Oleh : Jannerson Girsang
26 Nopember 2009, saat hati saya geram menonton tayangan rangkaian diskusi kisah kisruh KPK-Polri, kasus Bank Century belakangan ini di berbagai stasion televisi kita, tiba-tiba anak perempuan saya mengirim sms dari Jakarta. ”Pak, ada si Dul di acara Bukan Empat Mata”. Begitu pentingnya sinetron ini bagi keluarga kami, begitu pahamnya dia bapaknya penggemar sinetron yang mampu menarik rating tinggi yang menampilkan kehidupan keluarga Betawi ini.
Terang saja, saya langsung switch ke Trans-7. Untunglah ada acara semacam ini. Kalau tidak, otak saya terus terkontaminasi dengan berita-berita ”kosong” yang justru sangat digemari televisi kita, kadang hanya pertimbangan rating tanpa memperdulikan peran ”pencerahan” bagi pemirsa yang melekat pada dirinya.
Sinetron Si Dul mampu membuat pencerahan, hiburan bagi saya dan jutaan penduduk bangsa ini, sekligus mencintai sinetron Indonesia. Saat masa tayang sinteron ini berlangsung beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah absen menonton setiap episode, dari lebih seratus episode yang ditayangkan. Bahkan pemutaran ulang sekalipun masih kami tonton.
Kalau Bob Tutupoly menjadi penyanyi idola Indonesia saya, Koes Plus jadi band idola, maka sinetron yang paling saya kagumi adalah Si Dul Anak Sekolahan. Di mata saya, belum ada sinetron yang bisa menyaingi mereka, hingga saat ini.
Saya yakin jutaan penduduk Indonesia lainnya, menggemari sinetron yang berbobot ini. Konon, almarhum mantan presiden RI, almarhum Suharto sangat menggemari sinetron ini. Bahkan sempat mengundang berapa pemainnya bersilaturahmi ke rumahnya di Cendana. Pemain-pemainnya juga menjadi icon beberapa lembaga internasional sebagai aktor kampanye program mereka.
Begitu mendalam kesan saya dengan sinetron ini, tampilnya para pemain si Dul Anak Sekolahan dalam acara Bukan Empat Mata Trans-7 malam itu, sungguh-sungguh mengesankan sekaligus melepas rindu melihat Rano, salah seorang bintang remaja yang tidak hanya ganteng tetapi seorang bintang berotak pintar. Di masa saya SMA Rano adalah idola kami. (Usia saya setahun lebih tua dari Dul. Dia sekolah di SMA Bulungan, saya di SMA 22 Utan Kayu, Jakarta).
Saking kagumnya, saya harus menuliskannya dalam blog ini, supaya tidak lupa mereka. Sekaligus mengajak pembaca mampu melihat hal-hal yang bernilai dari bangsa ini.
Lima karakter yang tampil malam itu adalah Mandra, Atun, Si Dul, Yuyun, dan Mak Nyak. Acara Bukan Empat Mata, layaknya menampilkan sinetron si Dul Anak Betawi, episode ”Si Dul di Trans-7”. Kasihan bintang tamu yang lain. Koordinator acara mestinya tidak mengundang tamu lain, karena menjadikan mereka seolah tidak dianggap, he.he.he!
Para pemain layaknya seperti sebuah keluarga. Mereka saling mengasihi dan saling merindukan. Acara malam itu layaknya silaturahmi diantara pemain-pemain. ”Senang ketemu anak-anak. Sudah lama tidak ketemu,”ujar Mak Nyak, tak mampu menahan air matanya meleleh, pertanda rasa haru.
Pada acara santai yang dipandu Tukul ”Arwana”—salah seorang pembawa acara idola saya, didampingi Bella Safira, para pemain si Dul tampil sempurna. Saya seolah menonton si Dul, minus Pak Haji (Benyamin Sueb), Karyo (Basuki) yang sudah meninggal, serta minus kakter lainnya yang mungkin tidak diundang atau berhalangan hadir, seperti Munaroh pacar Mandra, atau Sarah .
Sinetron Si Dul Anak Betawi diambil dari kisah kehidupan warga Betawi itu, syarat dengan kondisi sosial masyarakat Betawi. Benar-benar mengenalkan saya sebuah sinetron yang bermutu. Dia digemari mulai dari anak-anak, pemuda, orang tua, bahkan kakek nenek.
Dari perbincangan santai dan kocak itu, terbetik cerita menarik. Sinetron si Dul Anak Betawi—yang pernah ditolak stasion televisi nasional ini, memang menampilkan hampir semua pemainnya menjadi pemeran utama. ”Di si Dul tidak ada peran utama. Semua menjadi peran utama,” kata Rano Karno. Bahkan Yuyun bilang : ”Saya besar karena main di sinetron ini”
Sinetron yang sarat dengan kondisi sosial masyarakat membuatnya tidak hanya kocak, tetapi lebih berbobot. Dalam acara itu, cuplikan sinetron si Dul sempat ditayangkan. Simak saja dialog Benyamin Sueb dengan si Dul. ”Ngapain gue sekolahin lu ke sekolah tinggi, lebih baek gue pake buat naik haji ame nyak lu,” ujar Benyamin yang meskipun sudah meninggal rasanya masih hidup.
Bisakah sinetron Indonesia menampilkan cerita lokal yang menarik dan bermutu?. Jawabnya bisa. Bisakah cerita lokal menarik pemirsa menonton televisi?. Jawabnya juga bisa. Bisakah sinetron Indonesia dengan cerita lokal menampilkan tontonan mendidik? Jawabnya juga bisa?.
Rano pasti bisa. Tapi apa mungkin ya, dia kan anggota parlemen. Saya lega, karena Rano Karno masih bisa bergurau. ”Kalau udah gini, kayaknya mau bikin sinetron lagi nih,”ujar Rano Karno. Paling tidak dia masih ada keinginan.
Mudah-mudahan gurauannya menjadi kenyataan. Buat sinetron baru dong Dul, pasti laris!. Gantiin tuh sinetron-sinetron kacangan yang hanya menampilkan ”kecantikan”, ”kemewahan” dan ”kekerasan” yang banyak merusak generasi muda kita.
Saya pasti akan promosi kalian melalui Blog ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar