My 500 Words

Sabtu, 18 Mei 2013

Dari Ide ke Artikel di Media Cetak (Rubrik Opini, Harian Analisa, 18 Mei 2013)

Oleh: Jannerson Girsang
Proses menulis sebuah artikel yang dimuat di media cetak tidaklah semudah mengatakan "menulis itu mudah".Mulai dari munculnya ide, hingga penulis mampu menuangkan artikel yang menarik bagi pembaca. 
Penulis yang berhasil menulis di media cetak telah melintasi perjalanan yang cukup panjang dan pantas diberi penghargaan. Bagi kebanyakan mereka, menulis adalah memenuhi tanggung jawab sosial dan rasa syukur ketimbang mencari popularitas atau mendapat penghasilan. 

Memang sangat mudah menulis, kalau seorang penulis hanya melakukan copy paste dari karya orang lain. Penulis seperti ini bisa malu seumur hidup, karena akan dituduh sebagai plagiat!

Penulis memiliki pengalaman menulis yang berbeda-beda di media cetak.Inilah salah satunya yang mungkin mampu memberi inspirasi bagi pembaca.

**

Menulis di media cetak, semua berawal dari sebuah ide yang dikembangkan menjadi sebuah tulisan: aktual, relevan dan bermanfaat bagi pembaca. Enak dibaca dan perlu, seperti semboyan Tempo.
Ide bisa datang dari mana saja (pengamatan dari lingkungan sekitar, membaca, mendengar, merasa dan lainnya) dan bisa muncul tanpa melihat waktu (pagi, siang, sore, malam, dinihari).

Misalnya, sore hari, dua tahun yang lalu saya mengunjungi Bawomataluo. Memandang kebelakang dari tangga terakhir ke arah pantai Sorake, saya menyaksikan keindahan. Menatap kedepan muncul rasa ingin tau atas sebuah misteri. Maklum, saya belum pernah mengunjungi kompleks perumahan era megalitik itu sebelumnya.

Perjalanan itu memunculkan ide menulis dan mengembangkan ide tentang pengalaman dan kekaguman dari orang yang baru pertama kali mengunjungi Bawomataluo.

Dengan proses yang panjang, akhirnya, saya menghasilkan artikel berjudul: Bawomataluo: Keindahan dan Misteri yang dimuat di mediaonline Nias Bangkit, dan kemudian dimuat pula oleh media lokal Jarak Pantau, detiktravel.com. Selain terhibur, artikel ini juga mengharapkan pembacanya mendapatkan informasi tentang keindahan sebuah desa di Nias.

Suatu malam saya menonton televisi saat berlangsungnya kompetisi artis-artis ASEAN Idol. Saya kagum melihat sportivitas para peserta saat pengumuman juara digelar. Para bintang menerima kemenangan dengan rendah hati, dan peserta yang kalah menerima kekalahannya dengan ikhlas.

Dari aktivitas ini muncul ide menulis perbandingan antara pemenang ASEAN Idol dan Pemilu di Indonesia yang sering ricuh saat kalah dari pesaingnya. Ide itu menghasilkan artikel berjudul: ASEAN Idol dan Pemilu. Artikel ini berguna bagi pembaca agar meniru sebuah kompetisi yang baik dan benar.

**
Ide-ide awal yang belum diperkaya dengan informasi tambahan, dan tidak ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar biasanya masih kering dan kurang menarik. 

Setelah memperoleh ide, saya mencoba mengolahnya, mengaitkannya dengan informasi yang sudah saya miliki dan merenungkannya berkali-kali.Lantas, merasa ide itu cukup menarik dan mampu menulisnya, saya merumuskan topiknya, temanya.

Misalnya, topik tentang perjalanan saya ke Desa Bawomataluo dan temanya adalah kekaguman seorang yang pertama kali mengunjungi desa yang memiliki 260 lebih rumah yang dibangun di era megalitik itu.

Setelah melakukan semuanya itu, saya mencoba meringkasnya dengan paragraf yang menarik, membuat pembaca memiliki rasa ingin tau dan mendapat penjelasan dari artikel itu.

"Akhir Maret 2011, saya mengunjungi Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, desa yang penuh dengan karya megalitik suku Nias.Desa yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Nias Selatan ini memberi rasa kagum yang tidak kalah unik dibanding dengan kawasan wisata budaya lainnya, misalnya Borobudur dan kawasan wisata budaya lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi".

Ingat, menulis adalah menjelaskan sesuatu kepada pembaca, bukan untuk dinikmati penulisnya sendiri.Jadi Anda menulis adalah memberi jawaban kepada pembaca.Saya berharap pembacanya akan bertanya: macam manapula Bawomataluo ini, katanya asing, dikaitkan pula dengan Borobudur. Coba kubacaya!.

Lantas, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyan yang mungkin muncul di benak pembaca dengan dan memetakannya dalam sebuah outline agar uraian-uraian pertanyaan mereka dalam artikel tidak terlalu meluas. 

Saya harus membatasi isi artikel dengan pokok-pokok yang menarik. Membagi ide menjadi beberapa bagian. Misalnya, kesan memasuki wilayah itu, perasaan saya ketika berhasil mencapai tangga terakhir dari 86 tangga yang sudah saya lalui, dan rasa ingin tau tentang desa Bawomataluo ketika memasuki desa itu. 

Saya menarik perhatian pembaca dan mengajak pembaca seolah bersama sama melakukan perjalanan itu. Kata "misteri" saya pilih untuk menarik perhatian pembaca. Saya menyadari dibatasi oleh jumlah kata yang harus ditulis dan mampu menarik perhatian pembaca.(Media cetak, seperti Analisa misalnya: hanya memerlukan artikel sepanjang 6000-7000 karakater. 

Beberapa kali editor mengembalikan tulisan saya untuk diperpendek karena terlalu panjang. Harap maklum, media juga memiliki visi bisnis dan juga menjaga kebosanan pembaca!).

Pekerjaan saya kemudian adalah secara tahap demi tahap, perlahan-lahan menuangkan dan memperkaya ide menjadi tulisan melalui tuts ke layar komputer. Pembaca yang belum pernah menulis di media cetak mungkin berfikir: menulis itu sekali jalan langsung jadi. 

**

Pengalaman saya, berkali-kali menulis, berkali-kali pula muncul kesalahan dan rasa ingin agar artikel lebih baik, kadang tak mengenal waktu . Berkali-kali harus melakukan pengayaan informasi dan koreksi. Mulai dari kalimat-kalimat yang masih kosong, bahkan saya sendiri awalnya membaca artikel sambil tertawa.

Di awal penulisan sering muncul susunan kalimat yang tidak logis, pemakaian kata-kata yang tidak tepat menggambarkan sesuatu (suasana, gambaran tempat yang kurang lengkap), kesalahan penulisan kata (kurang huruf, huruf yang ganda, misalnya pagi jadi paggi).

Saya hampir selalu mengalami salah ejaan (didalam,ke dalam—seharusnya di dalam dan ke dalam), salah nama tempat atau orang, salah tanggal dan banyak lagi yang harus dikoreksi.

Membaca kembali, membaca kembali, kemudian mengedit!. Itulah pekerjaan selanjutnya.

Sepintar apapun Anda menulis, memperkaya isi tulisan, editing menjadi sebuah proses penting.
Setelah menulis ratusan artikel dan beberapa buah buku,saya hampir tidak pernah mampu menulis dengan sempurna. Bahkan setelah artikel dimuat di media cetakpun masih mungkin terjadi kesalahan.
Filter terakhir seharusnya kita sendiri, karena banyak media tidak memiliki editor bahasa. Pedoman paling baik adalah jadikan tulisan Anda "enak dibaca dan perlu", seperti semboyan Majalah Tempo.

Ingat, menulis adalah mendokumentasikan peradaban yang akan dibaca puluhan tahun kedepan, menawarkan seseorang menikmati informasi baru dan sebisa mungkin mengajak pembaca bertindak kearah yang positif. 

Kesalahan sekecil apapun akan membuat malu diri sendiri. Saya merasa menyesal dan malu ketika membaca artikel saya dimuat di media cetak, tetapi masih terdapat salah penulisan. Sudah begitu, tak jera-jera juga membuat kesalahan!.

Tapi saya menghibur diri dengan kata-kata Einstein "Orang yang tak pernah membuat kesalahan, tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baru".Tentu bukan berarti harus salah karena kemalasan membaca atau tidak mengikuti aturan.

Wah, ternyata cukup panjang juga proses menulis artikel dimedia cetak. Cukup panjang dan melelahkan bukan?.Sudah capek, seorang penulis pernah menggerutu dan berkata: "Saya sudah menghabiskan waktu berhari-hari menulis, tetapi tidak juga dimuat". Bayangkan! 

Jadi, berilah penghargaan kepada mereka yang karya-karyanya sudah dimuat di media cetak. Mereka sudah lulus melintasi berbagai proses yang melelahkan. 

Bacalah tulisan mereka dan berilah komentar dan tuliskan kesan Anda melalui sms atau facebook. Atau setidaknya singgunglah artikel mereka ketika Anda bertemu! ***

Penulis adalah kolomnis, berdomisili di Medan.

Artikel ini bisa juga diakses ke:  http://www.analisadaily.com/news/17146/dari-ide-ke-artikel-di-media-cetak/

Tidak ada komentar: