My 500 Words

Selasa, 28 April 2015

"Akh. Aku Tak Berguna Lagi..."


Oleh: Jannerson Girsang

Di usia lansia, apalagi sudah 80-an ke atas, manusia umumnya merasakan dirinya seolah tidak berguna, karena lingkungan yang salah. Kalau kita tidak mengubah sikap sejak sekarang terhadap lansia, maka kitapun akan mengalami hal yang sama, ketika kita seperti mereka.

Semangat mereka tidak sehebat dulu lagi. Wajahnya kadang lesu, sering dengan pandangan hampa, tanpa harapan. Berjemur di depan rumah, di pagi hari, memperoleh kehangatan, kadang memandang dengan mata kosong, walau di depan rumah anaknya, terhampar bunga dan tanaman hijau.

Berulang-ulang menceritakan hal yang sama, yang kadang membuat orang di sekitarnya bosan mendengarnya.

Itulah proses hidup. Semua orang berusia lanjut mengalaminya. Orang muda tidak pernah mengerti kondisi mereka, karena orang-orang muda tidak pernah menjadi tua. Mereka ingin orang tua tetap sehat dan energik, meski orang tuanya sudah tua.

Seringkali para lansia merasa diabaikan. Padahal, mereka menyimpan segudang dokumen berharga: pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya.

"Mereka adalah orang-orang penting dunia", pernah menjadi aktor utama di masa lalu, paling tidak dalam menghantarkan anak-anaknya menjadi dewasa, berkeluarga dan memiliki anak.
Bukankah kini banyak pasangan yang gagal dalam keluarganya? Bukankah luar biasa kalau hingga di usia 80-an, pasangan mereka awet, atau kalaupun mereka duda atau janda tetap memegang janji pernikahannya?

Paling tidak mereka menjadi inspirasi yang berhasil menghantarkan keluarganya hingga mandiri, teladan menjadi keluarga yang mampu mempertahankan rumah tangga dan membina anak-anaknya..
Usia sepanjang itu telah melihat, mendengar, merasakan dan memaknai berbagai peristiwa yang penting di masa lalu, dan tidak pernah dilihat dan didengar generasi sesudah mereka.

Sayangnya, di usia seperti itu, kondisi tubuh, daya ingat sudah menurun, kemampuan berkomunikasi juga menurun, sementara perhatian keluarga, masyarakat yang cenderung materialis, juga menurun.
Mereka hanya dibiarkan tinggal di rumah, tidak ikut ke pesta, tidak ikut rembuk desa, bahkan banyak yang tidak mengikuti kebaktian atau sembahyang di rumah ibadah.

Bertahun-tahun mereka hidup dalam kesepian dan terisolasi dari "peran" di dalam keluarga. Seringkali mereka "tersisih" dari pembicaraan di tengah-tengah keluarga, masyarakat, dan kadang dianggap tidak perlu.

Kita bisa melayani kebutuhan mereka yang sangat..sangat menolong. Mereka suka bercerita, mengungkapkan isi hatinya, ingin diperlakukan sebagai "aktor" utama, bukan hanya "peran pembantu", apalagi tidak punya peran bahkan tidak didengar lagi.

Lingkungan  bisa melayani mereka bercerita dengan hati. Bertanya tentang masa kecilnya, masa-remaja, masa mudanya. Mereka akan tertawa.

Mengenang kapahitannya menyekolahkan anak, diperlakukan orang tidak baik, mereka menangis.
Berbincang tentang Tuhan dalam hidupnya, mereka akan menerawang jauh ke atas atap rumahnya, merasakan betapa besar kuasa Tuhan memeliharanya. Ketika semua orang mengabaikan mereka, Tuhan senantiasa sayang kepada mereka.

Air mata, tawa, menerawang, sebuah simbol pemaknaan hidup dari seorang yang mengalami hidup panjang di dunia ini, menghasilkan ungkapan-ungkapan tak terduga yang sangat bermanfaat bagi kita.

Satu lembar seminggu, cerita tentang orang berusia lanjut, maka dalam satu tahun kita akan mengumpul kisah setebal 52 halaman. Bayangkan, kalau mau bercerita dengan mereka selama tiga tahun, seminggu sekali.

Bagi mereka, proses seperti ini, sangat mujarab menumbuhkan rasa percaya diri mereka, mereka merasa hidup kembali.

Itulah pengalaman saya mengamati kehidupan orang tua seperti ini dalam melakukan penulisan biografi dan otobiografi.

Mungkin sudah lama mereka tidak menjadi aktor utama berbicara tentang dirinya, tentang prestasinya di masa lalu. Mereka adalah aktor utama yang menjadikan putra-putrinya menjadi seperti sekarang ini. Merekalah yang mengawali proses membuat hidup kita seperti sekarang ini. Tidakkah mereka orang penting? .

Dua minggu terakhir, saya berbicara dan menggali pengalaman dua orang perempuan yang berusia 86, 87 tahun.

Mereka terlihat lebih sehat, setelah mengeluarkan air mata, kemudian tertawa karena sadar mereka sangat berguna bagi kehidupan umat manusia.

Apalagi, setelah membaca apa yang mereka kisahkan!

"Akh.....kami ini tidak diperlukan lagi. Tinggal menunggu panggilan," ungkapan pesimis yang sering muncul dalam wawancara, ketika memulai pembicaraan.

Pendapat itu tidak benar. Mereka menyimpan sejumlah kearifan yang perlu diungkap dan dipelajarii oleh kita-kita yang hidup.

Setelah dijelaskan pentingnya pengalaman mereka, kemudian dengan lancar mengungkapkan perasaannya, kenangannya. Bagi mereka sendiri, proses pengungkapan pengalaman itu adalah obat, terapi.

Jangan biarkan mereka pergi menghadap sang Kuasa, terbakar, tanpa Anda sempat menuliskan, menyelamatkan isi perpustakaan besar itu. Anda bisa melakukannya sendiri.

Para pelayan, penulis, anak-anak, seharusnya memperhatikan mereka lebih dari yang lain. Luangkan waktu berbicara dengan mereka dengan hati.

Mereka tidak butuh sentuhan yang indah dipandang mata, enak didengar telinga, tetapi mereka butuh sentuhan hati. Mereka tidak hanya butuh bantuan sembako, apalagi pakaian. Hal yang sering dilakukan gereja. Walau itu tidak kalah penting.

Tetapi yang terpenting adalah mereka butuh mengungkap perasaannya, mereka ingin didengar.
Jangan lupa: Mereka adalah perpustakaan besar bagi kita: berisi kebijakan-kebijakan dan pengalaman hidup yang tidak tertulis.

Medan, 31 Maret 2015

Tidak ada komentar: