My 500 Words

Kamis, 05 Juni 2014

Pengalaman Wirid dan Kebaktian Rumah-rumah

Oleh: Jannerson Girsang

Memelihara keharmonisan bertetangga dengan umat berbeda agama hanya perlu hati yang tulus mencintai sesama, pelajari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau dibicarakan di depan mereka.


Pengalaman ini mungkin bisa bermanfaat untuk menjaga kerukunan yang dimulai dari tetangga. 

Saya hidup bertetangga dengan umat Muslim, di depan, di samping kiri kanan, dan beberapa rumah sekeliling rumah saya. Umat Muslim melaksanakan wirid dan GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun, Sektor) melaksanakan kebaktian rumah-rumah setiap Kamis malam.

Suatu hari saya mendapat giliran partonggoan (kebaktian rumah-rumah) dan tetangga sebelah kiri rumah saya Pak Halim, mendapat giliran wiridan, Kamis malam, dan menggunakan pengeras suara.

Acaranya sama-sama dimulai pukul 20.00. Rumah kami hanya berbatas dinding, jadi kalau ada acara di rumahnya terdengar ke rumah saya, demikian sebaliknya.

Kalau dipikirkan itu rumit. Tapi, kalau dilaksanakan dengan hati yang tulus, semua bisa berlangsung dengan baik dan damai.

Sebenarnya, beberapa jam sebelum acara dimulai, saya sudah memiliki niat membicarakan pelaksanaan teknis acara kebaktian di rumah kami dengan Pak Halim.

Tanpa saya duga, beliau lebih dulu datang ke rumah saya. Itulah kalau batin sudah bicara.

"Pak Girsang, nanti di rumah saya ada wirid, padahal di rumah Bapak juga ada kebaktian, gimana caranya ya?" kata Pak Halim.

Beliau sangat sadar akan mengganggu kebaktian di rumah kami karena mereka menggunakan pengeras suara. Lalu, kami mendapat penyelesaian yang bijak.

"Kami akan mulai lebih cepat, dan sebelum khotbah dari bapak pendeta selesai, Bapak jangan mulai dulu ya Pak Halim," demikian saya usulkan.

Pak Halim setuju. Acara wirid dan partonggoan (kebaktian di rumah) berjalan, tanpa halangan. Pak Kiai, yang rajin menyapa saya setiap berpapasan saat berangkat wirid, memahami situasi itu, demikian juga jamaah yang mengikuti wirid malam itu.

Pak Halim, adalah seorang wartawan senior di sebuah harian terkemuka di Medan. Saya sudah bertetangga dengan beliau sejak 1996, dan kami hidup dalam saling pengertian dan menghormati sesama.

Pak Halim adalah keluarga yang taat beragama, bahkan sudah menunaikan ibadah Haji bersama istrinya yang sangat peduli dan ramah tamah.

Sebelum beliau naik Haji beberapa tahun yang lalu, Pak Halim datang ke rumah saya. 

"Pak Girsang, saya mau naik Haji. Mohon kalau ada kesalahan saya dimaafkan Pak", katanya tulus.

Pak Halim tidak pernah bersalah kepada saya. Beliau adalah tetangga yang baik. Saya mendoakan beliau supaya selamat pulang dari Haji.

Sekembalinya dari Haji, saya menikmati oleh-oleh buah kurma, dan kisah-kisah beliau selama naik haji. Menambah pengetahuan saya tentang makna menunaikan ibadah haji bagi umat Muslim.

Bertetangga dengan umat berbeda agama tak usah dirumit-rumitkan. Kita hanya perlu hati yang tulus mencintai sesama. Pelajarilah kehidupan tetangga Anda. Pahami ajaran mereka, sehingga Anda akan memahami apa yang boleh dan tidak boleh Anda lakukan, bicarakan di depan mereka!.

"Kita berbeda karena Tuhan ingin kita berbeda. Tugas kita adalah hidup berdampingan dan rukun," demikian nasihat yang pernah saya terima dari Syekh Ali Akbar Marbun--Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qautsar Al-Akbar, di ruangannya, di Jalan Pelajar Medan, ketika saya mewawancarai beliau untuk penulisan sebuah buku pada 2007. 

Mengapa kita membuat rumit? Sederhanakanlah kehidupan ini.


Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua!.

Medan, 5 Juni 2014

Tidak ada komentar: