My 500 Words

Selasa, 28 April 2009

Menyambut Hari Kartini 2009

”Kartini Baru dan Keterwakilan Perempuan”

Oleh : Jannerson Girsang

Raden Ayu Kartini 

Sumber Foto: en.wikipedia.org

Menjelang Hari Kartini kami mengetengahkan kekaguman kami atas dua peristiwa keberhasilan perempuan. Pertama, mengikuti wawancara Kapolda perempuan pertama, Brigadir Jenderal Pol Rumiah, Kapolda Banten sejak 15 Januari 2008. Beliau disertai seorang Laksamana Pertama perempuan dan beberapa tokoh-tokoh perempuan lainnya pada acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV beberapa waktu lalu.
”Di Banten, kebetulan Kapoldanya perempuan, Gubernurnya perempuan. Kami tidak menghadapi masalah berarti dalam melaksanakan tugas. Kuncinya, kami bekerja sama dengan semua pihak,” kata Rumiah yang disambut tepuk tangan para penonton di studio.

Kedua, 15 April lalu, Sumatera Utara berhasil menempatkan Drs Hj Darmaksiah sebagai Ketua DPRD perempuan pertama di Sumatera Utara. Apresiasi mestilah kita alamatkan kepadanya, mengingat jabatan itu dicapai bukan dengan mudah. Bersaing dengan puluhan laki-laki anggota DPRD provinsi ini.
Mereka berhasil menembus tembok pembatas, di tengah persaingan dengan kaum lelaki!. Secara kebetulan peristiwa ini terjadi di tengah-tengah maraknya gugatan keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif, judukatif dan berbagai jabatan strategis lainnya. Secara kebetulan pula, peristiwa ini muncul di media tidak lama menjelang Hari Kartini. Peristiwa-peristiwa semacam ini seyogianya memberi energi baru para aktivis dan pejuang perempuan yang sedang memperjuangkan emansipasi kaum perempuan.
Apa yang ingin kami kemukakan adalah bahwa dengan kemajuan yang kita capai sekarang di bidang teknologi komunikasi dan perbaikan sistem perpolitikan kita, tidak tertutup kemungkinan perempuan memasuki impian ke jabatan apapun. Sikap, kemampuan, keahlian dan pengetahuan menjadi kunci utama. Pemilu legislatif yang baru akan diumumkan akhir bulan ini jelas bisa ditebak tidak akan mencapai 30% keterwakilan perempuan. Seharusnya bisa, mengapa tidak!
Topik seputar pencapaian keterwakilan perempuan di legislatif menjadi menarik kita kemukakan memperingati hari Kartini karena suasana sehabis pemilu legislatif yang berangsung awal bulan ini. Pentingnya agen-agen perubahan yang berperan dalam mewujudkan peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif merefleksikan kembali semangat Kartini.

Keterwakilan 30% dan Pergerakan Perempuan

Berbagai perubahan sistem dan berbagai usaha pemberdayaan perempuan untuk mengisi 30% keterwakilan perempuan di partai politik legislatif ternyata belum membuahkan hasil yang berarti. Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 diluncurkan akhir tahun 2007 lalu, menegaskan secara konkrit porsi 30 persen perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai. Sebuah revisi atas Undang-undang tentang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang sebelumnya baru mengatur soal keterwakilan perempuan di parlemen sekurang-kurangnya 30 persen. Keluarnya undang-undang tersebut merupakan angin segar bahwa peluang perempuan duduk di legislatif akan semakin mulus. Artinya, porsi perempuan di partai sebagai syarat untuk meraih peluang di legislatif
Sistem politik yang sudah memberikan peluang lebih terbuka, didukung teknologi informasi sedemikian canggih, jauh berbeda ketika Kartini menulis surat-suratnya lebih dari seratus tahun yang lalu. Jalur independen terbuka bak jalan bebas hambatan. Kini, siapapun bisa mendaftar, maju sebagai calon legislatif. Baik melalui jalur non-partai (DPD) maupun melalui partai. Menjadi Kepala Daerah bisa masuk melalui jalur independen (DPD). Caleg Partai untuk menjadi anggota legislatif, tidak lagi menekankan nomor urut, tetapi sudah suara terbanyak. Artinya, kalau memang ada di hati rakyat, seharusnya jalannya sudah lempang!.
Tetapi apa yang terjadi?. fakta menunjukkan bahwa lebih 50 persen dari 9 juta pemilih di Sumatera Utara adalah perempuan. Namaun, keterwakilan perempuan di legislatif masih jauh dari angka 30%. Sebut salah satu contoh saja. Dalam pemilihan anggota DPD 2004, prestasi Rohani Darus (mantan Walikota Tebing Tinggi) yang menempati urutan ke tujuh, mungkin akan menjadi legendaris lima tahun mendatang, andaikata prestasi itu tidak dilewati para Caleg unggulan perempuan legislatif DPD, seperti Prof DR Ir Damayanti dan calon perempuan lainnya pada Pemilu 2009. Tak berbeda dengan capaian di legislatif lan seperti DPR-RI, DPRD I dan DPRD II. Memang, minat perempuan dibanding laki-laki untuk maju sebagai calon juga sangat rendah dibanding laki-laki.
Usaha-usaha untuk mendorong perempuan maju ke legislatif bukan tidak banyak dilakukan. Bebeberapa tahun belakangan fasilitasi mendorong peremepuan berperan di politik sudah cukup banyak. Mulai dari program pemberdayaan perempuan, sampai pada pertumbuhan organisasi gerakan perempuan yang sedemikian pesat. Pertanyaannya, apakah arahnya sudah dipahami semua orang yang bergerak.
Jelas, dalam mengejar target 30% keterwakilan di legislatif, perempuan berhadapan dengan fakta laki-laki yang sudah berlari jauh di depan. Ibarat sama-sama berjalan di atas tol, kualitas kenderaannya berbeda. Jadi, harus disadari sejak awal bahwa pencapaian keterwakilan 30% bukan sesuatu yang given, tetapi sesuatu yang harus dicapai dengan perjuangan berat. .
Sedikit kritik menggelitik kami arahkan kepada gerakan perempuan di daerah ini. Kami sering diundang ke pertemuan-pertemuan gerakan perempuan dan senantiasa menemukan puluhan kali pertanyaan : kemana sebenarnya arah gerakan kita?. Ada baiknya kita selami sebuah dialog sebagai penyegar renungan kita. Dialog ini terdapat dalam buku Alice in a Wonderland (Alice di negeri ajaib), yakni antara Alice dan kucing. Suatu hari Alice sampai di jalan bercabang dan melihat kucing di Cheshire di sebuah pohon. ”Aku harus lewat jalan mana,” tanyanya. Jawabannya adalah pertanyaan : ”Kau pergi kemana?”. ”Aku tidak tau,”. ”Kalau begitu,” kata kucing itu, ”jalan manapun tidak ada bedanya”.
Untuk mencapai sesuatu, seharusnya memiliki tujuan yang jelas, yang didasarkan pada analisis akar masalah. Mencari ”kambing hitam” bukan solusi, tapi mulailah terbiasa dengan mencari ”kotak hitam”nya—kotak yang merekam akar masalah yang sebenarnya. ”Kotak hitam” ini memang sangat mahal, oleh sebab itu sering dilupakan. Karena siapa yang menegetahuinya, langsung jadi. Sayangnya orang banyak berkutat pada mencari kambing hitam, karena lebih mudah dan lebih murah biayanya. Jujur saja, bukan hnaya soal perempuan, soal-soal lain kehidupan ini orang cenderung tidak mau mencari ”kotak hitam”. Suara rakyat yang sebenarnya, sehingga mampu memberi tindakan atau respons yang tepat.
Mari sejenak merefleksikannya dengan pengalaman Kartini dibawah ini.

Kartini : Ide Besar dari Ruang Kecil

Suasana kemajuan yang kita capai sejak Kartini menuliskan surat-suratnya tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan lebih dari sertaus tahun yang lalu. Kini semua sudah tersedia. Tidak seperti kondisi tatkala RA Kartini hidup, kini perempuan di Sumatera Utara menikmati suasana berbeda. Akses tidak terbatas oleh ruang dan waktu seperti e-mail, mesin pencari yang canggih seperti google, yahoo, media sosial global seperti facebook, akses membaca berbagai jenis buku, kebebasan berorganisasi dan lain-lain kebebasan sudah dimiliki perempuan. .
Akses kepada pejabat juga sudah mampu ditembus tanpa melalui jalur protokoler. Banyak penguasa sekarang sudah membuka akses langsung. Bebas menulis surat kepada presiden secara teratur. Apalagi kini banyak petinggi yang masuk di Facebook. Suara perempuan Sumatera Utara sudah bisa diakses langsung kepada presiden Obama sekalipun. Menyampaikan ide dan melaporkan kondisi perempuan dan strategi pemberdayaan perempuan. Bahkan, kini sudah bebas membuka medua, tanpa SIUPP seperti di zaman Orde lama. Bebas menciptakan website sendiri atau setidaknya blog mengkomunikasikan visi—yang mampu merubah paradigma bangsa Indonesia atas perlakuan diskriminasi terhadap perempuan.
Barangkali, spirit yang dimiliki Kartini yang membedakannya. Kartini mengungkapkan jeritan perempuan dengan tulisan tangan--menggoreskannya di atas kertas. Dari sebuah kamar ”pingitannya: di rumah keluarganya di Jepara, Jawa Tengah. Tanpa fasilitas, aturan dan kemewahan seperti yang kita miliki sekarang. Harus memasukkannya dalam amplop, sembunyi-sembunyi mengantarkannya ke kantor pos atau melalui kurir. Kartini mampu menembus dinding pembatas untuk menyampaikan suara kaumnya. Ide-idenya diakui brilian oleh bangsa Indonesia, kemudian membangkitkan spirit yang hidup di hati masyarakat dan merubah paradigma para pemimpin.
Surat-surat Kartini kemudian dirangkum dalam sebuah buku “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Sebuah adalah cita-cita, visi yang terkomunikasi kepada orang-orang yang seharusnya bertindak. Surat-surat itu unggul karena pesannya yang menyentuh kepentingan mendasar perempuan Indonesia saat itu. Meskipun komunikasi idenya belum melalui sebuah teknologi “internet” atau animasi canggih seperti sekarang ini, namun pesannya sangat jelas.
Kartini kemudian menjadi sebuah simbol “Putri Sejati, Pendekar Kaumnya untuk Merdeka”, seperti dilukiskan dengan indah dalam penggalan lagu yang diciptakan WR Soepratman. Buku yang berisikan keluhan akan “pingitan” yang membelenggunya dan cita-citanya ingin bertumbuh dan memiliki kesempatan seperti kaum lelaki adalah tuntutan perempuan yang seharusnya diberikan, kalau tidak negara akan terbelakang.
Visi seorang Kartini menjadi sebuah nilai yang lebih menonjol ketimbang aktivitasnya di masyarakat. Kartini meninggal diusia 25 tahun, saat melahirkan anaknya, demikian menurut sejarah yang kita pelajari sewaktu di Sekolah Dasar. Kartini tidak memanggul senjata atau memimpin gerakan. Bahkan tidak pernah memimpin demo, seperti gerakan perempuan sekarang ini. Kekuatan Renungan pribadinya, kemudian menjadi spirit yang menyentuh seluruh bangsa Indonesia merupakan keunggulan Kartini dari tokoh perempuan lainnya. Seorang perempuan yang tidak lahir melalui “dropping” dari atas. Ketokohannya lahir dari pergumulan, pemaknaan serta perumusan kondisi yang mewakili masyarakat perempuan saat itu. Hingga menciptakan visi yang lahir dari konteks jamannya. Melahirkan isi pesan dan strategi komunikasinya.
Kemampuannya membuat konten atau pesan yang disampaikan kepada masyarakat luas tidak dilahirkan dalam hitungan bulan seperti banyak caleg kita sekarang ini. Dia lahir dari sebuah pergulatan panjang. Semangat Kartini ketika menelorkan ide-idenya, seharusnya perempuan menjadi renungan bagi perempuan menembus hambatan-hambatan masih dirasakan saat ini. Satu lagi ”Kuncinya, kami bekerja sama dengan semua pihak,” seperti diungkapkan Brigjen Rumiah di atas. Tidak eksklusif!
”Jika wanita pertama seperti Evepun bisa menciptakan sejarah baru peradaban dunia hanya dengan sebuah gigitan jari dari Taman Eden, apa yang membuat anda berfikir, Anda tidak bisa?” Women Weekly # Best Recommendation dalam buku 100 Wanita yang Mengguncang Dunia. Selamat Berjuang!

Selamat Hari Kartini 21 April 2009!

Dimuat di Harian Analisa 21 April 2009
harangansitora@gmail.com. Website : www.harangan-sitora.blogspot.com

2 komentar:

Dina Lumbantobing mengatakan...

Thx tulisannya, baru baca. Gerakan perempuan di SUMUT masih cenderung dipandang dan memandang dirinya sebagai gerakan sosial (meskipun politis) dan kurang bersinggungan dengan para pelaku politik. Ini juga sebabnya dampingan para aktivis yang berasal dari NGO/LSM/ORNOP tidak memilih aktivis perempuan yang sebenarnya cukup banyak mencalonkan diri. Selain, tentu saja karena politik uang, yang memang dimainkan oleh para pelaku politik dan partai yang sudah biasa bermain uang. Kami akan undang Bapak dalam evaluasi mengenai hal ini dalam waktu dekat. Salam solidaritas.

JANNERSON GIRSANG: Menulis Fakta Memberi Makna mengatakan...

Terima kasih Dina. Kalau ada undangan pasti daya hadiri.