My 500 Words

Selasa, 28 April 2015

Saya Mau Mati Saja (?)

Dituturkan kembali oleh: Jannerson Girsang

Suatu hari seorang bapak yang frustrasi ingin mengambil keputusan penting!. "Mau mati saja!"
Pasalnya, selama ini dia tidak cocok dengan istri dan anak-anak. Meski mereka selama ini tergantung dari jerih payahnya. Bahkan istrinya hanya "selingkuh" serta berbuat hal yang tidak terpuji lainnya. Istri dan anak-anaknya tidak memperdulikannya,

Di kantornya dia tidak memiliki teman kerja. Tidak punya prestasi yang baik, karena selalu membandel. Teman-temannya menjauhinya. "Maju kena, mundur kena".

Semuanya serba salah dan tidak menyenangkannya. Ditambah lagi berbagai persoalan yang dihadapinya.

Hingga dia mengambil keputusan "Saya mau mati saja!. Mungkin itu akan membuat saya senang, bahagia".

Dia pergi ke seorang yang menurutnya memiliki obat untuk membuatnya mati dan menemuinya dengan penuh harap, agar dia bisa mati dalam tiga hari, dengan cara yang "enak", tanpa menderita sakit. .

Orang "pintar" itupun bertanya kebulatan tekadnya untuk mati.

"Apakah Anda memang benar-benar bersedia mati?"

"Ya Tuan. Saya memang sudah bulat mengakhiri hidup saya," katanya.

"Kalau begitu, bawalah obat ini. Tiga hari diminum, Anda pasti akan mati,"katanya.

Si Bapak yang frustrasi inipun dengan melenggang pulang, dan berkata dalam hati, "Kalau aku mati aku akan senang, puaslah kalian semua,"

Hari pertama, dia meninum obat itu. Dia makin yakin akan mendekati cita-citanya. Hari kedua demikian juga. Dia setia meminum obat dan bertekad akan mati pada hari ketiga.

Hari terakhir. Sang Bapak merasa perlu untuk meninggalkan kesan yang baik bagi keluarga, maupun tempatnya bekerja. Dia melakukan hal-hal baik yang tak pernah dilakukannya sebelumnya.

Tidurnya tidak nyenyak Bahkan subuh sudah bangun. Pagi-pagi, dia sudah siap memasak makanan untuk seluruh keluarganya. Dia menyiapkannya di atas meja. Dia mengajak makan bersama dan menyapa istri dan anak-anaknya dengan ramah. Hal itu tidak pernah dilakukannya sebelumnya.

Di kantor, dia juga bersikap ramah. Padahal selama ini dia membandel kepada atasannya. Kali ini dia menemui atasannya dan tanpa disuruhpun, dia sudah meminta apa yang bisa dia kerjakan.

"Apa yang bisa saya kerjakan Pak," katanya, dengan wajah yang lebih simpatik dari biasanya. .
Sang atasanpun heran dan melihat perubahan, dan dengan senang hati memerintahkan anak buahnya itu.

Teman-teman sekerjanyapun disapa dengan ramah. Mereka heran akan perubahan yang terjadi. Mereka semua senang, karena selama ini sang Bapak yang frustrasi ini menjadi batu sandungan bagi mereka. Tidak ada staf yang mau bekerja sama dengannya.

Sepulang dari kantor, semua pegawai bahkan atasannya memuji pekerjaannya.

"Terima kasih Pak, terima kasih Pak, sampai ketemu besok," demikian sapaan-sapaan yang menyenangkan diperolehnya saat hari terakhirnya menuju kematian yang dicita-citakannya.

Dia pulang dengan senang hati. .

Tiba di rumah, sang Bapak disambut istrinya dengan ramah.

"Pak, apa yang Bapak lakukan tadi pagi sangat berkesan. Begitu menyenangkan dan saya akan berubah. Saya akan ingat kebaikan Bapak," katanya, sambil memeluk suaminya.

Bertahun-tahun mereka sudah tidak akur, dan tidak pernah saling sapa, apalagi saling menghargai, seperti yang dilakukan sang suami tadi pagi. .

Anak-anaknyapun sangat senang dengan perlakukan bapak mereka tadi pagi.

"Pak, Bapak baik deh. Kalau seperti itulah kita ke depan, sungguh enak hidup ini," kata anak-anaknya.

Semua menyambutnya dengan ramah dan baik.

Sang bapak masuk ke kamarnya. Sikapnya berubah. Dia ragu meminum obat "maut" yang diberikan "orang pintar". Dia ingin membatalkan meminum obat yang ketiga kalinya.

Lantas, dia menelepon "orang pintar" itu. "Pak, saya tidak jadi meminum obat yang ketiga kali itu. Saya tidak mau mati. Semua orang sudah baik kepada saya" katanya.

"Wah baguslah. Kamu tidak jadi mati. Kalaupun kamu meminumnya, kamu tidak akan mati, karena yang saya berikan itu hanya air putih, bukan untuk membuatmu mati," katanya.

Sugesti kata: "Aku mau mati", begitu kuat mendorong sang Bapak yang frustrasi berubah sikap.

Dia mampu berbuat baik di hari terakhir, orang-orang di sekitarnya berubah sikap dari benci menjadi senang. Akhirnya dia tidak mau mati.

Kematian yang direncanakan bukan sesuatu jaminan kebahagiaan. Hanya orang yang hidup yang mampu merasakan kebahagiaan. Lagi pula, "Kematian" bukan urusan manusia, itu urusan Tuhan.
Dia tidak perlu mati, tetapi hanya perlu mengubah sikapnya!.Perubahan harus datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain.


"Kata-kata manusia seperti itu saja sudah begitu kuat memotivasi manusia. Apalagi kata-kata Tuhan," kata Pendeta hari ini di GKPS Simallingkar, Medan.

Medan, 26 April 2015

Tidak ada komentar: