Ketika semangat bebersamaan dan persatuan mengisi hati manusia, kemampuan menghargai, bersyukur akan meningkat, pekerjaan, masalah, beban yang berat akan terasa ringan.
Saya sangat terkesan dengan seorang tokoh yang saya tulis beberapa tahun yang lalu yang senantiasa menasehatkan persatuan diantara anak-anaknya.
"Molo sada hamu, sude do boi ulaonmu," (Kalau kalian bersatu, maka semua akan bisa kalian lakukan".
Nasehat yang menginspirasi sebuah keluarga besar bersatu, hingga saat ini. Saya bisa rasakan ketika berkunjung ke rumah mereka, dan rumah keluarga besar mereka.
Namun, kalau suasana sebaliknya yang terjadi, maka akan meningkat orang yang "senang melihat orang susah", kemampuan menghargai, bersyukur makin melemah, pekerjaan yang ringan terasa berat.
Itulah sebabnya orang tua dituntut selalu menasehatkan anak-anaknya bersatu, dan anak-anaknya menasehatkan keturunan berikutnya bersatu, dan memberi spirit bersatu dengan lingkungannya.
Bukan sebaliknya: orang tua tidak boleh mendidik anak-anak memisah dengan keluarga besarnya, lingkungannya, karena merasa dirinya lebih hebat, mendidik mereka seolah tidak memerlukan orang lain.
Sikap orang tua seperti itu akan membuat anak-anak mengalami kesulitan hidup dan sulit bersyukur.
Keluarga yang hebat adalah menginspirasi keluarga lain merasa hebat, bukan membuat mereka "minder". Anak yang hebat adalah membuat anak orang lain merasa hebat, bukan membatasi orang lain bergaul dan mendapat insipirasi.
Tak salah para pendiri bangsa ini menjadikan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Bangsa yang mengagungkan persatuan dengan slogan: "Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh"
Bangsa yang bersatu, diawali dari semangat persatuan di dalam keluarga. Persatuan yang kuat di dalam keluarga akan menghasilkan lingkungan yang memiliki semangat persatuan dan menghasilkan bangsa yang kuat.
Medan, 10 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar