalahannya dan yang menang kita himbau jangan terlalu overacting!. Agar kita mulus menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) yang tidak lama akan menyusul.

Ribuan caleg di daerah ini, sudah mengeluarkan energi, uang dan pengorbanan lainnya yang cukup besar. Harus disadari bahwa hanya sedikit yang terpilih. DPD misalnya, dari 38 perserta hanya terpilih empat pemenang. Demikian juga caleg lainnya, persentasi yang menang kecil. Itulah sebabnya, sejak sekarang, persiapkanlah diri untuk menerima hasil dan tenangkan jiwa
Sambil menunggu proses pemilihan di kotak suara, ada baiknya kita semua (pemilih, penyelenggara pemilu, para caleg, partai-partai), kami mengajak anda sejenak bercermin pada Penyelenggaran Asian Idol—yang diselenggarakan di Indonesia, tetapi pemenangnya adalah Singapura.

Mudah-mudahan para pemirsa setia TV Nasional masih ingat peristiwanya. Saat itu, Minggu malam 16 Desember 2007. Melalui siaran langsung sebuah televisi swasta nasional dari Istora Senayan, kami menyaksikan siaran langsung Asian Idol--sebuah ajang kompetisi menyanyi dengan format idol series. Enam negara Asia yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam dan India. Indonesia ikut dalam kompetisi itu. Kemampuan kita melaksanakan sebuah kompetisi yang fair dan terbuka, serta mengakui kekalahan dengan lapang dada, terbukti dalam kompetisi itu!.

Pemenangnya Singapura!

Peserta kampanye Pemilu, layaknya finalis-finalis Asian Idol mengikuti kampanye yang melelahkan. Dalam kampanye yang lalu, ada yang menghabiskan ratusan juta bahkan mendekati atau lebih dari satu miliar. Harapannya adalah peningkatan status atau mempertahankan status seandainya tentu merupakan cita-cita setiap caleg, selain berbakti kepada bangsanya. Yang terakhir ini hanya dimiliki sedikit calon.
Menurut jadwal, hampir 7 bulan melakukan kampanye dan beberapa minggu kampanye terbuka. Sama seperti peserta Asian Idol, mereka juga selama dua minggu mengikuti seleksi. Akhirnya, terpilihlah Hadi Mirza—penyanyi asal Singapura sebagai Asian Idol. Saat pengumuman pemenang tiba, semua bergembira dan semua setuju. Tidak ada kontroversi. Meskipun Hadi Mirza sebelumnya tidak pernah disebut-sebut sebagai unggulan. Bahkan, setelah keenam peserta Asian Idol menyanyikan lagu terakhir mereka : “To Tell Me that You Love Me” (Katakan bahwa Kau Mencintaiku), nama-nama seperti Jaclyn Victor dari Malaysia, Mike Mohede dari Indonesia, Mau Marcello dari Filippina oleh pembawa acara sering disebut-sebut sebagai calon kuat pemenang.
Belajar dari sana, perlu diingatkan agar para peserta jangan mentang-mentang sudah mampu membuat banyak iklan, menebar pesona dan sumbangan, pada saat kampanye pesertanya membludak, jangan langsung percaya diri (PD) jadi pemenang. Dalam Asian Idol di atas, penentu tidak hanya juri ketika festival berlangsung tetapi juga sms dari pemirsa. Di atas pentas, memang pembawa acara sendiri seolah berpihak pada beberapa orang dengan menyebut-nyebut nama. Tapi, justru pemirsa televisi, atau rakyat yang berada di luar panggunglah yang menentukan. Kalau dalam Pemilu adalah ”rakyat” di TPS—tidak ada yang lebih berhak dari mereka!. Orang yang tidak dekat dengan rakyat, pasti kalah. Kecuali kalau ada ”embel-embel” lain di luar aturan.
Di luar dugaan, Hadi Mirza terpilih sebagai pemenang. Bahkan dia sendiri tidak menduga. Sesaat setelah pengumuman, beberapa detik dia terdiam mengekspresikan kekagetannya. Kedua tangan menutup matanya, berlutut, menunduk dan merapatkan kepalanya ke lututnya. Kemudian, bangkit dan lantas menggelengkan kepalanya, menunjukkan rasa tidak percayanya atas kemenangannya itu. Tidak berjingkrak-jingkrak kesetanan. Tidak overacting!
 Menyaksikan sikapnya itu, kelima finalis lainnya berlaku sangat gentlement. Memandangnya sesaat. Kemudian, secara spontan memberi selamat. Bahkan Mike Mohede dari Indonesia yang saat itu berdiri di belakang Hadi Mirza, mengangkatnya tinggi-tinggi. Sebuah ungkapan kegembiraan atas terpilihnya saingan beratnya sebagai pemenang.
Sebuah tontonan yang menarik!. Ekspresi kekalahan dan kemenangan dengan kebahagiaan untuk semua peserta. Kelima lawan tanding Hadi Mirza, Mike Mohede (Indonesia), Ahijeet Sawant (India), Jaclyn Victor (Malaysia), Mau Marcello (Filippina) dan Phuong Vy terlihat begitu tulus dan antusias memberi semangat padanya, tanpa sedikitpun raut wajah kekecewaan.
Kuncinya, mereka yakin kemenangan ditetapkan tanpa praduga ”rekayasa” dari pihak manapun. Masing-masing sadar dan percaya pada penentuan kemenangan yang ”fair”. Dari tempat duduknya masing-masing ribuan penontonpun—mungkin sebagian juga pendukung kelima peserta, memberi applaus berupa tepuk tangan yang riuh, tapi tertib.
. ”Asia adalah pemenangnya”, demikian juri memaknainya saat mengumumkan pemenang. Mereka dipilih orang Asia, walaupun dari segi jumlah penduduk, negara yang diwakili Hadi Mirza bukan mewakili suara yang terbanyak. Singapura hanya sebuah pulau kecil dan dengan penduduk yang paling sedikit pula. Tapi dialah pemenangnya. Tidak ada yang menuduh panitia melakukan rekayasa. Perlu jiwa besar untuk menanggapi kekalahan atau kemenangan.

