My 500 Words

Senin, 30 Januari 2012

2012: Sajikan Cerita yang Menginspirasi (Analisa 20 Januari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang
  Around the Corporate Campfire
 Sumber foto:http://www.belbuk.com/around-the-corporate-campfire-p-7584.html 
 
Membaca Buku Around the Coorporate Camfire tulisan Evelyn Clark memberi peringatan pada kita semua atas pentingnya perhatian untuk meningkatkan kemampuan bercerita hal-hal yang menginspirasi, berkomunikasi ”sepanjang cerita”. Tidak hanya kata-kata yang yang berhenti pada jawaban ya atau tidak. Pentingnya bercerita hal-hal yang menginspirasi diantara sesama anggota keluarga, sesama anggota masyarakat. 

Dari pengamatan saya menulis beberapa biografi dan otobiografi, umumnya anggota keluarga pertama kali belajar filosofi hidup yang diajarkan ibu atau ayah mereka. Setelah itu para anggota keluarga juga menyerap cerita yang berasal dari luar yang memiliki nilai-nilai universal, turut memaknai pengayaan cerita rumah tangga itu.

Makin sering berkomunikasi ”sepanjang cerita” dilakukan di dalam keluarga, anggota keluarga memiliki pemahaman konsep kemanusiaan yang makin meningkat, demikian juga kemampuan berkomunikasi ”sepanjang cerita”.

Sampai di masa tuapun, rasa keterikatan dan kebersamaan mereka tetap terjaga karena memiliki kisah pengalaman bersama masa lalu (bekerja bersama dan bercerita bersama). Masing-masing memiliki kontribusi kepada kisah keluarga.

Menangkal Kisah Kekerasan

Menceritakan tentang kisah-kisah yang menginspirasi menjadi ingatan kolektif keluarga, masyarakat dan bangsa ini, diajar menangkal kekerasan, tipu muslihat, korupsi.  Cerita yang justru makin meningkat di media kita, serta memasuki kisah-kisah ke dalam keluarga-keluarga.

Di era modern ini banyak kepala keluarga yang hanya mampu berkomunikasi seputar  kewajiban dan haknya kepada anak-anak atau anggota keluarga. Selain itu, karena kesibukan, kurang memberi waktu bercerita tentang nilai, prinsip hidup diantara sesama anggota keluarga.  

Di luar sana, para pemimpin cenderung tidak lagi pandai menceritakan kebijakannya untuk dimengerti oleh sesama pemimpin termasuk oleh rakyatnya. Bahkan tidak jarang komunikasi sesama pemimpin saling menjatuhkan. Lihat misalnya bagaimana Saurip Kadi dan Gubernur Lampung saling melecehkan (TribuneNew, 12 Januari 2012). Dan beberapa kejadian sebelumnya banyak komunikasi diantara para pemimpin kita yang tidak etis (bahkan ada yang hampir meninju satu dengan yang lainnya, menceritakan aib seseorang di layar televisi).

Meminjam istilah Sephen R. Covey (Penulis 8th Habit) :kita kurang mampu ”Mengilhami Orang Lain Menemukan Suara Mereka”, sebaliknya cenderung saling melemahkan satu sama lain.

Budaya Bercerita dalam Keluarga

Keluarga dibentuk untuk mewujudkan kebahagiaan yang sempurna, serta memberi kontribusi kepada masyarakat sekitarnya.

Cerita proses perjalanan keluarga merupakan perekat di dalam keluarga dan harus terus-menerus ditanamkan. Setiap anggota keluarga ingin didengar ceritanya dan mereka sangat ingin mendengar cerita anggota keluarga yang lain. ”Setiap orang suka bercerita dan setiap orang suka membaca (mendengar) cerita,” kata Evelyn Clark.  


Cerita dimaksud adalah apa yang dilihat, dipikirkan, dilakukan dan dimaknai masing-masing anggota keluarga, sesuatu yang inherent dengan materi atau benda-benda yang sudah diberikan orang tua kepada anak-anak. 

Setiap keluarga memiliki cerita yang khas--berbeda dengan keluarga lainnya. Di sana ada tokohnya, peristiwanya serta konflik-konflik yang terjadi dan cara mereka menghadapinya. Seharusnya, dalam proses perjalanan keluarga, seluruh anggota keluarga terlibat. Cerita yang tercipta di dalam keluarga, adalah ungkapan proses bersama keluarga itu.

Ketika berkomunikasi sepanjang cerita terlupakan, keluarga sebenarnya telah melupakan salah satu cara membentuk watak anak dan anggota keluarga lainnya terbuka, jujur dan menghormati nilai universal.

Sayangnya, dengan berbagai alasan, komunikasi sepanjang cerita semakin miskin. Padahal, Evelyn Clark berpendapat bahwa cerita anda tidak kurang penting dari harta benda yang kita hasilkan, nilai pekerjaan kita terletak pada cerita tentang proses pekerjaan itu sendiri.

Perkembangan teknologi, tuntutan pekerjaan telah merubah persepsi kita atas pentingnya waktu bercerita menginspirasi dalam keluarga. Komunikasi yang lama belum dikuasai, muncul pola komunikasi yang baru, hingga kebingungan melanda banyak keluarga. Kisah perkotaan dimana masyarakatnya cenderung diperkuda jabatan, materi dan ambisi menjadi pengamatan utama kami akhir-akhir ini.  

Sang ayah seorang konsultan, asyik di meja desain dengan lampu terang, dan disampingnya sebuah komputer mutakhir dan internetnya sedang online mengirimkan data ke tempat lain.  Si ibu seorang dosen yang sedang asyik menyusun desertasi doktornya di ruangan lain di lantai dasar rumah mereka. Anak-anak dengan ditemani pembantu belajar di lantai atas.

Begitulah, pada suatu saat kami berbincang. Ada kesan suami istri bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling jago. ”Oh lihat siapa yang paling banyak temannya di Facebook”, kata si ibu, menunjukkan kehebatannya. Berjam-jam waktunya dicurahkan di FB bercerita dan menemukan teman-teman lamanya. Komunikasi baru ini, ternyata selain memberinya kepuasan sendiri, salah-salah memang menyita waktu yang luar biasa. Mereka tidak hanya berhubungan di jejaring FB, tetapi juga Myspace. Frienster, Bebo, Twitter dan lain sebagainya. Duduk menghadap komputer, diam membisu, sesekali tertawa sendiri, seperti orang gila, membayangkan temannya (mungkin juga melakukan hal yang sama) di seberang sana.

Di luar rumah mereka disibukkan dengan pekerjaan, kegiatan organisasi dan segala macam kegiatan lainnya. Tak cukup lagi waktu waktu berkomunikasi ”sepanjang cerita” dengan anak-anak, bahkan dengan teman-teman.

Hubungan dengan suami istri, juga tidak jauh berbeda. Malah, hubungan seks diantara dua pasangan tidak jarang mengabaikan komunikasi ”sepanjang cerita” yang menggairahkan. Banyaknya gambar-gambar porno di berbagai situs, disinyalir juga menyita perhatian suami dan istri dan lambat laun lebih menyukai gambar manusia bugil tanpa nyawa daripada isterinya sendiri.

Tak heran, kalau belakangan banyak kasus mencari PIL (Pria atau Perempuan intim lain), Teman Tapi Mesra (TTM). Perceraian meingkat, karena lebih membuka hubungan ”sepanjang cerita” bukan dengan anggota keluarganya.

Hubungan di rumah hanya sebatas ”perintah”, bukan hubungan yang saling berbagi dan saling mencerdaskan dan menginspirasi. ”Kami tidak pernah bercerita. Kalau ceritapun, ujung-ujungnya menyalahkan saya dan ketika cerita selesai saya keluar dengan geram hati,” cerita seorang anak di sebuah cafe di Medan.

Akibatnya, semakin banyak aspirasi tersendat . Reaksi di dalam keluarga bila ungkapan hati yang tidak terpenuhi diwujudkan melalui bahasa tubuh seperti melemparkan gelas hingga pecah, atau muka cemberut. Dalam skala lebih besar di tengah-tengah masyarakat, demonstrasi berbuntut kekerasan, memaksakan kehendak, bahkan berkelahi di rapat parlemen.

Perayaaan 17 Agustus

Alpanya perhatian kita atas komunikasi dengan cerita pengalaman bersama, mungkin menjadi penyebab komunikasi dengan masyarakat di luar mengalami penurunan. Perayaan-perayaan nasional, religi dan hari-hari istimewa lainnya kehilangan makna.

Memutar kembali memori puluhan tahun ke belakang, saat kami masih anak-anak, 17 Agustus sungguh sebuah pesta dan kemeriahan besar dengan penyampaian nilai-nilai kejuangan para pendahulu.

Kisah Jenderal Sudirman, para tokoh yang berjasa berjasa bagi negara, serta tokoh-tokoh yang tak dikenal--tanpa memandang agama, suku dan ras menjadi cerita yang menarik dan menginspirasi. 

Kini, 17 Agustus hanya dimaknai dengan simbol-simbol bendera merah putih, pigura, lampu-lampu berwarna warni, serta hiburan dangdut, pidato-pidato kosong, bahkan dikotori pula dengan gambar-gambar kampanye para Caleg—yang kadang tidak pada tempatnya.

Kita sudah hampir melupakan cerita tentang idola atau panutan. Bahkan penyanyi dangdut atau caleg sering ditonjolkan sebagai pahlawan di puncak acara!. Tokoh-tokoh dan pemimpin yang inspiratif tidak muncul. Yang muncul hanya mereka yang punya kuasa dan banyak duit. Pesta-pesta besar tidak lagi bermakna. Yang tampil adalah penyelenggaranya, bukan perayaannya.

Masyarakat kurang tertarik membicarakan perenungan perjalanan kita dalam adat, agama, keluh kesah kehidupan, bahkan politik dalam bentuk cerita. Semua berjalan apa adanya—asal lalu. Tanpa makna dan perenungan bersama. Tetapi jika membicarakan mobil terbaru, naju terbaru, sepeda motor terbaru, tempat belanja yang modenr, kita rajanya.

Tahun demi tahun tidak ada tokoh yang muncul sebagai panutan—bahkan tak jarang cenderung menghujat satu sama lain.

Dalam kegiatan kolektif di tengah-tengah masyarakat, saya merasakan suasana berbeda belakangan ini dibanding beberapa tahun sebelumnya. Khususnya saat saya menghadiri rapat-rapat. Bahasa semakin tidak sopan, amarah yang tidak pada tempatnya. Mungkinkah karena kita mengabaikan komunikasi ”sepanjang cerita”?. Mari kita sama-sama merenungkannya!

”Teringat di saat kita tertawa bersama. Ceritakan semua tentang kita. Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita bersama saat dulu kala. Ada cerita tentang masa yang indah saat kita berduka, saat kita tertawa” adalah penggalan lagu Grup Band Peterpan yang sangat populer di era 2000-an. Mari belajar bercerita yang menginspirasi, hindari bercerita saling merendahkan, melecehkan, membuat sakit hati di tengah keluarga dan masyarakat!.




[1] Harian Analisa, 20 Januari 2012

Menghargai Guru Melalui Novel (Batak Pos, 20 Januari 2012)


Oleh: Jannerson Girsang

 
id.wikipedia.org

Melalui novel, ternyata penulis bisa menghargai guru, menghargai budaya, menghargai alam. Kali ini saya menulis untuk Anda bagaimana seorang penulis novel mendedikasikan karya novelnya bagi guru-gurunya, sebuah teladan yang pantas menjadi renungan kita bersama untuk memberi apresiasi pada guru, pahlawan tanpa tanda jasa.   

Sebuah televisi swasta akhir tahun lalu beberapa kali menayangkan kembali film Lasykar Pelangi yang diangkat dari novel yang ditulis Andrea Hirata, yang berkisah tentang 10 orang anak Melayu Belitong yang belajar penuh semangat di tengah kemiskinan di sebuah sekolah yang apa adanya.

Tapi tahukah anda, kalau Andrea Hirata ternyata mendedikasikan secara khusus novel yang sudah terjual lebih dari 15 juta eksemplar ini didedikasikan untuk gurunya?

Inilah pengakuan penulisnya Andrea Hirata."Niat saya untuk menulis buku ini sudah ada sejak saya kelas 3 SD, ketika saya demikian terkesan pada jerih payah kedua guru SD saya Ibu Muslimah dan Bapak Harfan Effendi, serta 10 sahabat masa kecil saya, yang disebut Kelompok “Laskar Pelangi” (LP). Buku LP saya tulis sebagai ucapan terimakasih daan penghargaan kepada guru dan sahabat-sahabat saya itu,” kata Andrea Hirata kepada situs http://www.pembelajar.com, awal 2009 lalu.

Sebuah penghargaan yang lebih dari sekedar "tanda jasa".

Dua Karakter Guru Idola

Laskar Pelangi, novel best seller di Indonesia yang diluncurkan ke pasar pada 2006 itu ditulis berdasarkan memoar Andrea Hirata, sang penulisnya sendiri. Salah satu penggalan kisah masa kecilnya adalah kekagumannya yang mendalam kepada dua orang gurunya. Kisah itu ditempatkannya dalam ruang penting dalam novel yang terdiri dari 34 bab dan 533 halaman itu.

Dua karakter guru idola penulis yang ditampilkan adalah Bu Halimah dan Pak Arfan. Bu Muslimah yang memiliki nama lengkap N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar Pelangi. Wanita lembut ini adalah pengajar pertama Laskar Pelangi dan merupakan guru yang paling berharga bagi mereka. Pak Harfan dengan nama lengkap K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor. Kepala sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah orang yang sangat baik hati dan penyabar meski murid-murid awalnya takut melihatnya.

Di mata Andreas Hirata dua gurunya itu telah membentuk mereka hingga menjadi seperti sekarang ini. Karakter gurunya digambarkannya saat mereka menghadapi berbagai persoalan di sekolahnya, melalui sejumlah kisah yang dialaminya saat menjalani masa Sekolah Dasar di kampung.

Di bawah bimbingan kedua guru mereka, Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa dan menangis bersama.

Kisah-kisah menggelikan dengan Pak Harfan mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan-pertemuan mereka dengan Kepala Sekolah mereka itu, pemilihan ketua kelas, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah.

Bu Halimah yang memberi nama geng mereka sebagai Laskar Pelangi, akan kesenangan mereka terhadap pelangi - pun sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara.

Pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus, dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat.

Sekolah Hampir Bubar

Peristiwa mengharukan lainnya terjadi di desa Gantung, Belitung Timur. Ketika itu sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jikalau tidak mencapai siswa baru sejumlah 10 anak.

Padahal, ketika itu baru 9 anak yang menghadiri upacara pembukaan. Tetapi, persis saat Pak Harfan, sang kepala sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya datang untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu. Sekolah tidak jadi bubar!.

Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa si jenius cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan, dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar pulau Belitong kembali ke kampungnya.

Membaca Novel Lasykar Pelangi, kita bisa merasakan semangat masa kecil anggota sepuluh Laskar Pelangi, menginspirasi seseorang menghargai dan mengagumi guru.

Gede Prama, seorang penulis terkenal  Indonesia mengatakan: ”Kekuatan Buku Laskar Pelangi itu adalah cinta seorang anak terhadap gurunya”.

Sebuah novel tanda ucapan syukur kepada guru. Tentu tidak semua orang bisa menulis novel, tetapi Anda bisa mengargai jasa guru dengan cara Anda sendiri. Mari belajar menghargai guru-guru yang pernah mengajar kita.!.

Facebook, Gambar Porno, dan Pelecehan! (Jurnal Medan, 20 Januari 2012)

Oleh: Jannerson Girsang

 
 Sumber foto: facebook.com

Facebook atau lebih popular dengan sebutan FB menawarkan banyak manfaat. Tapi jangan lupa, jejaring sosial ini tidak terlepas dari hal-hal yang bisa mengganggu bahkan membunuh karakter penggunanya. Tapi, Anda tidak perlu panik.

Sebuah pesawat jatuh, tidak lantas Anda harus berhenti naik pesawat, atau lantas semua pesawat dikandangkan!.

Para pengguna perlu mempelajari cara meminimalkan efek negatif melalui seleksi teman dan memahami toolsnya secara tepat, serta memahami prinsip komunikasi secara benar pula.

Facebook pada prinsipnya adalah sebuah situs komunitas dimana kita bisa bertemu orang dan bersosialisasi di dunia maya. Ratusan juta pengguna FB di dunia menuai manfaat karena terbukti memberi pengguna banyak manfaat. Pasalnya, FB menawarkan  fungsí seperti menjaga hubungan dengan teman dan keluarga (keep up with friend family), berbagi foto dan video (share photos and video), kita bisa mengontrol privasi secara online (control privacy online) dan berhubungan kembali dengan teman sekelas (reconnect with old classmates).

Sebagai penulis dan sebagai orang tua, FB telah membantu saya mencari dan menyimpan data, mengekspresikan karya-karya kepada teman-teman, memonitor kegiatan anak-anak, bahkan mendapat order pekerjaan.

Bukti, bahwa FB bermanfaat adalah bahwa kini lebih dari 500 juta orang pengguna FB. Mereka bebas memilih untuk menggunakan jejaring ini, dan memanfaatkan FB sesuai dengan kebutuhan atau kepentingannya sendiri-sendiri. Para pejabat, bahkan beberapa Kepala Daerah di Sumatera Utara menggunakannya sebagai alat komunikasi lepada publik.  

Teknologi memiliki sifat yang netral. Tetapi tergantung penggunanya. Ada masuk ke FB bertujuan baik, menjalin persahabatan antara individu, kelompok bahkan sesama bangsa dan antara negara. Bahkan untuk promosi produk, kegiatan kampanye FB terbukti menjadi salah satu alternatif yang banyak dipilih orang. Memang, sama seperti teknologi apapun, selalu ada resiko menggunakannya, ada saja orang yang bertujuan buruk.

Hanya dua sikap yang kami amati selama ini. Terhadap FB. Sebagian meninggalkan Facebook, karena takut dirinya menjadi korban (media masa menyiarkan banyak sekali kasus-kasus negatif yang terjadi difacebook, mulai dari penculikan, pelecehan, fitnah dan lain-lain), sebagian bertahan dengan melakukan berbagai langkah-langkah untuk menghindari hal-hal yang negatif. Penulis termasuk orang yang turut dalam kelompok terakhir. .

FB Tak Luput dari Hal Tak Menyenangkan

Menggunakan FB, tentunya tidak menjanjikan seratus persen kesenangan dan manfaat. Jejaring sosial ini tidak luput dari hal-hal yang mengganggu pikiran bahkan membahayakan (pemerasan, pelecehan, fitnah dan lain-lain).

Bebasnya orang masuk menjadi pengguna Facebook menuntut kehati-hatian dan pemahaman pemanfaatan Facebook secara benar. Salah-salah anda bisa mendapat malu, bahkan terkena tuntutan hukum, baik karena kebodohan, keteledoran anda, atau bisa karena ketidaktahuan, maksud jahat dari orang lain yang iseng atau benci kepada anda.

