Secara formal saya tidak pernah belajar menulis biografi, apalagi belajar sastra. Cuma dulu Sejarahku di SMA 9 terus. Saya suka sejarah, juga biografi cerita tentang perjalanan hidup.
Melewati rentang waktu, sejak 2002 saya menulis lebih dari 10 buku biografi dan otobiografi. Belajar menulis biografi layaknya seorang anak masuk kolam renang sendirian. Memainkan gaya batu, kemudian tenggelam. Bangkit ke permukaan. Ganti gaya dada, gaya punggung, gaya bebas, hingga akhirnya bisa menuliskan pengalaman baru tentang berenang.
Pengalaman saya tentu berbeda dengan mereka yang pintar teori berenang, tetapi tidak pernah terjun ke kolam renang. Atau mereka yang belajar banyak teori kemudian menulis biografi atau otobiografi. Saya tumbuh sendiri dari lapangan. Belajar dari nol dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman orang yang lebih dulu menulis biografi dan otobiografi.
Langkah demi langkah saya lalui dengan semangat, ketekunan dan fokus. Kekurangan saya sempurnakan dengan buku-buku teori. Kritik serta masukan dari pembaca kujadikan sebagai penjaga roh. Enam tahun kemudian, ribuan pembaca buku biografi di daerah Sumatera Utara dan daerah-daerah lainnya sudah menikmati hasil tulisan saya.
Bagi rekan kami di Sumatera Utara atau di provinsi lain yang ingin megikuti jejak kami, khususnya yang ingin terjun memberikan sumbangan bagi daerahnya melalui penulisan otobiografi atau biografi silakan ikuti sekilas kisah saya dibawah ini. Kalau tidak menarik, saya mohon maaf!
Memulai : Talenta, Ketekunan dan Keinginan Belajar!
Menurut banyak orang, pengalaman saya cukup unik. Saya bangga dengan itu. Tak berbeda dengan kisah yang kutulis dalam 10 buku biografi yang mungkin sudah ada di tangan anda.
Memasuki dunia kerja sejak 1985, saya mengalami beberapa kali alih profesi. Setelah bekerja di berbagai bidang mulai dari survey tanah, dosen, wartawan, asisten ekonomi, kemudian demand forcaster di perusahaan telekomunikasi. November 2001, PRAMINDO--KSO Telkom di Sumatra melakukan PHK besar-besaran akibat kebijakan pemerintah Indonesia memutuskan 5 kontrak KSO di seluruh Indonesia, yang seharusnya berakhir 2010. Saya kembali menghadapi PHK untuk kesekian kalinya.
Memasuki dunia kerja sejak 1985, saya mengalami beberapa kali alih profesi. Setelah bekerja di berbagai bidang mulai dari survey tanah, dosen, wartawan, asisten ekonomi, kemudian demand forcaster di perusahaan telekomunikasi. November 2001, PRAMINDO--KSO Telkom di Sumatra melakukan PHK besar-besaran akibat kebijakan pemerintah Indonesia memutuskan 5 kontrak KSO di seluruh Indonesia, yang seharusnya berakhir 2010. Saya kembali menghadapi PHK untuk kesekian kalinya.
Berbagai pilihan terbuka. Tapi, saat itu tidak ada niat memburuh lagi—bahasa kerennya jadi karyawan lagi. Saya mau usaha sendiri. Tidak diatur-atur, saya bisa berkreasi. (Meskipun niat ini tidak pernah tercapai sepenuhnya).
Pernah dalam sebuah training manajemen, sang trainer berkata ”Kerjakanlah apa yang anda sukai, membuat anda terkenal, meski tak digaji anda mau mengerjakannya. Itulah talenta anda”.
Wah, wah, wah. Bagiku, yang memenuhi kriteria di atas hanya menulis. Sebelumnya saya senang menulis, membuat laporan. Orang-orang disekitarku bilang aku penulis. Walau sebenarnya tulisanku tak sebagus karya temanku Bersihar Lubis atau J. Anto, apalagi Dee si penulis Supernova. Jauhlah!.
Pernah dalam sebuah training manajemen, sang trainer berkata ”Kerjakanlah apa yang anda sukai, membuat anda terkenal, meski tak digaji anda mau mengerjakannya. Itulah talenta anda”.
Wah, wah, wah. Bagiku, yang memenuhi kriteria di atas hanya menulis. Sebelumnya saya senang menulis, membuat laporan. Orang-orang disekitarku bilang aku penulis. Walau sebenarnya tulisanku tak sebagus karya temanku Bersihar Lubis atau J. Anto, apalagi Dee si penulis Supernova. Jauhlah!.
Tapi, mungkin dasar talenta ya. Apa yang terjadi kemudian memang saya memilih menulis. Saya bercerita panjang lebar dengan saudara-saudaraku, teman-temanku di Jakarta tentang rencanaku.
Ada yang bilang bagus, ada yang kaget tertawa. ”Mana mungkin,” katanya. Bagiku sendiri ada sedikit pergulatan. Masa itu, penulis belum merupakan profesi yang menjanjikan.
Sekarang memang sudah makin baik dan makin terbuka kesempatan lho!. Dalam kondisi seperti ini, banyak bisikan yang mengganggu. Layaknya Alice in a Wonderland. Berada di persimpangan jalan dengan banyak arah atau keinginan.
Mau menulis tapi tidak yakin, uangnya ada. Tapi mau jadi apa?
Ada yang bilang bagus, ada yang kaget tertawa. ”Mana mungkin,” katanya. Bagiku sendiri ada sedikit pergulatan. Masa itu, penulis belum merupakan profesi yang menjanjikan.
Sekarang memang sudah makin baik dan makin terbuka kesempatan lho!. Dalam kondisi seperti ini, banyak bisikan yang mengganggu. Layaknya Alice in a Wonderland. Berada di persimpangan jalan dengan banyak arah atau keinginan.
Mau menulis tapi tidak yakin, uangnya ada. Tapi mau jadi apa?
Dalam kondisi di persimpangan seperti itu, akhirnya saya tetap memilih talenta saya. Menulis masuk dalam prioritas teratas pilihan sebagai profesi.
Kebiasan belajar dari buku, sudah lama kualami. Apabila belajar sesuatu yang baru saya lari ke toko buku. Saya percaya buku, kemudian saya kunyah sendiri.
Buku karya Herman Holtz (2000) benar-benar mengilhami saya. How to Start and Run a Writing Business : Memulai dan Mengelola Bisnis Penulisan dan Penyuntingan,demikian judul buku itu. Writing business!.
Sayangnya, buku itu seolah membisikkan sesuatu hal yang mustahil saya kerjakan. “Memasuki bisnis penulisan anda harus menulis sebuah buku”!, demikian kira-kira konklusinya. Menulis buku,…menulis buku….?.
Beberapa kali saya harus bertanya dalam hati. Sebuah pekerjan yang tak mungkin kulakukan, walau pernah kuimpikan sebelumnya. Saya gagal mendaftar masuk S2 di IPB tahun 1990, karena belum ada karya saya dipublikasi oleh majalah yang memiliki ISBN.
Walau pernah menulis laporan, profil atau berita, tetapi saya tidak pernah memiliki keahlian yang mendalam dalam satu bidang. Jadi wartawan, analis ekonomi, politik, bahasa Inggeris dan lain-lain. Tapi, semuanya otodidak, bukan melalui pendidikan formal, jadi bukan ahli—dugaan salah yang sering dijuluki orang terhadap diriku.
Dulunya pekerjaan itu saya terima karena harus membiayai anak-anak!. Meski terasa berat, saya harus lakukan, walau kadang tidak kunikmati. Tetapi, penderitaan membuahkan pengetahuan dan hikmat.
Kebiasan belajar dari buku, sudah lama kualami. Apabila belajar sesuatu yang baru saya lari ke toko buku. Saya percaya buku, kemudian saya kunyah sendiri.
Buku karya Herman Holtz (2000) benar-benar mengilhami saya. How to Start and Run a Writing Business : Memulai dan Mengelola Bisnis Penulisan dan Penyuntingan,demikian judul buku itu. Writing business!.
Sayangnya, buku itu seolah membisikkan sesuatu hal yang mustahil saya kerjakan. “Memasuki bisnis penulisan anda harus menulis sebuah buku”!, demikian kira-kira konklusinya. Menulis buku,…menulis buku….?.
Beberapa kali saya harus bertanya dalam hati. Sebuah pekerjan yang tak mungkin kulakukan, walau pernah kuimpikan sebelumnya. Saya gagal mendaftar masuk S2 di IPB tahun 1990, karena belum ada karya saya dipublikasi oleh majalah yang memiliki ISBN.
Walau pernah menulis laporan, profil atau berita, tetapi saya tidak pernah memiliki keahlian yang mendalam dalam satu bidang. Jadi wartawan, analis ekonomi, politik, bahasa Inggeris dan lain-lain. Tapi, semuanya otodidak, bukan melalui pendidikan formal, jadi bukan ahli—dugaan salah yang sering dijuluki orang terhadap diriku.
Dulunya pekerjaan itu saya terima karena harus membiayai anak-anak!. Meski terasa berat, saya harus lakukan, walau kadang tidak kunikmati. Tetapi, penderitaan membuahkan pengetahuan dan hikmat.
Buat anda tau, salah satu kegemaranku adalah membaca buku-buku biografi. Mungkin pernah baca ”Siapa menabur angin akan menuari badai”?. Kulahap sampai beberapa kali. Kalau sudah membaca buku seperti ini, lupa deh segalanya, kecuali merokok, he..he.he!.
Oh, mengapa tidak saya coba dengan biografi, ya!. Aku bolak-balik buku biografi Muhammad Hatta, Mahatma Gandhi, Jenderal Nasution, Yoga Sugama, Soekarno. Tidak begitu sulit. apakah benar talentaku menulis melalui biografi?. ”Bisa,” aku berteriak dalam hati, karena tidak ada orang di sekitarku.
Memang, awalnya ide masih samar-samar, karena saya belum pernah melakukannya. Makin jelas kemudian setelah mempelajari berbagai buku teori-teori yang ada di internet. Biografi merupakan pilihan yang realistik bagiku. Dalam pengertian saya ketika itu, biografi tidak lebih dari pengembangan profil. Ternyata, sebenarnya tidak sesederhana itu.
Nikmatnya Buku Pertama!
Meluncurkan buku pertama memberikan kenikmatan yang luar biasa. Tapi tunggu dulu! Membuatnya membumi, bisa dilaksanakan dan menguntungkan, bukan hal yang gampang. Tak semudah membalik telapak tangan!
Membuat proposal, itu hal yang mudah, itu pekerjaan saya sejak dulu. Dari buku dan contoh-contoh dari buku-buku biografi, saya mampu. Banyak teman yang bisa membuat proposal yang berapi-api, tapi tak pernah dapat proyek.
Menjual proposal, tidak semudah menyusun proposal. Berbulan-bulan saya menawarkan proposal kepada calon klien. Hasilnya nihil!. Tidak ada yang tertarik. Namun, keyakinan saya pasti ada sekelompok orang yang membutuhkannya. Tapi belum tau siapa. Dalam analisisku ketika itu, mereka adalah orang-orang yang ingin sebuah proses kehidupan tidak ingin mereka lewatkan hilang begitu saja, tanpa berbagi dengan orang lain.
Keyakinanku terbukti kemudian. Sekitar April 2002, usulan penulisan buku biografi pertama saya mendapat persetujuan. Tokohnya adalah Jahodim Saragih, ayah kandung Prof Dr Bungaran Saragih yang saat itu menjabat Menteri Pertanian Republik Indonesia.
Keluarganya menugaskan kami membantu menuliskan kisah orang tua ini dalam buku. Targetnya sekitar 4 bulan, karena akan diluncurkan 9 Agustus, saat Ulang Tahunnya ke-88. Artinya saya butuh empat bulan untuk mempersiapkannya.
Keluarganya menugaskan kami membantu menuliskan kisah orang tua ini dalam buku. Targetnya sekitar 4 bulan, karena akan diluncurkan 9 Agustus, saat Ulang Tahunnya ke-88. Artinya saya butuh empat bulan untuk mempersiapkannya.
Tanpa gangguan berarti saya melakukan wawancara dan riset. Meski usianya sudah uzur, namun orangnya sangat mengesankan. Dari sebuah desa di tahun 50-an, Jahodim sudah berlangganan majalah luar negeri untuk dibaca anaknya. Pantas aja pak Bungaran bisa jadi orang pintar,jadi Menteri. Dia rendah hati. Meski anaknya sudah Menteri, tetapi pola pikir dan hidupnya sangat sederhana. Bukan kampanye lho!.
Akan tetapi, suasana membingungkan kemudian muncul setelah penulisan buku berlangsung hampir separuh jalan. Rekanku seorang dosen, mengatakan bahwa biografi harus ditulis seperti karya orang-orang luar negeri.
Dia menyebut Mahatma Gandhi, Soeharto dan Shoe Hok Gie. Ketiga buku itu memang bagus. Tetapi apakah aku mampu, apakah waktunya cukup, apakah uangnya cukup? Tidak mungkin menulis biografi sekualitas itu dengan kondisi seperti itu. Memang, dia asbun saja. Ternyata saya ketahui di kemudian hari, dia belum pernah buat biografi. Saya kemudian harus memeras keringat.!
Dia menyebut Mahatma Gandhi, Soeharto dan Shoe Hok Gie. Ketiga buku itu memang bagus. Tetapi apakah aku mampu, apakah waktunya cukup, apakah uangnya cukup? Tidak mungkin menulis biografi sekualitas itu dengan kondisi seperti itu. Memang, dia asbun saja. Ternyata saya ketahui di kemudian hari, dia belum pernah buat biografi. Saya kemudian harus memeras keringat.!
Tapi, saya bukan orang bodoh yang mudah saja dipengaruhi. Memang, saya juga ingin suatu saat seperti para penulis unauthorized biography-melakukan pendekatan akademik dalam menulis biografi. Sebut saja John Maxwel yang menulis biografi Shoe Hok Gie : A Biography of a Young Indonesian Intellectual : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, 2001.
Mereka memiliki anggaran yang besar dan kemampuan intelektual yang tinggi serta jaringan pemasaran yang sangat canggih.
Meski sudah menulis 10 buku biografi saya masih memilih kelompok authorized otobiography dan biography. Mengandalkan anggaran yang disediakan pemilik biografi. Setahu kami, dari berbagai referensi, Indonesia sendiri belum banyak melakukan penulisan seperti dilakukan John Maxwell.
Yah ”tak ada rotan, akarpun bergunalah!”. Lakukan perbaikan, perbaikan dan perbaikan.
Mereka memiliki anggaran yang besar dan kemampuan intelektual yang tinggi serta jaringan pemasaran yang sangat canggih.
Meski sudah menulis 10 buku biografi saya masih memilih kelompok authorized otobiography dan biography. Mengandalkan anggaran yang disediakan pemilik biografi. Setahu kami, dari berbagai referensi, Indonesia sendiri belum banyak melakukan penulisan seperti dilakukan John Maxwell.
Yah ”tak ada rotan, akarpun bergunalah!”. Lakukan perbaikan, perbaikan dan perbaikan.
Singkat cerita, buku tersebut selesai tepat beberapa hari sebelum perayaan Hari Ulang Tahunnya. Buku yang diberi judul ”Bukan Harta Duniawi” itu dicetak 1000 eksemplar dan diperuntukkan bagi kalangan sendiri.
Kalau mau nulis biografi, anda akan rasakan nikmatnya peluncuran buku pertama.
Sebuah pengalaman baru, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan acaranya sendiri. Bangga, terharu dan khawatir (atas isi buku) berbaur menjadi satu. Puncaknya adalah saat memberikan kesan tentang proses penulisannya sendiri. Anda bisa bayangkan, kalau berjalan tanpa menyentuh tanah. Demikianlah perasaan saya saat menaiki panggung menyampaikan sambutan di depan ribuan tamu-tamu terhormat.
Sebuah pengalaman baru, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan acaranya sendiri. Bangga, terharu dan khawatir (atas isi buku) berbaur menjadi satu. Puncaknya adalah saat memberikan kesan tentang proses penulisannya sendiri. Anda bisa bayangkan, kalau berjalan tanpa menyentuh tanah. Demikianlah perasaan saya saat menaiki panggung menyampaikan sambutan di depan ribuan tamu-tamu terhormat.
Peluncuran buku pertama memberi modal yang sangat mahal bagi perjalanan karier menulis selanjutnya.
Penulisan sebuah buku otobiografi atau biografi, ternyata memerlukan perencanaan yang matang. Menulis biografi harus mempertimbangkan kemampuan, waktu dan biaya yang tersedia. Terima kasih untuk pak Bungaran dan Keluarga!. Sekaligus rasa kagumku pada bapak Jahodim. (Saya turut berduka atas meninggalnya beliau Januari 2009 lalu).
Penulisan sebuah buku otobiografi atau biografi, ternyata memerlukan perencanaan yang matang. Menulis biografi harus mempertimbangkan kemampuan, waktu dan biaya yang tersedia. Terima kasih untuk pak Bungaran dan Keluarga!. Sekaligus rasa kagumku pada bapak Jahodim. (Saya turut berduka atas meninggalnya beliau Januari 2009 lalu).
Selain itu, saya melihat betapa sebuah buku seperti ini mampu menumbuhkan minat baca, khususnya bagi keluarga dan mereka yang terlibat langsung dalam cerita. Tak ketinggalan, mereka yang pernah mengetahui sang tokoh.
”Banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui tentang bapak saya selama ini mampu diungkapkan dalam buku ini,” demikian Prof Dr Bungaran saat menyampaikan sambutannya. Memang itulah uniknya biografi.
Tidak seperti saya bayangkan sebelumnya, media lokal meliput pristiwa ini dengan porsi halaman yang cukup menggembirakan. Media tertarik pada biografi. Nama penulisnya ikut terkenal, hebat kan!
Ketagihan Buat Buku
Sama dengan membaca, kalau sudah menulis biografi, rasanya lupa segalanya. Bahkan kadang-kadang saya lupa apakah saya punya uang atau tidak.
Wawancara dengan berbagai ragam manusia, cukup mengasyikkan, observasi ke lokasi yang belum pernah kukunjungi sungguh memberiku pengetahuan baru, meperkaya wawasanku tentang daerahku, orang-orang di sekitarku, tentang bangsaku.
Pembaca buku yang saya tulis acapkali bercerita tentang nikmatnya mereka membaca buku yang pernah kutulis, terbukanya pikiran mereka atas pentingnya perjuangan dalam sebuah kesuksesan. Ucapan syukur mereka yang tulus padaku. Minat baca mereka tumbuh!.
Itulah keindahan-keindahan yang kubayangkan setiap ada tawaran penulisan biografi. Tidak terasa capek.
Wawancara dengan berbagai ragam manusia, cukup mengasyikkan, observasi ke lokasi yang belum pernah kukunjungi sungguh memberiku pengetahuan baru, meperkaya wawasanku tentang daerahku, orang-orang di sekitarku, tentang bangsaku.
Pembaca buku yang saya tulis acapkali bercerita tentang nikmatnya mereka membaca buku yang pernah kutulis, terbukanya pikiran mereka atas pentingnya perjuangan dalam sebuah kesuksesan. Ucapan syukur mereka yang tulus padaku. Minat baca mereka tumbuh!.
Itulah keindahan-keindahan yang kubayangkan setiap ada tawaran penulisan biografi. Tidak terasa capek.
Selama enam tahun sejak 2002, saya telah menghasilkan sepuluh buku biografi. Buku ”Berkarya di Tengah Gelombang” yang diterbitkan TD Pardede Foundation dicetak lux sebanyak 2500 eksemplar. Selain dibagikan pada acara peluncuran 3 Desember 2007, juga dijual di toko-toko buku. Beberapa toko buku di Medan sudah kehabisan stok. Demikian juga buku ”Anugerah Tuhan Yang Tak Terhingga” yang diterbitkan WEB dicetak sebanyak 3500 eksemplar sudah habis di pasar.
Melihat minat baca masyarakat terhadap jenis buku seperti ini, saya yakin profesi menulis biografi menjanjikan di masa mendatang. Bukan hanya dari sisi financial, tetapi upaya meningkatkan minat baca rakyat. Tentunya harus dengan usaha-usaha perbaikan terus menerus.
Pengamatan kami khususnya di Sumatera Utara, meningkatkan kualitas penulisan dan strategi pemasaran yang lebih baik. Buku-buku yang kami tulis baru dalam taraf pemikiran penulisan, belum sampai pada strategi pemasaran. Ada beberapa buku sebenarnya memiliki nilai jual besar. Ini merupakan tantangan baru ke depan.
Pengamatan kami khususnya di Sumatera Utara, meningkatkan kualitas penulisan dan strategi pemasaran yang lebih baik. Buku-buku yang kami tulis baru dalam taraf pemikiran penulisan, belum sampai pada strategi pemasaran. Ada beberapa buku sebenarnya memiliki nilai jual besar. Ini merupakan tantangan baru ke depan.
Saat ini, saya sedang mempersiapkan sebuah buku biografi baru. Nanti dikasi tau kalau sudah selesai.
Sayangnya menulis biografi saat ini baru taraf nama tenar. Belum menjanjikan seperti di Negara-negara maju. Bayangkan, seorang penulis memasang tarif Rp 0.35 dollar per kata, hebat kan!. D Sumatera Utara, seorang penulis biografi seperti saya, harus berjuang setengah mati mencari tambahan penghasilan—memenuhi kebutuhan anak-anak yang kuliah dan sekolah. Sejak menulis biografi enam tahun yang lalu, kami harus nyambi bekerja di berbagai lembaga seperti Manajer Kampanye, Konsultan PR, ataupun terlibat dalam program lembaga NGO, menulis artikel di media cetak.
Proses dan Tim di Balik Penulisan Biografi
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, saya tergolong kepada penulis authorized otobiography dan biography yang masuk dalam authorized (diketahui sekaligus dibiayai pemiliknya). Menulis biografi jenis ini, selain proses panjang, juga melibatkan orang-orang. Disamping menulis, juga dituntut kemampuan manajerial atas sebuah tim yang terdiri dari penulis, editor, fotografer, disainer, logistik dan keuangan.
Tau nggak anda, saya tidak sendiri. Di belakang penulisan sebuah biografi berdiri pribadi-pribadi yang berdedikasi dari berbagai keahlian. Mereka adalah J. Anto (editor), Bersihar Lubis (editor), Pittauli br Purba (editor), Eduard Sinaga (fotografer), Rupinus Tarigan (pewawancara), Kennedy Hutasoit (pewawancara) Herdy Tampubolon (supporting), Sijo Sudarsono (desain grafis), Erwin Saragih (percetakan dan desain grafis), Japorman Saragih (keuangan), Boy Sembiring (dokumentasi dan riset), Erna Sinulingga (administrasi), Hans Immanuel Girsang (asisten dokumentasi dan riset). Tetapi mereka adalah free lance dan hanya bekerja sesuai order saya. Wawamcara dengan sang tokoh dan beberapa sumber dan penulisannya berada di bawah tanggungjawab saya. Beberapa diantaranya sudah tidak terlibat aktif lagi dalam tim, karena full time bekerja di tempat lain. Beberapa hanya bekerja ditempatnya sesuai keahliannya. Jangan lakukan sendiri, terlalu capek!.
Salah satu keunikan pengalaman kami dalam penulisan biografi, faktor anggota keluarga ternyata harus menjadi bahan pertimbangan. Mereka memiliki aspirasi dan kadang sangat menentukan lancar tidaknya pekerjaan.
Sejak awal, tim harus melibatkan para anggota keluarga yang berpengaruh pada penulisan. Penulis harus memiliki kemampuan mengakomodasi aspirasi anggota-anggota keluarga inti dan sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan penulisan.
Ingat ”tetaplah pada prinsip-prinsip penulisan yang sedapat mungkin tidak bias, tidak membuat orang lain teraniaya dan tidak mengandung unsur SARA”. Ada ketentuan yang harus dipatuhi, ikutilah.
Sejak awal, tim harus melibatkan para anggota keluarga yang berpengaruh pada penulisan. Penulis harus memiliki kemampuan mengakomodasi aspirasi anggota-anggota keluarga inti dan sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan penulisan.
Ingat ”tetaplah pada prinsip-prinsip penulisan yang sedapat mungkin tidak bias, tidak membuat orang lain teraniaya dan tidak mengandung unsur SARA”. Ada ketentuan yang harus dipatuhi, ikutilah.
3 komentar:
Menarik sekali share-nya pak, memberi semangat untuk kami yg masih pemula ...
sukses selalu,
salam
menarik sekali share-nya pak, memberi semangat untuk kami yg pemula.. sukses selalu pak
salam,
Terima kasih Mas Panca. Sukses selalu.
Posting Komentar