Kompetisi yang Sehat

Kompetisi sehat telah dipertunjukkan dengan sempurna. Para peserta berlaga dengan cara-cara yang sportif. Mereka diperkenalkan kepada publik dengan proporsi yang sama. Baik sebelum dan saat bertanding di panggung, mereka melakukan serangkaian kegiatan untuk mempromosikan dirinya kepada para penonton.
Semua peserta mendapat siaran televisi dan event-event yang berhubungan dengan seleksi dengan porsi yang sama . Tujuannya adalah agar semua peserta memiliki peluang yang sama menjangkau pemilih terbanyak tanpa sebuah perlakuan khusus.
Para peserta berjuang dan melakukan teknik-teknik atau strategi yang jitu menarik perhatian para penggemar mereka. Syaratnya tidak melecehkan atau memandang saingannya dengan sebelah mata.
Hal yang menarik lagi, sepanjang perjalanan para peserta sampai final, adalah rasa persaudaraan. Tidak ada yang menceritakan kejelekan-kejelekan lawannya untuk meraih kemenangan. Semua saling mendukung satu sama lain untuk menang. Dalam beberapa tayangan di televisi, para peserta terlihat saling memuji dan mengakui kelebihan masing-masing. Kebersamaan ini terlihat sampai pada akhir pertandingan. Hingga, Hadi Mirza terpilih sebagai pemenang, semua benar-benar saling memiliki rasa persudaraan. Percaya pada penyelenggara. Tentu sebuah contoh yang berbeda kalau dibanding Festival Film Indonesia (FFI) beberapa tahun lalu, yang masih menyisakan kontroversi, ketika seorang bintang dinyatakan sebagai pemenang.
Meski tidak sesederhana Asian Idol, pemilu yang akan berlangsung serentak di seluruh tanah air, seharusnya memegang prinsip-prinsip yang tidak jauh berbeda dengan Asian Idol. Menurut kami, semangat Asian Idol di atas adalah sebuah senjata berharga menjelang Pemilu dan Pilpres mendatang. Selayaknyalah semua calon bertanding dengan lawan tandingnya, tanpa berusaha mencari-cari kesalahan lawan, atau menjatuhkan lawan untuk tidak ikut bertanding.
Seorang calon harus siap menilai kelebihan perencanaan dan pelaksanaan strateginya dibanding pesaingnya sejak awal. Mulai dari membuat keputusan maju, membentuk tim sukses, membuat rencana kampanye, mengumpulkan dana, mencari dukungan minimal/persyaratan kampanye, pengumuman pencalonan, mengenal siapa pemilih potensial seorang calon, dan menetapkan targetkan pemilih dan memenangkannya, adalah serangkaian proses yang harus dilalui.
Susahnya, banyak peserta yang asal ikut. Tidak tau membuat perencanaan kampanye ikut caleg. Ada uang sedikit dan pernah aktif di masyarakat beberapa saat sebelum pencalonan, ikut caleg. Kalau calon seperti ini, memang sulit meyakinkannya untuk menerima kekalahan. Barangkali, rumah sakit jiwa akan menanti mereka!.
Satu hal yang penting adalah hendaknya seluruh pihak tunduk pada mekanisme yang telah ditetapkan, serta mempercayakan semuanya kepada lembaga yang telah ditunjuk untuk bertanggungjawab. Kalau KPU, Pemerintah dan semua penyelenggara Pemilu bertindak sebagai juri dan fasilitator yang baik, aturan kampanye ditegakkan dan diberlakukan untuk seluruh calon, dan rajin mensosialisasikan aturan serta memberdayakan rakyat menggunkakan hak pilihnya, maka Pemilu akan berlangsung secara demokratis. Hasilnya jelas ditentukan oleh rakyat. Belakulah prinsip demokrasi : dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Banyak contoh yang bisa kita tiru dalam praktek pemiluhan umum maupun pilkada. Kita masih baru saja mengikuti Pemilu Presiden di Amerika. Setelah Barrack Obama terpilih menjadi presiden; McCain—calon presiden yang kalah tak perlu mencari-cari kesalahan. Obama. Langsung merangkul dan mengucapkan selamat. Bahkan Hillary mengakui kekalahannya dan bersama-sama Obama yang mengalahkannya berjuang untuk kemenangan Obama.
Dengan versi yang berbeda dan cara yang lebih puitis dilakukan oleh Abdul Wahab Dalimunthe atas Syamsul Aridin. Dalam pengantarnya sebagai Ketua DPRD Sumut, ketika acara pelantikan Gubsu, Abdul Wahab Dalimunthe secara berkelakar mengatakan : “bagi kami yang kalah, ini adalah awal kemenangan, dan bagi yang menang, harus siap kalah lima tahun ke depan”. Bahkan dalam pemilihan gubernur DKI, pak Adang langsung memberikan ucapan selamat, meski ketika itu baru dalam tahap ”quick count”, belum pengumuman KPU.
Bercermin dari pelaksanaan Asian Idol, Pilpres Amerika, Pilkada DKI, Pilkada Sumut dan beberapa contoh Pemilu/Pilkada yang sudah berjalan, kita harapkan Pemilu kali ini akan menghasilkan para wakil rakyat dan presiden dan wakil presiden secara terhormat. ”Semuanya adalah pemenang”. Bagi yang kalah ingat kata-kata pak Abdul Wahab Dalimunthe: ”yang menang harus siap kalah lima tahun ke depan!. Yang sudah sempat jadi dermawan mendadak, teruskanlah kegiatan itu meskipun kalah. Yang sudah melaksanakan pekerjaan yang baik, teruskanlah kegiatan itu untuk rakyat yang sedang kesulitan. Niscaya,anda akan terpilih lima tahun mendatang. Kita doakan, semoga Pemilu 9 April 2009 sukses! (Harian Analisa, 6 April 2009)