FB saya sering kemasukan situs-situs yang tak saya inginkan (situs porno dan beberapa situs berbahaya yang bisa mendatangkan virus), grup-grup yang menyita ruang notification, serta statemen atau komentar di status yang berpotensi tidak menyenangkan bahkan menghina atau melecehkan.  

“Pak, di Facebook bapak ada ditag gambar porno,” demikian peringatan seorang teman saya suatu waktu. “Pak, kayaknya ada statemen yang melecehkan di  Facebook bapak deh!”. 

Menurut kami, ini sesuatu yang lumrah saja terjadi pada teknologi apa saja. SMS di Handphone, surat kabar dan media-media yang lain. Saya yakin orang-orang yang beniat tidak baik, tidak akan bertahan lama, karena dunia ini tidak suka kejahatan. SMS gelap dan lain-lain juga saya terima beberapa kali. Isi berupa fitnah juga pernah saya terima. Jadi, FB bukan satu-satunya media komunikasi dimana orang bisa membuat hal-hal yang tidak baik.

Ketika saya mengamati lebih seksama, ternyata postingan tersebut di tag melalui teman yang saya kenal baik. Saat saya menghubunginya, dia sendiri tidak mengetahui sumber gambar yang masuk ke Facebooknya, tapi dia klik likeStatusnya, masuk ke Home dimana bisa dibaca dari FB saya. Beredarlah gambar itu ke seluruh teman-temannya di Facebook. (Kalau ada seperti ini, ya dihapus aja, tidak usah dibuka. Selesai kan!).

Saya tidak berhenti di situ!. Di balik manfaat sebuah teknologi, selalu ada resiko. Tidak sedikit orang yang menggunakan FB sebagai alat untuk mengekspresikan keisengannya atau balas dendam! Hasil temuan brilian muda Zuckerberg pada 2004 ini memang berpotensi disalahgunakan oleh penggunanya.

Selain hal di atas, ada yang Anda perlu perhatikan!. Ketika saya mengklik like sebuah situs porno di status teman, selain muncul di status saya, juga terekam dalam recent activity.

Pada awal menggunakan FB, saya pernah membuka situs yang kurang berkenan dipublikasi kepada publik di saat Facebook sedang log in (beroperasi). Saya mengklik like dan kegiatan itu muncul juga di recent activity. Wah, susah nih. Tidak  perlu panik!. Lalu saya delete, semua selesai!.   

Pengalaman di atas hanyalah beberapa realitas perubahan pemahaman berkomunikasi yang tidak kita alami sebelum Facebook muncul pada 2004. Jejaring sosial yang memungkinkan setiap orang dengan bebasnya mengekpresikan dirinya, mengirim data. Perubahan yang menuntut kewaspadaan dan keharusan mempelajarinya dengan baik, agar manfaatnya maksimal dan efek negatifnya minimal.

Beberapa Tips

Sampai saat ini, saya masih merasa nyaman menggunakan Facebook sebagai sebuah media menjalin persahabatan dengan ribuan teman di dunia maya. Berikut beberapa tips yang saya ingin bagikan kepada anda.

Pertama. Saya melakukan seleksi kembali teman-teman yang sudah masuk di Facebook. Baik itu individu maupun grup. Tidak ada gunanya saya memiliki teman yang sama sekali tidak kenal, kecuali ada referensi dari teman yang kita kenal dekat. Buat apa?. Hanya ingin dilihat hebat?. Tak usah ya!. Demikian juga, ketika anda ingin meng-add teman baru, atau menyetujui reqeuest friend, teliti dan tanyakan teman-teman anda yang lain tentang orang yang bersangkutan. Kesalahan besar para pengguna FB adalah tidak menyeleksi teman-temannya sebelum menerimanya menjadi teman.  

Kedua. Teman yang saya kenal dan sudah menjadi anggota di akun saya, tetapi selalu membuat pernyataan-pernyataan yang menyinggung, tidak mengenalnya dengan baik, atau saya ragu, dan berpotensi mengganggu, maka yang bersangkutan atau grup tersebut akan saya keluarkan. Saya akan meng-klik unfriend atau kalau mau lebih aman saya akan block. Saya tidak mau membiarkan orang-orang yang tidak menyenangi saya memiliki akses dan mengamati kegiatan saya!.

Ketiga. Saya tidak akan mengklik situs porno apapun saat Facebook sedang log in (beroperasi), apalagi mengklik like. Hindari mengklik like  atau comment pada situs yang berbahaya bagi anda, anak-anak atau orang lain.

Keempat, agar privasi saya tidak diketahui orang, saya tidak lupa menghapus kegiatan saya di ”recent activity” (Walau kadang saya lupa).  

Kelima, sesuatu pembicaraan yang bersifat rahasia lakukan di inbox. Pembicaraan akan aman dan hanya saya dan teman yang saya kenal dan percayai bisa mengetahuinya.

Keenam, saya mengisi status dengan berita-berita, pernyataan-pernyataan, foto, atau video yang mencerahkan, menghibur dan mengajak orang bertindak lebih baik.  (Ini yang perlu dilatih. Tidak sedikit pengguna pamer di FB yang mengundang rasa iri, atau membuat statmen yang mengundang rasa permusuhan atau kebencian).

Ke tujuh, jangan memberi komentar pada pernyataan seseorang kalau kita belum mengerti persis maksud sebuah pernyataan atau ekspresi. 

Ke delapan, sama seperti Anda, orang lain juga tidak ingin dirinya disakiti, difitnah. Jangan anda lakukan hal itu kepada siapapun. Tulislah perkataan yang baik untuk membangun, dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh anugerah, bukan sakit hati atau mengundang rasa benci.

Semoga ada manfaatnya!

Selasa, 17 Januari 2012

Makna Lagu Nahum Situmorang di Persimpangan Jalan: ”Hugogo Pe Mansari, Laho Pasingkolahon Gelleng” (Batak Pos, 16-17 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

Minat orang tua di desa untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi menurun. Kualitas pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi dan manfaat  yang diperoleh kurang signifikan bagi sebagian orang tua. Benarkah?

Simaklah buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” (Salwa Press, Yogyakarta, Maret 2002) yang ditulis Darmaningtyias seorang ahli pendidikan. Buku itu mengungkapkan kecenderungan umum di tengah masyarakat Gunung Kidul, terutama di pedesaan yang tidak lagi mempercayai sistem pendidikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sampai awal dekade 1990-an, semangat masyarakat untuk menyekolahkan anak hingga SMTA cukup tinggi. Banyak orang tua yang memegang prinsip, ”semua harta benda dijual tidak apa-apa, asal anak bisa bersekolah”.

Tapi prinsip serupa sudah mulai pudar, bahkan banyak ditinggalkan Sebagian masyarakat tidak lagi percaya pada kesaktian pendidikan formal, sehingga banyak yang memilih tidak melanjutkan sekolah setamat dari SD. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat desa terhadap pendidikan itu terjadi sebagai akibat dari buruknya produk pendidikan nasional.

Buku itu dengan vulgar mengatakan: ”Kehidupan orang-orang yang bersekolah hingga pendidikan tinggi ternyata tidak lebih baik , setidaknya terjadi ketimpangan antara output yang dikeluarkan dengan input yang diterima. Sebaliknya orang yang berpendidikan itu justru menjadi malas bertani, malas kerja kasar, sementara harta bendanya sudah banyak yang terjual untuk bersekolah”.

Semangat Menyekolahkan Anak

Membaca buku itu, saya kemudian mengenang  masa-masa saya ketika sekolah  SD-SMA di era 1973-1980. Kala itu, dari pengamatan saya orang kampung memandang tinggi nilai pendidikan. Kalau saya kembali ke desa, orang masih dengan semangat mengatakan: ”Kalau kawan ini pasti hebatlah nanti, soalnya dia sekolah,” kata salah seorang orang tua, ketika pulang libur sekolah di kota. 

Pengalaman orang tua saya yang hanya seorang guru SD, pernah menanggung tiga orang anak di perguruan tinggi. Mereka yakin benar bahwa segalanya dikorbankan demi sekolah anak-anaknya. ”Kalau sudah tamat nanti, mereka akan bisa mandiri dan mendapat pekerjaan yang lebih baik dari kami,”ujar ayah saya suatu ketika kepada tempat peminjaman uangnya.
Penghasilan kecil tidak melemahkan semangat mereka  menyekolahkan anak. Orang tua saya acapkali meminjam uang di kala memenuhi permintaan tiba-tiba dan kadang tidak direncanakan, atau kalau hasil panen mereka meleset. Konon, bagi orang tua saya lebih mudah meminjam untuk biaya pendidikan anak lebih mudah dari pada dia meminjam untuk usaha.

Selain itu mudah ditemukan kerja sama keluarga yang tinggal di kampung dan keluarga yang tinggal di kota. Saya menyaksikan sendiri, beberapa anggota keluarga yang saya kenal dibantu secara bergotong royong di kalangan keluarga besar untuk membantu anak keluarga yang tidak mampu. Baik berupa sumbangan langsung, maupun tumpangan tanpa bayar makan tinggal di rumahnya.

Melongok ke masa lalu tokoh-tokoh yang dulunya dari desa kemudian memperoleh pendidikan yang lebih tinggi misalnya. Produk-produk pendidikan dari desa sangat signifikan melahirkan para pemimpin negeri ini.

Sebagai penulis biografi, saya mengamati para tokoh yang sukses (kebanyakan dari desa), hampir bisa dikatakan, pendidikan merupakan awal dari segala karier mereka di kemudian hari. Dari seorang anak petani, setelah menempuh pendidikan mereka memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik dari orang tuanya di kampung.

Kisah Pendeta Armencius Munthe, Prof Dr Sutan Hutagalung, Kol JP Silitonga dan bebeberapa biografi tokoh-tokoh yang saya tulis (kebetulan kebanyakan orang Batak), lahir di desa di era 20-an dan 30-an, mendapat pendidikan Belanda di sekitar desanya, dan sekolah lanjutan di kota, bahkan pada era 50-an ada yang sekolah di luar negeri-seperti Jerman, Amerika Serikat atau ke luar Sumatera seperti JP Silitonga.

Pendeta Armencius Munthe, mantan Ephorus GKPS, anak seorang janda petani miskin yang di usia 13 tahun sudah ditinggal suaminya, dengan kemampuan yang terbatas mampu menyelesaikan sekolah Teologia, dan kemudian karena prestasinya mendapat beasiswa kuliah Master Theologia di Universitas Hamburg Jerman di era 1960an.

Bahkan yang lebih kontroversial lagi, Sutan Hutagalung—mantan Sekjen GKPI. Setelah bekerja beberapa tahun sebagai pegawai penjara di Klaten, dirinya meninggalkan pekerjaannya dan melanjutkan perkuliahan di STT Jakarta. Lulus dari sana, dia kemudian melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di Amerka Serikat.

Contoh-contoh di atas adalah yang saya tau persis karena menulis biografinya, tetapi tentu kolom ini tidak cukup menyebut ribuan contoh lainnya.

Ironi di Era Globalisasi. 

Di abad ke duapuluh satu, dimana pendidikan seseorang penduduk desa diharapkan lebih baik (tingkat pendidikannya dari sebelumnya), justru banyak yang drop out. Kini, tidak sulit lagi bagi saya menemukan anak-anak SMP yang sudah drop out dan mengikuti ayahnya ke ladang. 

Berbeda saat saya sekolah SMP di era 1970-an. Hampir tidak ada anak sekolah yang drop out. Paling tidak mereka tamat SMP dan sebagian besar melanjut ke SPG atau SMA, dan kemudian ke Perguruan Tinggi.

Selain itu tingginya biaya pendidikan cenderung melemahkan semangat para orang tua mengirim anak-anaknya ke sekolah atau perkuliahan. Ditambah lagi budaya sogok yang marak dimana-mana ketika mereka lulus dan mencari pekerjaan yang diidamkan, yakni PNS, atau pegawai swasta. Karena hampir sebagian besar penduduk masih memimpikan anaknya bekerja, belm banyak orang tua yang menginginkan anaknya sebagai pengusaha.

Bagi kelompok seperti ini, mengirimkan anak ke sekolah tidak lagi dianggap sebagai sebuah cara untuk meningkatkan status. Pengetahuan ayahnya sebagai petani sudah cukup untuk mencari makan dan menyesuaikan statusnya dengan anak-anak di desanya.

”Masuk sekolah harus membayar uang pembangunan, uang sogok. Padahal nanti sarjanapun menganggurnya. Mencari pekerjaan harus menyogok, lebih baik langsung bekerja di ladang. Menanam kentang, dapat hasil”ujar seorang penduduk yang anaknya drop out SMP, ketika saya berkunjung ke suatu desa. .

Dampak Negatif

Buku ”Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul” mengungkapkan minat yang semakin menurun meningkatkan pendidikan menyebabkan tingginya perkawinan dini. Mereka yang drop out dari SD, SMP atau SMA akan kawin lebih cepat. Tentu ini tidak hanya menjadi tantangan bagi keluarga berencana, tetapi sekaligus menyebabkan tingginya perceraian.

Mereka yang drop out mudah terkena pengaruh lingkungan yang masuk ke desa berupa perkembangan teknologi informasi (TV, DVD, Internet) telah menyeret mereka ke pergaulan bebas dan hubungan di luar nikah, remaja terlibat narkoba, mengunjungi situs-situs porno di internet, bahkan bermain judi melalui teknologi canggih itu. Dampak yang lebih parah lagi mereka menjadi manusia pemimpi, menjadi pemakai narkoba, pengunjung diskotik, bahkan sebagian menjadi  PSK.  

Coba sekali-sekali berjalan di malam hari, atau singgah berbagai diskotik atau tempat-tempat terlarang bagi para remaja di kota-kota besar di provinsi ini. Medan, Pematangsiantar, Sibolga, dll. Gadis-gadis berusia belasan tahun menjadi pemuas nafsu para om-om yang kelebihan duit. 
 
Anakhon Hi do Hamoraon Di Ahu

Sebelum zaman semaju sekarang ini, semangat menyekolahkan anak di kalangan masyarakat di Sumatera Utara terangkum dalam lagu : Anakkon Hi do Hamoraon di Ahu, karya komponis besar Nahum Situmorang.

Sebagian penggalan syairnya berbunyi sebagai berikut: ”Hugogo pe mansari, arian nang bodari, lao pasingkolahon gelleng hi. Ndang so tarihuthon, au pe angka dongan, ndada pola marsak au di si. Alai anakhon hi da, ndang jadi hatinggalan sian dongan magodang na i”.

Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: ”Saya bekerja keras mencari uang, siang dan malam, untuk membiayai sekolah anakku. Meski tidak bisa mengikuti orang lain, saya tidak sedih. Asalkan anakku tidak ketinggalan dari teman-temannya”.

Syair lagu berirama pop dan sekali-sekali dibuat cha-cha ini, menggambarkan pandangan penulisnya tentang semangat masyarakat desa ketika itu dimana pendidikan adalah cara meningkatkan harkat dan martabat mereka. Pendidikan adalah pra-syarat agar mampu mengikuti perkembangan zaman, tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain, dan tidak terlindas oleh kemajuan. Karena itu, seluruh jiwa, raga dan harta dikorbankan demi biaya pendidikan anak-anak.

Hanya satu harapan: pengorbanan itu akan lunas, bila anak-anaknya bisa berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan keyakinan dengan modal pendidikan anak itu bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka mengejar achieved statusnya—status sosial yang diperoleh melalui kerja keras, usaha dan keyakinan dengan menyelesaikan pendidikan yang baik.

Masih dalam pengamatan yang memerlukan pembuktian, dari perubahan yang ada, minat menyekolahkan anak termasuk di daerah kita sudah menurun, demikian juga semangat anak didik menggunakan sekolah sebagai batu loncatan tidaklagi seperti semangatnya Prof Dr Sutan Hutagalung, Dr Armencius Munthe maupun JP Silitonga. Bagaimana mengembalikan semangat orang tua menyekolahkan anak-anaknya seperti sediakala menjadi tantangan bagi kita semua. Mahalnya biaya pendidikan, rendahnya kualitas produk pendidikan kita menjadi tantangan besar di era globaliasi ini.

Menulis Di Era Global “Mutlak Melek Komputer dan Internet” (Batak Pos, 14 Januari 2012)


Oleh : Jannerson Girsang

 
 Sumber Foto: ngecepres.blogspot.com.

Masuk di dunia penulisan di era global dengan buta komputer dan internet?. Anda akan seperti rusa masuk kampung!. Sebaliknya, menguasai komputer dan internet membuka peluang mengembangkan diri berlipat ganda.

Almarhum Pdt Dr Armencius Munthe—mantan Ephorus dan Sekjen Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)  adalah contoh seorang penulis yang dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan dunia barunya, yakni berkhotbah dan menulis di era global.

Setelah pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai Sekjen GKP pada 1995, beliau belajar komputer dan kemudian internet. Satu angkatannya sesama pensiunan petinggi gereja beliau termasuk yang paling aktif menulis.

Setelah pensiun, selama 15 tahun hingga meninggal pada 2009, beliau aktif mengajar sebagai dosen, dan menulis. Dengan memahami komputer dan internet, beliau mampu menulis beberapa buku dan menerbitkan tulisannya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. ”Melalui internet, saya bisa mengirim draft buku, melakukan koreksi seolah di depan saya dengan rekan-rekan saya dimanapun berada. Waktu sangat terhemat,”ujarnya.

Semasa dinasnya bertahun-tahun beliau hanya mengandalkan sekretarisnya dan sama sekali belum mengenal komputer. Membuat konsep dengan tulis tangan, lantas sekretarisnya membantunya mengetik.

Tak heran kalau kemudian beliau mampu menulis beberapa buku di masa pensiun dan menerbitkannya di Jakarta, Amerika Serikat, meski beliau tinggal di rumahnya di bilangan Tanjungsari, Medan. Prestasi menulis beliau, jauh lebih di atas rata-rata teman seangkatannya. 

Saya mendapat pengalaman menarik ketika menulis buku biografinya ”Anugerah Tuhan yang Tak Terhingga” (2004). Menulis buku seorang yang berusia 70 tahun yang memahami komputer dan internet, jauh lebih cepat dari para tokoh seusianya yang sama sekali tidak memahami komputer dan internet.

Pasalnya, saya bisa melakukan komunikasi dengan beliau melalui internet. Beberapa wawancara tambahan dilakukan dengan wawancara tertulis, demikian juga koreksi bisa dilakukan dengan email.

Berbeda ketika saya menulis otobiografi atau biografi seorang tokoh yang sama sekali tidak mengetahui internet. Meski dia seorang penulis, kalau tidak memahami komputer dan internet, maka wawancara seluruhnya dilakukan dengan tatap muka. Demikian juga koreksi dan diskusi. Saya menggunakan waktu yang jauh lebih lama menyelesaikan buku sejenis. Biaya yang dibutuhkan untuk menulispun tentunya lebih mahal. 

Bayangkan kalau draft buku setebal 400 halaman mau dikirim ke Jakarta, masih terdengar ungkapan seperti ini. ”Tolong print dulu draft buku kita, dan kirimkan semua hasilnya ke Jakarta”.

Dibutuhkan waktu memprintnya, membungkusnya, mengantarkannya ke TIKI atau kantor pos. Waktu mengirim melalui pos tersita satu atau dua hari. Demikan pula pengembalian hasil koreksinya. Padahal, pengiriman draft buku seperti itu di masa sekarang ini hanya butuh waktu hitungan detik dan biaya pulsa atau langganan internet yang cukup murah. Ini hanya sebuah contoh kecil!.  

Revolusi Penulisan

Perkembangan teknologi komputer dan disusul dengan aplikasi internet dalam komunikasi modern melahirkan pola baru komunikasi dan mempengaruhi dunia penulisan serta berbagai bidang kehidupan di tengah-tengah masyarakat.

Seorang futurolog terkenal Paul Zane Pilzer, meramalkan bahwa bahwa tidak lama lagi setiap orang akan memiliki kemampuan menikmati kemakmuran tanpa batas melalui teknologi komputer ajaib.

Revolusi penulisan atas kehadiran internet telah, sedang dan terus berlangsung di tengah-tengah kita ibarat penyakit flu. "Internet seperti penyakit flu, menyebar seperti orang gila", kata Jack Welch. Dia masuk ke segala lapisan, penulis pemula, penulis besar, tua, muda, kaya, miskin, bahkan penulis remaja dan anak-anak. Pengguna internet meroket bak jamur di musim hujan. Dari kurang 500 juta sepuluh tahun sebelumnya menjadi 1.5 miliar orang.

Sampai 2009, akses internet di Indonesia masih dibawah 25 persen dengan pertumbuhan rata-rata antara 15-17 persen per tahun. Meski pertumbuhannya demikian pesat, kita masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunai, bahkan dengan berbagai negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Filippina.

Perkembangan jumlah penggunaan internet yang terus meningkat akan memberikan manfaat yang luar biasa.”Penjualan internet saat ini sebesar $200 miliar per tahun tidak ada artinya dibanding dengan keberuntungan yang akan tercipta,”ujar sebuah website yang kami kunjungi baru-baru ini. 

Perkembangan penulisan dengan kehadiran internet telah merubah makna sebuah perpustakaan, pengiriman bahan tulisan, distribusi bahan tulisan, demikian juga hasil tulisan berupa publikasi media atau buku-buku.  Google Book menjadi sebuah perpustakaan raksasa yang terus berkembang dan tak tersaingi jenis dan jumlah buku di perpustakaan manapun di Indonesia ini. Koleksinya sudah mencapai lebih dari 15 juta buku.

Mediaonline

Selain itu, kehadiran Internet dan pengembangan teknologi mediaonline sangat membantu penulis mencari bahan tulisan. Sebagai contoh, website http://www.onlinenewspapers.com/. Website seperti ini adalah salah satu produk directory media cetak online pada era internet.

Kini lebih dari 10 ribu media cetak utama dunia yang terbit di 400 kota sudah masuk dalam website ini. Dengan menamakan dirinya The No 1 Newspaper Directory, website ini telah membantu para pencari berita di seluruh dunia terus mengembangkan dan menambah jumlah mediaonline di seluruh dunia, sehingga menjadi sebuah sumber data yang sangat bermanfaat bagi miliaran orang. .

Dengan memanfaatkan teknologi internet, website tersebut selain menyediakan data juga sekaligus memanfaatkan para pengunjung secara interaktif menyempurnakan data yang sudah disediakan. Memasukkan informasi yang terdapat di daerahnya sehingga mereka yang berada di belahan bumu lain, sekaligus mampu mengakses informasi ke dunia yang lebih luas lagi.

Hasilnya, kini khususnya media cetak, seluruh masyarakat dunia yang memiliki akses ke internet sudah memiliki peluang memperoleh informasi.yang sama.

Penduduk di Tuktuk Siadong, melalui website ini mampu mengakses berita harian lokal di  Negara Bagian Alabama di Amerika Serikat, atau sebuah harian lokal di Davao, Mindanao Filippina.

Penutup

Para penulis yang belum memanfaatkan kehadiran Internet dalam meningkatkan kuantiítas dan kualitas tulisannya, saatnya bangkit dan menguasai komputer dan Internet dengan segala seluk beluknya yang bermanfaat bagi kegiatan menulis. Menulis untuk mengembangkan peradaban, bukan mencerca, memaki atau menfitnah orang lain.

Melek komputer dan Internet mutlak!. Milikilah sebuah komputer yang tersambung dengan Internet. Masuklah ke dunia global, samudera informasi yang luasnya tak terbatas. Sebagai penulis hal itu mutlak kalau anda ingin terus eksis di dunia tulis menulis.

Saatnya Anda membuka mata, jangan buta lagi!

Jumat, 13 Januari 2012

Belajar dari Petani Kentang (Batak Pos, 13 Januari 2012)



Oleh : Jannerson Girsang

 
Sumber foto: www.bisnis-jabar.com
 
Memutar memoriku di era 1970an, sangat tidak nyaman memandang sebuah areal pertanian kalau tanaman kentang di dalamnya tumbuh tidak merata. Di tengah-tengahnya terdapat tanaman yang krempeng, kuning, sementara yang lainnya tumbuh subur dan menyejukkan mata.

Sama dengan pembangunan ekonomi di suatu negeri. Sangat tidak nyaman, kalau di suatu daerah maju pesat, sementara di tempat lain—orang dengan mudah melintasi jalan raya yang mulus, sarana pendidikan modern, bisnis maju, sementara di daerah lain orang masih memikul hasil bumi karena tidak tersedia sarana jalan, gedunmg sekolah seperti kandang sapi, tengkulak menguasai pasar.   

Bedanya, kalau kondisi ketidakmerataan ini terjadi pada manusia, bukan hanya tidak enak dipandang, tetapi mereka bisa bereaksi, menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi semua. Mereka akan merespon ketidakadilan dengan berbagai cara. Pasalnya, mereka memiliki pikiran, mampu menilai yang terbaik bagi dirinya, mampu membandingkan dirinya dengan orang lain.

Rakyat butuh pengaturan melalui sebuah sistem pemerintahan yang berniat baik bagi mereka, sehingga mampu maju secara bersama-sama, berkeadilan.

Belajar dari Petani Kentang

Memori anak-anak di kampung di daerah Simalungun di era akhir 60-an sampai pertengahan 70-an kadang muncul di benak kami kala melihat ketimpangan pembangunan di berbagai daerah di provinsi ini, saat melakukan berbagai perjalanan—Nias, Batubara, Labuhan Batu, Dairi, Humbang Hasundutan, Tapanuli dan lain-lain.

Petani kentang di kampng kami mengusahakan tanaman kentang agar semua tanaman mendapatkan perlakuan yang sama: mulai dari pemupukan, pembrantasan hama, penyiangan, penyiraman dan lain-lain.

Pada kenyataannya, meski perlakuan sama, saya memperhatikan pertumbuhan tanaman kentang tidak selalu sama. Beberapa minggu setelah ditanam, dari hamparan seluas satu hektar tanaman kentang sebanyak 10 ribu batang, sebagian pertumbuhannya lambat.

Setiap pagi petani memperhatikan pertumbuhan tanaman. Mereka seolah berbicara kepada tanaman-tanaman itu. “Apa yang kurang, mengapa pertumbuhanmu tidak seperti tanaman-tanaman lainnya?”.  

Bahkan ada kalanya mereka melakukan perlakuan khusus atas kentang yang tidak tumbuh sama dengan tanaman lainnya.  Ada yang karena dimakan ulat, kekurangan unsur hara seperti warna daunnya kuning karena memang kondisi tanahnya yang tidak subur.

Para petani di sana dengan pengalaman puluhan tahun menanam kentang memahami cara bertanam untuk membuat pertumbuhan bisa merata. Lalu, mereka memberi pupuk dengan takaran yang lebih bagi kentang yang kurang subur, memberikan perlakuan yang khusus bagi tanaman yang terserang hama dan membuat pertumbuhannya lebih lambat dari yang lain.

Walau tanaman itu tidak berbicara satu sama lain, seperti manusia, tetapi para petani bangga kalau dia berhasil membuat setiap tanamannya tumbuh merata. Tidak ada yang kerempeng.

Ada niat di hatinya, memperlakukan 10 ribu tanaman kentangnya sesuai dengan kebutuhannya agar mereka bisa tumbuh bersama. Walau pada kenyataannya selalu saja ada hambatan, sehingga tidak pernah 100% bisa merata. 

Memimpin Rakyat: Pengalaman Petani Kentang

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin seyogianya memiliki niat seperti para petani memperlakukan tanamannya. Ada keinginan memperlakukan rakyatnya agar maju bersama, memahami dengan benar mengapa rakyat di sebuah daerah tidak bisa maju sama dengan rakyat lainnya, atau daerah yang satu tidak maju bersama dengan daerah lainnnya.   

Dalam kenyataan, setiap daerah tidak sama potensinya. Beberapa daerah bertumbuh dengan pesat karena potensi alam dan sumber daya manusianya tersedia. Anehnya, kadang daerah dengan potensi besar mendapat perlakuan khusus pula.  Berangsung secara alami”Dimana ada gula, di situ ada semut”. Pembangunan akhirnya bertumpu di sana.

Issu kesenjangan Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi ini adalah bukti bahwa masih banyak daerah yang perlu penanganan khusus untuk bertumbuh bersama. Sebagai contoh, di pedalaman di Pulau Nias masih banyak daerah yang tidak bisa dijangkau dengan kenderaan bermotor, 40% belum mendapat aliran listrik dari PLN, serta berbagai keterbatasan yang dihadapinya.

Tentu, daerah seperti ini tidak akan mampu bertumbuh bersama dengan daerah yang sudah memiliki infrastruktur yang maju. Daerah dengan potensi yang kurang, sama dengan tanaman tadi,  mereka akan tumbuh kerempeng kalau dibiarkan bertumbuh dengan kemampuannya sendiri. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus.

Seorang pemimpin harus mampu dalam levelnya masing-masing—mulai dari gubernur, bupati, walikota, camat dan kepala desa/lurah memahami kondisi dan memperlakukan kebijakan-kebijakan khusus untuk masing-masing daerahnya. Pemimpin harus memahami, menyadari sepenuhnya daerah-daerah yang tidak mampu, dan yang perlu mendapat perlakuan khusus. Tanaman yang jauh dari gubukpun harus mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipinggir ladang.

Para pemimpin hendaknya menghindarkan diri megambil kebijakan hanya pertimbangan kedekatan masyarakat atau daerahnya, apalagi pada kepentingan pribadi dan golongan. Sama seperti petani memperlakukan tanaman kentangnya, demikian juga pemimpin memperlakukan rakyatnya.

12 juta lebih penduduk di Sumatera Utara terdiri dari beragam suku, agama, dengan potensi yang berbeda-beda hendaknya dipahami dengan filosofi petani kentang ini.

Mereka kini mengalami kemajuan yang berbeda-beda, bisa karena memiliki potensi alam yang melimpah sudah diolah, kemampuan sumberdaya manusianya yang sudah baik, atau hal-hal unggul lainnya.

Berbagai daerah masih tertinggal, bisa karena sumberdaya alam yang belum diolah, sumber daya manusianya yang rendah. Berbagai daerah memiliki potensi tambang emas, timah hitam, lahan kosong yang masih terhampar luas. Rakyat menunggu perlakuan-perlakuan khusus yang kreatif, sehingga mereka mampu bangkit, maju bersama dengan daerah lain.  

Gunawan Sumodinngrat dan Riat Nugroho T (2005), dalam bukunya ” Membangun Indonesia Emas” mengingatkan kita semua, ”Keadilan sosial adalah amanat bangsa. Keadilan sosial bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Keadilan sosial adalah sebuah ’rasa’ yang diciptakan dari keadaan kondusif bagi pengembangan hidup bersama yang diwarnai dengan  saling percaya dan saling gotong royong.”

Semoga di 2012 dan masa mendatang niat, sekali lagi niat  para pemimpin bersama masyarakat daerah ini terinspirasi dengan filosofi ini. Mewujudkan “Rakyat tidak miskin, tidak sakit dan tidak lapar”, dengan niat yang dilandasi semangat maju bersama. .   


[1] Penulis Biografi, Tinggal di Medan