My 500 Words

Tampilkan postingan dengan label sosialita dan komunikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosialita dan komunikasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 November 2009

Si Dul Anak Sekolahan

Oleh : Jannerson Girsang

26 Nopember 2009, saat hati saya geram menonton tayangan rangkaian diskusi kisah kisruh KPK-Polri, kasus Bank Century belakangan ini di berbagai stasion televisi kita, tiba-tiba anak perempuan saya mengirim sms dari Jakarta. ”Pak, ada si Dul di acara Bukan Empat Mata”. Begitu pentingnya sinetron ini bagi keluarga kami, begitu pahamnya dia bapaknya penggemar sinetron yang mampu menarik rating tinggi yang menampilkan kehidupan keluarga Betawi ini.

Terang saja, saya langsung switch ke Trans-7. Untunglah ada acara semacam ini. Kalau tidak, otak saya terus terkontaminasi dengan berita-berita ”kosong” yang justru sangat digemari televisi kita, kadang hanya pertimbangan rating tanpa memperdulikan peran ”pencerahan” bagi pemirsa yang melekat pada dirinya.

Sinetron Si Dul mampu membuat pencerahan, hiburan bagi saya dan jutaan penduduk bangsa ini, sekligus mencintai sinetron Indonesia. Saat masa tayang sinteron ini berlangsung beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah absen menonton setiap episode, dari lebih seratus episode yang ditayangkan. Bahkan pemutaran ulang sekalipun masih kami tonton.

Kalau Bob Tutupoly menjadi penyanyi idola Indonesia saya, Koes Plus jadi band idola, maka sinetron yang paling saya kagumi adalah Si Dul Anak Sekolahan. Di mata saya, belum ada sinetron yang bisa menyaingi mereka, hingga saat ini.

Saya yakin jutaan penduduk Indonesia lainnya, menggemari sinetron yang berbobot ini. Konon, almarhum mantan presiden RI, almarhum Suharto sangat menggemari sinetron ini. Bahkan sempat mengundang berapa pemainnya bersilaturahmi ke rumahnya di Cendana. Pemain-pemainnya juga menjadi icon beberapa lembaga internasional sebagai aktor kampanye program mereka.

Begitu mendalam kesan saya dengan sinetron ini, tampilnya para pemain si Dul Anak Sekolahan dalam acara Bukan Empat Mata Trans-7 malam itu, sungguh-sungguh mengesankan sekaligus melepas rindu melihat Rano, salah seorang bintang remaja yang tidak hanya ganteng tetapi seorang bintang berotak pintar. Di masa saya SMA Rano adalah idola kami. (Usia saya setahun lebih tua dari Dul. Dia sekolah di SMA Bulungan, saya di SMA 22 Utan Kayu, Jakarta).

Saking kagumnya, saya harus menuliskannya dalam blog ini, supaya tidak lupa mereka. Sekaligus mengajak pembaca mampu melihat hal-hal yang bernilai dari bangsa ini.

Lima karakter yang tampil malam itu adalah Mandra, Atun, Si Dul, Yuyun, dan Mak Nyak. Acara Bukan Empat Mata, layaknya menampilkan sinetron si Dul Anak Betawi, episode ”Si Dul di Trans-7”. Kasihan bintang tamu yang lain. Koordinator acara mestinya tidak mengundang tamu lain, karena menjadikan mereka seolah tidak dianggap, he.he.he!

Para pemain layaknya seperti sebuah keluarga. Mereka saling mengasihi dan saling merindukan. Acara malam itu layaknya silaturahmi diantara pemain-pemain. ”Senang ketemu anak-anak. Sudah lama tidak ketemu,”ujar Mak Nyak, tak mampu menahan air matanya meleleh, pertanda rasa haru.

Pada acara santai yang dipandu Tukul ”Arwana”—salah seorang pembawa acara idola saya, didampingi Bella Safira, para pemain si Dul tampil sempurna. Saya seolah menonton si Dul, minus Pak Haji (Benyamin Sueb), Karyo (Basuki) yang sudah meninggal, serta minus kakter lainnya yang mungkin tidak diundang atau berhalangan hadir, seperti Munaroh pacar Mandra, atau Sarah .

Sinetron Si Dul Anak Betawi diambil dari kisah kehidupan warga Betawi itu, syarat dengan kondisi sosial masyarakat Betawi. Benar-benar mengenalkan saya sebuah sinetron yang bermutu. Dia digemari mulai dari anak-anak, pemuda, orang tua, bahkan kakek nenek.

Dari perbincangan santai dan kocak itu, terbetik cerita menarik. Sinetron si Dul Anak Betawi—yang pernah ditolak stasion televisi nasional ini, memang menampilkan hampir semua pemainnya menjadi pemeran utama. ”Di si Dul tidak ada peran utama. Semua menjadi peran utama,” kata Rano Karno. Bahkan Yuyun bilang : ”Saya besar karena main di sinetron ini”

Sinetron yang sarat dengan kondisi sosial masyarakat membuatnya tidak hanya kocak, tetapi lebih berbobot. Dalam acara itu, cuplikan sinetron si Dul sempat ditayangkan. Simak saja dialog Benyamin Sueb dengan si Dul. ”Ngapain gue sekolahin lu ke sekolah tinggi, lebih baek gue pake buat naik haji ame nyak lu,” ujar Benyamin yang meskipun sudah meninggal rasanya masih hidup.

Bisakah sinetron Indonesia menampilkan cerita lokal yang menarik dan bermutu?. Jawabnya bisa. Bisakah cerita lokal menarik pemirsa menonton televisi?. Jawabnya juga bisa. Bisakah sinetron Indonesia dengan cerita lokal menampilkan tontonan mendidik? Jawabnya juga bisa?.

Rano pasti bisa. Tapi apa mungkin ya, dia kan anggota parlemen. Saya lega, karena Rano Karno masih bisa bergurau. ”Kalau udah gini, kayaknya mau bikin sinetron lagi nih,”ujar Rano Karno. Paling tidak dia masih ada keinginan.

Mudah-mudahan gurauannya menjadi kenyataan. Buat sinetron baru dong Dul, pasti laris!. Gantiin tuh sinetron-sinetron kacangan yang hanya menampilkan ”kecantikan”, ”kemewahan” dan ”kekerasan” yang banyak merusak generasi muda kita.

Saya pasti akan promosi kalian melalui Blog ini.


Jumat, 20 November 2009

Cerita Profesor Kodok: Semoga Tidak Benar!

Oleh : Jannerson Girsang

Belakangan ini kami acapkali bingung mengikuti pendapat atau komentar para pejabat, intelektual dan tokoh-tokoh kita. Makin menonton atau membaca media, makin bingung. Jangan-jangan memang makin sedikit kita yang memahami persoalan bangsa ini. Cara mengatasi persoalan terasa lamban dan berbelit-belit. Sejak Januari tahun ini, saya sudah hampir mual dengan tontonan yang membingungkan : DPT, kasus KPK, kasus Bank Century dan masalah lain yang sebenarnya sederhana (kalau kita tidak pura-pura bodoh). Tetapi justru berlarut-larut dan belum tau sampai kapan akan mencapai solusi yang menguntungkan rakyat banyak.

Di tengah-tengah rasa bingung itu, saya begitu tersentak membaca sebuah kisah yang dilaporkan Ingrier Dwi Wedhaswary di KOMPAS.com, berjudul: Kwik Kian Gie dan Ceritanya soal "Profesor Kodok"..., Kamis 19 Nopember 2009 (15.27).

Kami tidak hanya tersentak, tetapi sekaligus geli dan tergelitik, dan gamang. Simak ceritanya.

"Di pinggir kali, ada anak berusia 5 tahun, seorang profesor, dan anak jalanan berumur 14 tahun yang setiap hari ada di pinggir kali itu. Anak 5 tahun tanya ke profesor, 'Berapa kali lompatan yang dibutuhkan kodok untuk melompat ke seberang kali?" tuturnya, pada diskusi Membongkar Skandal Bank Century, Kamis (19/11) di Gedung DPR, Jakarta, seperti dikutip Kompas.com.

Ia melanjutkan, "Si profesor kodok menjawab, 'Kita lihat lebar diukur berapa senti kemudian dikalikan dengan panjangnya, baru tahu berapa lompatannya'. Jawaban profesor ini dibantah oleh anak 14 tahun. Anak itu bilang, 'Bapak salah, yang saya lihat hanya dua kali. Karena, setelah melompat sekali dan menyentuh air, kodoknya akan berenang. Kemudian, dia melompat sekali lagi ke daratan," papar Kwik.

Dari cerita tersebut, laporan itu menyebutkan, Kwik ingin menggambarkan bahwa si anak yang berusia 14 tahun lebih mengetahui dari apa yang dilihatnya di lapangan dibandingkan sang profesor.

Bayangkan, kalau hanya menjawab berapa kali katak melompat di sebuah sungai saja, harus dengan penelitian, wah..wah..wah. Betapa mubazirnya!. Tentu ini analogi. Betapa kita sering membuat rumit, sebuah masalah yang, bisa karena ketidaktahuan atau pura-pura tidak tau. Mudah-mudahan pernyatan Kwiek ini hanya rekaannya saja.

Kita begitu akrab dengan feasibility studylah, road maplah, rencana strategislah,padahal tidak didukung data yang akurat dan pemahaman lapangan yang arif bahkan seringkali mengabaikannya. Membentuk tim-tim yang hanya sekedar menunjukkan peka terhadap persoalan, dan acapkali tidak disertai tindakan yang benar-benar menyelesaikan masalah mendadasar. Bahkan yang memalukan, kadang memecahkan persoalan meng ”copy paste” teori, tanpa didasari data aktual dan kearifan.

Begitu banyak cara bertindak pemimpin di negeri ini seperti kisah di atas, seperti yang disinyalir Kwiek, "pura-pura bodoh atau bodoh betul". Betapa negeri ini akan kehilangan momentum di tengah-tengah era globalisasi yang serba cepat dan tepat.

Persoalan sederhana, yang memerlukan tindakan sederhana, justru disikapi dengan melakukan tindakan yang rumit dan berbelit-belit. Padahal, banyak warga bangsa ini yang mengetahui persoalan, seperti anak kecil di pinggir sungai tadi yang tidak dimanfaatkan.

Turunlah ke lapangan, atau gunakanlah staf anda yang memahami lapangan. Jangan bicara tanpa fakta yang didalami secara benar apalagi mengambil keputusan berdasarkan teori belaka. Jangan hanya duduk manis di belakang komputer di ruangan ber AC sambil minum kopi dingin.

Kita berharap, kisah ini menjadi peringatan tidak hanya bagi profesor yang kebetulan menjadi birokrat, tetapi juga bagi para intelektual, pejabat, dan khususnya mereka yang melayani masyarakat banyak, yang cara bertindaknya seperti kisah di atas.

Sekali lagi, mudah-mudahan analogi Kwik ini tidak benar. Kalau ini benar, maka ke depan Indonesia akan memiliki idiom baru yang tidak enak : Profesor kodok!. Padahal professor erat kaitannya dengan kata-kata Nobel, penemuan baru, solusi yang memberi kemaslahatan bagi umat manusia.

Pedas memang, tetapi ”Jangan jawab dengan kata-kata, tetapi jawab dengan tindakan nyata”, sebagaimana diingatkan SBY kepada para menteri pada Pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu yang lalu.

Selesaikanlah persoalan mendasar bangsa ini dengan tindakan arif, bukan dengan pura-pura bodoh atau bodoh betul, seperti kata Kwiek.

Jumat, 13 November 2009

Selamat Jalan Emailku Sayang: jannerson_girsang@yahoo.com

Oleh : Jannerson Girsang


12 November 2009, sekitar jam 08.00 pagi. Telepon genggam saya berbunyi, ada sms masuk. Teman saya Eliakim Sitorus—seorang sosiolog dari Jakarta menelepon. Saya senang, karena sudah lama kami tidak bertemu. Dia menyuruh saya membuka smsnya. Setelah saya buka, isinya sungguh mengagetkan. ”Ada di internet mencatut namamu, kau di England (UK) mau pinjam duit 2000 Pound Sterling. Tentu aku tidak percaya”, katanya dalam sms itu. Ternyata emailku jannerson_girsang@yahoo.com di hack oleh seseorang yang mengaku bertempat tinggal di Inggeris.

Telepon genggamku berdering beberapa kali pagi itu. Dari Jakarta tulang saya Maruli Situngkir mengirim sms. Bunyinya :”Pagi, kalau ada waktu tlg call”. Saya menduga, pasti soal yang sama. Ketika saya telepon dia bilang : ”Saya terkejut, saya sempat juga berfikir mengirimkannya,” kata tulang saya yang baik hati ini.

Dina Lumbantobing, salah seorang aktivis perempuan di Sumatera Utara juga menelepon saya. ”Lagi dimana?. Saya baca email pagi ini, kok bisa seperti itu. Tapi biasanya itu,” kata menaruh simpati. Teman saya yang lain, Norma Hutagalung, juga menelepon saya dengan nada yang sama. Bahkan Kukun, teman saya di Pramindo yang menikah dengan orang Perancis dan tinggal di Paris juga menerima email yang sama.

Saya sedih, karena email yang biasa kugunakan mengirim berita damai, berita pencerahan, kini digunakan untuk menipu.

Lantas, saya minta Norma dan Eliakim mengirimkan lengkap isi email ”siluman” yang masuk ke email mereka.

Menunggu email mereka tiba, saya mencoba membuka email jannerson_girsang@yahoo.com yang sudah saya gunakan sejak 2001 itu. Setelah memasukkan user name dan password seperti biasa, email saya tidak bisa menyahut lagi dengan ramah. Malah saya menemukan sapaan yang bagiku sangat kasar. Your Account has been expired. Saya langsung panik. Terus terang, sejak 1995 saya menggunakan email, baru kali ini mengalami seperti ini. Saya terpikir, bagaimana dengan link-link saya yang selama ini terhubung dengan email itu?.

Beberapa saat kemudian, email dari Eliakim dan Norma masuk ke email alternatif saya. Ternyata saudara saya Irene Girsang yang tinggal di Wuppertal, juga memforward email itu.

Anda mungkin biasa menerima email seperti itu, dan saya juga. Tetapi, kalau nama anda tercantum sebagai pengirim, sungguh membuat pikiran tidak tenang. Apa lagi saya bukannya melek internet, hanya user saja. Banyak hal yang membuat saya khawatir.

Bayangkan, dalam email itu, saya adalah seorang peneliti di Munchester University yang seolah baru dirampok dan ingin meminjam (loan) 2000 Pound Sterling.

Saya merasa agak aneh, karena email tersebut tidak memberitahukan nomor rekening, alamat yang jelas, bagaimana orang bisa mengirimkan uangnya?. Bodoh juga para hacker. Teman-teman saya itu bukan orang bodoh. Pasti tidak akan ada yang menanggapinya, apalagi menaruh belas kasihan.

Hacker yang mengaku dirinya dari negara maju ternyata masih berfikiran kerdil dengan membabtis saya seolah turut menjadi seorang pengemis ”ala abad internet”.

Memutar kembali memori, saya jadi teringat apa yang saya lakukan dua belas jam sebelumnya. Ke alamat email saya di atas masuk sebuah email seolah-olah berasal dari Yahoo Verification. Isinya meminta saya mengisi user name, password, lokasi dan saya lupa ada satu lagi. Terus ada satu kalimat yang mengatakan kira-kira begini. ”Kalau anda tidak update dalam 72 jam, maka anda akan kehilangan nomor account anda”. Ini yang membuat saya langsung mengisinya dan mengirimkannya.

Saya betul-betul merasa aneh, masih ada orang di dunia ini yang kerjanya jadi pengecut. Dia tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian, banyak orang menjadi korban. Termasuk saya sendiri. Bukannya saya takut tercemar, karena bukan seorang yang terkenal seperti Barack Obama. Saya hanya orang kecil yang menginginkan perdamaian, tidak saling merendahkan dan memimpikan banyak orang jujur. Tidak seperti para hacker yang suka menipu.

Yang membuat saya sedih adalah email itu sejak 2001 kugunakan sebagai penyampai berita damai ke seluruh penjuru dunia ini. Tapi, kini harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Email yang telah berjasa mengirim berita gempa dan tsunami di Nias dari 2005-2006, mengirim bahan penulisan biografi dan otobiografi, menjalin hubungan dengan ribuan umat pencinta damai di seluruh dunia.

Tetapi harus lenyap begitu saja oleh orang iseng--hacker gila. Saya harus membuka email baru, mengisi lagi ratusan alamat yang hilang. Mereka yang tidak sempat kuhubungi, akan kehilangan kontak dan bisa sampai mereka meninggal tidak akan bertemu lagi. Betapa kejamnya para hacker ini!

Blog ini www.harangan-sitora.blogspot.com dan blog saya satu lagi memang akan ikut dalam missi gila par ahacker itu. Dua blog saya selalu saya cantumkan di bagian alamat dan nama saya di email itu. Blog ini diciptakan untuk memberikan pencerahan, mudah-mudahan dibaca oleh hacker email saya dan mau dengan sukarela mengembalikannya. Saya berharap, kiranya orang yang mengakhiri nyawa email saya sadar dan bertobat.

Bagi rekan-rekan saya di dalam maupun di luar negeri yang hari ini terganggu dengan email jannerson_girsang@yahoo.com, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Email itu tidak lagi saya cantumkan dalam profil saya di blog ini. Anda juga tidak usah menghubungi saya melalui email itu, karena hacker sudah menguasainya.

Bagi anda yang mengalami seperti sial yang saya alami di atas bisa belajar dan menghubungi http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090927200159AAP8yUv. Di sana anda akan dilayani menjawab agar jangan terkena hacker email dan memberi jawaban mengatasinya. Ingat sandi keamanan anda. Saya lupa sandi keamanan, sehingga tidak bisa mereset lagi pasword.

Para hacker kasihanilah kami, gunakanlah nurani anda, resapilah perasan kami pemilik email yang cinta damai ini. Bagi rekan-rekan saya yang ahli IT dan ingin membantu saya mengembalikan email itu, bisa disampaikan melalui kolom komentar blog ini.

Bagi email kesayanganku, jannerson_girsang@yahoo.com, selamat mengakhiri hidupmu. Semoga kau nyaman di tangan para hacker. Aku tidak akan melupakan sumbanganmu yang besar bagiku selama delapan tahun lebih.








Senin, 02 November 2009

Menuju Golden Marriage




Oleh : Jannerson Girsang

Di kalangan selebriti Indonesia cukup banyak terjadi perceraian, yang berarti mereka gagal memasuki Golden Marriage. Penting menjadi renungan kita bersama, dikaitkan dengan cita-cita awal perkawinan. Sehidup semati, dan hanya dipisahkan dengan kematian. Kali ini saya memaknai kehidupan dan renungan tentang Anang Hermansyah--mantan suami Kris Dayanti dalam lagunya ”Separuh Jiwaku Pergi” dan pengalaman kami menulis kisah 50 tahun perkawinan.

Menyaksikan dan menikmati penampilan Anang yang melantunkan ”Separuh Jiwaku Pergi” dalam acara ”Sinema” di SCTV pagi hari 2 Nopember 2009 memberi kesan tersendiri bagi saya.

Bagi saya, lagu populer yang diciptakan dan dilantunkan Anang Hermansyah begitu menyentuh dan memberikan pemaknaan atas arti sebuah perkawinan.

Kalau ungkapan ini benar dirasakan Anang, betapa pedihnya sebuah perkawinan yang diakhiri dengan perceraian. Kehilangan separuh jiwa. Memang, secara berseloroh pembawa acaranya mengatakan : ”Kehilangan separuh jiwa tapi datang tiga jiwa lagi”. Tapi, menurut saya tidak sesederhana itu.

Sayang memang. Lagu ini tidak lagi bermakna bagi Anang dan Kris untuk merajut kembali keutuhan perkawinan mereka. Alasannya, lagu ini justru ngetop menjelang keputusan pengadilan cerai mereka.

Syair lagu ini mungkin akan berguna bagi mereka kelak ketika keduanya akan menjalani kehidupan dengan pasangan baru mereka masing-masing. (Sebagai salah seorang fans berat pasangan ini, saya mendoakan, semoga Anang dan Kris mendapat pasangan baru yang bisa membuat mereka bahagia).

Lagu ini tambah memberi makna, karena saat ini saya sedang mempersiapkan sebuah buku yang mengisahkan kehidupan pasangan yang akan memasuki Golden Marriage (perkawinan ke-50), April 2010 mendatang. Sebuah kisah yang mengajarkan bagaimana mempertahankan perkawinan.

Pasangan yang saya tulis itu berkisah, perkawinan mereka didasari oleh pengalaman dan rasa cinta, kesetiaan dan kejujuran. Hanya ada satu kata kunci: ”kami tidak dipisahkan kecuali dengan kematian”. Sebuah keputusan yang didasarkan dari rangkaian pengalaman indah, cinta, kesetiaan dan kejujuran. Hingga mereka bisa mengatakan :”Tahi kambingpun serasa coklat,”. Tekad dan rasa cinta yang luhur mampu menembus halangan dari berbagai pihak atas perkawinan mereka di saat awal.

Mengarungi 50 tahun usia perkawinan, kuncinya adalah mempertahankan dasar-dasar keputusan mereka yang begitu kuat saat memutuskan untuk menikah. Pemaknaan arti cinta, simpati, kesetiaan yang muncul ketika masing-masing menjadi sebuah pribadi yang utuh. Belum berlumur dengan glamor kemewahan dan kecukupan dunia. Mereka tidak henti-hentinya mempraktekkan dan memaknai kata-kata yang biasa mereka ucapkan sewaktu pacaran, menghadapi dan memaknai gelombang kehidupan yang pernah melanda kehidupan perkawinan—sama seperti kebanyakan perkawinan pada umumnya.

Pasangan ini mengakui, di dalam perjalanan perkawinan sejalan waktu, pernah mengalami guncangan. Pemaknaan tahi kambing serasa coklat pernah berubah menjadi bau dan tidak enak, Kembali seperti bau tahi kambing yang asli. Kekurangan-kekurangan semakin terlihat dan dimaknai sebagai alat menyerang satu sama lain.

Namun, secara berdua mereka berhasil meyakinkan bahwa bau dan tidak enak itu hanya soal pemaknaan. Jika keduanya mengatakan enak, maka rasanya akan enak, meski orang lain mengatakan sebaliknya. ”Keindahan dan kesusahan dalam perkawinan kami tidak bisa dimaknai orang lain, kecuali oleh kami berdua. Tidak bisa juga secara sepihak”ujar salah seorang pasangan itu.

Mereka tidak menuruti kata-kata dalam lagu ”Separuh Jiwaku Pergi”nya Anang Hermansyah. ”Pernah ku mencintaimu. Tapi tak begini. Kau curangi aku. Pernah kumencintaimu, Tapi tak begini. Kau khianati hati ini. Kau curangi aku”.

Mempertahankan perkawinan ternyata tidak dengan logika ”jika maka”. Tidak dengan logika yang normal atau biasa. Perlu tenggang rasa, kasih sayang dan saling mengampuni secara terus menerus tanpa mengenal waktu dan situasi. Mereka mengatakan sebaliknya : :"Aku tetap mencintaimu, Aku menerima engkau apa adanya, meskipun kau khianati aku. Sekali lagi, aku tetap mencintaimu”. Mereka menggunakan kata-kata ”Meskipun..”

Reaksi terhadap sebuah gelombang perkawinan hanya mampu dilakonkan oleh dua insan yang memiliki pengalaman bersama dengan pemaknaan bersama. Menurut mereka, perkawinan begitu pribadi sifatnya. Tidak bisa dirasakan dan dinilai orang lain.

Masing-masing dalam sebuah pasangan tidak hanya menimbang dengan takaran benar dan salah. Karena kalau demikian, maka Tahi Kambing dalam logika normal, akan terasa bau dan tidak akan pernah berubah menjadi rasa coklat.

Pasangan ini menasehatkan agar masalah rumah tangga atau perkawinan diselesaikan secara pribadi, komunikasi pribadi, diantara pasangan, sama seperti ketika mereka berdua memutuskan untuk melakukan perkawinan. Mereka merasa masing-masing tidak sempurna. Justru ketidaksempurnaan merekalah yang menghasilkan kisah yang unik dari yang lain. Ketidaksempurnaan yang harus menjadi sebuah rasa syukur, bukan alat untuk melemahkan satu dengan yang lain.

Orang luar—orang tua, saudara, teman, pengadilan tidak akan pernah memahami rahasia perkawinan seseorang. Keputusan yang diambil dengan melibatkan orang luar tidak akan memberikan makna yang sama seperti ketika mereka mengambil keputusan dari pacaran ke pelaminan.

Mereka juga menasehatkan : ”Jangan sekali-sekali dinding rumah anda mendengar masalah dalam perkawinan anda”. Orang luar akan menanggapi dengan persepsi mereka sendiri. Bisa berbeda dari sudut dua pasangan yang sedang bertikai, yang mampu memaknai ”tahi kambing serasa coklat”. Tentu ini menjadi peringatan bagi para artis atau selebriti dan banyak pihak yang cenderung atau sedang ngetrend mengumbar masalah perkawinannya di televisi atau media.

Artikel ini sekaligus menghimbau media supaya mencari angle yang memberi pelajaran positif dari sebuah masalah perkawinan, khususnya kalau itu menimpa para artis atau publik figure. Tidak hanya dari sudut sensasi belaka, yang justru tidak menyelamatkan perkawinan. Bahkan dalam banyak kasus justru berakibat fatal!.

Para pasangan yang sedang bermasalah, pertimbangkanlah untuk tidak mengumbar ke media. Pertimbangkan juga tidak sampai bercerai. Bermimpilah mencapai Golden Marriage, bahkan perkawinan yang diakhiri dengan kematian. Simaklah secara mendalam makna ”Separuh Jiwaku Pergi”. Istri atau suami adalah separuh jiwa kita.Saya sendiri sedang berjuang menuju Golden Marriage, baru melewati 25 tahun atau tahun perak September 2009 lalu. Mari sama-sama belajar mencapai Golden Marriage, Sehidup Semati, Sepiring Berdua, mengapa tidak!.

Artikel di atas hanyalah pemaknaan pribadi, dengan maksud menginspirasi pembaca, khususnya para pasangan-pasangan muda. Ini bukan sebuah model.

Kamis, 29 Oktober 2009

HARI SUMPAH PEMUDA KE 81



28 OKTOBER 2009

KAMI PUTRA-PUTRI INDONESIA MENGAKU :


BERTANAH AIR SATU, TANAH AIR INDONESIA

BERBANGSA SATU, BANGSA INDONESIA

BERBAHASA SATU, BAHASA INDONESIA



INILAH TEKS SUMPAH PEMUDA YANG SELALU DIBACAKAN SEJAK KAMI DI SEKOLAH DASAR DAN KINI TERUS BERGAUNG SETIAP PERAYAAN SUMPAH PEMUDA. TEKS ASLINYA TENTU BERBEDA, KARENA EJAANNYA BERBEDA. SEMOGA PEMAKNAANNYA MASIH SAMA. KITA MENDOAKAN AGAR BANGSA KITA SEMAKIN MENGHARGAI DAN MERAWAT TANAH AIR TERCINTA INI, SEMAKIN BERSATU, MENGHARGAI SATU SAMA LAIN DAN TAK LUPA MENCINTAI BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA PERSATUAN.

Senin, 28 September 2009

Cukup Populerkah Anda di Web?

Oleh : Jannerson Girsang

Kalau selama ini anda sudah mengenal istilah PageRank untuk mengukur traffik ke web anda (seperti Alexa, Google, dan lain-lain), maka kini anda menemukan istilah PeopleRank--mengukur kepopuleran orang di web dengan mesin pencari bernama : WebMii. Levelnya Internasional dan Perancis. Negara lain menyusul barangkali.

Disamping itu, web ini juga bisa digunakan mencari jejak teman atau seseorang di internet, seperti sudah dibahas dalam www.visigraphic.com.

28 September 2009 lalu, iseng-iseng saya membuka website yang sudah link ke website saya beberapa waktu lalu. Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik karena nama webnya agak asing.

Setelah membuka, saya tertarik dengan sebuah pernyataan di bawah logo web tersebut berbunyi seperti ini :

”Find all online public information about you (and other people) and get your PeopleRank: your visibility score on the web”.

Kata-kata PeopleRank, skor kepopuleran, menarik bagi saya, karena latar belakang saya pernah menjadi konsultan kampanye. Betapa sulitnya menilai kepopuleran seseorang, sebagai awal merencang sebuah program kampanye di pilkada, maupun legislatif.

Hebat juga!. Web ini menciptakan ranking semua manusia yang nyantol di web, dengan ranking dimulai dari terendah 0 dan tertinggi 10.

Anda bisa lakukan langkah-langkah berikut :

1.Kunjungi website http://www.webmii.com

2.Isi nama depan anda (orang yang ingin anda ranking) di kolom kiri dan nama belakang di kolom kanan.

3.Di sebelah kanan kolom nama belakang terdapat kolom dengan dua pilihan, mau lihat kepopuleran anda (orang yang anda cari) di level internasional, pilih internasional, dan kalau ingin tau kepopuleran di Perancis, pilih France.

4.Lihat rank kepopuleran anda di sebelah kiri : di sana akan tertera ranking antara 0-10. Warna angkanya merah jambu.

Saya tidak tau validitas mesin pencari ini. Tapi, bagi saya sebagai hiburan ya oklah!

Web ini juga menampilkan foto orang tersebut di internet, keanggotaan di berbagai jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, LinkedIn, Bebo, Twitter, Website dan blog yang dimilikinya, Kata kunci yang berhubungan dengan orang tersebut, Orang-orang yang saling terhubung dengannya dan data anda di mesin pencari Yahoo dan Google. (Lihat ulasan www.visigraphic.com).

Selain itu juga ditampilkan berita anda (seseorang yang anda cari) selama 30 hari terakhir!.

Kini para netter (pengguna internet) bisa melihat kepopuleran dirinya, teman dan tokh idolanya. Salut buat pencipta WebMii. Selamat berkreasi!.


Jumat, 03 Juli 2009

Menulislah!, Maka engkau akan abadi.!


RESENSI BUKU

“Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis”

Oleh: Jannerson Girsang.

Ali Murthado, penulis buku motivasi penulisan, “Menulis di Surat Kabar Gampang” dan “Menghasilkan Uang Lewat Tulisan”, kembali meluncurkan buku barunya ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel” di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, 1 Juli 2009 lalu. Buku yang diterbitkan Wal Ashri Publishing ini merupakan kumpulan tanya jawab seputar motivasi penulisan artikel di media.

Buku setebal 115 halaman ini mengarahkan Anda menumbuhkan motivasi memulai menulis di media, sekaligus menghasilkan uang. Penulis yakin, salah satu peluang yang saat ini dilirik adalah menulis di media cetak maupun elektronik.

Jika Anda terbelenggu menulis karena alasan kemampuan bahasa, pengetahuan tulis menulis, tidak memiliki hasil observasi yang lengkap, tidak punya bakat menulis. Jangan frustrasi!. Buku ini menjawab masalah anda. Karena ternyata, masalahnya menulis bukan soal itu!

Tokh, sebanyak apapun anda mengetahui teknik menulis, tetapi ”Anda sendiri belum tergerak untuk menulis, sama saja itu hanya mimpi”, demikian ditegaskan dalam bab Pendahuluan buku ini. Lakukan menulis. Action!. Baru lengkapi diri Anda dengan teori atau informasi yang berhubungan dengan artikel yang akan anda tulis. Motivasi, kemauan menulis dan disiplin. Itulah kuncinya!.

Penjelasan dengan gaya Dialog—yang merupakan ciri khas buku ini dimulai dari Bab II hingga Bab VII. Membaca bab-bab ini anda akan termotivasi dalam mengatasi masalah Persiapan Menemukan Ide, Mulai Menulis, Mengikat Makna, Kesulitan yang Sering Terjadi, Mengutip Sumber dan Hambatan Menulis.

Bagian paling akhir Bab Penutup, menyajikan 4 contoh artikel yakni Artikel Umum, Artikel Agama, Artikel Iptek, Artikel Wisata, memudahkan Anda melihat model dan memilih topik artikel yang dipilih memulai menulis.

Secara umum, buku ini cukup memenuhi unsur-unsur mencerdaskan, mencerahkan, sekaligus memotivasi pembaca memulai menulis. Namun, mengingat bahasanya yang terkesan sedikit ”intelek” walau disajikan dengan gaya populer, kami menyarankan buku ini adalah bacaan bagi para mahasiswa.

Tak lupa, beberapa kritik disajikan disini dalam rangka perbaikan buku ini. Masih ditemukan kealpaan dalam pekerjaan pencetakan. Dalam buku yang kami pegang terdapat 2 halaman 82. Sebaliknya, bagian VIII: sub bab Penutup dalam daftar isi ditunjuk pada halaman 87, ternyata tidak tercantum dan tidak terdapat di halaman manapun. Sayang sekali, bio data penulis yang sebenarnya bisa menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi bagi pembaca tidak dicantumkan di bagian belakang buku. Selain itu, terdapat halaman-halam kosong sebelum dan sesudah bab pembatas. Sebaiknya halaman-halaman tersebut diisi gambar atau teks.
Terlepas kekurangan kecil buku ini, di tengah-tengah langkanya buku tentang motivasi penulisan yang ditulis putra-putri Sumatera Utara saat ini, kehadiran buku ini layaknya ”oase” di gurun pasir. Kegigihan dan konsistensi penulisnya memproduksi buku-buku jenis ini, pantas diacungi jempol!.

Menulislah!, Maka engkau akan abadi.!. Selamat membaca!

Wartawan Baru Sempurna setelah Menulis Buku.


Ali Murthado (Kiri) dan Rizal Surya (Kanan)

Di tengah-tengah rendahnya minat penulisan buku oleh wartawan daerah di Provinsi Sumatera Utara, dua orang wartawan muda meluncurkan buku. Atas undangan salah seorang penulis, kami menghadiri acara tersebut. Kedua buku tersebut adalah ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel” karya Ali Murthado dan ”Tulisan Ringan Seorang Jurnalis” karya Rizal Surya. Kedua penulis itu, sehari-harinya adalah wartawan Analisa—media terbesar di pulau Sumatera yang terbit di Medan. Menurut H. Soffyan, penulisan buku adalah kesempurnaan seorang wartawan dalam menekuni dunia jurnalistik.

Tulisan Ringan Seorang Jurnalis : Pileg 2009, dinilai beberapa pembanding mampu memberikan pencerahan kepada setiap orang tentang pemilu legislatif yang baru berlangsung April lalu dan menjadi satu pemikiran aktual bagi pelaku politik dan masyarakat dalam menyikapi pemilu legislatif mendatang. Para pembanding mengatakan penulis buku ini paham terhadap hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Dia mencatat sejarah pertama kalinya pemenang caleg dari etnis Tionghoa dengan menempatkan 11 etnis tersebut duduk di lembaga legislatif di Sumatera Utara—salah satu dari 33 provinsi di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa itu. Sementara buku ”Lewat Tanya Jawab Anda Bisa Menulis Artikel”, adalah sebuah pengalaman penulis yang dinilai mampu memberikan bimbingan bagi penulisan artikel pemula di media.

Peluncuran buku dilakukan di Aula Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Sumut, Jalan Brigjen Katamso Medan, Rabu, Juli 2009. BPAD bekerja sama dengan Lembaga Baca Tulis (eLBeTe).
Beritanya lengkap bisa dibaca di Harian Analisa 2 Juli 2009 dan www.analisadaily.com

Selasa, 28 April 2009

Menyambut Hari Kartini 2009

”Kartini Baru dan Keterwakilan Perempuan”

Oleh : Jannerson Girsang

Raden Ayu Kartini 

Sumber Foto: en.wikipedia.org

Menjelang Hari Kartini kami mengetengahkan kekaguman kami atas dua peristiwa keberhasilan perempuan. Pertama, mengikuti wawancara Kapolda perempuan pertama, Brigadir Jenderal Pol Rumiah, Kapolda Banten sejak 15 Januari 2008. Beliau disertai seorang Laksamana Pertama perempuan dan beberapa tokoh-tokoh perempuan lainnya pada acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV beberapa waktu lalu.
”Di Banten, kebetulan Kapoldanya perempuan, Gubernurnya perempuan. Kami tidak menghadapi masalah berarti dalam melaksanakan tugas. Kuncinya, kami bekerja sama dengan semua pihak,” kata Rumiah yang disambut tepuk tangan para penonton di studio.

Kedua, 15 April lalu, Sumatera Utara berhasil menempatkan Drs Hj Darmaksiah sebagai Ketua DPRD perempuan pertama di Sumatera Utara. Apresiasi mestilah kita alamatkan kepadanya, mengingat jabatan itu dicapai bukan dengan mudah. Bersaing dengan puluhan laki-laki anggota DPRD provinsi ini.
Mereka berhasil menembus tembok pembatas, di tengah persaingan dengan kaum lelaki!. Secara kebetulan peristiwa ini terjadi di tengah-tengah maraknya gugatan keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif, judukatif dan berbagai jabatan strategis lainnya. Secara kebetulan pula, peristiwa ini muncul di media tidak lama menjelang Hari Kartini. Peristiwa-peristiwa semacam ini seyogianya memberi energi baru para aktivis dan pejuang perempuan yang sedang memperjuangkan emansipasi kaum perempuan.
Apa yang ingin kami kemukakan adalah bahwa dengan kemajuan yang kita capai sekarang di bidang teknologi komunikasi dan perbaikan sistem perpolitikan kita, tidak tertutup kemungkinan perempuan memasuki impian ke jabatan apapun. Sikap, kemampuan, keahlian dan pengetahuan menjadi kunci utama. Pemilu legislatif yang baru akan diumumkan akhir bulan ini jelas bisa ditebak tidak akan mencapai 30% keterwakilan perempuan. Seharusnya bisa, mengapa tidak!
Topik seputar pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif menjadi menarik kita kemukakan memperingati hari Kartini karena suasana sehabis pemilu legislatif yang berangsung awal bulan ini. Pentingnya agen-agen perubahan yang berperan dalam mewujudkan peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif merefleksikan kembali semangat Kartini.

Keterwakilan 30% dan Pergerakan Perempuan

Berbagai perubahan sistem dan berbagai usaha pemberdayaan perempuan untuk mengisi 30% keterwakilan perempuan di partai politik legislatif ternyata belum membuahkan hasil yang berarti. Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 diluncurkan akhir tahun 2007 lalu, menegaskan secara konkrit porsi 30 persen perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai. Sebuah revisi atas Undang-undang tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang sebelumnya baru mengatur soal keterwakilan perempuan di parlemen sekurang-kurangnya 30 persen. Keluarnya undang-undang tersebut merupakan angin segar bahwa peluang perempuan duduk di legislatif akan semakin mulus. Artinya, porsi perempuan di partai sebagai syarat untuk meraih peluang di legislatif
Sistem politik yang sudah memberikan peluang lebih terbuka, didukung teknologi informasi sedemikian canggih, jauh berbeda ketika Kartini menulis surat-suratnya lebih dari seratus tahun yang lalu. Jalur independen terbuka bak jalan bebas hambatan. Kini, siapapun bisa mendaftar, maju sebagai calon legislatif. Baik melalui jalur non-partai (DPD) maupun melalui partai. Menjadi Kepala Daerah bisa masuk melalui jalur independen (DPD). Caleg Partai untuk menjadi anggota legislatif, tidak lagi menekankan nomor urut, tetapi sudah suara terbanyak. Artinya, kalau memang ada di hati rakyat, seharusnya jalannya sudah lempang!.
Tetapi apa yang terjadi?. fakta menunjukkan bahwa lebih 50 persen dari 9 juta pemilih di Sumatera Utara adalah perempuan. Namaun, keterwakilan perempuan di legislatif masih jauh dari angka 30%. Sebut salah satu contoh saja. Dalam pemilihan anggota DPD 2004, prestasi Rohani Darus (mantan Walikota Tebing Tinggi) yang menempati urutan ke tujuh, mungkin akan menjadi legendaris lima tahun mendatang, andaikata prestasi itu tidak dilewati para Caleg unggulan perempuan legislatif DPD, seperti Prof DR Ir Damayanti dan calon perempuan lainnya pada Pemilu 2009. Tak berbeda dengan capaian di legislatif lan seperti DPR-RI, DPRD I dan DPRD II. Memang, minat perempuan dibanding laki-laki untuk maju sebagai calon juga sangat rendah dibanding laki-laki.
Usaha-usaha untuk mendorong perempuan maju ke legislatif bukan tidak banyak dilakukan. Bebeberapa tahun belakangan fasilitasi mendorong peremepuan berperan di politik sudah cukup banyak. Mulai dari program pemberdayaan perempuan, sampai pada pertumbuhan organisasi gerakan perempuan yang sedemikian pesat. Pertanyaannya, apakah arahnya sudah dipahami semua orang yang bergerak.
Jelas, dalam mengejar target 30% keterwakilan di legislatif, perempuan berhadapan dengan fakta laki-laki yang sudah berlari jauh di depan. Ibarat sama-sama berjalan di atas tol, kualitas kenderaannya berbeda. Jadi, harus disadari sejak awal bahwa pencapaian keterwakilan 30% bukan sesuatu yang given, tetapi sesuatu yang harus dicapai dengan perjuangan berat. .
Sedikit kritik menggelitik kami arahkan kepada gerakan perempuan di daerah ini. Kami sering diundang ke pertemuan-pertemuan gerakan perempuan dan senantiasa menemukan puluhan kali pertanyaan : kemana sebenarnya arah gerakan kita?. Ada baiknya kita selami sebuah dialog sebagai penyegar renungan kita. Dialog ini terdapat dalam buku Alice in a Wonderland (Alice di negeri ajaib), yakni antara Alice dan kucing. Suatu hari Alice sampai di jalan bercabang dan melihat kucing di Cheshire di sebuah pohon. ”Aku harus lewat jalan mana,” tanyanya. Jawabannya adalah pertanyaan : ”Kau pergi kemana?”. ”Aku tidak tau,”. ”Kalau begitu,” kata kucing itu, ”jalan manapun tidak ada bedanya”.
Untuk mencapai sesuatu, seharusnya memiliki tujuan yang jelas, yang didasarkan pada analisis akar masalah. Mencari ”kambing hitam” bukan solusi, tapi mulailah terbiasa dengan mencari ”kotak hitam”nya—kotak yang merekam akar masalah yang sebenarnya. ”Kotak hitam” ini memang sangat mahal, oleh sebab itu sering dilupakan. Karena siapa yang menegetahuinya, langsung jadi. Sayangnya orang banyak berkutat pada mencari kambing hitam, karena lebih mudah dan lebih murah biayanya. Jujur saja, bukan hnaya soal perempuan, soal-soal lain kehidupan ini orang cenderung tidak mau mencari ”kotak hitam”. Suara rakyat yang sebenarnya, sehingga mampu memberi tindakan atau respons yang tepat.
Mari sejenak merefleksikannya dengan pengalaman Kartini dibawah ini.

Kartini : Ide Besar dari Ruang Kecil

Suasana kemajuan yang kita capai sejak Kartini menuliskan surat-suratnya tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan lebih dari sertaus tahun yang lalu. Kini semua sudah tersedia. Tidak seperti kondisi tatkala RA Kartini hidup, kini perempuan di Sumatera Utara menikmati suasana berbeda. Akses tidak terbatas oleh ruang dan waktu seperti e-mail, mesin pencari yang canggih seperti google, yahoo, media sosial global seperti facebook, akses membaca berbagai jenis buku, kebebasan berorganisasi dan lain-lain kebebasan sudah dimiliki perempuan. .
Akses kepada pejabat juga sudah mampu ditembus tanpa melalui jalur protokoler. Banyak penguasa sekarang sudah membuka akses langsung. Bebas menulis surat kepada presiden secara teratur. Apalagi kini banyak petinggi yang masuk di Facebook. Suara perempuan Sumatera Utara sudah bisa diakses langsung kepada presiden Obama sekalipun. Menyampaikan ide dan melaporkan kondisi perempuan dan strategi pemberdayaan perempuan. Bahkan, kini sudah bebas membuka medua, tanpa SIUPP seperti di zaman Orde lama. Bebas menciptakan website sendiri atau setidaknya blog mengkomunikasikan visi—yang mampu merubah paradigma bangsa Indonesia atas perlakuan diskriminasi terhadap perempuan.
Barangkali, spirit yang dimiliki Kartini yang membedakannya. Kartini mengungkapkan jeritan perempuan dengan tulisan tangan--menggoreskannya di atas kertas. Dari sebuah kamar ”pingitannya: di rumah keluarganya di Jepara, Jawa Tengah. Tanpa fasilitas, aturan dan kemewahan seperti yang kita miliki sekarang. Harus memasukkannya dalam amplop, sembunyi-sembunyi mengantarkannya ke kantor pos atau melalui kurir. Kartini mampu menembus dinding pembatas untuk menyampaikan suara kaumnya. Ide-idenya diakui brilian oleh bangsa Indonesia, kemudian membangkitkan spirit yang hidup di hati masyarakat dan merubah paradigma para pemimpin.
Surat-surat Kartini kemudian dirangkum dalam sebuah buku “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Sebuah adalah cita-cita, visi yang terkomunikasi kepada orang-orang yang seharusnya bertindak. Surat-surat itu unggul karena pesannya yang menyentuh kepentingan mendasar perempuan Indonesia saat itu. Meskipun komunikasi idenya belum melalui sebuah teknologi “internet” atau animasi canggih seperti sekarang ini, namun pesannya sangat jelas.
Kartini kemudian menjadi sebuah simbol “Putri Sejati, Pendekar Kaumnya untuk Merdeka”, seperti dilukiskan dengan indah dalam penggalan lagu yang diciptakan WR Soepratman. Buku yang berisikan keluhan akan “pingitan” yang membelenggunya dan cita-citanya ingin bertumbuh dan memiliki kesempatan seperti kaum lelaki adalah tuntutan perempuan yang seharusnya diberikan, kalau tidak negara akan terbelakang.
Visi seorang Kartini menjadi sebuah nilai yang lebih menonjol ketimbang aktivitasnya di masyarakat. Kartini meninggal diusia 25 tahun, saat melahirkan anaknya, demikian menurut sejarah yang kita pelajari sewaktu di Sekolah Dasar. Kartini tidak memanggul senjata atau memimpin gerakan. Bahkan tidak pernah memimpin demo, seperti gerakan perempuan sekarang ini. Kekuatan Renungan pribadinya, kemudian menjadi spirit yang menyentuh seluruh bangsa Indonesia merupakan keunggulan Kartini dari tokoh perempuan lainnya. Seorang perempuan yang tidak lahir melalui “dropping” dari atas. Ketokohannya lahir dari pergumulan, pemaknaan serta perumusan kondisi yang mewakili masyarakat perempuan saat itu. Hingga menciptakan visi yang lahir dari konteks jamannya. Melahirkan isi pesan dan strategi komunikasinya.
Kemampuannya membuat konten atau pesan yang disampaikan kepada masyarakat luas tidak dilahirkan dalam hitungan bulan seperti banyak caleg kita sekarang ini. Dia lahir dari sebuah pergulatan panjang. Semangat Kartini ketika menelorkan ide-idenya, seharusnya perempuan menjadi renungan bagi perempuan menembus hambatan-hambatan masih dirasakan saat ini. Satu lagi ”Kuncinya, kami bekerja sama dengan semua pihak,” seperti diungkapkan Brigjen Rumiah di atas. Tidak eksklusif!
”Jika wanita pertama seperti Evepun bisa menciptakan sejarah baru peradaban dunia hanya dengan sebuah gigitan jari dari Taman Eden, apa yang membuat anda berfikir, Anda tidak bisa?” Women Weekly # Best Recommendation dalam buku 100 Wanita yang Mengguncang Dunia. Selamat Berjuang!

Selamat Hari Kartini 21 April 2009!

Dimuat di Harian Analisa 21 April 2009
harangansitora@gmail.com. Website : www.harangan-sitora.blogspot.com