Cagubsu Harus Siapkan Rp 150 Miliar?
"Jangan Takut! Perbesar Jumlah Penyumbang
Anda"
Oleh
: Jannerson Girsang
Sumber foto: truenewsthebund.blogspot.com.
Dalam sebuah acara buka puasa
beberapa hari yang lalu, Abdul Wahab Dalimunthe, Anggota DPR-RI dan mantan
Calon Gubsu (2008-2013) mengungkapkan bahwa kalau ingin jadi Gubernur Sumatera
Utara diperkirakan harus menyediakan Rp 150 miliar. (Analisa, 6 Agustus 2012).
Menurutnya, uang itu digunakan
untuk beli perahu partai (kecuali calon independen), biaya kampanye dan banyak
biaya lainnya. Abdul Wahab adalah mantan Calon Gubsu 2008-2013 dan
perhitungannya tentu bukan tanpa dasar. Kita tidak heran mendengar pernyataan
ini. Bahkan angka itu jauh di bawah biaya-biaya yang pernah terungkap di media.
Lihat misalnya berita di http://news.okezone.com. (Jum"at, 27 April 2012)
Ketua Tim Penjaringan Pilgub DPD
Gerindra Jawa Barat, Sunatra, mengatakan bahwa modal yang harus dimiliki para
bakal calon untuk dapat mengikuti sebuah ajang pemilihan gubernur sebesar Rp430
miliar. Hal itu dia katakan berdasarkan data Laboratorium Pendidikan
Kewarganegaraan FKIP Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Jawa Barat.
Perhitungan ini dilakukan berdasarkan sasaran berdasarkan pemilih. "Angka
itu untuk sosialisasi, survei, atribut, kampanye, dan lain-lain," katanya.
Pasti setiap orang akan
"keder" mendengar angka yang gila ini. Tentu tidak bisa dibayar
dengan pendapatan seorang gubernur di Indonesia. Berdasarkan perhitungan pak
Abdul Wahab diatas, seorang calon gubernur Sumut yang menang akan mengalami
defisit sebesar Rp 144 miliar di akhir masa jabatannya. Pasalnya, pendapatan
per bulan (gaji, insentif dan tunjangan) seorang gubernur DKI hanya di bawah Rp
100 juta, atau maksimum Rp 6 miliar per lima tahun.
Tapi, perhitungan seperti ini
adalah kalau calon gubernurnya orang bodoh dan tidak mau berfikir beda. Seorang
calon gubernur bukan hanya mencalonkan dirinya sendiri tetapi benar-benar
mendapat dukungan rakyat. Biaya yang diperlukan juga didukung oleh
pendukungnya. Rakyat banyak, bukan segelintir orang.
Jadi gubernur itu memang tidak
mudah!. Calon gubernur yang hebat tentu tidak bodoh dan hanya mengikuti alur
pikiran orang kebanyakan. Dia adalah seorang yang mampu berfikir out box
thinking!.
Biaya Minimum Rp 150 Miliar
Sistem pemilihan gubernur
langsung seperti sekarang ini memang membutuhkan biaya yang sangat besar.
Sementara dengan pola penggajian yang berlaku, tidak mungkin seorang gubernur
mampu tanpa melakukan korupsi.
Itulah tantangannya. Tapi,
seorang gubernur seharusnya tidak berfikir konvensional. Dia harus memiliki
pemikiran-pemikiran yang kreatif.
Coba kita simak dulu gambaran
pendapatan seorang Gubernur yang tanpa korupsi.
Mediaonline Majalah Tempo
(Tempo.co.id) Maret 2012 lalu membuat perhitungan soal penghasilan gubernur
DKI. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68/2001 tentang Tunjangan Jabatan
Bagi Pejabat Negara Tertentu, gaji pokok kepala daerah "hanya" Rp 3
juta. Adapun tunjangan jabatan diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2003 tentang
Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Di Lingkungan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara. Tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi, gaji total Rp 8,4
juta.
Tempo menambahkan, Gubernur
memiliki sejumlah "pintu" yang menambah penghasilannya, seperti
fasilitas rumah, kendaraan, insentif rapat, dan kunjungan dinas. Gubernur juga
berhak mendapat insentif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
69/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Hitung-hitungannya, Gubernur DKI
akan mendapat tambahan paling tidak Rp 80 juta di luar gaji. Andaikan sama.
Maka seorang gubernur Sumatera Utara maksimal mendapat penghasilan dari gaji Rp
8.4 juta dan tambahan penghasilan di luar gaji Rp 80 juta.
Jadi, kalau berfikirnya
konvensional, maka gubernur yang mengeluarkan biaya kampanye Rp 150 miliar dan
menjabat selama lima tahun (enampuluh bulan), maka dia akan defisit sebanyak Rp
144 miliar di akhir jabatannya. Karena pendapatannya selama lima tahun hanya Rp
100 juta per bulan atau Rp 6 miliar selama periode itu.
Maka dengan logika di atas, dan
pengalaman-pengalaman yang kita saksikan di era zaman "korupsi" ini,
kita percaya seorang yang turut mencalon dan memenangkan gubernur ternyata
tidak rela "modalnya" tidak kembali. Buktinya, begitu banyak gubernur
yang masuk penjara.
Perbesar Jumlah Penyumbang Anda!
Menjadi gubernur, masuk penjara?.
Tidak dong. Ngapain jadi gubernur kalau untuk masuk penjara!.
Gubernur harus mencitrakan
dirinya seorang yang kaya akan kreasi memimpin, termasuk meyakinkan
pendukungnya untuk membangun tim dan mengumpulkan dana bagi kampanyenya. Orang
banyak mengatakan belajar dari Obama, tapi sering lupa strateginya, dan
keterbukaan pertanggungjawabannya.
Seorang calon gubernur harus
betul-betul ada di hati masyarakat karena memang sudah berbuat di tengah-tengah
masyarakat dan akan bersama mereka lima tahun ke depan.
Dengan demikian, melakukan
sosialisasi bukan menawarkan "bantuan", tetapi meminta
"bantuan". Gila ya. Tapi tidak asal meminta! Tentu dibarengi dengan
pengalaman dan kemampuan calon itu sendiri di masa lalu dan meyakinkannya di
saat-saat sosialisasi.
Di media-media cetak, elektronik
atau media online saat ini kita menyaksikan puluhan tokoh yang menyebut dirinya
sebagai calon gubernur Sumatera Utara sedang melakukan sosialisasi kepada
masyarakat. Mereka juga melakukan survey dukungan masyarakat.
Di kantor masing-masing mereka
melakukan evaluasi dan kajian untuk nantinya bisa memutuskan apakah maju atau
tidak. Salah satu hal yang dilupakan adalah menjawab pertanyaaan: mengapa
seseorang maju menjadi calon gubernur dan bagaimana caranya menjadi gubernur.
Apakah pernah dilakukan
penghitungan mereka yang berpotensi memberi sumbangan yang riel itu?. Berapa
yang kita punya pendukung dan sekaligus mau mendukung dana sekarang?. Jangan
abaikan memperhitungkan pendukung yang riel. Karena untuk itulah indikator
kinerja sosialisasi dilakukan.
Jadi, biaya pemenangan seorang
gubernur bukan "modal pribadi" sang calon. Angka Rp 150 miliar bisa
diperoleh dari 2 juta kali Rp 75 ribu atau 3 juta kali Rp 50 ribu atau 4 juta
kali Rp 37.500 atau 5 juta kali Rp 30 ribu, 6 juta kali Rp 25.000.
Makin besar rakyat pendukung dan
memberi sumbangan, makin besar peluang seorang calon akan menang. Jadi hal
penting dan menjadi prestasi sang calon adalah memperbesar jumlah pendukung,
sekaligus jumlah dana. Lebih baik 150 orang penyumbang dengan jumlah Rp 150
atau 350 perusahaan menyumbang Rp 350 juta dari pada hanya satu perusahaan
menyumbang Rp 350 juta.
Memang, kalau persepsi masyarakat
seorang calon hanya bermotivasi sekedar meraih kekuasaan dan uang di zaman edan
ini, percuma menjadi calon gubernur!. Rakyat akan menirunya dengan menawarkan:
"hayo beli kami!". Mereka juga sudah pintar bilang: "Terima
uangnya, tapi jangan pilih orangnya".
Kalau benar-benar sudah di hati
masyarakat pendukung, mintalah mereka mendanai Anda. Bilang, supaya saya tidak
korupsi. Kalau mereka tidak mau, menyumbang hanya Rp 25 ribu saja, sebenarnya
mereka bukan pendukung anda yang setia. Kalau anda tidak cukup pendukung,
sebaiknya jangan teruskan. Jangan berjudi di tengah dunia yang edan ini. Taruhannya: Penjara!
Transparansi Pendanaan Kampanye
Satu hal penting adalah
keterbukaan para calon kepada para pendukung tentang biaya yang dibutuhkan. Di
masa lalu para calon hampir-hampir tidak pernah menghargai biaya-biaya kecil
yang disumbangkan para pendukungnya.
Biaya yang terungkap hanya yang
dikeluarkan calon gubernur dan beberapa donatur besar (yang kadang tertutup
pula). Jasa pendukungnya yang kecil-kecil hampir terlupakan, termasuk mereka
yang dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya.
Jangan pernah membuat tim di
sekitar Anda kecewa. Kampanye Anda akan buruk. Mereka perlu dihargai dengan
sebuah nilai tunai meski tak dibayar dengan tunai yang tercermin dalam laporan
keuangan!.
Coba lihat laporan KPU pada
periode Pilgubsu 2008-2013. Saat itu pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu tercatat
memiliki dana kampanye terbesar, yakni Rp 6.713.150.000. Berikutnya pasangan
Ali Umri-Maratua Simanjuntak sebesar Rp 1.057.000.000. Pasangan RE
Siahaan-Suherdi memiliki dana kampanye terbesar ketiga sebanyak Rp 940.000.000.
Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho berada di posisi keempat sebesar Rp
898.000.000. Pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii tercatat sebagai
pasangan yang memiliki dana kampanye paling sedikit, Rp 152.000.000.
Menanggapi laporan ini, Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) Irham Buana Nasution, KPU
Sumut menangkap kesan calon gubernur tidak jujur dalam soal dana kampanye.
(Analisa, 30 Maret 2008).
Keterbukaan memaparkan biaya
kampanye dan sumber dana kampanye akan membantu mengumpulkan simpati serta
citra baik dari calon. Disinilah keterbukaan kemampuan dan track record masa
lalu terlihat. Tanpa keterbukaan, maka para pendukung tidak mengetahui berapa
yang harus disumbangnya dan apakah sumbangannya tersebut bermanfaat.
Memang biaya kampanye itu mahal,
tetapi bukan menjadi alasan bagi para pejabat nantinya untuk terus korupsi,
karena menganggap semua pembiayaan menjadi tanggungan pribadinya. Dia harus
menjadi seorang gubernur dukungan masyarakat, milik masyarakat dan membawa
masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. .
Kita berharap, pada calon
gubernur Sumatera Utara (2013-2018) mampu menantang pendapat Koordinator Divisi
Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, yang pernah
mengatakan bahwa tak seimbangnya modal kampanye dengan gaji yang akan diterima
calon gubernur akan berpotensi terjadi korupsi. "Bila balik modal, bisa
jadi itu korupsi," katanya kepada Okezone, 22 Maret 2012 lalu. Balik modal
saja sudah korupsi, apalagi masih pengen bangun villa atau beli mobil mewah!.
Kita juga menghimbau KPU
memfasilitasi para calon secara netral dan tidak memihak, serta mendidik para
pemilih untuk turut dalam Pilgubsu, tidak menjadi orang yang
"golput". Rakyat Sumatera Utara tidak mau anggaran biaya pilgubsu
2013-2018 sebesar Rp 700 miliar itu ibarat membuang garam ke laut.
Kita memilih gubernur yang punya
"hutang pribadi" yang besar. Ketika tiba di puncak kekuasaan.
Kembalikan modal dulu, sebagai awal tindakannya, baru membangun rakyat.
Calon gubernur itu adalah orang
hebat. Dia bukan berfikir biasa. Dia mampu merubah keadaan yang edan ini. Tidak
hanya mengeluh dan mengeluh soal system, serta mencari pembenaran tindakan yang
tidak benar, bahkan lebih buruk lagi mengajak rakyatnya makin gila.
Ide gila tak selalu tidak baik!
Terima kasih pak Abdul Wahab atas keberaniannya mengungkap biaya Calon Gubernur
yang menginspirasi kami menuliskan artikel ini! ***
Diterbitkan di Harian Analisa, 15 Agustus 2012 Halaman 24, 29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar