My 500 Words

Kamis, 16 Mei 2013

Andai Masih Hidup, Soekarno-Hatta Menangis (Rubrik Wacana, Medan Bisnis, 16 Mei 2013)

Oleh: Jannerson Girsang

Seandainya Soekarno dan Hatta masih hidup, pastilah mereka sedih melihat perilaku sebagian pemimpin sekarang ini. Mereka yang orientasi hidupnya korup, mendewakan kekuasaan, dan mengancam generasi mendatang menjadi hamba uang dan kekuasaan. Presiden India, APJ Abdul Kalam mengingatkan kita, pentingnya tiga pilar untuk membebaskan kita dari lingkaran setan korupsi. Ayah, ibu dan guru-guru kita.
Korupsi sudah menjalar ke mana-mana. Dalam cita-citanya memerdekakan Indonesia, Soekarno dan Hatta tidak pernah membayangkan kasus Century, Hambalang, suap impor sapi. Abdi masyarakat berubah menjadi ”pengisap” masyarakat.

Generasi muda semakin banyak terimbas, terlibat bahkan masuk penjara karena korupsi. Sebut saja Gayus Tambunan, Nazaruddin, Angelina Sondakh, Luthfi Hasan Ishaaq, dan banyak lagi yang menjabat bupati, gubernur, menteri dari kalangan generasi muda. Mereka justru larut dalam kemewahan, sehingga harus melakukan tindakan tak terpuji.

Andai Soekarno dan Hatta masih hidup, tentu makin sedih lagi mereka melihat keadaan negeri yang carut marut, terjebak dalam lingkaran setan korupsi. Soekarno dan Hatta hingga akhir khayatnya tak mengenal kekuasaan untuk harta, atau mengejar harta untuk meraih kekuasaan.

Mereka tidak mewariskan harta yang berlimpah kepada anak-anaknya. Soekarno dan Hatta menggunakan kekuasannya dengan mengedepankan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan yang lain. Selain itu, keduanya meluangkan waktunya merenungkan hal yang terbaik bagi bangsanya.

Hasil-hasil pemikiran dan tindakan mereka berupa keteladanan dan generasi sesudahnya mendapat inspirasi nasionalisme dan kejuangan. Bukan hanya bangsa ini, tetapi nama mereka menjadi icon teladan yang menginspirasi dunia ini.

Pikiran-pikiran mereka dibicarakan di kampus-kampus sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, pedoman berbangsa dan bernegara. Keduanya disegani tidak hanya di negerinya sendiri. Kepala-kepala pemerintahan kagum kepada keduanya.

Bung Karno dan Bung Hatta meninggalkan negeri ini dengan setumpuk hasil pemikirannya dalam bentuk buku yang mereka tulis dan secara luas diketahui masyarakat, bukan hanya oleh bangsa ini tetapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia ini.

Buku ”Dibawah Bendera Revolusi—yang ditulis Bung Karno sejak 1926 hingga pidato terakhirnya di Sidang MPRS menjadi warisan luar biasa dan dibaca serta dibahas secara meluas. Buku-buku karangan Bung Hatta menjadi pedoman dalam filsafat, koperasi, ekonomi dan lain-lani.

Pancasila sebagai dasar negara adalah pergulatan Soekarno beserta teman-temannya para ahli hukum. Buah pikiran Bung Hatta yang ahli koperasi tercermin daalam UUD 45 dalam pasal 33 yang menjamin orang miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Soekarno yang berlatar belakang sarjana teknik mampu menginspirasi para ahli membangun bangunan monumental yang kini masih berdiri megah, Mesjid Istiqlal, Monas, Tugu Tani, serta berbagai monumen yang masih dapat kita saksikan sekarang. Hotel-hotel seperti Hotel Indonesia, Sarinah, nama-nama yang diabadikan dari Indonesia.

Keduanya dikenal sebagai pejuang, proklamator dan pemersatu bangsa. Mereka memiliki nama dan penghargaan. Nama mereka diabadikan di Tugu Proklamasi, Bandara Soekarno Hatta, serta jalan-jalan yang ada di kota-kota di Indonesia, tanpa penolakan dari siapapun. Mungkinlah koruptor dianugerahi nama jalan seperti mereka?

Soekarno dan Hatta akan geram menyaksikan pemimpin bangsa ini semakin hari semakin rakus harta yang akan lapuk oleh masa ini. Mengapa demi uang, demi kekuasan, mata para koruptor buta akan teladan yang mereka wariskan?

Mereka akan terheran-heran menyaksikan para penguasa korup yang rela membayar ”biaya kekuasaan” dengan ”uang rakyat”, hanya mengejar harta dan kekuasaan, bukan untuk melayani rakyat. Pasalnya, para pemimpin yang korup tidak akan, sekali lagi, tidak akan mewariskan nilai baik apapun terhadap bangsanya. Sebaliknya, mereka merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintahan yang korup tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin besar seperti Soekarno-Hatta, orang-orang bijak yang hidupnya secara terang benderang memancarkan nilai-nilai keteladanan, tidak hanya bagi bangsanya, tetapi juga bagi dunia ini.

Jutaan rakyat Indonesia prihatin melihat negeri ini, sama seperti Soekarno Hatta. Mereka merindukan pemimpin yang berjiwa seperti Soekarno dan Hatta serta pejuang-pejuang kemerdekaan dulu. Pemimpin yang bijak, bukan pemimpin yang berani tampil karena harta dan materi semata, tetapi pemimpin yang tampil karena pemikiran, karya-karyanya di masyarakat dan dampak positif yang dinikmati bangsanya.

Rakyat Indonesia harus bangkit. Mereka harus jeli memilih pemimpin. Pelajari rekam jejak mereka, kehebatan tokoh yang sudah Anda nikmati baik perbuatan dan teladan, serta konsistensinya dengan visi dan misinya ke depan. Jangan pernah tertarik dengan pemimpin yang suka menggunakan kata-kata suci, membagi-bagi duit menutup perbuatan jahatnya di belakang panggung.

APJ Abdul Kalam, seorang ilmuwan yang kemudian terpilih menjadi Presiden India pada 2012 mengatakan: ”If a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feel there are three key societal members who can make a difference. They are the father, the mother and the teacher”.

Tidak cukup hanya menangisi keadaan, tetapi bangkitlah!. Mari mulai bangkit dari keluarga kecil kita—para ayah, ibu dan guru-guru kita. Mampukan seorang ayah dan ibu perilaku bebas korupsi, mampukan guru-guru yang mampu mengajarkan dan menciptakan anak didik yang bebas korupsi.

Penulis adalah kolumnis, tinggal di Medan

Tidak ada komentar: