Oleh : Jannerson Girsang
Belakangan ini kami acapkali bingung mengikuti pendapat atau komentar para pejabat, intelektual dan tokoh-tokoh kita. Makin menonton atau membaca media, makin bingung. Jangan-jangan memang makin sedikit kita yang memahami persoalan bangsa ini. Cara mengatasi persoalan terasa lamban dan berbelit-belit. Sejak Januari tahun ini, saya sudah hampir mual dengan tontonan yang membingungkan : DPT, kasus KPK, kasus Bank Century dan masalah lain yang sebenarnya sederhana (kalau kita tidak pura-pura bodoh). Tetapi justru berlarut-larut dan belum tau sampai kapan akan mencapai solusi yang menguntungkan rakyat banyak.
Di tengah-tengah rasa bingung itu, saya begitu tersentak membaca sebuah kisah yang dilaporkan Ingrier Dwi Wedhaswary di KOMPAS.com, berjudul: Kwik Kian Gie dan Ceritanya soal "Profesor Kodok"..., Kamis 19 Nopember 2009 (15.27).
Kami tidak hanya tersentak, tetapi sekaligus geli dan tergelitik, dan gamang. Simak ceritanya.
"Di pinggir kali, ada anak berusia 5 tahun, seorang profesor, dan anak jalanan berumur 14 tahun yang setiap hari ada di pinggir kali itu. Anak 5 tahun tanya ke profesor, 'Berapa kali lompatan yang dibutuhkan kodok untuk melompat ke seberang kali?" tuturnya, pada diskusi Membongkar Skandal Bank Century, Kamis (19/11) di Gedung DPR, Jakarta, seperti dikutip Kompas.com.
Ia melanjutkan, "Si profesor kodok menjawab, 'Kita lihat lebar diukur berapa senti kemudian dikalikan dengan panjangnya, baru tahu berapa lompatannya'. Jawaban profesor ini dibantah oleh anak 14 tahun. Anak itu bilang, 'Bapak salah, yang saya lihat hanya dua kali. Karena, setelah melompat sekali dan menyentuh air, kodoknya akan berenang. Kemudian, dia melompat sekali lagi ke daratan," papar Kwik.
Dari cerita tersebut, laporan itu menyebutkan, Kwik ingin menggambarkan bahwa si anak yang berusia 14 tahun lebih mengetahui dari apa yang dilihatnya di lapangan dibandingkan sang profesor.
Bayangkan, kalau hanya menjawab berapa kali katak melompat di sebuah sungai saja, harus dengan penelitian, wah..wah..wah. Betapa mubazirnya!. Tentu ini analogi. Betapa kita sering membuat rumit, sebuah masalah yang, bisa karena ketidaktahuan atau pura-pura tidak tau. Mudah-mudahan pernyatan Kwiek ini hanya rekaannya saja.
Kita begitu akrab dengan feasibility studylah, road maplah, rencana strategislah,padahal tidak didukung data yang akurat dan pemahaman lapangan yang arif bahkan seringkali mengabaikannya. Membentuk tim-tim yang hanya sekedar menunjukkan peka terhadap persoalan, dan acapkali tidak disertai tindakan yang benar-benar menyelesaikan masalah mendadasar. Bahkan yang memalukan, kadang memecahkan persoalan meng ”copy paste” teori, tanpa didasari data aktual dan kearifan.
Begitu banyak cara bertindak pemimpin di negeri ini seperti kisah di atas, seperti yang disinyalir Kwiek, "pura-pura bodoh atau bodoh betul". Betapa negeri ini akan kehilangan momentum di tengah-tengah era globalisasi yang serba cepat dan tepat.
Persoalan sederhana, yang memerlukan tindakan sederhana, justru disikapi dengan melakukan tindakan yang rumit dan berbelit-belit. Padahal, banyak warga bangsa ini yang mengetahui persoalan, seperti anak kecil di pinggir sungai tadi yang tidak dimanfaatkan.
Turunlah ke lapangan, atau gunakanlah staf anda yang memahami lapangan. Jangan bicara tanpa fakta yang didalami secara benar apalagi mengambil keputusan berdasarkan teori belaka. Jangan hanya duduk manis di belakang komputer di ruangan ber AC sambil minum kopi dingin.
Kita berharap, kisah ini menjadi peringatan tidak hanya bagi profesor yang kebetulan menjadi birokrat, tetapi juga bagi para intelektual, pejabat, dan khususnya mereka yang melayani masyarakat banyak, yang cara bertindaknya seperti kisah di atas.
Sekali lagi, mudah-mudahan analogi Kwik ini tidak benar. Kalau ini benar, maka ke depan Indonesia akan memiliki idiom baru yang tidak enak : Profesor kodok!. Padahal professor erat kaitannya dengan kata-kata Nobel, penemuan baru, solusi yang memberi kemaslahatan bagi umat manusia.
Pedas memang, tetapi ”Jangan jawab dengan kata-kata, tetapi jawab dengan tindakan nyata”, sebagaimana diingatkan SBY kepada para menteri pada Pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu yang lalu.
Selesaikanlah persoalan mendasar bangsa ini dengan tindakan arif, bukan dengan pura-pura bodoh atau bodoh betul, seperti kata Kwiek.
1 komentar:
Komentar saya ini masih tetap berkaitan dengan cerita di atas namun mencoba melihat dari perspektif yang berbeda.
Saya sangat setuju analogi yang terkandung dalam cerita diatas dimana ada masalah yang sederhana diselesaikan dengan formula yang rumit dan jika tidak salah bahwa yang membuat rumit (professor) adalah pemerintah dan anak kecil itu adalah pengamat. Menurut saya itu bisa dilihat berbeda, dimana si prof itu adalah para pengamat yang dengan seenaknya membuat hitungan-hitungan berdasarkan logika mereka (yang kalau salah juga tidak perlu dipertanggung jawabkan) dan anak kecil tersebut adalah pemerintah yang melihat permasalahan tersebut dari pengalaman sehari-hari (jadi bukan teori-teori saja). Misalnya untuk bank Century, prof Kodok akan mendongeng dengan teorinya (seperti mengkaji nomor Porkas yang sudah keluar, dimana semuanya cocok dengan ramalan gunung kawi)tanpa melihat kenyataan pada saat itu persisnya seperti apa. Di lapangan itu cukup rumit dan kadang text book tidak serta merta dapat diaplikasikan untuk menyelesaikannya. Apalagi Kwik yang sudah pernah menjadi pejabat (walaupun tidak sukses seperti dia mengulas di luaran)harusnya lebih memahami hal-hal seperti ini.
yah kita lihatlah akan seperti apa negara ini jika semuanya merasa paling pintar.
Posting Komentar