My 500 Words

Senin, 25 Januari 2010

Selamat Jalan Johanna br Marbun Banjarnahor


Oleh : Jannerson Girsang


Keterangan Gambar: Ginagan Nainggolan, cucu tertua Johanna br Marbun Banjarnahor (Pahompu Panggoaran), usai Perayaan Hari Ulang Tahunnya ke 88, 21 April 2009 di Medan.

"Surga di telapak kali ibu" barangkali kalimat yang tepat menggambarkan Johanna br Marbun Banjarnahor di tengah-tengah anak-anaknya. Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi anak, cucu, serta cicitnya, dan semua orang pernah mengenalnya.

Perempuan yang memperjuangkan anak-anaknya dengan marrengge-rengge itu dihantar ke peristirahatan terakhirnya di samping makam suaminya di pemakaman keluarga di Batuara, Hutajulu, Tapanuli Utara, dengan penghormatan dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin.

"Ompung sudah pergi bang!," demikian Septa br Nainggolan memberi tahu kami melalui telepon genggamnya, diiringi isak tangis, beberapa saat setelah Johanna br Marbun Banjarnahor meninggal dunia, Selasa malam 19 Januari 2010 dari Rumah Sakit Herna, Medan. Septa adalah salah seorang cucu almarhum.

Sebagai orang yang diberi kesempatan oleh keluarga menulis biografinya (Haholongon,2008) bersama rekan saya J.Anto dan diedit bang Bersihar Lubis, kepergian Ompung Johanna membuat kami diliputi rasa sedih yang mendalam.

Bergaul dengan beliau di tahun-tahun terakhir hidupnya memberi makna tersendiri bagi kami. Anak-anak dan cucu-cucunya adalah keluarga yang menghargai kedamaian dan kesatuan di atas segala-galanya, hidup dalam prinsip Johanna br Marbun Banjarnahor.

Mendengar berita duka ini, sejenak kami berpaling mengenang beberapa kali pertemuan saat menulis Biografinya, Januari-April 2008.

Keramahan, rasa peduli dan kerendahan hatinya, membuat kami selalu rindu bertemu dan berbicara dengan beliau. "Kalian harus makan dulu, apakah kalian punya ongkos pulang?" demikian selalu diungkapkannya ketika saya bersama teman J.Anto, saat bertemu maupun usai wawancara.

Bagi keluarga Ompu Ginagan Nainggolan, beliau adalah "pahlawan" yang memperjuangkan keluarga. "Beliau berjuang hidup mati untuk menghidupi 11 orang anaknya," ujar Piter Nainggolan, putra kedua almarhum sebagaimana dikutip Harian SIB (23 Januari 2010). Beliau ditinggal pergi suaminya yang begitu dikasihinya 26 tahun yang lalu, saat masih berjuang bagi 11 orang anaknya.

Salah satu penghargaan keluarga kepada perempuan sejati ini terlihat saat merayakan Hari Ulang Tahunya. Semua anak-anak, cucu dan cicit yang bertempat tinggal di berbagai kota di Indonesia berkumpul dan berbagai even yang kami saksikan. Mereka ingin membahagiakan orang tua ini dengan segala daya yang mereka punya.

Sebuah nilai agung yang dirasakan semua anggota keluarga tersimpan dalam diri Johanna br Marbun Banjarnahor. Di balik sukses anak-anaknya (salah seorang diantaranya adalah RE Nainggolan, kini Sekretaris Daerah Pemprovsu), kisah masa lalu Johanna telah menciptakan prinsip yang benar-benar merasuk dalam jiwa dan cara hidup anak-anak, cucu-cucu dan cicitnya.

Berpindah dari rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya, mulai dari Pematangsiantar, Barus, Sibolga, hingga Siborong-borong. Kisah yang menginspirasi bagi orang saat menjalani kehidupan yang sulit.

Kekaguman makin besar saat kami menelusuri lokasi-lokasi perjalanannya puluhan tahun lalu sebagai parrengge-rengge di Tapanuli Utara. Bangun dini hari, di saat anak-anak belum bangun, berangkat menuju pekan-pekan di Sipahutar, Pangaribuan, Dolok Sanggul, Parmonangan. Melewati jalan yang bak kubangan kerbau, berjalan kaki sejauh 12 kilometer, adalah hal biasa baginya. Pulang ke rumah di saat semua anak-anaknya sudah tertidur. Bukti kegesitannya memperjuangkan anak-anaknya.

Mendukung usaha ibu yang menyayangi lagu "Ida Hinadenggan ni Angka na Saroha" (Lihatlah indahnya kehidupan orang yang seia sekata) ini, berlanjut pada kesatuan sikap anak-anaknya.

Anak-anaknya kemudian saling membantu. Bagi yang lebih dulu meninggalkan kampung halaman di Siborongborong dan sukses, di Medan, Jakarta, Banjarmasin, bahkan Papua, akhirnya menjadi terminal bagi anak-anak atau keluarga melanjutkan perjuangannya,baik mereka yang sekolah, atau mencari pekerjaan.

Johanna semasa hidupnya sangat aktif melihat anak-anaknya yang lemah dan meminta anak-anaknya yang sudah berhasil membantu. Dia sangat berwibawa di tengah-tengah anak-anaknya, membawa mereka hidup damai dan saling membantu satu sama lain. Seperti pepatah Batak "Marsitungkol-tungkolan songon Suhat di robean".

Selasa 19 Januari 2010 menjelang tengah malam, saya bersama istri melayat beliau. Wajah lembutnya, keramahannya tak kudapatkan lagi. Dia menyambut saya dan istri dengan diam seribu bahasa. Saya membuka penutup wajahnya, dan melihat untuk yang terakhir kalinya. Terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang sudah kaku.

Di sisi kiri dan kanan duduk anak-anaknya menyaksikan ibu kesayangan mereka. Kepergiannya memunculkan kenangan mendalam yang membuat anak-anaknya, menantu serta cucunya yang hadir, tak kuasa menahan rasa sedih dan linangang air mata.

Ruangan VIP Melati Rumah Sakit Herna Medan, tempatnya dirawat beberapa jam sebelum meninggal, penuh sesak oleh pengunjung. Saat kami keluar dari ruang VIP puluhan para pengunjung tidak beranjak dan senantiasa memperbincangkan kekagumannya atas putri Raja Herman Marbun itu. Di wajah para pengunjung terpancar rasa haru dan kagum.

Para tokoh dan pejabat penting di Sumatera Utara, silih berganti melayatnya selama proses pemberangkatannya ke tempat upacara pemakamanannya ke Siborong-borong. Parrengge-rengge yang melahirkan anak-anak yang rendah hati itu, menginspirasi tidak hanya keluarga, tetapi termasuk para tokoh dan pejabat tinggi daerah ini. (Kisah hidup lebih lengkap Johanna bisa dilihat dalam Berita SIB 23 Januari dan di blog ini edisi Maret 2009).

Johanna adalah seorang terpelajar di masanya. Lulus Sekolah Dasar Zending pada 1932, dan Meisje School sehingga ia paham bahasa Belanda, serta lulus pada 1935. Ia masih studi ke Huishoud School (SMKA, sekarang) di Laguboti. Johanna menikah dengan Gerhard Nainggolan pada 1938. Gerhard berpendidikan MULO di Medan, meski tidak tamat. Gerhard Nainggolan adalah putra Julius Nainggolan, saudagar kemenyan yang sukses hingga 1950-an.

Wanita berhati lembut dan senantiasa merindukan kesatuan dan kedamaian di tengah-tengah keluarga itu, telah pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta.

Sama seperti tertulis dalam kitab suci, kepergiannya bak datangnya "Pencuri Malam". Ulangtahunnya ke 89 yang seyogianya dirayakan 21 April 2010 mendatang, tak lagi berlangsung seperti sediakala. Selama ini hari Ulang Tahunnya begitu agung dan dihadiri ratusan orang--anak-anak, cucu dan keluarga dekatnya.

Yohanna pergi meninggalkan sejuta kenangan, kisah yang begitu menginspirasi, layaknya "Perpustakaan Hidup".

Selamat jalan Ompung Johanna. Anak-anak, cucu-cucumu--Ginagan Nainggolan bersama adik-adiknya akan melanjutkan perjuangan dan prinsip hidupmu. "Molo sada hamu, sude do boi ulaonmu", sebuah prinsip yang tentunya akan menjadi renungan bagi mereka dalam melanjutkan perjuanganmu. Beristrahatlah dengan damai!

Kisah Johanna br Marbun Banjarnahor lebih lengkap bisa dibaca di blog ini edisi Maret, berita SIB di bawah ini atau Biografinya : Haholongon, 2008.

Berita upacara pemakaman almarhum kami kutip selengkapnya dari harian Sinar Indonesia Baru,terbitan 23 Januari 2010.

Ribuan Orang Melayat Ibunda RE Nainggolan


Posted in Berita Utama by Redaksi on Januari 23rd, 2010

Siborongborong (SIB)

Gubsu H Syamsul Arifin SE terdiam sejenak saat akan mengucapkan kata penghiburan, kemudian dia sesegukan dan meneteskan air mata tidak bisa menahan haru ketika melayat jenazah Johanna br Marbun Banjarnahor, Op Ginagan Nainggolan, ibunda DR RE Nainggolan MM Sekda Pemprovsu, Jumat (22/1) yang disemayamkan di Jalan Sadar Siborongborong.

Pemimpin Sumut ini mengatakan, tidak ada orang yang rela kehilangan orang yang dicintai meski setua apapun dia, juga tidak rela kehilangan sesulit apapun mengurusnya. Tapi tidak ada yang bisa menghalangi kehendak Tuhan, namun bunda telah meninggalkan sesuatu yang sangat besar yaitu anak-anak, cucu dan cicit yang berhasil.
Ibu Johanna telah berjuang sebagai ibu dan ompung. Perjuangannya menghasilkan keturunan yang berprestasi, tampak pada kematiannya ribuan orang melayat silih berganti. “Kami datang memberi “Tondi” kepada keluarga yang ditinggal agar tidak larut dalam kesedihan,” ucap Gubsu.

Sebab, ibu telah memberikan pelajaran yang mahal untuk kehidupan, apa yang telah dituliskan dan yang belum akan menjadi pelajaran yang hidup untuk generasi mendatang. Untuk itu Gubsu mengatakan kepada RE dan saudara-saudaranya agar bangga kepada ibundanya, karena almarhumah adalah pahlawan tanpa tanda jasa namun mendapat berkat yang luar biasa dari Tuhan.

Anak kedua almarhumah, Jhon Piter Nainggolan menceritakan ketokohan ibunda mereka yang berjuang hidup mati demi menghidupi 11 orang anaknya. Ke 11 anaknya adalah Jurangga Nainggolan, Jhon Piter Nainggolan, Rustam Effendy (RE) Nainggolan, Yanmar Nainggolan, Marlan Nainggolan, Haratua Nainggolan, H Agus Salim Nainggolan (anak angkat), Rensi br Nainggolan, Rumianna br Nainggolan, S br Nainggolan, Netty br Nainggolan dan Rida br Nainggolan.

Ayahanda mereka St Gerhard Nainggolan adalah seorang Pegawai Negeri rendahan yang tugasnya berpindah-pindah dari Sibolga ke Barus, Tarutung sampai akhirnya di Siborongborong. Sekitar 26 tahun silam Gerhard Nainggolan meninggal dunia sehingga Johanna “single fighter” dalam keluarga.

Johanna merupakan pejuang yang sangat ulet, dengan gaji suami yang kecil dia “berjibaku” bekerja untuk menafkahi anak-anaknya. Meski Johanna putri Raja Desa, tapi dia sadar penghasilan suami kecil, sementara banyak yang harus dihidupi.Tiap pagi pukul 3 subuh Johanna sudah keluar rumah, pergi jualan dari Onan (Pekan) yang satu ke onan lain, dari Siborongborong ke Pangaribuan (26 Km), ke Pakkat (34 Km) dan Onan-onan lainnya.

Jalan raya waktu itu sangat jelek, tidak beraspal, jika tidak ada mobil Johanna dan teman-temannya berjalan kaki menjinjing barang dagangan sampai ke Onan. Tidak jarang mereka tidak sampai ke Onan apabila mobil yang mereka tumpangi rusak di tengah jalan.
Tiap pagi sebelum ke Onan, Bunda Johanna dengan terlebih dahulu berdoa sambil meneteskan airmata di hadapan anak-anaknya yang masih tidur, lalu pergi ke Onan, begitulah dilakukan setiap hari. Jika tidak ada Onan, Johanna menjahit pakaian dan hasilnya dijual ke Onan.

Sepatah katapun tidak pernah Bunda Johanna mengeluh dengan kepahitan hidup yang dialaminya, bahkan dia tidak pernah marah kepada anak-anaknya. Johanna tidak memberi nasehat lewat kata-kata, tapi melalui perbuatan dan karya nyata. Kerja keras yang ditunjukkannya merupakan contoh perjuangan hidup yang artinya anak-anaknya harus kerja keras agar memperoleh kesuksesan.

Teladan yang luar biasa bunda Johanna menjadikan dirinya seorang pejuang yang besar bagi anak-anaknya. Sampai anak-anaknya berhasil dalam karier salah satunya RE Nainggolan menjadi Sekda Pemprovsu yang sebelumnya Bupati Taput. Meski telah diberi umur panjang oleh Tuhan, keluarga tetap merasa kehilangan, duka yang mendalam karena pejuang yang mereka agungkan yakni ibunda Johanna telah pergi menghadap Tuhannya. “Kami merasa ibunda terlalu cepat pergi meski Tuhan telah memberi bonus umur, karena keperkasaan bunda menghadapi getirnya hidup demi anak-anaknya membuat kami merasakan duka yang mendalam,” ucap RE Nainggolan.

Sementara TB Silalahi yang datang membawa siswa-siswi Yayasan Soposurung mengatakan kepada RE Nainggolan dan saudara-saudaranya agar mengucap syukur kepada Tuhan karena masih sempat membahagiakan orangtuanya sampai umur 89 tahun. “Bersyukurlah Pak RE masih bisa membahagiakan ibunya, sedangkan saya tidak sempat membahagiakan orangtua yang sudah lebih dahulu menghadap Tuhan sebelum mengecap keberhasilan anaknya,” ucap Purnawirawan Bintang Tiga ini. (M24/m)

Sumber : Sinar Indonesia Baru. Search : Johanna br Marbun Banjarnahor

1 komentar:

Unknown mengatakan...

trima kasih lae…Tuhan senantisa selalu memberkati lae dlm berkarya...