My 500 Words

Selasa, 26 Januari 2010

Menulis Kisah Lucu di Masa Kecil

Oleh : Jannerson Girsang

Kisah masa kecil anda adalah cerita lucu dalam hidup. Tidak sedikit buku otobiografi atau biografi yang alpa menggali kisah masa kecil yang lucu. Bahkan lebih banyak menggali sejarah yang kadang terasa monoton dan membosankan.

Selain tanggal lahir, kisah keluarga, banyak kisah-kisah yang pertama kali anda alami. Kisah seperti itu memperkaya biografi atau otobiografi anda dengan cerita lucu dan menyegarkan.

Menarik perhatian pembaca, bahkan anda sendiri merasa terhibur. .


Liturgi dan Sepatu Baru Pertama.

Akhir 1966, saat berusia lima tahun, saya begitu senang dan bersemangat mendapat liturgi untuk pertama kalinya di Sekolah Minggu. Tambah senang lagi, karena orang tua saya membelikan sepatu baru dengan sol (hak) dari kayu. Kisah yang tak terlupakan sepanjang hidup!.

Perlu anda ketahui, orang tua saya tinggal di desa kecil, Nagasaribu, terletak di 1400 meter di atas permukaan laut di Simalungun, sekitar 100 kilometer sebelah Selatan Kota Medan. Saat itu belum ada anak-anak yang memakai sepatu ke Sekolah Minggu ataupun ke sekolah. Semuanya ”kaki ayam”. Bahkan di hari Natalpun hanya beberapa anak saja yang mendapat sepatu baru.

Kisah lucu terjadi saat giliranku tiba mengucapkan ayat hafalan dari depan altar gereja. Kami menyebutnya pajojorhon.  Saya tidak mau seperti anak-anak lain berjalan pelan-pelan, tetapi berlari sekencang-kencangnya. Hampir saja kepalaku menyentuh mimbar tempat pendeta berkhotbah, karena tidak bisa ”ngerem”.

Ketukan sepatu berhak kayu itu mengeluarkan suara keras saat menyentuh lantai. Semua jemaat tertawa dan gereja menjadi riuh!

Saat tiba di depan altar dan berdiri menghadap jemaat, saya menyaksikan jemaat tertawa. Sayapun tertawa. Ini membuat gelak tawa mereka makin riuh.

Berdiri lebih dulu di depan, saya tidak sabaran menunggu giliran. Mulai gelisah. Setelah saya hitung, saya mendapat urutan kelima dari sepuluh anak. Saya terus mengoceh dan bergerak-gerak, menoleh ke samping kanan saya—deretan yang pertama mendapat giliran.

Karena tidak sabaran, saya berkata : ”Hei, cepat...!”. Rasanya teman-temanku berbicara terlalu pelan dan lambat. Guru Sekolah Minggu menegorku. ”Hei, tertib dan tunggu giliran” katanya membentakku.

Saya tidak perduli. Lantas, ketika giliranku tiba, saya mengucapkan ayat hafalanku sekuat-kuatnya. Untung belum ada mikrofon saat itu. Kalau memakai mikrofon, mungkin gereja bisa runtuh!. Banyak jemaat mengoceh, ada juga yang merasa lucu dan tertawa. Saya tidak peduli!.

Usai mengucapkan ayat hafalan, guruku menegorku. Tapi saya acuh saja!. Bahkan saya langsung ”tancap gas”, berlari sekencang-kencangnya kembali ke tempat duduk, begitu saja meninggalkan teman-teman lain yang belum mendapat giliran.

Saat saya berlari, ketukan sepatuku di lantai mengeluarkan suara begitu keras, hingga memecah keheningan di dalam gereja. Bahkan teman-teman yang belum mendapat giliran harus menunggu sampai saya duduk kembali, sampai suasana tenang.

Setelah duduk, saya menonton teman-teman dan mengejek mereka. ”O...oh...oh” kataku sambil mengeluarkan lidahku.

Setiap kali teringat kisah ini, saya pasti tertawa sendiri hampir seperti orang gila. Apakah anda tertawa juga?. Tapi pasti ada yang geram. Mereka yang tidak suka melihat anak-anak yang energik, kreatif dan tidak suka diatur. Beberapa teman saya memiliki anak seperti saya waktu kecil Jadi saya maklum, dan setelah remaja mereka jadi anak yang baik dan pintar.

Jangan lewatkan mengisahkan kenangan masa kecil anda!. Untuk mengetahui lebih lanjut, anda bisa masuk ke :

How to Write about Your Childhood — Autobiographical Writing

Tidak ada komentar: